Thursday, April 14, 2011

Warna-Warni Pendidikan di Indonesia


Guruku pernah berkata, “Ilmu pengetahuan bukanlah segalanya, tapi segalanya berasal dari ilmu pengetahuan.” Tanpa ilmu pengetahuan Sang Pencipta, alam tidak akan terbentuk. Begitu pula manusia, makhluk Tuhan yang sangat istimewa. Yang diberikan karunia berupa akal untuk mempelajari indahnya alam ini. Karena itu kita sebagai manusia memiliki kewajiban untuk menuntut ilmu, seperti terdapat dalam hadits, “Barang siapa berjalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.” (HR. Muslim)
Sebagaimana disebutkan dalam undang-undang No.20/2003 tentang sistem pendidikan Nasional, tercantum pengertian pendidikan: "pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, banga dan negara"
Dari pernyataan tersebut kita tahu bahwa pendidikan adalah faktor yang sangat penting dan diperlukan oleh masyarakat, bangsa, dan negara. Begitu pentingnya pendidikan, sudah menjadi rahasia umum bahwa maju atau tidaknya suatu negara diukur dari kualitas pendidikan di negara tersebut. Sayangnya, kondisi pendidikan di negara ini masih begitu menyedihkan, karena diwarnai oleh birokrasi, mahalnya biaya, dan kesalahan paradigma yang begitu mendasar.
Menurut Human Development Indeks (HDI) tahun 2004, kualitas pendidikan kita menduduki peringkat ke 111 dari 175 negara. Dan menurut majalah Asia Week, perkembangan sains kita bahkan belum mencapai 20 besar. Ini sangat menyedihkan. Tahu kenapa? Karena dulu Malaysia dan Singapura mengimpor guru-guru dari Indonesia. Dan kita tahu, kedua negara itu sekarang malah menjadi lebih maju daripada negara kita. Ada apa ini? Apa yang mewarnai merosotnya kualitas pendidikan di Indonesia? Mari kita bahas satu demi satu.
Pergi ke Sekolah? Buat Apa?
Sebagai seorang pelajar, saya sering bertanya pada diri sendiri, saudara, dan teman-teman, “Untuk apa kita sekolah?” Rata-rata menjawab, “Untuk mendapatkan pekerjaan.” Saya pun bertanya, Just that? Apakah kita lelah-lelah sekolah untuk sesuatu yang juga melelahkan?
Sayangnya, inilah yang marak terjadi di Indonesia. Sebuah faktor penting yang mempengaruhi buruknya wajah pendidikan kita. Paradigma yang sangat mendasar. Kita pun cenderung tertekan dengan adanya pemahaman, “No School No Jobs.” Padahal ada yang lebih penting daripada sekadar untuk mendapatkan pekerjaan.
Teringat ucapan Ken Soetanto di acara Kick Andy, seorang ilmuwan Indonesia yang berjaya di Jepang. Ketika SMP, beliau berjualan sepatu dan penghasilannya dipakai untuk sekolah. Ibunya berkata, “Orang-orang capek-capek sekolah biar mendapatkan pekerjaan, kamu malah capek-capek bekerja untuk sekolah.”
Inilah yang dikritisasi oleh Ken Soetanto, kebanyakan dari orang Indonesia berpikiran sempit. Mereka hanya berpikir bagaimana cara mendapatkan uang dan uang, bukan berpikir sebuah proses yang panjang namun akan membuahkan hasil.
Bagaimanapun kita bukanlah robot yang sanggup terus mendapatkan tekanan di kepala. Sekolah juga bukan sebuah panci bertekanan yang menuntut siswanya untuk sekolah mendapatkan nilai rapot memuaskan dan mendapat pekerjaan. Ada baiknya kita harus memahami arti dari sekolah. Sekolah adalah sekolah. Tempat mencari ilmu.
Tidak Ada Uang, Tidak Ada Pendidikan
Faktor dasar yang juga mengambil peran besar dalam mewarnai buruknya pendidikan di Nusantara adalah mahalnya biaya pendidikan. Bukan sekolah swasta saja yang terus menaikkan biaya pendidikan, tapi sekolah negeri juga. Hal ini tentu saja tidak seimbang dengan mayoritas masyarakat kita yang berada di bawah garis kemiskinan.
Bolehlah kita mencontek ke Jepang sebentar. Ingat? setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom oleh sekutu, yang ditanyakan pertama kali oleh pemimpin negara itu bukan berapa banyak kerugian infrastruktur, melainkan berapa banyak guru yang tersisa. Mereka menomorsatukan pendidikan, dan rela mengeluarkan biaya berapapun demi pendidikan. Inilah yang menjadi alasan mengapa ilmuwan-ilmuwan kita tidak mendedikasikan ilmunya di Indonesia. Karena di luar negeri termasuk Jepang mereka sangat dihargai dan dana untuk penelitian berlimpah ruah.
Sebenarnya pemerintah sudah menetapkan 20% APBN adalah untuk pendidikan. Tapi karena disalahgunakan, dana tersebut tidak sampai pada tujuan. Ini bisa juga dipengaruhi oleh birokrasi yang tidak merata dan tidak bersih. Buntut dari masalah ini adalah perlunya pendidikan karakter yang akan kita bahas sebentar lagi.
Ada Apa Dengan Sekolahku?
Masih banyak pelajar yang sekolah bukan untuk mencari ilmu. Sekolah dijadikan tempat nongkrong, tempat main, dan mencari pacar. Yang menyebabkan kondisi ini tentu saja adalah kurangnya pendidikan karakter, masuknya kebudayaan barat, dan sinetron-sinetron Indonesia yang senantiasa meracuni kita dengan selalu mempertontonkan sisi buruk sekolah. Seperti murid yang nakal, unsur hedonisme, kekerasan, rok pendek, pelajaran yang membosankan, guru perempuan yang seksi, dan guru laki-laki yang galak.
Belum lagi diwarnai dengan buruknya predikat guru kita saat ini. Mayoritas guru di Indonesia masih menerapkan sistem “Teacher Centre.” Pembelajaran berpusat pada guru. Guru cenderung memberi pengetahuan terus menerus tanpa peduli murid paham atau tidak. Banyak dari mereka yang berkata, “Yang penting tersampaikan. Jika nilai mereka jelek, itu karena mereka tidak bisa. Bukan salah kami.”
Bagaimanapun, murid adalah manusia. Bukan mesin yang siap menerima semua yang dikatakan oleh sang guru. Guru yang baik adalah guru yang telaten dan sabar dalam mengajar, yang rela berkorban sampai murid mengerti apa yang diajarkannya demi menghasilkan siswa-siswa yang berkualitas dalam pendidikan.
Buat Anak koq Coba-Coba?
Pendidikan di Indonesia cenderung terus dipolitisasi. Tahun kemarin, nilai UN dijadikan satu-satunya faktor kelulusan, tahun ini faktor kelulusan adalah nilai UN dan ebtanas. Terus berganti-ganti seiring dengan pergantian menteri. Bukan hanya itu saja, patokan nilai kelulusan pun berganti-ganti, mata pelajaran yang diujikan ikut berganti. Kalau begitu, menteri kita bereksperimen ria dengan anak-anaknya dong?
Di negara-negara maju, mereka sudah memikirkan sistem pendidikan secara serius dan matang. Kebijakannya pun tidak mudah berubah. Dunia pendidikan perlu ada perubahan ke arah yang lebih pasti dan lebih serius. Dan itu harus dimulai dari dasar, yaitu pendidikan karakter.
Pendidikan Umum atau Pendidikan Agama?
Apa tujuan dari dari pendidikan? Apakah hanya untuk penguasaan materi pelajaran saja tanpa nilai spiritual? Tentu saja tidak. Yang juga penting dalam sistem pendidikan adalah pendidikan keagamaan yang erat kaitannya dengan pendidikan karakter, sehingga mencetak pribadi yang berakhlak mulia. Mengutip dari pengertian pendidikan dalam Undang-Undang nomor 20/2003, “…sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, banga dan negara”
Juga diungkapkan Muhammad Nuh. “Pendidikan karakter sangat penting untuk bangsa. Sekarang kita lihat banyak penegak hukum yang justru dihukum, pelayan publik yang justru minta dilayani. Semuanya itu berujung pada karakter," ungkapnya, Minggu (2/5/2010) di Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), Jakarta.
Masalahnya, pendidikan keagamaan masih sangat kurang. Di sekolah umum, pelajaran agama hanya diberikan satu kali seminggu. Padahal seharusnya, ada perbaikan dengan menjadikan pendidikan agama sebagai landasan dalam seluruh proses pendidikan umum. Tanpa hal itu, sekolah tidak akan mencetak peserta didik dengan kepribadian yang mulia. Bullying, tawuran antar pelajar, pemerkosaan, mencontek, mencuri di sekolah, dan jual beli ijazah pun menjadi hal yang lumrah.
Sampai Kapan Akan Berlanjut?
Sampai ini akan terus terjadi? Tentu saja sampai ada pembenahan besar-besaran akan paradigma dan sistem pendidikan kita, sampai moral siswa sehari-hari juga menjadi factor kelulusan, dan sampai pendidikan karakter menjadi landasan pendidikan yang lain.
Karena pendidikan merupakan proses mencetak generasi penerus bangsa, marilah kita saling mendukung, berpartisipasi dalam kemajuan pendidikan bangsa. Dan tentu saja perlu ada keharmonisan tripusat pendidikan. Yaitu keharmonisan antara keluarga, masyarakat, dan lembaga pendidikan dalam mencetak generasi penerus langkah bangsa di masa mendatang.

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

Jangan jadi silent reader, giliranmu bercuap-cuap ria.

Related Posts Plugin by ScratchTheWeb