Saturday, April 30, 2011

Koleksi Gambarnya Maya


Kenapa ya? Yang namanya Sumayyah tuh gambarnya bagus-bagus. Ilustrator Majalah sekolah ane namanya Sumayah dan gambarnya baguuss banget. Tapi saiia juga punya teman satu MTs, namanya Sumayyah (y nya double) dan gambarnya bagus banget juga. Apa kawan pembaca santri menulis nih, jangan-jangan punya temen namanya Sumayyah dan gambarnya bagus juga. Haha, just kidding.

Nih, beberapa gambarnya Sumayyah.


Wednesday, April 27, 2011

Mengenal Maryam Qonita Part 1

Assalamu’alaikum... Jadi rada nganeh gini karena ingin memperkenalkan diri. Ehem! Tapi gak ada salahnya, kan? Seperti kata pepatah, tak kenal maka ta’aruf. Gak kenal maka kenalan. Hehe...

Well, namaku Maryam Qonita, tapi orang-orang manggilku Deta. Soalnya sejak kecil dipanggilnya De Qonita, De N’ta, lama-lama jadi Deta. Jadi sebenarnya siapa aja yang memanggilku Deta, secara tidak langsung manggil aku ade walaupun aku lebih tua. Tapi tidak apa-apa, aku tidak masalah dengan itu.

Sekarang aku lagi aktif menjadi seorang santri di Pondok Pesantren Husnul Khotimah, sebuah Pondok Pesantren modern di kaki gunung ciremai. Dan aku membuat blog ini soalnya emang sejak kecil senang sekali menggeluti dunia tulis menulis. Emang sih masih terbilang pemula, tapi aku tidak menunggu untuk menjadi professional baru membuat blog. Aku justru membuat blog ini sebagai jejak-jejak aku menuju penulis professional yang sejati nanti. Amiin...

Awal aku mulai menulis adalah saat kelas 3 SD. Waktu itu aku membuat cerita berbentuk komik yang mengisahkan tentang anak perempuan yang menderita. Tipikal cerita Cinderella judulnya Gadis Malang dan Tiga Peri Kecil. Waktu itu aku belum mempublikasikan cerita itu. Cerita pertama yang aku publikasikan judulnya Ngotak-Ngatik Teman. Alhamdulillah teman-teman aku banyak yang suka ceritanya, dan mulai saat itu aku jadi pede nulis cerita buat dipublikasikan.

Gejolak Dua Mimpi

Walau di tengah jalan aku banyak mempublikasikan karya buat teman-teman, tapi aku masih merasa kalau menjadi penulis bukanlah cita-cita. Paradigma yang tertanam bahwa cita-cita adalah sesuatu yang benar-benar aku kejar dengan sekuat tenaga. Tapi menulis... aku tidak merasakan banyak keluar energi untuk itu. Aku melakukannya untuk bermain dan bersenang-senang saja. Sehingga aku tidak merasakan perjuangan berat itu yang katanya jalan menuju sukses.

Saat kelas 3 MTs, di pelajaran TIK ada materi HTML dan (bukan maksud sombong) diantara semua teman sekelas, aku benar-benar cepat mengerti kode-kode itu. Dan aku sangat senang sekali mengotak-ngatik kodenya. Sehingga sebelum diberi materi selanjutnya, aku sudah melangkah lebih dahulu. Karena dicap sebagai yang paling jago TIK, aku jadi semakin percaya diri. Aku ingin lebih maju dan maju lagi. Aku pun membeli buku-buku tentang HTML dan PHP.

Waktu berjalan, aku sudah kelas 1 Aly. Rasanya aku ingin ikut Olimpiade Sains Nasional bidang Informatika. Akhirnya aku pun belajar Pemrogramman Pascal habis-habisan. Setiap hari menghabiskan berjam-jam di depan komputer dan mengambil semua tutorial dari internet. Pak Asep, ustaz Pascal yang mengajar study club TIK bahkan bisa memercayakan kepadaku setiap teman yang bertanya di kelas. Walhasil aku ibarat jadi guru kedua setelahnya.

Aku pun jadi percaya bahwa inilah bakat dan inilah cita-citaku. Tapi satu yang jelek yang akhirnya membuat aku berhenti belajar. Bahwa tidak memahami kalau jalan menuju sukses itu penuh kerikil. Ustaz Pascal keluar dari Pesantren karena menjadi PNS. Berbulan-bulan study club tidak jalan, sampai akhirnya digantikan oleh ustazah. Tapi tidak lama dia mengajar, dia juga keterima menjadi PNS. Bolak-balik aku mengadu ke Tata Usaha agar ada guru baru. Tapi di pesantren ini tidak ada lagi guru yang bisa pascal.

Aku pun menjadi penakut. Aku selalu resah memikirkan masa depan. Aku takut aku gak bisa masuk OSN. Sehingga belajar pun menjadi sesuatu yang menekan dan menyiksa. Rasanya seperti dikejar oleh waktu dan aku dituntut paham materinya. Tapi aku tidak punya seseorang untuk bertanya. Dan ketakutan itu membuatku terhambat. Persis seperti yang dialami oleh Raju Rastogi di film 3 Idiots.

Study Club TIK dihapus karena tidak ada guru pembimbing. Itu artinya sekolah tidak akan mengutus muridnya OSN. Belum lagi aku sudah terhambat, dan tidak belajar lagi berbulan-bulan karena rasa takut yang kekanak-kanakan. Mungkin sedih dan kecewa, tapi aku paham sesuatu bahwa seharusnya OSN bukanlah yang kukejar waktu itu. Harusnya aku mengejar proses belajarnya. Tetapi, masih panjang jalan di depan Insya Allah, dan aku ingin melaluinya dengan lebih memerhatikan langkahku saat ini agar tidak jatuh, agar hari dapat berlalu dengan baik tanpa resah pada masa depan.

Aku ingin merdeka dalam bekerja, makanya aku putuskan ingin menjadi penulis. Menulis berbeda dengan programming. Saat menulis rasanya seperti bermain di taman imajinasi yang begitu indah sehingga aku merasa tidak tertekan oleh apapun. Walaupun sampai saat ini aku ingin menjadi programmer, tapi aku akan menomorsatukan menulis karena dengan itu aku merasa bahagia. Bukankah bahagia merupakan kunci kesuksesan?

Mulai saat itulah, aku membuat blog ini dimana aku berharap bisa memberi manfaat sebanyak-banyaknya pada orang lain.

Tulisan Selanjutnya:
2012: Mengenal Maryam Qonita Part 2
2018: Mengenal Maryam Qonita Part 3

Wednesday, April 20, 2011

500 Daftar Kata Baku dan Tidak Baku





Daftar kata baku dan tidak baku ini saya susun berdasarkan artikel, buku, dan kamus besar bahasa Indonesia. Mengetahui banyaknya salah mengeja dalam bahasa Indonesia, agaknya memuat artikel daftar kata baku dan tidak baku ini sangat bermanfaat. Yuk, langsung simak apa aja kata-kata yang baku dan tidak baku tersebut. Insya Allah saya sudah mengecek ulang di Kamus Besar Bahasa Indonesia. Catatan: yang benar adalah kata yang pertama dituliskan. Selanjutnya diikuti dengan kata yang salah.

Huruf A
Abjad (bukan) Abjat

Acap kali (bukan) Acapkali
Adakalanya (bukan) Ada kalanya
Adang (bukan) Hadang

Adhesi (bukan) Adesi
Adiluhung (bukan) Adi luhung
Aerobik (bukan) Erobik
Afdal (bukan) Afdhol, Afdol
aktivitas (bukan) aktifitas

Akhirat    (bukan) Akherat
Aksesori (bukan) Asesoris
Akuarium (bukan) Aquarium

Akuatik (bukan) Aquatik
Aluminium (bukan) Almunium
Alquran (bukan) Al-Quran, Al-Qur’an
Ambulans (bukan) Ambulan, Ambulance

Amendemen (bukan) Amandemen
Amfibi (bukan) Amphibi, Ampibi

Amonia (bukan) Amoniak
Analisis (bukan) Analisa
Anda (bukan) anda
Andal (bukan) Handal
Andam (bukan) Handam

Antarinstansi (bukan) Antar-instansi
Antena (bukan) Antene
Antre (bukan) Antri
Anugerah (bukan) Anugrah
Anutan (bukan) Panutan
Apotek (bukan) Apotik

Artefak (bukan) Artifak
Asas (bukan) Azas
Asasi (bukan) Azasi

Astronout (bukan) Astronot
Asyik (bukan) Asik
Ateis (bukan) Atheis

Ateisme (bukan) Atheisme
Atlet (bukan) Atlit
Atmosfer (bukan) Atmosfir
Autentik (bukan) Otentik
Autobiografi (bukan) Otobiografi

Autopsi (bukan) Otopsi
Azan (bukan) Adzan

Huruf B
Balans (bukan) Balan

Balig (bukan) Baligh
Balsam (bukan) Balsem
Batalion (bukan) Batalyon
Baterai (bukan) Baterei / Batre 

Becermin (bukan) Bercermin
Belasungkawa (bukan) Bela sungkawa
Berandal (bukan) Brandal
Berangus (bukan) Brangus

Berantas (bukan) Brantas
Berengsek (bukan) Brengsek
Berkah (bukan) Barokah

Bertanggung jawab (bukan) Bertanggungjawab
Besok (bukan) Esok

Biosfer (bukan) Biosfir 
Blanko (bukan) Blangko
Boling (bukan) Bowling 
Bolpoin (bukan) Bolpen
Boraks (bukan) Borax
Bosan (bukan) Bosen
Brankas (bukan) Berankas
Bujet (bukan) Budget
Bumiputra (bukan) Bumi putra
Bus (bukan) Bis

Huruf C
Cabai (bukan) Cabe
Capai (bukan) Capek

Cecak (bukan) Cicak
Cedera (bukan) Cidera
Cendekia (bukan) Cendikia

Cendekiawan (bukan) Cendikiawan
Cendera mata (bukan) Cinderamata

Cengkerama (bukan) Cengkrama
Cengkih (bukan) Cengkeh

Cokelat (bukan) Coklat

Huruf D
Dahsyat (bukan) Dahsat/dasyat

Dahulu (bukan) Dulu
Daripada (bukan) Dari pada
Darmasiswa (bukan) Darma siswa
Darmawisata (bukan) Darma wisata
Dasbor (bukan) Dasbord
Debit (bukan) Debet

Debitur (bukan) Debitor
Definisi (bukan) Difinisi

Dekret (bukan) Dekrit
Depot (bukan) Depo
Desain (bukan) Disain
Detail (bukan) Detil

Detergen (bukan) Deterjen
Deviasi (bukan) Defiasi
Diagnosis (bukan) Diaganosa

Diesel (bukan) Disel
Diferensial (bukan) Differensial
Digit (bukan) Dijit
Diskotek (bukan) Diskotik
Dramatisasi (bukan) Dramatisir
Doa (bukan) Do’a
Dolar (bukan) Dollar

Doping (bukan) Dopping
Dukacita (bukan) Duka cita

Dupleks (bukan) Duplex
Durian (bukan) Duren

Huruf E
Efektif (bukan) Efektip

Efektivitas (bukan) Efektifitas
Eksem (bukan) Eksim

Eksklusif (bukan) Eksklusiv
Eksplisit (bukan) Explisit
Eksponen (bukan) Eksponent
Ekspor (bukan) Eksport
Ekspres (bukan) Expres
Ekstra (bukan) Extra
Ekstrakurikuler (bukan) Ekstrakulikuler
Ekstrem (bukan) Ekstrim

Ekstremis (bukan) Ekstrimis 
Ekstrover (bukan) Ekstrovert
Ekuivalen (bukan) Ekuifalen
Elektrode (bukan) Elektroda
Elips (bukan) Elip
Elite (bukan) Elit
Email (bukan) E-mail
Embus (bukan) Hembus
Empas (bukan) Hempas

Esai (bukan) Esei/Essay
Esens (bukan) Esense

Huruf F
Faksimile (bukan) Faksimili
Februari (bukan) Pebruari

Figur (bukan) Figure 
Film (bukan) Filem 
Fiologi (bukan) Phiologi
Fondasi (bukan) Pondasi
Formal (bukan) Formil
Fosfor (bukan) Pospor
Fondasi (bukan) Pondasi

Foto (bukan) Poto
Fotokopi (bukan) Photocopy

Fotomodel (bukan) Foto model 
Fotosintesis (bukan) Fotosintesa
Fraksinasi (bukan) Fraksinase
Frasa (bukan) Frase
Frekuensi (bukan) Frekwensi

Huruf G
Gaib (bukan) Ghaib/Ghoib

Gangster (bukan) Gengster
Ganjal (bukan) Ganjel
Gatal (bukan) Gatel
Geladi (bukan) Gladi
Gelora (bukan) Glora
Genius (bukan) Jenius
Genting (bukan) Genteng

Gereget (bukan) Greget
Glukosa (bukan) Glukose

Griya (bukan) Gria
Grup (bukan) Group
Gua (bukan) Goa
Gubuk (bukan) Gubug
Gudeg (bukan) Gudek

Huruf H
Hadis (bukan) Hadits
Hafal (bukan) Hapal
Hakikat (bukan) Hakekat
Halalbihalal (bukan) Halal bihalal

Hangus (bukan) Angus
Harfiah (bukan) Harafiah

Hektare (bukan) Hektar
Herpes (bukan) Herfes/Herves
Heterografi (bukan) Hetrografi
Hierarki (bukan) Hirarki
Hipotesis (bukan) Hipotesa

Histori (bukan) History

Huruf I
Ideologi (bukan) Idiologi

Ihram (bukan) Ikhram/Ihrom
Ijazah (bukan) Ijasah
Ikat (bukan) Iket
Ikhlas (bukan) Iklas/Ihlas
Imajinasi (bukan) Imaginasi
Imbau (bukan) Himbau
Impit (bukan) Himpit

Impor (bukan) Import
Indra (bukan) Indera

Indragiri (bukan) Inderagiri
Infus (bukan) Inpus
Ingin (bukan) Pengen
Insaf (bukan) Insyaf
Intelijen (bukan) Intelejen

Intens (bukan) Inten
Intermeso (bukan) Intermezzo
Introspeksi (bukan) Interopeksi
Isap (bukan) Hisap

Islamiah (bukan) Islamiyah
Isra (bukan) Isra' / Isro
Istigfar (bukan) Istighfar
Istri (bukan) Isteri

Huruf J
Jadwal (bukan) Jadual

Jasad (bukan) Jasat
Jemaah (bukan) Jama'ah
Jemawa (bukan) Jumawa

Jenazah (bukan) Jenasah
Jender (bukan) Gender
Jenderal (bukan) Jendral

Judo (bukan) Yudo
Jumat (bukan) Jum’at

Junior (bukan) Yunior
Justru (bukan) Justeru

Huruf K
Kabar (bukan) Khabar
Kacamata (bukan) Kaca mata
Kaidah (bukan) Kaedah

Kakbah (bukan) ka'bah
Kanguru (bukan) Kangguru
Kanker (bukan) Kangker
Karena (bukan) Karna
Karier (bukan) Karir
Karisma (bukan) Kharisma

Karnaval (bukan) Karnafal
Kasatmata (bukan) Kasat mata

Kasrah (bukan) Kasroh
Katalisis (bukan) Katalisa
Katapel (bukan) Ketapel
Kategori (bukan) Katagori

Katolik (bukan) Katholik
Kaus (bukan) Kaos

Kebun (bukan) Kebon
Kedaluwarsa (bukan) Kadaluarsa/Kadaluwarsa
Kedelai (bukan) Kedelei
Kelengkeng (bukan) Klengkeng
Kemarin (bukan) Kemaren
Kempis (bukan) Kempes
Kendaraan (bukan) Kenderaan

Kendur (bukan) Kendor
Kesatria (bukan) Ksatria

Khatam (bukan) Hatam/Khotam
Khawatir (bukan) Kuatir
Khotbah (bukan) Khutbah
Khuldi (bukan) Kuldi
Khusyuk (bukan) Khusuk
Kiai (bukan) Kiyai
Kilometer (bukan) Kilo meter

Klien (bukan) Client
Kliping (bukan) Keliping
Kloter (bukan) Keloter
Koboi (bukan) Koboy
Komersial (bukan) Komersil
Komoditas (bukan) Komoditi

Kompleks (bukan) Komplek
Komplet (bukan) Komplit
Konferensi (bukan) Konperensi

Konfirmasi (bukan) Komfirmasi
Kongres (bukan) Konggres
Konkret (bukan) Kongkrit
Konstanta (bukan) Konstan

Konsumtif (bukan) Konsumtip
Koordinasi (bukan) Koordinir
Korsleting (bukan) Konsleting
Kover (bukan) Cover

Kreatif (bukan) Kreatip
Kreativitas (bukan) Kreatifitas
Kredit (bukan) Kridit

Kreditur (bukan) Kreditor
Kualitas (bukan) Kwalitas
Kuantitas (bukan) Kwantitas
Kuintal (bukan) Kintal
Kuitansi (bukan) Kwitansi

Kuorum (bukan) Kworum
Kuota (bukan) Kwota, Kuotum

Huruf L 

Laba-Laba (bukan) Labah-Labah
Label (bukan) Lebel
Lafal (bukan) Lapal
Lahad (bukan) Lahat

Legalisasi (bukan) Legalisir
Lemari (bukan) Almari
Lembap (bukan) Lembab
Lever (bukan) Liver
Limfa (bukan) Limpa
Linear (bukan) Linier

Litosfer (bukan) Litosfir
Lokakarya (bukan) Loka karya
Lubang (bukan) Lobang

Huruf M
Maaf (bukan) Ma’af/Maap

Macam (bukan) Macem
Magrib (bukan) Maghrib
Majelis (bukan) Majlis
Makhluk (bukan) Mahluk

Maksimum (bukan) Maximum
Manajemen (bukan) Managemen

Manajer (bukan) Manager
Mandek (bukan) Mandeg
Mangkuk (bukan) Mangkok

Mantra (bukan) Mantera
Marah (bukan) Amarah
Masjid (bukan) Mesjid
Massal (bukan) Masal
Masyhur (bukan) Mashur
Matang (bukan) Mateng

Mazhab (bukan) Mahzab
Memengaruhi (bukan) Mempengaruhi
Memercayakan (bukan) Mempercayakan
Memercayakan (bukan) Mempercayakan
Memesona (bukan) Mempesona
Memopulerkan (bukan) Mempopulerkan

Mencolok (bukan) Menyolok
Mencuci (bukan) Menyuci

Mengesampingkan (bukan) Mengenyampingkan
Mengonsumsi (bukan) Mengkonsumsi
Mengubah (bukan) Merubah
Menopause (bukan) Monopause, Manopause

Menteri (bukan) Mentri
Menyontek (bukan) Mencontek

Menyukseskan (bukan) Mensukseskan
Merek (bukan) Merk

Mesosfer (bukan) Mesosfir
Mesti (bukan) Musti
Meterai (bukan) Materai
Metode (bukan) Metoda

Mikraj (bukan) Mi'raj
Mikrob (bukan) Mikroba
Miliar (bukan) Milyar/Miliyar
Misi (bukan) Missi
Monarki (bukan) Monarkhi
Mozaik (bukan) Mosaik
Muazin (bukan) Muadzin, Muadin

Mulia (bukan) Mulya
Mungkir (bukan) Pungkir
Museum (bukan) Musium

Huruf N
Nahas (bukan) Naas

Nakhoda (bukan) Nahkoda, Nakoda
Napas (bukan) Nafas

Narasumber (bukan) Nara sumber
Nasihat (bukan) Nasehat

Negeri (bukan) Negri
Neto (bukan) Netto
Netralisasi (bukan) Netralisir

Nomor (bukan) Nomer
Nonblok (bukan) Non-blok
Nonmiliter (bukan) Non militer
Notula (bukan) Notulen
November (bukan) Nopember

Huruf O
Objek (bukan) Obyek

Objektif (bukan) Obyektif
Ojek (bukan) Ojeg

Oke (bukan) Ok
Olahraga (bukan) Olah raga
Omzet (bukan) Omset
Orang tua (bukan) Orangtua

Organisasi (bukan) Organisir
Orisinal (bukan) Orisinil / Original
Otomatis (bukan) Automatis

Huruf P
Paham (bukan) Faham

Pahit (bukan) Pait
Palem (bukan) Palm
Pancaindra (bukan) Pancaindera, Panca Indera
Pancaroba (bukan) Panca roba

Pancuran (bukan) Pancoran
Paradoks (bukan) Paradox 
Paramedis (bukan) Paramedi
Pascapanen (bukan) Pasca panen
Pascaperang (bukan) Pasca perang
Pascasajana (bukan) Pasca sarjana
Pasfoto (bukan) Pas photo
Paspor (bukan) Pasport

Paviliun (bukan) Pavilion
Pedas (bukan) Pedes
Peduli (bukan) Perduli
Pembaruan (bukan) Pembaharuan

Pensil (bukan) Pinsil
Perajin (bukan) Pengrajin

Peranti (bukan) Piranti
Pergedel (bukan) Perkedel

Permak (bukan) Vermak
Perilaku (bukan) Prilaku
Permukiman (bukan) Pemukiman
Persentase (bukan) Presentase

Persepsi (bukan) Presepsi
Perspektif (bukan) Perespektif
Petai (bukan) Pete
Petai (bukan) Pete
Pikir (bukan) Fikir
Praktik (bukan) Praktek
Prancis (bukan) Perancis

Presidensial (bukan) Presedential
Priayi (bukan) Priyayi

Produktif (bukan) Produktip
Produktivitas (bukan) Produktifitas
Proklamasi (bukan) Proklamir
Protagonis (bukan) Protogonis

Prototipe (bukan) Prototif
Proyek (bukan) Projek
Provinsi (bukan) Propinsi

Psikotes (bukan) Psikotest
Putra (bukan) Putera
Putri (bukan) Puteri

Huruf R
Ramai (bukan) Rame

Ransel (bukan) Rangsel
Rapi (bukan) Rapih
Rapor (bukan) Raport
Reaumur (bukan) Reamur
Realitas (bukan) Realita

Respons (bukan) Respon
Resistans (bukan) Resistan
Restoran (bukan) Restauran

Reumatik (bukan) Rematik
Rezeki (bukan) Rizki, Rejeki
Rezim (bukan) Rejim
Risiko (bukan) Resiko
Ritme (bukan) Ritma
Roboh (bukan) Rubuh

Roh (bukan) Ruh
Rohani (bukan) Ruhani
Rontgen (bukan) Ronsen

Huruf S
Sah (bukan) Syah
Sahaja (bukan) Sehaja

Sahih (bukan) Sohih/Shahih
Saksama (bukan) Seksama

Sambal (bukan) Sambel
Samudra (bukan) Samudera

Sanksi (bukan) Sangsi
Saputangan (bukan) Sapu tangan
Saraf (bukan) Syaraf, Sarap

Sastra (bukan) Sastera
Satai (bukan) Sate

Saus (bukan) Saos
Segitiga (bukan) Segi tiga
Sekadar (bukan) Sekedar
Sekretaris (bukan) Sekertaris
Sekular (bukan) Sekuler
Sepak bola (bukan) Sepakbola

Seprai (bukan) Seprei/Sepre
Seriawan (bukan) Sariawan
Setan (bukan) Syaitan, Syetan

Setrika (bukan) Seterika/Strika
Shalat (bukan) Salat
Silakan (bukan) Silahkan
Sintesis (bukan) Sintesa
Sistem (bukan) Sistim
Sontek (bukan) Contek

Sopir (bukan) Supir
Sportivitas (bukan) Sportifitas
Standardisasi (bukan) Standarisasi

Statosfer (bukan) Statosfir
Stroberi (bukan) Strawbery
Subjek (bukan) Subyek
Sumatra (bukan) Sumatera
Surah (bukan) Surat
Surga (bukan) Syurga, sorga

Survei (bukan) Survey
Sutra (bukan) Sutera

Swiss (bukan) Swis
Syawal (bukan) Sawal
Syahid (bukan) Sahid
Syubhat (bukan) Subhat

Syukur (bukan) Sukur

Huruf T 

Tafsiran (bukan) Tapsiran
Takhayul (bukan) Tahayul
Takhta (bukan) Tahta
Takwa (bukan) Taqwa
Tampak (bukan) Nampak
Tanda tangan (bukan) Tandatangan
Taoco (bukan) Tauco
Taoge (bukan) Tauge/Toge
Teknologi (bukan) Tekhnologi
Teladan (bukan) Tauladan
Teladan (bukan) Tauladan
Telanjur (bukan) Terlanjur
Telantar (bukan) Terlantar
Telentang (bukan) Terlentang
Telepon (bukan) Telpon, Telfon, Tilpon
Tenteram (bukan) Tentram
Teoretis (bukan) Teoritis
Terampil (bukan) Trampil

Termosfer (bukan) Termosfir
Tetapi (bukan) Tapi

Tim (bukan) Team
Tobat (bukan) Taubat
Tolan (bukan) Taulan
Topan (bukan) Taufan

Transpor (bukan) Transport
Triliun (bukan) Triliyun
Tripleks (bukan) Triplek
Trofi (bukan) Tropi
Trotoar (bukan) Trotoir

Huruf U
Ubah (bukan) Rubah
Ubah (bukan) Rubah

Umrah (bukan) Umroh
Unta (bukan) Onta

Urgen (bukan) Urjen/urgent
Urine (bukan) Urin
Ustaz (bukan) Ustadz, Ustad
Ustazah (bukan) Ustadzah
Utang (bukan) Hutan


Huruf V
Varietas (bukan) Varitas

Huruf w

Wali kota (bukan) Walikota
Wasalam (bukan) Wasallam
Wiraswasta (bukan) Wirausaha
 
Huruf Y
Yudikatif (bukan) Judikatif
Yudisial (bukan) Judisial

Yogyakarta (bukan) Jogjakarta

Huruf Z
Zaman (bukan) Jaman

Zamzam (bukan) zam-zam
Zamrud (bukan) Jamrud
Zikir (bukan) Dzikir

Zina (bukan) Zinah / Jinah
Zona (bukan) Zone
Zuhur (bukan) Dzuhur, Lohor


 
You might also like:

PENCARIAN
  • 1000 kata baku dan tidak baku
  • kamus kata baku dan tidak baku
  • kata baku dan tidak baku
  • contoh kata baku dan tidak baku
  • daftar kata baku dan tidak baku lengkap
  • contoh kata baku dan tidak baku
  • contoh kata baku dan tidak baku dalam kehidupan sehari-hari
  • kata baku dan tidak baku beserta artinya

Friday, April 15, 2011

Kebudayaan yang Terkikis


Kita harus bersyukur karena Indonesia merupakan negara yang dianugerahi berbagai kekayaan alam dan segala macam hasil karya manusianya. Kebudayaan tradisional kita beraneka ragam, membentang dari Sabang sampai Merauke. Dari Timor sampai ke Talaud. Hal inilah yang menyebabkan kebudayaan kita dikagumi oleh masyarakat dunia.
Jauh sebelum kebudayaan barat masuk ke bumi, kebudayaan kita jauh lebih berperadaban. Hidup bermasyarakat dengan norma-norma kesusilaan sejak dahulu sudah ada. Ironisnya, seiring dengan globalisasi, kebudayaan yang sangat mahal itu sedikit demi sedikit mulai luntur.
Penting Tapi Terlupakan
Aku adalah anak muda. Dan tidak sedikit dari anak muda termasuk diriku beranggapan bahwa kebudayaan hanyalah sesuatu yang tradisional dan kuno. Barulah ketika negara lain mencuri kebudayaan-kebudayaan yang negeri ini miliki, timbul sebuah kesadaran untuk tetap melestarikan kebudayaan yang nilainya sangat mahal. Tanyalah pada diri kita sendiri, pencurian kebudayaan semisal batik dan angklung, bukankah itu salah negeri yang hampir melupakannya?
Oleh karena itu, menurut Prof. Dr. Edi Sedyawati, mantan dirjen kebudayaan, perlu ada perlindungan budaya yang lebih jelas. Diperlukan sebuah undang-undang yang khusus untuk perlindungan karya budaya tradisional. Upaya ini tentu saja percuma tanpa ada kesadaran masyarakat akan pentingnya melesatarikan budaya tradisional.
Menurut Drs. Tashadi, peneliti Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta bahwa dalam budaya tradisional terkandung nilai-nilai luhur pembentuk jati diri bangsa. Ketika nilai-nilai ini hilang dan tidak lagi dimengerti oleh generasi muda maka mereka hanya akan memiliki nilai-nilai global, dan hilanglah jati diri bangsa Indonesia ini. Masalahnya upaya-upaya pemeliharaan dan pelestarian budaya tradisional sampai saat ini tidak begitu mudah dilakukan di tengah serbuan budaya modern dari luar.
Efek Globalisasi
Sekarang, kebudayaan bangsa kita terlalu mendapat suntikan dari kebudayaan barat. Walau globalisasi memiliki beberapa dampak positif, pada kenyataannya hal ini lebih banyak dampak buruknya. Seperti menurunnya rasa nasionalisme pada generasi muda dan menyeret bangsa kita dari moral yang bermartabat kepada moral rendah. Kita pun kehilangan identitas sebagai bangsa Indonesia.
Sebut saja kontes Puteri Indonesia, yang nantinya akan diwakilkan dalam ajang Miss Universe. Kebudayaan dan kecerdasan suatu bangsa tidak bisa dipresentasikan begitu saja oleh seorang wanita yang bahkan tidak malu untuk telanjang di depan dunia. Tentu saja dengan bertelanjang bukanlah sebuah simbol kebudayaan, melainkan bukankah itu bukti sebuah kebodohan yang sangat jelas?
Selain itu, kita tahu globalisasi mengusung liberalisme. Ini tentunya akan membawa kita pada pemahaman kebebasan tanpa batas, seperti free sex dan kebebasan menafsirkan Tuhan yang dilakukan oleh segelintir orang-orang liberalis.
Belum lagi dari aspek ekonomi yang jelas merugikan. Masyarakat kita cenderung untuk mencintai produk-produk luar negeri daripada produk dalam negeri. Sebut saja KFC dan McDonald yang mulai membanjiri mall-mall di Indonesia. Dan masih banyak dampak buruk lain yang terlalu banyak jika diuraikan satu demi satu.
Kebudayaan Kita di Negara Lain
Ironis memang menyadari kenyataan bahwa kebudayaan kita malah lebih populer di bangsa lain. Saya sering menonton Voice of America untuk Indonesia, dan miris menyadari ternyata pencak silat sangat populer di negeri adidaya itu bahkan ada olimpiadenya. Sementara di Indonesia lebih populer bela diri karate. Juga seorang wanita yang pernah tinggal di Bali, sepulangnya ke Amerika dia membuka sebuah toko batik saking mengagumi indahnya kebudayaan yang bangsa kita miliki. Sementara kebanyakan anak muda di sini ketika ditanya untuk apa memakai batik, mereka menjawab karena sedang trend dan bukan karena kecintaan terhadap kebudayaan tradisional.
Tahu Pattrick Portella dan Chandra Puspita? Sewaktu saya bertanya pada teman-temanku di sekolah, mayoritas dari mereka tidak tahu siapa yang saya maksud. Well, mereka adalah kelompok gamelan yang sangat terkenal di Perancis. Mereka pula sudah keliling Eropa dan mempertunjukkan kebudayaan tradisional kita di depan dunia. Mirisnya, banyak dari kita yang tidak peduli dengan hal itu. Bagi sebagian dari kita beranggapan, tetaplah gamelan adalah suatu hal yang kuno dan tidak modern.
Kita mungkin terlalu berkiblat pada kebudayaan barat. Tapi, tahukah kita bahwa The Beatles bahkan mengungkapkan kekaguman mereka pada The Tielman Brothers di majalah Rolling Stone Indonesia?
Antisipasi Derasnya Arus Globalisasi
Bagaimanapun, globalisasi adalah suatu hal yang sulit untuk dihindari. Yang terpenting bukanlah bagaimana kita menolak globalisasi, tapi bagaimana kita menyikapinya. Sebagai generasi muda tentu saja kita harus menyikapinya secara bijaksana. Kita pun dituntut cerdas menyaring unsur kebudayaan asing yang masuk tanpa harus kehilangan identitas sebagai bangsa Indonesia.
Dari berbagai sumber

Thursday, April 14, 2011

Warna-Warni Pendidikan di Indonesia


Guruku pernah berkata, “Ilmu pengetahuan bukanlah segalanya, tapi segalanya berasal dari ilmu pengetahuan.” Tanpa ilmu pengetahuan Sang Pencipta, alam tidak akan terbentuk. Begitu pula manusia, makhluk Tuhan yang sangat istimewa. Yang diberikan karunia berupa akal untuk mempelajari indahnya alam ini. Karena itu kita sebagai manusia memiliki kewajiban untuk menuntut ilmu, seperti terdapat dalam hadits, “Barang siapa berjalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.” (HR. Muslim)
Sebagaimana disebutkan dalam undang-undang No.20/2003 tentang sistem pendidikan Nasional, tercantum pengertian pendidikan: "pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, banga dan negara"
Dari pernyataan tersebut kita tahu bahwa pendidikan adalah faktor yang sangat penting dan diperlukan oleh masyarakat, bangsa, dan negara. Begitu pentingnya pendidikan, sudah menjadi rahasia umum bahwa maju atau tidaknya suatu negara diukur dari kualitas pendidikan di negara tersebut. Sayangnya, kondisi pendidikan di negara ini masih begitu menyedihkan, karena diwarnai oleh birokrasi, mahalnya biaya, dan kesalahan paradigma yang begitu mendasar.
Menurut Human Development Indeks (HDI) tahun 2004, kualitas pendidikan kita menduduki peringkat ke 111 dari 175 negara. Dan menurut majalah Asia Week, perkembangan sains kita bahkan belum mencapai 20 besar. Ini sangat menyedihkan. Tahu kenapa? Karena dulu Malaysia dan Singapura mengimpor guru-guru dari Indonesia. Dan kita tahu, kedua negara itu sekarang malah menjadi lebih maju daripada negara kita. Ada apa ini? Apa yang mewarnai merosotnya kualitas pendidikan di Indonesia? Mari kita bahas satu demi satu.
Pergi ke Sekolah? Buat Apa?
Sebagai seorang pelajar, saya sering bertanya pada diri sendiri, saudara, dan teman-teman, “Untuk apa kita sekolah?” Rata-rata menjawab, “Untuk mendapatkan pekerjaan.” Saya pun bertanya, Just that? Apakah kita lelah-lelah sekolah untuk sesuatu yang juga melelahkan?
Sayangnya, inilah yang marak terjadi di Indonesia. Sebuah faktor penting yang mempengaruhi buruknya wajah pendidikan kita. Paradigma yang sangat mendasar. Kita pun cenderung tertekan dengan adanya pemahaman, “No School No Jobs.” Padahal ada yang lebih penting daripada sekadar untuk mendapatkan pekerjaan.
Teringat ucapan Ken Soetanto di acara Kick Andy, seorang ilmuwan Indonesia yang berjaya di Jepang. Ketika SMP, beliau berjualan sepatu dan penghasilannya dipakai untuk sekolah. Ibunya berkata, “Orang-orang capek-capek sekolah biar mendapatkan pekerjaan, kamu malah capek-capek bekerja untuk sekolah.”
Inilah yang dikritisasi oleh Ken Soetanto, kebanyakan dari orang Indonesia berpikiran sempit. Mereka hanya berpikir bagaimana cara mendapatkan uang dan uang, bukan berpikir sebuah proses yang panjang namun akan membuahkan hasil.
Bagaimanapun kita bukanlah robot yang sanggup terus mendapatkan tekanan di kepala. Sekolah juga bukan sebuah panci bertekanan yang menuntut siswanya untuk sekolah mendapatkan nilai rapot memuaskan dan mendapat pekerjaan. Ada baiknya kita harus memahami arti dari sekolah. Sekolah adalah sekolah. Tempat mencari ilmu.
Tidak Ada Uang, Tidak Ada Pendidikan
Faktor dasar yang juga mengambil peran besar dalam mewarnai buruknya pendidikan di Nusantara adalah mahalnya biaya pendidikan. Bukan sekolah swasta saja yang terus menaikkan biaya pendidikan, tapi sekolah negeri juga. Hal ini tentu saja tidak seimbang dengan mayoritas masyarakat kita yang berada di bawah garis kemiskinan.
Bolehlah kita mencontek ke Jepang sebentar. Ingat? setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom oleh sekutu, yang ditanyakan pertama kali oleh pemimpin negara itu bukan berapa banyak kerugian infrastruktur, melainkan berapa banyak guru yang tersisa. Mereka menomorsatukan pendidikan, dan rela mengeluarkan biaya berapapun demi pendidikan. Inilah yang menjadi alasan mengapa ilmuwan-ilmuwan kita tidak mendedikasikan ilmunya di Indonesia. Karena di luar negeri termasuk Jepang mereka sangat dihargai dan dana untuk penelitian berlimpah ruah.
Sebenarnya pemerintah sudah menetapkan 20% APBN adalah untuk pendidikan. Tapi karena disalahgunakan, dana tersebut tidak sampai pada tujuan. Ini bisa juga dipengaruhi oleh birokrasi yang tidak merata dan tidak bersih. Buntut dari masalah ini adalah perlunya pendidikan karakter yang akan kita bahas sebentar lagi.
Ada Apa Dengan Sekolahku?
Masih banyak pelajar yang sekolah bukan untuk mencari ilmu. Sekolah dijadikan tempat nongkrong, tempat main, dan mencari pacar. Yang menyebabkan kondisi ini tentu saja adalah kurangnya pendidikan karakter, masuknya kebudayaan barat, dan sinetron-sinetron Indonesia yang senantiasa meracuni kita dengan selalu mempertontonkan sisi buruk sekolah. Seperti murid yang nakal, unsur hedonisme, kekerasan, rok pendek, pelajaran yang membosankan, guru perempuan yang seksi, dan guru laki-laki yang galak.
Belum lagi diwarnai dengan buruknya predikat guru kita saat ini. Mayoritas guru di Indonesia masih menerapkan sistem “Teacher Centre.” Pembelajaran berpusat pada guru. Guru cenderung memberi pengetahuan terus menerus tanpa peduli murid paham atau tidak. Banyak dari mereka yang berkata, “Yang penting tersampaikan. Jika nilai mereka jelek, itu karena mereka tidak bisa. Bukan salah kami.”
Bagaimanapun, murid adalah manusia. Bukan mesin yang siap menerima semua yang dikatakan oleh sang guru. Guru yang baik adalah guru yang telaten dan sabar dalam mengajar, yang rela berkorban sampai murid mengerti apa yang diajarkannya demi menghasilkan siswa-siswa yang berkualitas dalam pendidikan.
Buat Anak koq Coba-Coba?
Pendidikan di Indonesia cenderung terus dipolitisasi. Tahun kemarin, nilai UN dijadikan satu-satunya faktor kelulusan, tahun ini faktor kelulusan adalah nilai UN dan ebtanas. Terus berganti-ganti seiring dengan pergantian menteri. Bukan hanya itu saja, patokan nilai kelulusan pun berganti-ganti, mata pelajaran yang diujikan ikut berganti. Kalau begitu, menteri kita bereksperimen ria dengan anak-anaknya dong?
Di negara-negara maju, mereka sudah memikirkan sistem pendidikan secara serius dan matang. Kebijakannya pun tidak mudah berubah. Dunia pendidikan perlu ada perubahan ke arah yang lebih pasti dan lebih serius. Dan itu harus dimulai dari dasar, yaitu pendidikan karakter.
Pendidikan Umum atau Pendidikan Agama?
Apa tujuan dari dari pendidikan? Apakah hanya untuk penguasaan materi pelajaran saja tanpa nilai spiritual? Tentu saja tidak. Yang juga penting dalam sistem pendidikan adalah pendidikan keagamaan yang erat kaitannya dengan pendidikan karakter, sehingga mencetak pribadi yang berakhlak mulia. Mengutip dari pengertian pendidikan dalam Undang-Undang nomor 20/2003, “…sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, banga dan negara”
Juga diungkapkan Muhammad Nuh. “Pendidikan karakter sangat penting untuk bangsa. Sekarang kita lihat banyak penegak hukum yang justru dihukum, pelayan publik yang justru minta dilayani. Semuanya itu berujung pada karakter," ungkapnya, Minggu (2/5/2010) di Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), Jakarta.
Masalahnya, pendidikan keagamaan masih sangat kurang. Di sekolah umum, pelajaran agama hanya diberikan satu kali seminggu. Padahal seharusnya, ada perbaikan dengan menjadikan pendidikan agama sebagai landasan dalam seluruh proses pendidikan umum. Tanpa hal itu, sekolah tidak akan mencetak peserta didik dengan kepribadian yang mulia. Bullying, tawuran antar pelajar, pemerkosaan, mencontek, mencuri di sekolah, dan jual beli ijazah pun menjadi hal yang lumrah.
Sampai Kapan Akan Berlanjut?
Sampai ini akan terus terjadi? Tentu saja sampai ada pembenahan besar-besaran akan paradigma dan sistem pendidikan kita, sampai moral siswa sehari-hari juga menjadi factor kelulusan, dan sampai pendidikan karakter menjadi landasan pendidikan yang lain.
Karena pendidikan merupakan proses mencetak generasi penerus bangsa, marilah kita saling mendukung, berpartisipasi dalam kemajuan pendidikan bangsa. Dan tentu saja perlu ada keharmonisan tripusat pendidikan. Yaitu keharmonisan antara keluarga, masyarakat, dan lembaga pendidikan dalam mencetak generasi penerus langkah bangsa di masa mendatang.

Monday, April 11, 2011

Puisi Islami: Dalam Tahajudku

Aku sangat jarang membuat puisi, tapi suatu malam aku menulis puisi ini di diari dan mengalir begitu saja. Mungkin tidak sebagus buatan teman-temanku yg lain.


Waktu bergulir, merangkak cepat tanpa henti
Berlalu dan kusesali
Seakan sungai berarus deras yang menyeretku ke lautan
Andai aku bisa menciptakan lorong waktu
Perahu yang dapat melawan arus sungai waktu
Dan kembali ke masa lalu

Tapi itu semua paradoks...
Karena itu aku kesal, aku marah!
Ada gejolak batin yang sangat dahsyat
Keinginan untuk kembali ke tempat yang sangat jauh...
Sedetik yang lalu.. Sehari yang lalu.. Setahun yang lalu...
Tapi matahari tidak akan berjalan mundur
Dan sang waktu terus bergulir dalam dimensi
Dimensi kehidupan manusia dimana aku terperangkap

Aku ingin keluar! BYAR!
Melepaskan semua energi di suatu tempat bersandar...
Kumengerti tanpa kutanya kenapa
Dan tidak serumit kehidupan manusia yang penuh dengan hukum fisika

Ingin aku menggapai-Mu
Melupakan semua resah yang membuatku tak bisa bernapas
Ingin aku menyemai cinta dalam buaian-Mu
Hanyut dalam indah cinta kasih-Mu

Ingin aku lupakan dunia ini
Sejenak...
Menangis karena takut akan azab-Mu
Dan berduaan dengan-Mu
Di suatu malam saat langit dengan setia menjadi tempat
Bagi kerlap-kerlip bintang yang bergandengan erat

Allah...
Dalam tahajudku ini,
Kurasakan kerinduan yang membanjiri otak dan hatiku
Kerinduan akan berebah dalam segala nikmat dan rasa sayang-Mu
Yang tak terbatas...

Sunday, April 10, 2011

Download Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Offline

KBBI Bahasa. KBBI Bahasa. Download kamus bahasa indonesia, Download Kamus Besar Bahasa Indonesia, KBBI Bahasa Indonesia Offline







Sebagai seorang editor, sudah pasti dituntut untuk bisa membedakan kata baku dan tidak baku. Biasanya aku pergi ke perpustakaan sekolah untuk membuka kamus besar bahasa Indonesia. Eeh.. ternyata ada versi piranti lunaknya yang aku dapatkan dari blognya Mas Ebta. Alhamdulillah ini sangat membantu.
Tidak usah banyak naninu, kawan pembaca Santri Menulis bisa mendownload KBBI offline di Box.net ataupun KBBI offline di 4shared.com.

[Cerpen Islami] Hikari no Suugaku


Oleh : Maryam Qonita

“Aah.., berisik!”. Aku menutup telinga. Mencoba menghilang dari kebisingan tersebut. Yuko-san lalu menggoyang-goyangkan lenganku hingga aku terbangun. Segera kusadari semua mata dikelas tertuju ke seorang gadis pemalas di ujung ruangan yang tidak lain adalah diriku, si musuh bebuyutan suugaku (matematika). Kutopang daguku dengan ogah-ogahan.

“Masami-san, apa dirumahmu kau tidak bisa tidur?”, tanya Bu Aufa, guru suugaku. Aku tersentak dan membatin kesal. Aku ini memang tak pernah berjodoh dengan matematika apalagi melihat penampilan guru suugaku itu yang seperti orang timur tengah. Padahal ia orang Jepang asli. Nama aslinya bahkan Rinko Kitazawa. Membuatku bertanya-tanya apa yang membuatnya sampai rela selalu memakai scarf yang selebar karung beras tersebut.

“Aku tidak akan tidur di kelas kalau sekarang bukan matematika.” Aku berharap dia akan marah lalu tidak lagi masuk mengajar. Tapi kudapati dirinya hanya tersenyum. Membuatku bertambah jengkel karena berarti ia akan melanjutkan mata pelajarannya. Aku lalu menerawang ke langit karena bosan. Tempat dudukku yang di ujung kebetulan dekat jendela. Sehingga pandanganku dengan mudah melayang bersama kapas-kapas putih di langit itu. Satoshi-kun, murid paling populer di sekolah mulai merasuki pikiranku. Oh Satoshi-kun, Aishiteru..

Suatu hari, di apato tempat aku tinggal, teman-temanku datang. Mereka adalah Yuko-san dan Aya-san. Awalnya kukira mereka datang untuk mengajakku menonton pertandingan sepakbola di Tokyo Dome. Tapi ternyata mereka datang untuk membuat PR matematika bersama. Akhirnya, aku mencontek hasil pekerjaan mereka saja.

Biarpun datang untuk membuat PR matematika, itu lebih baik daripada tidak ada teman yang datang ke apato. Aku tinggal sendirian karena kedua orang tuaku memaksaku ikut mereka ke Amerika. Karena kutolak akhirnya mereka meminimalisir uang jajanku disini.

Ah, kembali lagi bayangan Satoshi-kun merasuki pikiranku. Kadang aku menemui wajahnya di permukaan air, di langit, di atas mie ramen bahkan kadang aku melihat wajah Satoshi-kun menempel di muka Yuko-san dan Aya-san. Satoshi-kunlah yang membuatku bertahan di Jepang. Ia juga yang membuatku semangat setiap berangkat sekolah (kecuali kalau ada pelajaran matematika). Aku harap Satoshi-kun sadar ada aku yang akan selalu menerima dia apa adanya.

Suatu hari di sekolah, aku kembali akan bertemu pelajaran matematika, aku langsung bersiap siaga untuk tidur. Beberapa teman kelasku protes dan mereka bilang aku ini keterlaluan. Menurutku yang keterlaluan itu orang yang membuat matematika jadi pelajaran di sekolah!

“Hari ini ulangan!”

Aku tersentak dan tidak jadi tidur mendengar yang dikatakan Bu Aufa barusan. Aku belum menyiapakan contekan sama sekali. Biasanya kalau ada contekan, nilaiku bisa mencapai enam puluh. Kalau tidak ada contekan, nilai diatas tiga puluh akan kukenang bertahun-tahun.

Apes sudah nasibku ini. Aku tidak menyiapkan contekan untuk ulangan barusan. Jadi akhirnya tolong jangan ditanya. Nasakenai!!

“Hai, Masami-san, apa kau sakit?”, tanya Satoshi-kun menghampiriku dari belakang ketika pulang sekolah seusai ulangan tadi. Deg! Satoshi-kun menyapaku! Itu berarti dia menyadari keberadaanku di sekolah ini. Kurasa atmosfir langsung berubah 180 derajat. Nafasku terhenti sesaat, aku gemetar. Dan aku terlanjur melihat matanya yang tajam yang telah menusuk hatiku begitu dalam. I Swear! Demi mie ramen, aku lupa semua kejadian yang terjadi sebelum ini.

“Masami-san, kau benar sedang sakit?” Ia bertanya untuk yang kedua kalinya. Ssiiing.., Aku tersentak. “Ah, iie..,” jawabku salah tingkah. “Daijoubu,” tambahku.

Keesokan harinya, ayahku dari Los Angeles menelepon.

“Mi-chan, ayah tahu nilai ulanganmu kemarin Nol! Ayah juga tahu nilai matematika kamu mengecewakan semua! Harusnya kau ikut ayah ke Amerika dan sekolah di Santa Monica High School! Pendidikan disana jauh lebih baik dan kau punya masa depan!” Kutahu dia begitu marah. Omelannya itu membuat hariku redup. Padahal sebelum telepon ini kuterima, setiap detikku terasa indah dan kau tahu kenapa.

“Ayah tidak mengerti, aku sudah berusaha tapi tetap tidak bisa hitung-hitungan. Lagipula, mata pelajaran yang lain nilainya selalu diatas rata-rata.”

“Tidak mengerti? Memangnya ayah tidak tahu kalau kau selalu tidur di setiap pelajaran matematika? Kau sadar bukan kalau matematika diujikan untuk setiap Ujian Nasional?!”

Aku terdiam. Aku ingat kini aku telah kelas 3 SMU. Entah akan lulus atau tidak. Kalau tidak lulus itu artinya aku tidak kuliah, kalau tidak kuliah itu artinya… tamat riwayatku!

“Pokoknya semua nilaimu entah tugas maupun ulangan harian harus diatas 50! Termasuk matematika! Kalau ada yang dibawah 50, kamu akan mengulang SMU di Amerika!”

DEG! Hariku bukan hanya menjadi redup, tapi BLAM! Makkura! Well, Pelajaran lain bagiku tidak masalah. Tapi khusus suugaku, muzukashi!!

Sepanjang jam sekolah, aku tahu ini bukan diriku yang biasanya. Setiap detik kulalui dengan lesu seperti yang dikomentari Yuko-san. Aku tidak peduli, otakku penuh dengan perkataan ayahku kemarin. Sebenarnya ini bukan yang pertama kali ada tinta pulpen merah yang membetuk bulat lonjong besar di atas kertas ulangan matematika. Tapi baru saat ini ayah mengancam aku akan disekolahkan di Amerika. Entah kenapa aku tidak mau kesana.

Yuko-san dan Aya-san mengajakku pulang bersama tapi kutolak mentah-mentah. Nafsu makan pun hilang. Aku takkan mau ikut orang tua. Jauh lebih baik mereka yang mengunjungiku disini.

Tiga hari telah berlalu. Bentuk bulat besar itu masih saja mondar-mandir menghantuiku. Aku seperti terombang-ambing oleh angin. Biasanya aku yang langsung tidak tahan melihat mie ramen, sekarang tidak lagi. Malam begitu gelap gulita tanpa bintang. Acara televisi tidak ada satupun yang bisa membuat seulas senyum terukir di bibirku. Semua terasa bisu.

Tiga hari selanjutnya, berat badanku turun dua kilo. Bahkan suatu hari ketika aku naik densha, aku duduk di dekat orang yang sedang mengidap penyakit. Kuharap diriku akan tertular lalu menghilang dari semua kenyataan ini. Hhh.., rasanya seperti memikul beban begitu berat dan tidak kunjung membaik. Yang biasanya aku hanya tidur saat mata pelajaran matematika, tapi sekarang lebih sering bolos sekolah.

Keesokan harinya, Yuko-san dan Aya-san kesekian kalinya menghampiriku untuk tahu apa yang terjadi padaku selama ini. Bosan memendam sendiri, maka kuceritakan masalahku dan kudapati mereka mendengarnya dengan segenap hati. Kuharap mereka bisa memberikan solusi.

“Minta diajarkan saja oleh Bu Guru Aufa!” kata Aya-san. Aku buang muka mendengarnya. Apa itu sebuah solusi? Bahkan tidak pernah terlintas di benakku sedikitpun.

“Dia mana sudi mengajariku?” desahku kesal.

“Bu Aufa seorang pemaaf. Lagipula cara mengajarnya mudah dimengerti. Kamu saja yang tidak mengenalnya.” Aku melihat mata Yuko-san untuk tahu dia benar-benar jujur. Tapi setelah itu, aku segera berpaling. Pasti begitu berat untuk minta maaf pada Bu Aufa.

“Aku akan kursus matematika saja!” kataku tegas.

“Terserah kamu, tapi sepertinya kamu harus mengulang matematika dari pelajaran SMP. Sedangkan kau sudah tujuh belas tahun. Apa tidak malu?” tanya Yuko-san.

“Lebih baik minta diajarkan sama Bu Aufa saja. Sekalian dirimu minta maaf!” timpal Aya-san

“Ini alamatnya!”. Aya-san memberikan secarik kertas padaku. Aku melihat kertas itu tapi tidak juga kuambilnya.

“Muri..,” ujarku singkat. Ada gejolak di hati. Apa Yuko-san dan Aya-san dapat merasakannya? Ah, aku ragu.

“Semua itu terserah kamu Masami-san. Kami sudah memberikan solusi yang terbaik,” ujar Aya-san.

“Aku sangat mengerti bagaimana perasaanmu sekarang ini. Kau harus percaya pada kami. Jalan yang terbaik adalah minta maaf pada Bu Aufa dan minta diajari olehnya. Dia selalu mencoba memberikan yang terbaik untukmu,” kata Yuko-san.

Aku diam termenung. Mungkin benar mereka berkata begitu. Aku memang harus minta maaf. Mungkin kerongkonganku akan terasa tercekik. Tapi rasa bersalah mulai terbesit di hati. Biarpun tidak mungkin, aku harap Bu Aufa juga masih mau mengajariku matematika. Kalau tidak juga tidak apa-apa, setidaknya dimaafkan olehnya saja aku sudah bersyukur.

Sepulang sekolah, kumantapkan langkahku untuk mendatangi Bu Aufa di rumahnya. Baru pertama kali aku merasa langkah kaki ini terasa begitu berat. Ketika melihat kedatanganku, ia tampak heran. Sedangkan aku hanya diam tapi kurasakan lututku gemetar. Di dalam rumahnya, aku disuguhkan susu hangat dan ia bertanya maksud kedatanganku dengan ramah. Dengan tekad yang kuat, aku mengatakannya.

“Aku ingin minta maaf,” kataku. Lidahku mulai terasa aneh tapi aku teruskan, “Aku selalu tidur di mata pelajaran matematika. Bukan karena cara mengajar Ibu tidak enak, tapi karena aku yang sejak awal tidak suka matematika. Aku tahu Ibu kecewa selama ini. Aku minta maaf!” kataku sambil menunduk.

Bu Aufa dengan wajah teduhnya tersenyum. Membuatku senang melihatnya. Apalagi setelah ia berkata, “Tentu ibu maafkan,” katanya lalu ia melanjutkan, “Emm.. Masami-san, ibu tahu kau kesulitan dalam suugaku. Kalau kamu mau biar ibu ajarkan kamu di rumah ibu.”

Aku kaget. Rasanya terharu sekali. Oh.. Bu Aufa, mengapa engkau bisa sampai segini baiknya padaku? “Ss.. souka?” tanyaku tidak percaya. Dia mengangguk.

“Iya bu. Aku mau! Arigatho Gozaimasu!”

Akhirnya, hampir setiap hari aku mengunjungi rumah Bu Aufa untuk belajar matematika. Karena aku harus mengulang pelajaran SMP membuatku sering mendatangi rumah Bu Aufa. Sepulang sekolah, kadang aku harus menunggu lima menit Bu Aufa oinori dahulu. Mataku mulai berkeliling melihat isi rumahnya. Ada pajangan terbuat dari kulit kambing berbingkai kayu dan bertuliskan huruf-huruf asing yang tidak kumengerti. Biarpun begitu, tulisan asing itu membuatku tertarik karena tulisannya begitu indah.

Seusai Bu Aufa oinori ia muncul sambil membawakanku segelas teh. Aku meminumnya, lalu kulontarkan pertanyaan yang pasti aku tidak tahan bila kupendam sendiri. “Mengapa ibu meyakini agama yang sudah jelas itu adalah agama teroris?” tanyaku yang mulai kritis pada keseharian Bu Aufa.

“Itu masalah bagimu?” tanyanya. Aku mengangguk dan Bu Aufa tersenyum.

“Kalau begitu, ibu akan juga mempermasalahkan agama Katolik sewaktu Timothy Mcveight meledakkan gedung federal tahun 1996 di kota Oklahoma.”

“Aku tidak mengerti.”

“Jangan salahkan Islam atas apa yang dilakukan sekelompok muslim. Jangan salahkan agama atas apa yang dilakukan pemeluknya, karena agama tidak pernah mengajarkan terorisme. Itu menjawab pertanyaanmu?”

“Lalu kenapa Ibu percaya pada Tuhan yang telah menciptakan setan di dunia ini?”

“Jadi menurutmu, siapa tuhan yang telah menciptakan setan di dunia?”

“Dalam agama Buddha, ada siluman yang merajai para setan. Sementara dibawah raja langit, para dewa memiliki tugasnya masing-masing. Kalau menurut ibu Tuhan itu satu, bukankah itu berarti Tuhan yang Ibu yakini menyesatkan manusia karena dia juga yang menciptakan setan?”

Setiap pertanyaan yang terlintas di kepalaku kutanyakan. Tapi kudapati emosinya tidak tersulut biarpun aku begitu cerewet. Yang kutanyakan hanya berkutat pada keyakinan Bu Aufa yang sulit kumengerti. Mengapa Bu Aufa memilih memeluk agama Islam? Mengapa Ibu percaya pada Tuhan yang tidak dapat dilihat?Bukankah setiap pemeluk agama apapun akan masuk Surga? Kenapa ibu malah memilih agama yang mengharuskan memakai kain lebar ini dan mengharuskan Ibu oinori 5 kali sehari? Mengapa, mengapa, dan mengapa. Tapi ternyata jawaban Bu Aufa lebih sulit kumengerti daripada pelajaran matematika.

Aku mulai memikirkan diriku sendiri. Kalau sejak kecil, aku sudah terbiasa beribadah kemana saja. Kadang ke kuil, jinja, kadang pula aku dan keluargaku ke gereja. Entahlah. Tuhanku siapa? Baiklah, aku tidak akan menceritakan apapun tentang hidupku yang tidak menarik. To the point, aku mulai menyukainya sebagai guruku yang ramah, biarpun scarf nya itu tak jarang membuatku gerah.

Aku mulai senang pergi ke rumah Bu Aufa. Bahkan aku lebih senang berada di rumahnya daripada di apato sepi itu. Di sela-sela belajar, tak jarang aku bermain bersama anak perempuannya yang masih balita. Namanya Nabila dan aku biasa memanggilnya Na-chan. Kadang Na-chan juga memakai tudung kepala yang membuat wajahnya makin menggemaskan.

Setiap hari aku pergi ke rumahnya sampai pernah aku lupa pulang ke apato. Aku betah berada di rumahnya yang hangat itu. Kabar gembiranya, nilai matematiku membaik! Aku tak percaya ketika menerima hasil ulangan matematika milikku yang nilainya 55! Ulangan selanjutnya nilaiku ternyata lebih baik, 60! Dan terus membaik. Itu semua tanpa kertas contekan! Dan aku melihat Bu Aufa tersenyum bangga ke arahku.

Keesokan harinya, aku kembali ke rumah Bu Aufa. Rumah yang sudah kuanggap rumahku sendiri. Ah, iya! Aku kembali teringat tulisan-tulisan yang terpajang di dinding rumahnya Bu Aufa. Huruf apa, ya? Selama ini aku penasaran tapi lupa menanyakannya. Ketika sampai disana aku akan menanyakannya, ah.

“Konnichiwa, apa Bu Aufa ada?” Aku bertanya pada seorang pria Indonesia yang tidak lain adalah suami Bu Aufa yang asli orang Indonesia, Pak Bambang. Dia menunduk sembari menggendong Na-chan di dadanya yang bidang.

“Dia kecelakaan.”

Aku kaget bukan main. Aku merasa ada petir menyambar di siang bolong seperti ini. Bukan, tapi merasa ada bom atom meluluh lantakkan Tokyo. Terpaku di tempat dan tak bisa berkata-kata. Pikiranku seketika menjadi kosong karena shock mendengar kalimat yang keluar dari mulut Pak Bambang. Bu Aufa kecelakaan?! Padahal baru kemarin di kelas dia tersenyum melihat nilai matematikaku yang membaik. Itu tidak mungkin! MURI!!!

“Anda berbohong kan?” tanyaku dengan nada tercekat.

“Saya takkan mampu berbohong seperti ini.”

Air mataku mulai tak terbendung. Kumulai langkah untuk pulang ke apato dengan sangat berat. Jauh lebih berat dari pertama kali aku ingin minta maaf pada Bu Aufa. Jauh lebih berat dari menyatakan rasa suka pada Satoshi-kun. Bahkan lebih berat dari ikut orang tua ke Amerika.

“Kau tidak ingin menengoknya di rumah sakit?” tanya Pak Bambang di dekat mobil Honda miliknya. Aku menoleh. “Dou?” dia bertanya. Aku mulai menangis, lalu berjalan masuk mobil tersebut bersama Pak Bambang dan Na-chan.

–Samui–

Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Biarpun aku tidak sempat bertanya pada Bu Aufa tentang rangkaian tulisan indah yang menghiasi dinding rumahnya, aku tahu apa itu. Namanya kaligrafi. Seiring dengan itu aku mulai mencari referensi tentang Islam. Buku-buku tentang Islam kulahap. Tidak jarang muncul banyak pertanyaan yang sulit kuselesaikan. Membuatku rela duduk berjam-jam untuk mendiskusikan masalah ini.

Aku juga sering berpastisipasi dalam acara dan seminar dalam aktifitas keislaman yang melibatkan para pelajar dan mahasiswa non-muslim. Namun aku belum tergerak untuk bersyahadat. Semua ini kulakukan hanya untuk merasakan pengalaman spiritual seperti yang dulu Bu Aufa lakukan.

Hingga suatu hari, aku pergi ke Islamic Cultural Center of Japan. Disana aku menyimak khutbah jum’at oleh Ustadz Zakaria. Dalam khutbahnya, beliau membahas seputar kematian dan hari akhir. Aku tersentuh mendengarnya. Hatiku bergetar. Ketika khutbah jum’at usai, aku memantapkan langkahku menghampiri Ustadz Abdullah di depan pintu.

Alhamdulillah, disaksikan oleh ribuan jamaah. Aku berlinangan air mata, berikrar: “Asyhadu an laa ilaaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan Rasul Allah", disambut dengan pekikan takbir berkali-kali oleh para hadirin. Itulah titik ledakan dalam hidupku.

Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Sekarang musim semi, kini aku bahkan telah melalui Ujian Nasional. Di sekolah, Yuko-san menghampiriku setelah melihat daftar nama murid yang lulus.

“Maryam-san, kamu lulus!” ujarnya gembira. Aku tersenyum. Biarpun lulus UN dengan NEM tertinggi, ada rasa kecewa terbesit di hati. Bu Aufa telah pergi dan tidak sempat melihat nilai UN matematikaku kali ini mendapat 100.

Tadi pagi Satoshi-kun menyatakan rasa sukanya padaku. Dia bilang bahwa selama ini dia menyukaiku. Biarpun aku merasa kecewa karena Bu Aufa tidak sempat melihatku yang kini juga memakai scarf yang kusebut jilbab, bahkan tidak kalah lebar dari jilbab yang biasa dikenakan olehnya, kini aku merasa aku adalah orang paling bahagia. Tapi bukan Satoshi-kun yang kumaksud membuatku bahagia. Bahkan aku malah menolaknya. Dia hanya impianku di masa lalu dan aku harap dia mengerti.

Aku melangkah di halaman apato dibawah pohon yang dipenuhi bunga sakura. Ya Allah, indah sekali musim semi ini. Kuserahkan segenap rasa cintaku pada-Mu. Kau tahu apa yang bergolak dihati ini maka biarkanlah seluruh raga dan jiwaku berlabuh hanya pada-Mu, Ya Allah. Dengan segenap hati aku datang pada-Mu ingin menghapus noda dan kesalahan masa lalu.

–Samui–

12 Oktober 2008

Keterangan
Suugaku : Matematika
Apato : Apartemen 
Nasakenai : Memalukan
Iie : Tidak…
Daijoubo : Tidak apa-apa
Muzukashi : Pasti sulit
Makkura : Gelap gulita
Densha : Kereta Api
Muri : Mustahil
Souka : Benarkah
Arigatho Gozaimasu : Terimakasih banyak
Oinori : Ibadah
Dou : Bagaimana
 
 
Baca Cerita Lainnya:
 

Related Posts Plugin by ScratchTheWeb