Monday, May 31, 2010

[Cerpen Islami] Hell Phone

Oleh Dini Atika
 
Cerpen Islami - Mikrobus seperti berjalan lambat dalam penglihatanku. Aku sedang dalam perjalanan pulang dari Cairo ke Alexandria. Aku baru saja bertemu dengan Kak Sarah, kakak kelasku saat di Sekolah Menengah di Alexandria. Aku tanpa sengaja bertemu dengannya saat aku menyerahkan penelitianku di Al-Azhar. Dia benar-benar berbeda sekarang. Kini ia mengenakan jilbab panjang yang menutupi rambut hitam panjangnya. Belum lagi kini ia tak mengenakan kaus ketat kebanggannya dulu. Sekarang hanya gamis panjang yang menyelimuti tubuhnya yang tinggi semampai. Ia benar-benar berubah. Kini tak semua orang bisa mengetahui kalau Kak Sarah dulu sangat cantik. Aku pun terlibat perbincangan seru dengan Kak Sarah.

“Anti bisa bilang begitu karena anti belum mengerti maksud hijab yang sebenarnya,” ujar Kak Sarah kala itu saat aku mempermasalahkan tentang hak asasi perempuan dan hal-hal lain yang menyangkut soal pornografi.

“Letak masalah bukan pada mengerti atau tidak mengerti, Kak! Justru persoalan ada pada penerapannya. Kalau sekarang diberlakukan hukum anti-pornografi bukankah banyak perempuan yang merasa diberatkan?” belaku.

Kak Sarah hanya tersenyum mendengarnya, “Kakak sendiri tidak merasa berat menjalankannya. Kakak malah merasa lebih damai.”

“Tapi bukankah dengan itu tak ada lagi yang menyukai kakak? Kakak kan terkenal cantik,” tanyaku masih penasaran. Aku termasuk salah satu feminis di kampus.

Senyum Kak Sarah mengembang semakin lebar, “Kakak tidak ingin mendapat perhatian orang lain karena kecantikan kakak. Kecantikan kakak bukan untuk dijual murah. Ini milik Kakak yang hanya akan Kakak perlihatkan ke suami Kakak nanti.”

Aku mencibir, “Bukankah justru akan susah mencari suami kalau memakai penutup kepala seperti itu?”

“Adek Shofi sebenarnya mau bertanya apa?” tanya Kak Sarah, “Mau menanyakan tentang mencari suami, atau menanyakan masalah hukum pornografi?”

“Bagiku tetap saja. Bukankah pornografi juga bagian dari seni? Bahkan Negara Jepang menganut pendapat ini. Dan mereka menjadi negara yang kebudayaannya diakui oleh Dunia...”

“Mereka juga menganut paham bunuh diri itu seni lho...” potong Kak Sarah.

“Tapi kalau begitu kebudayaan akan berbenturan dengan undang-undang dong! Sementara undang-undang juga melindungi kebudayaan,” tambahku tak menggubris ucapan Kak Sarah barusan, “Bagaimana dengan patung Juliet di Verona? Atau patung-patung Romawi yang tak mengenakan pakaian? Mereka adalah karya seni yang tak ternilai harganya. Bahkan salah satu dari kebudayaan di Negara Indonesia ada ritual memegang payudara patung leluhur mereka. Bagaimana pula dengan baju-baju tradisional? Beberapa baju sangat terbuka tapi dianggap sebagai kebudayaan. Dengan adanya Undang-undang pornografi tidak hanya perempuan yang merasa tersiksa, melainkan seni juga tak lagi mendapat tempat di negeri ini.”

“Anti terlalu jauh memikirkannya ukhti,” ujar Kak Sarah yang dari tadi mendengar celoteh panjangku, “Kebudayaan dan Seni memiliki tempatnya sendiri dalam undang-undang. Sementara Pornografi ada dalam undang-undang kriminalitas. Tidakkah anti menyadari kalau kriminalitas bermula dari satu hal?”

“Apa?”

“Wanita.”

Dan disini kini aku terdampar. Dalam Mikrobus mini menuju ke Alexandria. Saat itu aku meninggalkan Kak Sarah dengan perasaan kesal. Aku ini adalah seorang feminis. Dan perkataan Kak Sarah membuatku amat tersinggung. Bisa-bisanya dia mengatakan seperti itu sedangkan dia sendiri adalah wanita!

Mikrobus berhenti sebentar. Rupanya naik satu penumpang. Aku terlalu sibuk melamun hingga tidak menyadari bahwa mikrobus yang kutumpangi sepi. Yang naik adalah seorang Bapak tua dengan kesan kewibawaan di wajahnya. Saat naik ia memabaca do’a. Dan ketika mikrobus mulai jalan lagi Bapak itu tak henti-hentinya berdzikir. Aku langsung teringat akan Bapakku. Dia pasti tak jauh beda dengan Bapak ini kalau saja dia masih hidup.

Bapakku meninggal tiga tahun yang lalu. Ia meninggal karena serangan stroke. Ia yang paling gencar mengomeliku kalau aku ingin memakai pakaian yang sedang nge-tren saat itu. Tank Top.

“Kau ini anak gadis! Pakai pakaian seperti itu apa kau tak malu hah!? Aurat keumbar-umbar!” Bentak Bapak waktu itu.

“Tapi semua teman Shofi pakai ini,” ujarku beralasan. Alasan yang selalu sama.

“Dasar anak bodoh! Kau bisa jadi sasaran kejahatan anak-anak berandal di luar sana. Kau hanya memancing mereka!”

Kau hanya memancing mereka... kenapa perkataan Bapak hampir sama dengan Kak Sarah. Apa benar wanita yang selalu menjadi sumber kejahatan? Kalau begitu aku yang salah?

Mikrobus berhenti lagi. Kini naik seorang pemuda. Wajahnya tampan dan membuat pipiku bersemu merah. Dia menggenggam buku kecil di tangannya. Aku mengenalnya sebagai Al-Qur’an. Sudah amat lama aku tak membaca Al-Qur’an sejak Bapak meninggal. Karena tak ada lagi yang mengingatkanku untuk terus rajin membaca buku itu. Mungkin aku harus mulai membacanya. Siapa tahu jawaban pertanyaanku ada di buku itu.

Tatapanku tanpa sengaja bertemu dengannya. Aku tersenyum ramah ke arahnya. Tanpa diduga dia langsung memalingkan wajahnya. Aku benar-benar kaget. Bukannya aku bermaksud sombong hanya saja aku tak pernah gagal menundukkan laki-laki. Aku disebut-sebut primadona kampus. Aku senang dengan panggilan itu karena dengan begitu aku bisa membuktikan kalau laki-laki itu sebenarnya cuma sampah yang bisanya cuma mengemis-ngemis cinta dari perempuan. Tapi kali ini lain. Pemuda itu benar-benar tak peduli dengan kecantikanku. Apa ini pemuda yang dimaksud Kak Sarah yang hanya menghalalkan pandangannya untuk istrinya saja? Ternyata ada ya pemuda seperti itu.

Selama perjalanan Mikrobus semakin lama semakin padat. Ada Ibu-ibu dengan tujuh anaknya yang baru saja naik. Ketika mereka naik mikrobus langsung padat seketika. Kemudian yang naik berikutnya adalah seorang pria setengah baya yang menggenggam rokok di tangannya. Ia tak juga mematikan rokok tersebut meki sudah naik mikrobus dan mikrobusnya mulai jalan. Aku yang alergi rokok langsung menutup hidungku dengan sapu tangan. Perjalanan masih lama sebelum sampai di Alexandria.

Setelah beberapa lama mikrobus berhenti lagi. Aku membelalakkan mataku begitu melihat penumpang yang naik. Seorang wanita cantik dengan pakaian yang amat sensual. Baju merahnya terbuka sampai setengah dada. Bagian bawahnya pendek setengah paha dan belah sampai pangkal paha. Saat ia naik mikrobus bagian (maaf) itunya kelihatan dengan jelas. Tak hanya aku, penumpang yang lain juga ikut kaget melihatnya dengan cara berbeda-beda.

Bapak tua yang berdzikir langsung memejamkan matanya dan mengucapkan “Astaghfirullah” berulang-ulang. Pemuda yang tampan itu langsung memalingkan dan menundukkan wajahnya namun aku bisa melihat jelas wajahnya yang memerah. Dia menggenggam erat Qur’annya sambil tangannya bergetar. Ibu yang membawa anak-anaknya hanya mencibir pelan dan memerintahkan anak-anak laki-lakinya melihat pemandangan luar. Sementara pria yang merokok hanya tersenyum aneh dan matanya memandang lurus ke dada dan paha wanita itu. Aku cuma bisa diam. Inikah yang dimaksud dengan pornografi? Laki-laki tak akan melecehkan perempuan kecuali perempuannya yang mengundangnya lebih dahulu.

Aku menatap iba pada pemuda di depanku. Dia tak berani mengangkat wajahnya. Sungguh kasihan. Aku mulai merasa perkataan Kak Sarah ada benarnya. Sungguh kasihan para laki-laki jaman sekarang. Berusaha mencegah matanya melihat hal-hal yang mengundang syahwat sementara yang wanita selalu mendatangkan syahwat buat mereka. Aku tak bisa protes lagi akan hadits Nabi Muhammad yang mengatakan perempuan di surga lebih sedikit dibanding laki-laki. Karena perempuan yang selalu mendatangkan dosa kalau ia tak mampu menjaga dirinya.

Supir Mikrobus terlihat gelisah. Ia menatap kaca spionnya dan melihat wanita itu duduk berhadapan dengan pintu masuk sehingga siapapun di sepanjang jalan seperti melihat parade pornografi. Tapi ia akhirnya menjalankan mobilnya.

Wanita itu duduk dengan pose yang menantang. Membuatku geram. Aku ingin menasihatinya tapi aku sendiri saja belum siap diajak berdebat akan hal yang dua jam lalu aku anggap sah-sah saja.

“Maaf mbak...” ujar Bapak tua yang terpaksa duduk disamping wanita itu. Rupanya bapak itu memberanikan diri untuk menegur wanita itu, “Sebaiknya mbak lain kali jangan memakai pakaian seperti ini. Kami merasa terganggu dengan pakaian yang mbak kenakan.”

Wanita itu melihat Bapak tua dengan wajah kesal, “Apa urusan Bapak? Saya mau memakai apa kek, ya terserah saya dong! Hak Bapak apa mengatur-ngatur saya?”

“Maaf ni mbak ya!” Ibu dengan tujuh anak disampingku ikutan menyahut, “Mbak sama sekali tidak sopan memakai baju seperti itu di depan umum. Kalau mbak mau saya punya kain panjang. Mbak boleh menutupi aurat mbak dengan kain milik saya.”

“Saya sama sekali tidak butuh bu, makasih!” balas Wanita itu, “Saya merasa pakaian saya sopan-sopan saja kok!”

“Dosa mbak pakai pakaian seperti itu,” tambah Bapak tua, “Sama sekali tak pantas.”

“Tahu apa kalian soal dosa!?” hardik Wanita itu terlihat marah.

“Saya tahu mbak,” ujar pemuda di depanku. Ia ikut menasehati meski wajahnya masih menunduk, “Al-Qur’an yang menyebutnya. Ancaman yang pedih disediakan oleh Allah bagi hambanya yang membangkang perintah Allah untuk menutup aurat.”

“Neraka,” tambah Bapak tua.

Muka Wanita itu memerah. Ia terlihat marah. Ia lalu mengeluarkan handhpone-nya dari dalam tas sakunya, “Jika itu yang Bapak mau...”

Aku menatap wanita itu heran.

“Ini ponsel saya. Tolong pesankan saya tempat di neraka tuhan anda!” ujar wanita itu terang-terangan.

Mikrobus berguncang sesaat. Mungkin karena supir mikrobus yang tersentak kaget seperti juga kami yang ada di dalam mikrobus. Bapak tua hanya bisa beristighfar berkali-kali dan memilih diam tak menasihati wanita keras kepala itu lagi. Pemuda di depanku juga sama. Aku hanya bisa ikut-ikutan beristighfar. Ibu disampingku melakukan hal yang sama. Kami memilih diam tak menasihati wanita kurang ajar itu lagi.

Jam demi jam berlalu. Aku mulai merasa lelah. Kulihat semuanya juga sudah pada tertidur. Wanita itu juga terlihat tertidur dengan amat pulas. Aku pun tenggelam di dalam tidur yang nyenyak.

Aku terbangun begitu menyadari kita sudah tiba di Alexandria. Semuanya juga sudah pada terbangun. Sudah saatnya turun tapi ada sedikit masalah. Tak ada yang mulai turun.

“Kenapa ini? Kenapa tidak langsung turun?” tanyaku.

“Itu dik, wanita yang tadi. Dari tadi tidak mau bangun,” jelas Ibu-ibu disampingku.

Aku melihat ke arah pintu keluar. Wanita itu terlihat tidur dengan pulas, “Kenapa tidak dibangunkan saja?”

“Sudah tadi sama ibu dik, tapi tetap tidak mau bangun. Anak ibu sudah mulai rewel nih,” ujar Ibu itu berusaha menenangkan anak-anaknya. Mereka rupanya kepanasan karena di dalam mikrobus yang tidak jalan udara menjadi panas.

Aku berinisiatif maju ke depan dan membangunkan wanita itu.

“Mbak? Mbak?” sahutku sambil menepuk pundak wanita itu. Tapi wanita itu terlihat tidak bangun juga. Aku mulai merasa ada yang aneh. Segera kupegang lengan wanita itu dan memeriksa denyut nadinya. Tidak ada! Denyut nadi wanita itu berhenti!

“Kenapa dik?” tanya Bapak tua.

Aku tak menjawab. Aku mulai merasa ketakutan. Kupegang leher untuk mengukur suhu tubuh wanita itu, dingin! Kuraba dadanya, tak ada detak jantung sama sekali! Aku mengarahkan telunjukku di bawah hidungnya namun aku tak merasakan adanya hembusan nafas!

Rupanya seisi mikrobus melihat gelagatku yang aneh dan menyadari sesuatu. Wanita yang tadi menantang Allah sudah meninggal!

“Astaghfirullah...” desis panjang seisi mikrobus termasuk aku yang terduduk lemas.

“Apa tak bisa tertolong lagi, dik?” tanya Ibu yang punya tujuh anak cemas.

Aku diam. Aku kuliah jurusan kedokteran dan aku tahu apakah wanita itu masih bisa tertolong atau tidak. Aku mencoba memeriksa pupil matanya, kemudian menggeleng lemah, “Dia sudah meninggal dari kurang lebih se-jam yang lalu.”

Semua isi mikrobus tertunduk. Kami diam didalam mikrobus untuk beristighfar beberapa kali. Sampai akhirnya dibantu dengan supir bus, aku menurunkan mayat wanita itu. Aku mulai gemetaran.

Sebuah akhir yang menakutkan. Mati dalam keadaan menantang Tuhan.
Seandainya tiap orang mengetahui akhir hidupnya....
Seandainya tiap orang menyadari hidupnya bisa berakhir setiap saat...
Seandainya tiap orang takut bertemu dengan Tuhannya dalam
keadaan yang buruk...

Seandainya tiap orang tahu bagaimana kemurkaan Allah...
Sungguh Allah masih menyayangi kita yang masih terus dibimbing-Nya.
Allah akan semakin mendekatkan orang-orang yang dekat denganNYA semakin dekat.

Dan mereka yang terlena seharusnya segera sadar...
mumpung kesempatan itu masih ada.

Based from: True story from Cairo, “Pesankan Saya Tempat di Neraka”

[Cerpen Keluarga] Julia


Oleh Afifah, oktober 2008

Tugas Liburan Bahasa Indonesia - Sinar matahari yang sejuk menyinari tubuh seorang gadis kecil ber-bet SD. Kaki mungil yang beralaskan sandal jepit itu berjalan melewati perkebunan,menyusuri sungai dan rawa untuk bisa sampai ke sekolah, dengan semangat barunya untuk mendapat ilmu.

Gadis kecil itu terkenal dengan anak yang cerdas, rajin dan selalu berprestasi, dia sangat disegani oleh para guru maupun temannya. Ia sering mewakili sekolah untuk mengikuti berbagai macam perlombaan.

Julia panggilan akrabnya, anak itu selalu hidup dengan sederhana, meski ayahnya adalah seorang dokter spesialis di sebuah rumah sakit ternama.ia memiliki 1 orang adik dan 1 orang kakak. Masa kecilnyapun dilewati dengan hari yang sangat bahagia,hingga suatu peristiwa yang mengubah semua jalan hidupnya.

Saat itu cuaca terlihat tidak begitu cerah seperti hari biasanya,tapi keceriaan di wajah si gadis tidak pernah sirna, ia berpamitan kepada kedua orangtuanya untuk kembali menuntut ilmu.Tetapi tidak seperti biasanya sang adik menangis karena ingin sekali mengikuti ayah dan ibunya pergi bekerja,dengan sabar si gadis membujuk adiknya itu agar tidak terus menangis.Setelah itu baru ia pergi sekolah.

Kedua orangtua itu menggunakan sepeda motor untuk sampai ke rumah sakit tempat mereka bekerja, muka mereka saat itu jauh lebih indah dan tenang.Selama diperjalanan, tidak seperti biasanya sepeda motor yang dikendarai bapak melaju dengan tersendat sendat (agak mogok).Sesampainya di rumah sakit Hasan Sadikin Bandung mereka menjalankan tugas lagi seperti biasa.

Hari mulai sore, Bapak dan Ibu Julia kembali ke rumah setelah sebelumnya membeli sedikit oleh-oleh untuk anak-anaknya.Di perjalanan sepeda motor yang dikendarai bapak melaju sangat cepat karena saat itu sedang gerimis, sampai di sebuah tikungan yang sedikit terjal tiba-tiba ada sebuah truk dengan kecepatan tinggi pula menghantam sepeda motor kedua orangtua Julia dan “BRAK!” sepeda motor itupun terpental sangat jauh,begitu juga dengan bapak dan ibu,kedua tubuh mereka bersimbah penuh darah.Tidak jauh dari tempat itu datang lagi motor yang hampir melindas kedua tubuh mereka.kejadian yang sangat miris. Penduduk yang melihat kejadian itu segera memberi pertolongan dan membawanya ke rumah sakit.

Di sekolah Julia merasa kurang sehat, akhirnya ia dibawa ke UKS dan tidak mengikuti pelajaran sampai jam istirahat.Perasaannya hari ini sangat aneh ia menjadi terus memikirkan orangtunya.

Diruang UGD bapak dan Ibu segera diberi alat bantu pernafasan. Mereka berdua belum kunjung siuman.Anak pertama mereka yang sedang kuliah segera mendatangi orangtuanya. Ia memandangi tubuh orangtuanya yang dibalut perban itu sudah tidak bisa lagi dilihat jelas wajahnya, sekujur tubuh mereka juga sangat lemas karena menurut hasil pemeriksaan dokter semua tulang yang ada dalam tubuh bapak dan ibu retak.

Sementara Julia dan adik kecilnya sedang menunggu kakak dan kedua orangtua mereka di depan jendela.Jam sudah menunjukkan pukul 18.00 dan hujanpun tak kunjung berhenti,disaat keduanya termenung terdengar bunyi telepon “kriing..” Juliapun bergegas meraih gagang teleponnya, Ia terdiam sebentar mendengar suara diseberang yang menangis tersedu.”Ini siapa?” tanya Julia pelan,”Ini kakak” jawabnya. “Ada apa kak? kenapa kakak menangis?mana Ibu dan Bapak?” Tanya Julia lagi. “Ibu dan Bapak masuk Rumah Sakit dek ,sabar ya doakan semoga cepat sembuh..kakak mungkin akan pulang besok pagi” kata sang kakak dengan suara yang parau. Julia hanya terdiam dan mengangguk lalu menutup kembali gagang teleponnya.

Kakak menunggu disamping tempat tidur kedua orangtuanya, tak lama sang ibupun siuman dan mengucapkan beberapa patah kata yang tidak jelas,setelah itu kembali tertidur dengan tenang,kakak masih terheran-heran dan akhirnya datanglah para dokter.

Tak lama setelah itu “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun” dengan bersimbah air mata kakak mengucapkan kalimat yang sangat memilukan dan “Bruk” ia tak sadarkan diri.

Julia dan adiknya sudah tertidur lelap,mereka tidak mengetahui bahwa pada saat itu kakak dan mayat orangtunya sudah sampai dirumah.

Keesokan paginya Julia masih belum mengerti dengan kejadian yang menimpa kedua orangtuanya, ia tak percaya bahwa kedunya telah kembali. Berkali-kali ia pingsan dan menangis serta menjerit-jerit memanggil ibu dan bapaknya. Adik terkecilnya pun terus berteriak ingin bertemu ibu bapaknya. Semua telah terjadi begitu cepat.dan semenjak kejadian itu Julia tak pergi ke sekolah selama berminggu-minggu.

Julia yang dulu ceria sekarang berubah menjadi Julia yang pemurung. Akan tetapi kakaknya tak berhenti untuk menyemangatinya menjadi Julia yang seperti dulu, sampai akhirnya Julia mau untuk berubah menjadi yang terbaik meski dia tidak sebahagia dulu.

Mereka tinggal bersama paman mereka,disana kehidupannya sangat jauh berbeda,lebih mewah.Tapi mereka selalu hidup sengsara tidak pernah bahagia.Selalu di siksa dan jarang diberi makan. Sampai akhirnya mereka semua kabur dan tinggal di rumah nenek dari bapak,disana kakak yang menanggung semua nafkah adiknya juga neneknya yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

Hari demi hari mereka lalui dengan kesabaran,Julia mendapat beasiswa masuk ke SMP favorit, sementara adiknya duduk di kelas 1 SD. Tapi tak lama kesedihan itu datang kembali, nenek merekapun meninggal. Mereka mulai kebingungan mencari tempat tinggal, dan akhirnya mereka tinggal dirumah bibinya.

Kini Julia telah beranjak remaja, tetapi kesedihan itu selalu terjadi lagi, kakak tercintanya yang selama ini membimbing dan memberi nafkah telah berpulang menyusul kedua orangtuanya,itu semua seperti peristiwa kematian beruntun. Akan tetapi Julia tidak menyesali kehidupannya, ia dan adiknya terus bertahan sampai mereka berdua sukses.

Kini Julia dan adiknya menempuh perjalanan hidup baru. Setiap harinya mereka berjualan untuk mencari uang. Biasanya mereka berangkat dari rumah di waktu shubuh. Dan pagi harinya baru menuju sekolah. Tapi semangat belajar Julia selalu meningkat. Ia tidak pernah mengeluh. Hingga Julia bisa menempuh pendidikan SMAnya dengan beasiswa lagi.

Di saat usianya yang ke-17 terjadi pertentangan diantara keluarganya. Persoalan tentang pembagian harta warisan. Karena harta peninggalan kedua orang tuanya sangat banyak. Semua saudara-saudara dan kerabat Julia selalu ingin menerima harta warisan lebih banyak. Bagi Julia dan adiknya masalah seperti itu tidak terlalu diambil pusing. Mereka tidak perlu harta yang banyak dan dengan kondisi mereka yang sederhana sekarang mereka sudah senang.

Pertentangan mereka ini berakhir di kursi pengadilan. Semua keluarga besar orang tua Julia berkumpul. Di pengadilan hakim pun memutuskan pembagian harta warisan tersebut. Akan tetapi setelah permasalahan itu selesai, keluarga dari ayah Julia masih tidak menerima. Mereka masih egois dan mereka ingin bisa menguasai harta lebih banyak. Akhirnya, secara diam-diam mereka mengambil harta warisan milik Julia berupa tanah yang berada di daerah Bandung. Julia pun belum mengetahuinya. Karena tanah tersebut sudah dibangun rumah mewah oleh keluarga dari ayah Julia. Mereka memang licik dan sampai saat ini rumah mewah itu masih ada. Tidak ada satu orang pun yang mengetahuinya.

J J J

Pagi yang cerah mengiringi langkah Julia untuk pergi kembali ke sekolah. Hari ini adalah pengumuman kelulusan hasil UN dan kenaikan kelas. Julia melihat papan pengumuman. Ia mencari-cari namanya. “Alhamdulillah”, ucapnya dalam hati. Julia lulus dengan nilai NEM yang tinggi. Tiba-tiba… “PUK!”. Ada tangan sesorang yang menyentuh pundaknya. Julia menoleh.

“Hey, selamat ya… kamu mendapat nilai NEM tertinggi”, katanya.

“Iya, sama-sama… kamu lulus juga kan?”tanya Julia.

“Iya. Kamu mau lanjutin kuliah dimana?”

“Kurang tahu. Bibiku belum ada uang untuk membiayai kuliah” jawab Julia dengan nada datar.

“Lho… memang kamu tidak tahu tentang test beasiswa kuliah?”

“Memang ada?”

“Ada. Test tersebut ditujukan untuk orang yang kurang mampu. Nanti akn diberikan beasiswa sampai kuliah selesai. Kamu mendaftarkan diri saja kesana”

“Oh, iya ya… terimakasih. Saya akan coba”

“Baiklah. Selamat berjuang, sahabatku…” kata Thya sambil menggandeng sahabatnya menuju kelas.

J J J

Hari ini Julia sudah tidak lagi memakai seragam abu-abu putih. Ia kini sudah menjadi orang lebih dewasa. Bulan kemarin ia baru saja dinyatakan diterima di Universitas Indonesia dengan beasiswa hingga lulus kuliah. Sementara sahabatnya, Thya melanjutkan di universitas Negeri Jakarta.

Kemudian ketika di UI…

Julia dan teman-temannya mengadakan rapat ROHIS. Saat itu ROHIS akan mengadakan acara siraman rohani bagi seluruh mahasiswa/i UI. Dan Julia sangat aktif dalam organisasi ini. Ia sangat nyaman jika berada dalam kelompok ROHIS ini. Selesai rapat, ada seniornya yang mengajak Julia hadir dalam acara talkshow “Jilbabku”. Julia sangat senang bisa dindang dalam acara ini. Ia mendapat pencerahan baru. Mendapat semua pengertian lebih masalah agama.

Keesokan harinya, Julia berpenampilan sangat menarik dan indah. Semua matapun tertuju pada Julia yang sangat manis dengan jilbab barunya juga gamis yang terlihat begitu anggun. Ia menebarkan senyum pada semua akhwat. Dan seniornya sangat shock melihat penampilan Julia saat ini. Ia langsung mengacungkan jempol dan memeluk Julia erat. “Alhamdulillah, ukhti mau berubah” ucap seniornya senang.

“Iya. Ini ana lakukan untuk Allah… ikhlas… Alhamdulillah ana merasa lebih nyaman. Do’akan ana supaya bisa tetap istiqomah”

“Iya, ukhti”

J J J

Sesampainya di rumah…

“Julia…!” panggil bibinya sedikit berteriak.

“Iya, bi. Ada apa?”

“Kenapa kamu sekarang memakai ini!?” tanya bibi sambil menunjukkan jilbab dan gamis Julia.

“Saya ingin berubah, bi. Untuk menjadi muslimah sejati” ucap Julia lembut.

“Alaah… nanti gak laku kamu kalau badan dan kepalamu ditutup-tutup!” kata bibi dengan nada agak tinggi.

“Ya… jodohkan di tangan Allah, bi…”

“Alasan saja! Awas kamu jangan nyesal kalau kamu tidak dapat…!!” kata bibi yang lalu berjalan melalui Julia yang mulai menangis.

Beberapa hari kemudian, Julia menemui seniornya dan ia menceritakan semua perilaku bibi dan saudara-saudaranya yang sangat tidak mendukung penampilannya berjilbab sekarang. Seniornya yang sudah sangat berpengalaman itu lalu menasehati dan memberikan tips-tips agar selalukuat dan istiqomah. Julia pun mengikuti saran darinya. Dan ternyata ia kuat menerima semua caci maki saudaranya meski terkadang ia masih suka bersedih hati.

Burung-burung berterbangan menyambut indahnya pagi. Julia sedang bersiap menghadapi ujian semester. Jadwalnya semakin hari semakin padat. Terkadang ia sering pulang sampai larut malam. Biarpun waktu belajarnya jadi terkurangi, ia selalu bisa menghadapi ujian-ujian dan mendapat nilai yang lumayan.

Hingga tiba saat itu, Julia dewasa kini dijodohkan oleh murrobiyahnya. Julia yang sedang menunggu sang pangeran pun menerimanya. Ia pun bisa membuktikan pada bibi dan saudara-saudaranya bahwa ia masih bisa berprestasi dan mendapat segala kebahagiaan dengan berjilbab. Dan Julia menempuh hidup barunya dengan bahagia.

Tapi juga dari pengalaman pahit yang dilalui oleh Julia serta adiknya, mereka sadar bahwa sesungguhnya hidup takkan selamanya bahagia. Pasti selalu banyak lika-liku yang dihadapi. Life is Never Flat.

J J J

Kumpulan Tugas Liburan Bahasa Indonesia ditulis satu kelas 3 MTs

[Cerpen Keluarga] Salah



Salmalaila Shobariah, Oktober 2008

Tugas Liburan Bahasa Indonesia - Angin malam berlarian hingga masuk ke kamarku. Saat itu jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku belum tertidur karena harus membereskan barang-barang karena besok aku sudah harus tiba di pondok setelah dua hari di rumah. Lalu aku bangkit dari tempat duduk untuk menutup jendela. Sebelum itu, aku menoleh ke arah rumah almarhumah nenekku. Aku jadi kembali teringat saat nenekku itu meninggal.

Tok! tok! tok!

Aku tersentak kaget. Kusadari ada seseorang yang mengetuk pintu dan membuyarkan lamunanku yang tiba-tiba teringat nenek.

“Teteh, sudah tidur belum?” terdengar suara ibuku dari luar.

“Belum” jawabku.

“Cepat tidur! Besok kita berangkat jam satu siang!” ibu menjelaskan lagi tentang hal itu.

“Baiklah, aku akan segera tidur!” jawabku sambil menutup jendela.

“Mimpi indah ya, sayang. Dan jangan lupa berdo’a” kata ibu lalu berlalu dari balik pintu kamarku ini. Aku pun segera tidur.

* * *

Tidak terasa aku telah tiba di pondok. Perjalanan yang menghabiskan waktu kurang lebih enam jam tersebut kulalui dengan rasa capek. Setelah merapihkan barang-barangku, aku bersiap untuk tidur. Ternyata jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Aku tidak langsung tidur karena kembali teringat almarhumah nenek yang meninggal lima tahun yang lalu. Aku ingat sekali saat itu ayahku menangis . Aku sempat diajak untuk pergi ke rumah nenekku tapi aku lebih memilih film kartun mingguan daripada melayat nenekku sendiri.

Sekarang barulah kusadari kalau itu adalah kesalahan besar. Aku menangis atas kesalahanku itu. Andai aku dapat mengulang waktu, aku akan kembali ke masa tersebut dan aku akan menghindari kesalahanku. Aku ingin sekali meminta maaf pada nenek. Mungkin karena lelah menangis, aku tertidur.

* * *

“Nak, kemari!”

Aku menoleh mendengar panggilan itu. Kujumpai satu sosok bercahaya dan seulas senyum yang begitu mempesona. Itu nenekku. Aku menghampirinya dan mencium tangannya.

“Anak Shalihah…” hanya itu yang diucapkan nenek. Tanpa kusadari air mataku menetes membasahi pipiku. Ada satu kata yang ingin kuucapkan saat itu. Namun aku begitu sulit untuk mengucapkan kata-kata itu. Hingga akhirnya nenekku melambaikan tangan dan pergi meninggalkan aku yang masih menangis.

* * *

Aku terbangun. Kulihat sekeliling tapi tidak kutemukan sosok nenek. Lalu kusadari kalau tadi hanyalah mimpi.

Dua minggu kemudian…

Setelah pulang sekolah, tiba-tiba wali asramaku menghampiriku.

“Neng, ayo berkemas!”

Aku heran sekali lalu aku bertanya, “Untuk apa berkemas?”

“Kamu akan diantar pulang” jawabnya singkat. Aku masih bertanya dalam hati. Pulang? Untuk apa aku pulang?, batinku.

Tapi kemudian aku lalu berkemas setelah mengahadiri panggilan untukku pergi ke gerbang utama. Sesampainya di depan gerbang utama aku bertemu dengan salah seorang guruku. Aku langsung menghampirinya.

“Bu, mau kemana?” tanyaku.

“Ayo cepat naik bus yang itu!” tiba-tiba saja guruku itu menarik tanganku tanpa menjawab pertanyaanku tadi. Ternyata guruku itu yang akan mengantarku pulang.

Di dalam perjalanan, aku terus bertanya-tanya dalam hati. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang mereka sembunyikan dariku? Mengapa mereka telah membuatku bingung seperti ini?

Di saat aku tengah kebingungan begitu, guruku yang sedang menemani perjalananku malah asyik berbincang-bincang dengan penumpang lain. Aku sedikit mendengar pembicaraan itu.

“Oh…, ngomong-ngomong mbak mau kemana?” tanya seorang ibu pada guruku.

“Oh…, saya mau mengantar anak ini” jawab guruku sambil menunjukku yang duduk di sampingnya. Aku hanya berpura-pura memandang ke jendela. Dengan memasang mimik cemberut.

“Memangnya harus diantar?” tanya ibu itu setelah dia tadi memandangiku.

“Hmm… ada yang meninggal” jawab guruku sedikit berbisik ke teman bincangnya itu.

“Inalillahi…” tukas orang tersebut. “Pantas saja dia cemberut terus” Aku tersentak kaget. Aku dengar mereka bicara ada yang meninggal hingga aku diperintah untuk pulang. Tapi siapa? Pantas saja selama perizinan guruku tidak mengajakku bicara. Aku tidak berfikir lama. Karena rasa kantuk lebih cepat bersarang di mataku dan yang lebih kupentingkan aku ingin cepat tiba di rumah.

Beberapa jam kemudian aku tiba di rumahku. Setelah aku tahu siapa yang meninggal, aku menangi histeris. Bagaimana tidak? Saat beliau sakit parah di rumah sakit, aku tidak pernah menjenguknya. Sekarang ia meninggal dan aku tidak sempat melihat wajahnya untuk yang terakhir kalinya. 

Kumpulan Tugas Liburan Bahasa Indonesia ditulis satu kelas 3 MTs

[Cerpen Keluarga] Liburan Zahra dan Beni




Tugas Liburan Bahasa Indonesia - Hari itu, Zahra pulang lebih sore dari biasanya karena ia harus hadir di tempat lesnya. Sedang Beni sudah pulang sejak pukul 13:30 siang tadi. Karena Zahra merasa lelah, ia langsung menuju kamarnya yang nyaman. Ia sudah tidak sabar merebahkan tubuhnya dia atas kasur yang empuk dan lembut. Sambil merebahkan tubuhnya yang lemas itu, pkiran Zahra berputar karena mengingat semua aktifitas yang hari itu ia lakukan. Tersentak ia menyadari pengumuman yang diberi tahukan oleh ibu guru ketika di sekolah. Tanpa berfikir panjang, ia langsung bergerak untuk mengganti baju dan segera menemui Mamanya.

“Ma, aku punya satu pengumuman dari ibu guru” ucap Zahra.

“Apa itu?”

“Tadi ibu guru bilang bahwa kita akan mendapatkan liburan selama dua minggu.”

“Oh ya!? Dan apa yang ingin kamu lakukan selama liburan?”

“Nah, itu dia, ma. Menurut mama kegiatan apa yang asyik untuk dilakukan tanpa merasa bosan?”

Zahra dan mamanya terlibat dalam perbincangan itu hingga malam tiba saat mereka sedang makan malam…

“Pa, kegiatan apa yang menurut papa yang baik dilakukan anak-anak di hari libur nanti?” Tanya Mama kepada Papa.

“Bagaimana kalau hari pertama libur kita akan melakukan semua aktivitas secara bersama-sama. Mulai dari membereskan rumah sampai memasak makanan yang akan kita makan?”

“Wah, boleh juga tuh, Pa” seru Beni dan Zahra girang.

Malam itu mereka lalu merancang dengan matang jadwal yang akan mereka kerjakan di hari libur nanti. Dimulai dari hari pertama sampai hari-hari berikutnya. Kalau tidak menyusun jadwal seperti ini, pasti jadi susah teratur.

Hari-hari telah mereka lalui. Waktu yang tidak pernah berhenti berputar membuat tibanya hari pertama libur tersebut dan untuk 2 minggu ke depan terasa begitu cepat. Sampai mereka kembali masuk sekolah. Jadwal yang sudah mereka rencanakan jauh-jauh juga mulai dilaksanakan satu demi satu.

Matahari telah terbit. Tentunya dari arah timur. Inilah hari yang dinantikan oleh Zahra dan Beni sekeluarga. Mama dan Papa membangunkan Zahra dan Beni dari semenjak pagi. Mereka lalu bersama-sama membereskan rumah mulai dari setiap kamar tidur sampai kamar mandi, dapur, ruang keluarga, ruang tamu, juga halaman depan dan belakang. Setelah membereskan rumah, mereka berlanjut menuju dapur untuk memasak. Untuk bagian kali ini, Mamalah yang yang mengambil alih. Sedangkan Zahra dan Beni berencana membuat spaghetti spesial. Setelah makanan telah siap dan dihidangkan di meja makan, mereka menyantapnya bersama. Keceriaan yang terpancar dari Mama, Papa, Zahra, dan Beni begitu terlihat satu hari penuh. Mereka berkumpul bersama dan tibalah saatnya mereka beranjak tidur karena hari sudah malam.

Sebelum tidur, Zahra dan Beni melihat mading kecil mereka untuk melihat-lihat jadwal apakah yang sudah menanti di hari kedua untuk liburan mereka tahun ini. Karena terlalu lelah, merekapun begitu cepat terbawa ke lam mimpi. Esok harinya, Papa mengajak mereka satu keluarga untk mengunjungi tempat out bond yang sudah menjadi langganan mereka. Tapi hari itu mereka mulai dari siang hari. Meskipun panas terik matahari begitu menyengat, tapi mereka begitu menikmati semua wahana yang ada.

Akhirnya, malam pun tiba. Dan kini mereka menuju rumah.

“Pa, Ma, apa jadwal kita besok?” Tanya Beni kepada kedua orang tuanya.

“Untuk besok, kita bersantai saja dirumah. Iya kan, Pa, Ma?” tukas Zahra lebih dahulu. Setelah sampai di rumah, mereka berganti pakaian piama sebelum beranjak naik ke atas kasur karena baju yang mereka kenakan tadi sudah kotor dan bau keringat. Zahra dan Beni merasa sangat senang karena hadirnya Mama dan Papa di liburan kali ini sepenuhnya mereka sendiri.

Hari ketiga dan keempat, mereka hanya menghabiskan waktu di rumah. Beni terlihat asyik bermain PS. Kadang, Papa ikut bermain bersamanya. Sedangkan mama dan Zahra belajar menyulam. Hari berikutnya, Papa dan Mama mengajak Zahra dan Beni untuk menjenguk teman Papa dan Mama yang sedang jatuh sakit. Disana, mereka berbincang-bincang sedikit sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan ke Gramedia - toko buku untk membeli buku.

Semenjak kecil, Zahra dan Beni sudah ditanamkan untuk gemar membaca oleh Papa dan Mama. Akhirnya, lumayan banyak buku yang mereka beli. Hingga tiba pukul 17.00, mereka pulang kembali menuju rumah. Keesokan harinya, Papa hanya mengajak mereka berenang di rumah dan tidak lua Papa megajarkan cara berenang yang baik kepada mereka.

Hari berganti hari. Tidak tersa jatah libur sudah berkurang banyak dan tersisa tiga hari lagi. Tanpa diduga, Papa mengajak kami mereka untuk berkunjung ke salah satu panti asuhan yang tidak terlalu jauh dari rumah merka. Disana, Zahra dan Beni sangat merasa senang. Karena dengan begitu, mereka akhirnya mempunya banyak teman baru.

“Hai, perkenalkan aku Zahra. Dia Beni, adikku” ujar Zahra sambil menunjuk Beni di dekatnya.

“Hai juga, namaku Annisa.”

Persahabatan mulai terjalin diantara mereka. Zahra dan Annisa duduk di kursi belakang sambil bertukar fikiran. Tidak hanya itu, sesekali mereka tentang pengalaman diri masing-masing. Zahra terkagum-kagum ketika mendengar pengalaman Annisa karena ternyata Annisa sudah ditinggal lama oleh kedua oang tuanya. Sedangkan Annisa tegar menghadapinya. Ia lebih sering terlihat riang dan gembira. Selain itu, ia juga anaknya baik , rajin, dan pintar, sehingga semua anak di panti asuhan bangga kepadanya.

Satu hari penuh Zahra dan Beni bersama anak-anak panti yang saat ini sudah menjadi teman mereka. Setiap orang memiliki pengalaman berbeda-beda. Dan itulah yang Zahra dan Beni kagumkan dari mereka. Mereka begitu tegar biarpun tanpa kehadiran orang tua kandung di sisi mereka. Dan malam itu juga, mereka berpamitan untuk segera pulang. Hari berikutnya, Mama dan Papa meminta kepada Zahra dan Beni untuk menuliskan tentang semua pengalaman baru yang mereka peroleh di liburan tahun ini. Papa juga berpesan kepada mereka untuk belajar memahami atas apa yang mereka tuliskan. Karena besok sudah mulai masuk sekolah, seperti biasanya, Zahra dan Beni pun mempersiapkan diri mereka untuk menjalani aktivitas seperti biasanya.

Berakhirlah sudah liburan Zahra dan Beni bersama Mama dan Papa yang mereka sayangi.

Oktober, 2008 

Kumpulan Tugas Liburan Bahasa Indonesia ditulis satu kelas 3 MTs

[Cerpen Keluarga] Di Atas Pasir Pantai



Oleh Athifah Nur Shofa, Oktober 2008

Tugas Liburan Bahasa Indonesia - Bel berdentang. Menandakan jam terakhir sekolah di tanggal 12 September ini berakhir. Sudah semenjak tadi kutunggu saat-saat ini. Dimana esok paginya aku sudah bisa pulang ke kampung halamanku di Lampung.

Ngomong-ngomong, namaku Athifah Nur Shofa. Dan aku baru saja berulang tahun ke 14 beberapa bulan lalu. Aku duduk di bangku terakhir MTs Husnul Khotimah yang terletak di daerah tiga kota Cirebon. Sedangkan rumahku berbeda pulau dengan sekolah ini. Betapa jauhnya jarak ke sekolah bila aku membandingkan dengan anak-anak seusiaku yang kebanyakan sekolahnya tak begitu jauh dari tempat mereka tinggal.

Aku terlahir di keluarga sebagai anak ketiga dari lima bersaudara. Saudaraku hampir seluruhnya adalah perempuan, tapi ada satu orang yang laki-laki. Ya, memang benar kalau anggota keluargaku lumayan banyak jumlahnya.

Kami tinggal bersama. Sehingga aku tidak pernah merasa kesepian walaupun orang tuaku lumayan sibuk bekerja karena aku memiliki banyak saudara. Hubunganku dengan orang tuaku sangat dekat. Ada kalanya kami sangat saling menyayangi dan menghabiskan waktu lama untuk mengobrol akrab. Tapi sejurus dua jurus kemudian, aku ingat kalau mereka cukup sibuk untuk dimintai waktunya untuk hanya sekedar mengobrol. Ayahku bekerja sebagai pegawai negeri dan ibuku seorang wiraswasta.

Biarpun sibuk, mereka tetap menyisihkan waktu untuk kami semua. Misalnya ayah. Apalagi ketika aku dan kakakku pulang ke rumah karena pesantren kami sedang libur, ayah selalu mengajak kami pergi bersamanya. Senang pun menyelimuti relung hati kami. Ayah sering sekali bercanda gurau bersama kami dan mengucapkan kalimat-kalimat yang sifatnya humoris.

Ibuku? Sebenarnya tidak perlu ditanyakan lagi. Biarpun sebelumnya aku sempat berkata ia begitu sibuk dan lelah bekerja, tapi setiap malam ia selalu mengajari adik-adikku mengerjakan PR dari sekolah hingga kadang bisa sampai larut malam. Selayaknya seorang ibu, ia begitu menyayangi kami.

“Ayo belajar! Apa besok ada PR atau ulangan?” tanya Ibu setiap habis shalat isya. Kadang adik-adikku mulanya malas sekali dan sudah mau tidur. Tapi mereka bisa semangat lagi karena bujukan ibu di setiap malam.

Saudara-saudaraku? Dimulai dari kakak paling besar kini sedang melanjutkan kuliahnya di Akademi Kebidanan. Kakakku yang kedua sedang menginjak kelas satu madrasah aliyah di Husnul Khotimah. Adikku yang perempuan kelas lima sekolah dasar. Dan adikku yang terakhir, yang laki-laki satu-satunya itu baru menduduki bangku taman kanak-kanak. Kami ini keluarga sederhana. Tapi dari kesederhanaan itulah terpancar kebahagiaan. Tidak seperti orang-orang kaya yang lalu melupakan segenap keluarganya.

Hari Rabu, 8 Oktober 2008, aku diajak jalan-jalan oleh kedua orang tuaku. “Mau tidak kalau besok kita pergi ke Pantai Duta Wisata?” tanya Ayah kepada kami semua. Tentu saja kami sangat senang mendengarnya dan menerima usul ayah itu. Ketika itu, aku dan kakakku lalu membeli makanan ringan ke market dekat rumah untuk dibawa kesana. Di rumah, ibuku mempersiapkan barang-barang yang akan di bawa ke sana. Sedangkan ayahku mempersiapkan kondisi mobil. Pada hari itu kami sangat sibuk. Mungkin adikku saja yang tinggal menikmati enaknya. Tidak terasa, hari telah semakin sore. Langit petang pun mulai memerah di lautan awan.

Hari yang dimaksud tiba. Kami pun bangun lebih awal. Setelah shalat shubuh langsung mandi. Selesai mandi kami semua sarapan. Tentunya kami tidak ingin berlama-lama menuju Pantai Duta Wisata. Ketika siap, kami tinggal memasukkan barang-barang yang akan di bawa juga tidak lupa membawa tikar. Tepat pada pukul 07.30 WIB, mobil kami meluncur di jalanan. Kami semua lalu meninggalkan rumah dengan hati gembira.

Di awal perjalan, kami tidak lupa membaca doa terlebih dahulu memohon keselamatan. Setelah itu, kami mengobrol sambil tertawa-tawa di dalam mobil. Perjalanan ini sungguh asyik dan seru. Kami juga bercanda sambil memakan cemilan yang kami bawa. Karena ayah kurang hafal jalan menuju Pantai Duta Wisata, sesekali kami bertanya pada orang yang berlalu lalang di pinggir jalanan. Mobil kami sempat tersesat jauh dari arah tujuan. Tapi akhirnya kami kembali bertanya dan lalu menemukan jalan yang benar. Di perjalanan, kami sempat melewati kantor Gubernur Lampung. Dari balik jendela mobil, kami lihat kantor itu begitu luas dan bagus.

Tak terasa perjalanan yang seru dan diselingi canda tawa ini berhenti ketika melewati plang bertuliskan “Pantai Duta Wisata”.

Sebelum memasuki pantai, kami menunggu antrian tiket untuk syarat memasuki pantai. Satu orang membayar Rp 20.000,00 dan tiket mobil seharga Rp 35.000,00

DBUUMMM…….CESSS…..

DBUUUUUMMM……..CESSS…..

Suara deburan ombak menyambut kedatangan kami. Aku sudah tidak sabar untuk segera turun dari mobil. Sebelum kami turun, ayah mengajak kami untuk mengelilingi daerah sekitar pantai. Kami pun akhirnya berkeliling melihat-lihat pemandangan di sekitar pantai.

WAAAWW…. Ternyata daerah di sekeliling pantai juga sangat indah. Aku tidak mennyesal menerima tawaran ayah. Kusaksikan di sana terdapat danau yang begitu indah dan kami bisa menaiki sepeda-sepeda air di danau tersebut.

Setelah berkeliling, kami segera mencari tempat yang nyaman untuk beristirahat dan menikmati pemandangan.

WUUUUUUUUSSSSSSSSSSSSSS……………………………………

Udara segar langsung menerpa kami ketika turun dari mobil. Angin sepoi-sepoi begitu terasa dan menggerekan pohon kelapa di sekitar pantai.

“Enak ya, mba….kk……” celetuk adikku yang paling kecil. Aku membenarkan perkataan adikku itu. Dengan mantap kami segera menuju tempat peristirahatan sambil menikmati pemandangan pantai.

“Mbak, kita naik banana boats yuk…!” celetuk adikku lagi.

“Yuuk……….!” jawab kami.

Akhirnya kami pun menaiki banana boats yang dimaksud itu. Sungguh mengasyikkan apalagi ketika ombak menerpa banana boats kami. Kami menjerit. Lalu segera kami sadari, kami sudah terjatuh ke air.

WAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA……………………

BYUUUUUUUUUUURRRRRR………………..

Tidak terasa, hari mulai gelap. Kami pun terpaksa harus pulang. Liburan ini sungguh menyenangkan terutama bagi diriku yang jarang mengalaminya karena sekolahku yang begitu jauh.

Sesampainya di rumah, badan kami masih terasa sangat lelah. Tapi liburan telah usai sehingga aku harus menyiapkan pakaian dan barang-barang yang harus kubawa nanti ke pondok pesantren. Esok harinya adalah keberangkatanku menuju pondok tercinta.

LETS GO TO HUSNUL KHOTIMAH….

Kumpulan Tugas Liburan Bahasa Indonesia ditulis satu kelas 3 MTs

Friday, May 28, 2010

[Cerpen Keluarga] Keluarga Penuh Cerita



Tugas Liburan Bahasa Indonesia - Di pagi hari yang cerah mulai terdengar ayam berkokok dan bersahut-sahutan untuk mengawali aktifitas hari ini dan matahari mulai muncul menyinari rumahku . Pagi itu, seperti biasanya aku bangun pukul 05.25 WIB. Lalu aku cepat-cepat bangun dari atas tempat tidur untuk mengambil air wudhu an langsung shalat shubuh. Setelah itu, aku kembali tidur lagi. Tiba-tiba mamaku marah-marah.

“Aat, ayo cepat bangun dan lalu bantu mama masak di dapur” kata mama.

“Ah.., sebentar lagi, ma. Masih ngantuk” jawabku yang menggeliat di atas kasur.

Sementara mama memasak nasi goring dan tempe di dapur sendirian, aku hanya keenakan tertidur tidak membantunya. Bertambah lagi deh dosaku pada orang tua. Kudengar mama berteriak dari arah dapur. Sepertinya ia benar-benar butuh bantuan sekalian membangunkanku. “Aat…, cepat bangun dan bantuin mama masak!!”

Aku masih sedikit malas, tapi kupaksa diriku untuk bangun. “Iya.. iya, ma. Ini mau bangun”. Aku lalu menghampiri mama di dapur. Ia lalu menyuruhku mencuci piring.

“Bantuin mama cuci piring!”

“Jangan nyuci piring dong… Nyapu saja, ya?”

“Ya sudah, sama ngepel juga tapi”

“Dimana sapunya, ma?” tanyaku.

“Itu di depan” kata mamah.

Lalu aku menyapu dan juga mengepel hingga ketika mama menyuruhku membeli Super Pell agar tetap bersih dan wangi. Selain itu mama juga menyuruhku membeli gorengan. Akhirnya kupenuhi permintaan mama itu. Hingga aku kembali pulang dengan membawa barang yang dimaksud mama.

“Ma, ini gorengannya disimpan dimana?” tanyaku menyodorkan kantung plastik ke hadapan mama.

“Di meja” jawabanya.

Sementara mama sedang menyiapkan makanan untuk sarapan pagi, mama memanggilku untuk sarapan dahulu. Dan setelah aku makan, aku memilih menonton televisi hingga siang hari.

Tiba-tiba, bibi datang bersama anaknya yang bernama Muhammad Rizki Fadilah dan bibi mengetuk pintu.

“Assalamu’alaikum” kata bibi dari balik pintu.

Mama lalu bangkit dan membuka pintu. “Walaikum’salam” jawab mama. Ketika pintu dibuka, ia melihat bibi yang membawa anak laki-lakinya yang masih lucu tersebut.

“Eh, Rizki…” kata mama sambil mencubit pipinya yang menggemaskan.

“Teh Aat….!!! Bangun jangan tidur terus!” . Aku tersentak dan terbangun mendengar suara teriakan menyebut namaku. Ternyata itu adalah Rifki yang berteriak. Aku mengenali suaranya yang masih sangat anak kecil. Ya, dia sekarang baru saja empat tahun usianya.

“Apa Rizki manggil-manggil teteh?” tanyaku.

“Iya. Jangan tidur terus!” katanya.

“Bi, bibi ingin menginap disini?” tanyaku pada bibi.

“Iya… mau nitip Rizki. Soalnya neneknya Rizki sakit dan dibawa ke rumah sakit Cigugur”

“Terus bibi mau menemani nenek di rumah sakit?” tanyaku.

“Iya” jawabnya.

Kemudian bibi pulang ke rumahnya atau mungkin sekalian ke rumah sakit.

“Aat, bibi pulang dulu. Nitip Rizki, ya”

Lalu kulihat bibi pergi dan meninggalkan anaknya bersama kami. Namanya juga masih kecil, Rizki menangis ingin ikut bersama ibunya itu. Kami sedikit kewalahan karena harus bagaimana lagi? Hingga lelah, Rizki barulah berhenti. Bahkan tertidur lelap.

Beberapa hari kemudian, aku terpikir untuk menengok neneknya Rizki yang sedang sakit tipes. Tapi tidak mungkin sendirian hingga akhirnya aku mengajak mama untuk menengok nenek sama-sama. Sebelumnya, kami sempat sms pada bibi untuk mengetahui kabar nenek sekarang ini.

“Bi, neneknya sudah sembuh belum?” kataku dalam sms.

“Alhamdulillah, agak mendingan. Neneknya Rizki sudah pulang ke rumah” jawab bibi dalam sms.

Ketika memabaca sms tersebut, aku langsung memberi tahu mama.

“Ma, neneknya sudah ada di rumah” kataku.

“Ya sudah, sekarang saja kesana sekalian mengantar Rizki pulang” ujar mama.

“Ma, Aat mandi dulu, ya?’

Setelah semua urusan di rumah selesai aku, mama, dan Rizki pergi ke Sukamukti untuk menengok neneknya Rizki. Sesampainya kami disana, kulihat neneknya Rizki masih terbaring lemas di atas tempat tidur. Kemudian setelah itu,

mama mengucapkan agar neneknya Rizki semoga lekas sembuh. Dan mama lalu pamitan untuk pulang ke rumah. Tetapi aku belum mau pulang karena masih ingin bermain Teh Nia. Teh Nia itu keponakannya suami bibi. Lalu aku diajak olehnya bermain bersama teman-temannya Teh Nia. Lalu kami pun bermain ke sawah dan kami menangkap capung sama-sama hingga akhirnya adzan ashar berdendang di sudut cakrawala, kami lalu pulang ke rumah masing-masing.

Sesampainya di rumah, setelah shalat ashar, Teh Nia disuruh mengaji oleh ibunya dan kata bibi aku juga disuruh mengaji bersamanya.

“Ah, malu sama teman-teman Teh Nia” tukasku.

“Udah, coba dulu”

“Ayo, At! Kamu ikut ngaji sama teteh di TPA. Di TPA mah banyak jajanan lagian teman-temannya baik-baik lagi”

“Ya udah deh aku ikut ngaji”

Dan kami pun pergi mandi sebelum mengaji. Aku dan Teh Nia sempat rebutan mandi terlebih dahulu dan akhirnya Teh Nia mengalah. Baru setelah mandi kami lalu pergi mengaji di TPA.

“Teh, yuk kita ngaji!” ajakku.

“Yuk!” jawab Teh Nia.

“Teh, jauh tidak?” tanyaku ketika perjalanan.

“Tidak kok, bentar lagi juga sampai” jawabnya.

“Dimana sih TPAnya, teh?”

“Tuh, dekat musholla!”

“Oh… banyak teman-temannya, ya” ujarku.

Keudian aku Teh Nia lalu masuk ke dalam TPA tersebut. Dan sekarang masih belum masuk. Kemudian aku dan teman-temannya Teh Nia pergi ke warung untuk jajan. Tiba-tiba terdengar bel berdentang pertanda telah masuk. Lalu semuanya masuk ke ruang mengajinya masing-masing. Dan aku juga masuk bersama Teh Nia. Lalu teman-temannya Teh Nia pada melirik ke arahku lalu ke Teh Nia karena heran.

“Nia, dia siapa?” tanya mereka.

“Keponakan bibi aku” jawabnya.

“Namanya siapa?” tanya mereka lagi.

“Namanya Aat”

Sang guru pun datang.

“Assalamu’alaikum” ia memulai salam terlebih dahulu.

“Walaikum’salam Warrahmatullahi wabarokatuh” jawab kami.

Gurunya lalu merasa heran melihat keberadaanku di kelas ini.

“Ini siapa?” tanyanya.

“Keponakan Nia, namanya Aat” ujar Teh Nia.

Gurunya mangut-mangut sambil tersenyum ke arahku sebentar. Setelah itu kami belajar kembali dan kami mempelajari Tajwid mengaji Al-Qur’an. Hingga tiba pukul lima sore Waktu Indonesia Barat (WIB) kami lalu pulang. Syukurlah, aku dan Teh Nia pulang tepat waktu.

Sesampainya di rumah, aku dan Teh Nia makan setelah itu menonton televisi. Setelah shalat Maghrib, aku dan Teh Nia mengaji malam di TPA tersebut. Di sana kami membaca surat Yasin lalu kami pulang setelah shalat isya. Lalu aku dan Teh Nia tidur. Hingga esok tiba, aku kembali pulang ke rumah.


Aat Nursih, 16 Oktober 2008 

Kumpulan Tugas Liburan Bahasa Indonesia ditulis satu kelas 3 MTs

[Cerpen Keluarga] Imigran Bingung



Tugas Liburan Bahasa Indonesia - Jam menunjukkan pukul dua belas siang, pada waktu itu aku sedang bersiap-siap untuk menuju ke Bandara Soekarno-Hatta. Dan memulai perjalananku yang pertama kalinya ke Brunei Darussalam sendirian.

“Fathan, siap-siap! Sebentar lagi kita berangkat!” kudengar suara eyang dari lantai bawah.

“Iya…” jawabku sambil memasukkan barang-barang ke kardus yang akan aku bawa ke sana.

Setelah segala urusannya selesai, kami lalu berangkat dengan mobil milik kakek. Mobil itu meluncur ke jalanan lumayan cepat karena buru-buru mengejar pesawat. Ketika dalam perjalanan, handphone milikku berdering pertanda ada yang sms masuk. Lalu kulihat isi sms tersebut, “Fathan, jangan lupa ketemu sama Nayo di bandara, ya. Bapak”.

“Insya Allah kalau ketemu, pak” jawabku dalam sms.

C:\Program Files\Microsoft Office\MEDIA\CAGCAT10\j0293234.wmf
Beberapa jam kemudian, aku sampai di bandara Soekarno-Hatta. Kurasakan jantungku berdebar dan lututku bergetar karena inilah pengalaman pertamaku berangkat ke Brunei Darussalam sendirian. Lalu aku masuk ke dalam dengan barang-barang yang dibawa oleh troli.

Kucari pamanku yang bekerja disana, karena tidak mungkin aku masuk ke dalam tanpa pamanku itu. Bisa-bisa nyasar deh. Ingin kukirim sms ke paman untuk tahu dia sedang berada di mana. Hingga kusadari handphone milikku ini tidak ada sinyalnya. Aku kebingungan. Eyang menyuruhku untuk keluar dengan harapan sinyalnya ada. Tetapi sayang sekali sinyalnya tetap tidak muncul.

Dengan paksaan luar biasa, aku masuk. Tiba-tiba ada seorang wanita yang mendekati kami.

“Mau kemana?” tanyanya.

“Mau ke Brunei Darussalam, mbak”

“Oh…, ke Brunei Darussalam? Suami saya sudah masuk dari tadi. Pesawatnya sebentar lagi mau berangkat”

DEG! Aku kaget.

“Ya sudah, boleh pinjam handphonenya tidak?”

“Silahkan. Pakai saja!”

Ia mengulurkan handphone miliknya kepadaku. Akhirnya aku mengirimkan sms untuk pamanku itu. Tetapi eyang menyuruhku untuk berusaha masuk sendirian. Dengan bujukan mereka, akhirnya aku mau dengan syarat: aku harus ditemenin!

Akhirnya dengan segala bujuk rayuku, kakekku luluh. Ia mau menemaniku untuk berbicara kepada penjaga pintu masuk tempat administrasi.

“Begini pak. Cucu saya ini baru pertama kali naik pesawat sendirian. Dia belum mengerti seluk-beluk pengurusan viskal, pajak pesawat, dan segala macamnya. Kalau bisa saya ingin menemaninya mengurus administrasi,” ujar Kakekku menjelaskan pada sang penjaga pintu.

Dengan lagak sombong petugas itu menjawab, “Maaf, pak. Bapak hanya bisa sampai disini. Kalau urusan administrasi nanti juga ada yang menemani.”

A..ah, petugas ini mau membuatku pingsan di tempat rupanya! Aku memandang kakek dengan wajah sedih. Tapi tampang kakek seolah mengatakan: Yah.. terus gimana lagi?

Mau tidak mau aku menurut. Dengan langkah berat aku melangkah masuk,setelah aku menunjukkan pasporku kepada penjaga pintu yang nyebelin itu. Ya Allah… bimbinglah hamba!

Setelah melewati pemeriksaan keamanan, aku tiba didalam dengan hati gelisah. Bingung! Bagaimana ini? Habis ini kemana lagi? Oh ya, pajak viskal! Ha… tapi dimana? Aku langsung mondar- mandir tak keruan.

“Mba…”

Aku tersentak. Nah lho! Siapa tuh?

Seorang pria dengan sapu di tangannya memanggilku. Sedetik yang lalu aku mengira dia Kakek Sihir, “Mba nyari tempat pengurusan pajak viskal ya?”

Aku mengangguk dengan semangat. Terima kasih Kakek Sihir! Eh… Tuan Pembersih Bandara yang baik hati!

Dia menunjuk suatu tempat dengan sapunya. Aku pergi tempat itu setelah mengucapkan seribu terima kasihku yang kusingkat jadi satu, “Makasih…!”

“Pak! Mau pajak viskal dong!” ujarku dengan percaya diri.

Penjaga administrasi itu melihatku yang seolah mau ngajak berantem. Pandangannya matanya mengarah ke troliku yang penuh dengan barang-barang, “Udah check in belum?”

“Belum…” jawabku dengan polosnya.

Dia mengangkat alisnya tampak kaget, “Ya ampun! Udah sana check in dulu! Kau bisa ketinggalan pesawat. Gak dapat kursi lho!”

Aku melongo dulu sebentar.

“Sana cepat!”

“Eh… iya..iya! Check in dulu kan? Eh…kemana? Kesana kan!?” aku menunjuk-nunjuk sambil panik.

Petugas laki-laki itu mengusap wajahnya kesal, “Ya! Cari aja yang keberangkatan Brunei Darussalam!”

Aku nyengir sebentar. Kayaknya dia baru pertama kali deh menemukan orang yang entah polos entah memang bodoh kayak aku.

Di tempat check in ada dua tempat. Satu dijaga wanita, satunya lagi dijaga pria. Berhubung prianya ganteng,dan aku bisa grogi kalau bicara sama pria-pria ganteng, aku memilih petugas yang wanita.

Di tempat check in aku disodorkan kertas formulir keimigrasian. Aku menulisnya dengan buru-buru dan hati yang gelisah akan ketinggalan pesawat. Kutulis dengan huruf kecil semua, meski jelas tertera ‘Tulislah dengan huruf kapital yang jelas!’ Maklum buru-buru.

Setelah kuselesaikan urusan keimigrasian aku membayar pajak bandara sejumlah seratus ribu rupiah. Lalu aku mendapatkan tiket masuk pesawat dan nomor tempat duduk.

Ketika ku menoleh kebelakang, rupanya Paman sejak dari tadi berdiri di belakangku. Setelah tadi melihat ‘Kakek Sihir’ kini aku melihat ‘Malaikat.’

“Paman! Kenapa Paman gak bilang-bilang kalau dari tadi ada di belakang Fathan? Fathan kan dari tadi ketakutan...” gerutuku.

“Kenapa mesti takut? Udah kan check in-nya? Yuk! Sekarang tinggal ke bebas viskal kan?” ajak Paman tak menggubris gerutuanku.

Aku bingung. Bebas viskal? Bukannya harusnya aku pajak viskal? Aku kan sudah lebih dari enam puluh satu hari. Yah... capek-capek mikir! Sudahlah aku nurut aja. Udah ada Paman ini.

Di tempat bebas viskal aku mengisi formulir yang sudah sejak tadi disediakan. Setelah selesai aku menyodorkan kertasnya ke petugas. Tak lebih dari satu menit aku menunggu...

“Bu Fathaniah! Bu Fathaniah!” petugas dengan logat medok kental memanggil namaku dengan tambahan ‘Bu’. Pakai pengeras suara lagi. Semua melihat ke arahku. Mukaku memerah kayak kepiting rebus. Aku setua itukah? Hiks! Hiks!

“Ya ada apa?” Pamanku langsung menanggapi.

“Gini lho! Bu Fathaniah itu udah lebih dari enam puluh satu hari. Mestinya ke sana. Ke tempat pajak viskal.” Jelasnya dengan mulut masih menempel dengan pengeras suara. Semua melihatku seolah-olah aku orang desa tak punya duit yang tidak ingin bayar pajak. Aku ingin melepas wajahku sementara untuk disimpan di dalam tas. Aku malu berat!

Pamanku memandangku seolah ada yang salah, “Gak apa-apa kan Fathan, harus pajak viskal?”

Aku menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah tanpa dosa, “Gak apa-apa kok!”

“Kenapa Fathan gak bilang dari tadi kalau udah lebih dari enam puluh satu hari!” ujar Pamanku yang hampir habis kesabarannya. Ia juga pasti malu.

“Lho... kan Paman yang bilang kita tinggal bebas viskal. Fathan mah nurutin Paman aja!” jawabku membela diri.

Paman seperti kehabisan kata-kata meladeniku.

Setelah segala urusan administrasi yang panjang selesai, sampailah aku di antrian masuk ruang tunggu.

“Udah ya... Paman sampai disini aja nganterinnya. Salam buat ibu dan bapak di Brunei,” ujar pamanku pamit.

“Iya makasih paman...”balasku.

Setelah antrian selesai, aku pun masuk ke ruang tunggu dan mendapati ruang tunggu sudah sepi. Perasaanku langsung tak enak. Aku berlari ke arah pramugari yang menunggu di pintu pesawat. Aku menunjukkan tiket masukku beserta nomor bangkuku.

“Sini saya antar,” ujar pramugari itu dengan ramahnya.

Aku dan pramugari itu masuk ke dalam pesawat. Di dalam pesawat aku diberi tahu tempat dudukku oleh paramugari. Bangku nomor 34 C.

Aku duduk seperti patung. Meski segala fasilitas ada didepan mata, kayak Televisi, Pemutar lagu, dan segala macam aku tetap tak berkutik. Aku gelisah. Dudukku gak tenang. Ini pertama kalinya aku naik pesawat sendirian. Saat-saat itu aku baru teringat sesuatu. Aku lupa bawa pulpen! Duuh... mana nanti harus ngisi formulir lagi di dalam pesawat. Ya Allah... bagaimana ini? Masa mau minta turun?

Pesawat pun lepas landas. Setelah beberapa lama, pramugari datang ke bangkuku. Ia memberi tissu basah kedua tanganku yang kotor karena debu. Pramugari itu menawarkan makanan kepadaku.

“Mau makan apa? Kami memiliki dua jenis makanan disini. Mau nasi goreng dan Ayam atau Mi dan Rendang?” tawarnya dalam bahasa Inggris.

Aku memilih Nasi Goreng dan Ayam. Bapak setengah baya disebelahku juga memilih menu yang sama. Namun pramugari itu lalu berbisik-bisik dengan seorang pramugari lainnya. Ia kembali ke bangku kami.

“Maaf, sepertinya nasi goreng dan ayam sudah habis. Kami menyarankan Mi dan Rendang saja, bagaimana?”

Oh...ayolah! Aku dan Bapak disebelahku hanya mengangguk-angguk. Yah... sudahlah tak apa.

Tak lama aku menunggu, troli makanan itu sampai di bangku kami. Aku menerima makanan itu yang tampaknya terlihat lezat. Setelah aku menelan satu sendok, aku langsung berubah pikiran. Mi itu tak ada rasanya! Aku mencoba menghibur diri dengan makan rendang. Hah! Rasa bumbunya hambar! Aku menoleh ke Bapak disampingku. Ia tampak hanya menghabiskan rendangnya. Mi-nya masih tersisa utuh! Duuh... mubazir. Udahlah makan dengan ikhlas, siapa tau jadi enak.

Usai makan mejaku belum ditutup. Pramugariku memberiku selembar formulir kesehatan. Aku lagi-lagi bingung. Kok hanya formulir ini? Bukankah dulu aku juga dikasih formulir imigrasi? A..ah! mungkin tak penting formulir tersebut. Aku pun mencoba memberanikan diri meminjam pulpen ke Bapak disampingku. Tentu saja setelah bapak itu usai menggunakannya.

“Pak..pak...” panggilku, “Boleh minjam pulpennya gak?”

Bapak itu tampak mengacuhkanku.

“Pak... Hallooo...!” panggilku lebih keras.

“Oh... iya-iya! Pulpen? Silakan! Silakan!” ujar Bapak itu menurunkan headsetnya. Oh, karena itu rupanya...

Aku menerima pulpen itu dengan senyum. Seusai menulis formulir, aku mengembalikan pulpen itu ke Bapak sebelah bangkuku.

Satu jam kemudian Bapak itu mulai mengajakku mengobrol. Ia menegurku, “Mba, mau kerja ya?”

Hah! Kerja? Maksudnya apa tuh? Jadi TKW gitu!?

“Gak kok! Masih SMP! Bener! Ke Brunei cuma buat liburan doang...” sanggahku.

Bapak itu terdiam sesaat. Ia tampak tak percaya, “Oh...ya-ya..”

Kami pun terhanyut dalam obrolan yang panjang. Tanpa terasa pesawat rupanya telah mendarat. Aku membuka sabuk pengamanku dan berdiri. Mataku berkeliling sebentar. Dan ketika itu aku melihat orang yang tampak tak asing lagi. Itu kan Nayo! Dia temannya kakakku.

Aku menatapnya terus. Sungguh kebetulan. Kenapa aku tak menyadarinya dari tadi ya? Padahal bangku Nayo jelas-jelas ada di seberang bangkuku.

Nayo rupanya menyadari kalau ada yang menatapnya terus-menerus. Ia melihat ke arahku, “Fathan?”

“Nayo?” sahutku. Aku senang karena aku takkan bingung lagi pas sampai ada di bandara. Ada temen! “Nanti kita turunnya bareng yuk!”

Dia cuma mengangguk-angguk setuju.

Setelah saat turun, aku kaget. Nayo sudah ada di depan duluan. Dasar! Aku kok malah ditinggalin!?

Dengan kesal aku menarik tasnya. Dia terkejut.

“Eh... Fathan,” ujarnya ringan, membuatku semakin sebal.

“Ih dasar! Tadi katanya mau nungguin!” makiku kesal.

“Oh... iya lupa,” sahutnya tanpa dosa, “Kok ga ketemu tadi?”

“Kan aku terlambat...” jelasku.

“Oh... ya udah,” sahutnya lagi.

Kami jalan setelah menyerahkan formulir kesehatan. Kita sampai di antrian imigrasi. Sesampainya disana aku melihat Bapak yang tadi duduk disampingku kembali ke belakang.

“Lupa formulir imigrasi,” jelasnya saat aku tanya.

Aku melongo dan menatap Nayo dengan wajah polos, “Emang perlu ya?”

Nayo menatapku heran, “Ya iyalah! Masa enggak sih!? Fathan belum ambil? Gih sana ke belakang ambil dulu!”

Aku buru-buru mau kebelakang namun teringat sesuatu. Aku balik ke Nayo.

“Nayo, pulpen dong!” pintaku.

Dia mendengus nafas sebal, namun mengeluarkan sebuah pulpen dari tasnya. Aku menerimanya dengan senang hati. Kemudian segera mengurus formulir imigrasi.

Setelah selesai aku pun ke ke tempat pengambilan barang untuk menjemput kardus dan tas yang sejak tadi menginap di bagasi pesawat.

Setibanya di pintu keluar. Seorang polisi wanita menghentikan langkahku.

“Eh kamu! Sini-sini!” panggilnya. Ia terlihat curiga dengan bawaanku yang banyak.

“Ih... ini tuh makanan sama baju! Gak ada macam-macamnya kok!” ujarku yang sudah menebak arah pikirannya.

“Iya tahu-tahu! Sudah, ini cutternya buka kardusnya sekarang!” balasnya dengan galak.

Aku cemberut. Tapi karena takut dikira teroris aku menuruti perkataannya. Kubuka kardus dan tas yang kubawa dari Indonesia yang sudah susah payah disolatip oleh Eyang.

Setelah itu aku keluar dan dijemput oleh Bunda dan Ayahku. Ini adalah pengalaman pertamaku naik pesawat. Rupanya aku memang pemberani juga, ya?

Kulihat Nayo sudah duluan di luar. Aku sudah ditinggal lagi sejak mengisi formulir imigrasi.

Fathaniah Zaimah, Oktober 2008 

Kumpulan Tugas Liburan Bahasa Indonesia ditulis satu kelas 3 MTs

Related Posts Plugin by ScratchTheWeb