Saturday, June 30, 2012

Indonesia Terakhir Part VI (Final)


Semoga endingnya tidak mengecewakan teman-teman semua.
 

Aku terbangun dan kali ini kutemukan diriku dalam ruangan yang lebih asing lagi. Dengan cepat aku melepaskan virtual glasses dari kepala seraya bangkit. Kulihat Fathir masih tenggelam dengan dunia virtualnya. Dengan segera aku menon-aktifkan program tersebut dan melepas virtual glasses yang Fathir gunakan. Dia terbangun.

            “Ini di mana?” tanyanya bingung.

            “Aku rasa kita dijebak saat tidur. Mereka memasukkan kita ke dunia virtual agar gagal menyebarkan tentang agama Islam. Maka dari itu aku harus “bunuh diri” agar bisa terbangun. Kita harus cepat pergi dari sini!”

            Fathir masih terpaku di tempatnya. “Aku pikir semua itu nyata, kalau kita sudah menang dan berhasil mengalahkan Professor gila itu. Jadi itu hanya dunia buatan manusia?.” Fathir terdengar sangat kecewa. Tiba-tiba Professor Surya dan beberapa biobot masuk ke dalam ruangan ini membuatku berdiri bergidik. Aku tidak takut pada Professor Surya, tapi takut pada mayat-mayat berjalan itu.

            “Kau? Apa maumu sebenarnya?!” bentak Fathir.

            “Jangan begitu naif. Bukankah jelas aku ingin menciptakan dunia dengan pemerintahan tunggal dan akal sebagai tuhan? Sebuah dunia tanpa perbedaan pemahaman, ras, dan agama. Bukankah itu indah?”

            “Kau yang terlalu naif! Bagaimanapun akal manusia yang sering mengalami trial dan error tidak mungkin menjadi tuhan. Sebelum kau mau mewujudkan dunia seperti itu, bangunlah dulu rumah sakit jiwa yang banyak!” gertak Fathir
.
            “Hanya orang bodoh yang menganggap hukum agama absolut.” Professor Lincoln muncul, membuatku terperangah. “Bagaimanapun hukum tuhan hanyalah sejarah yang perlu dikaji dengan kritis. Di dunia yang sudah serba modern, maka kita harus menafsirkan hukum-hukum tuhan secara hermeneutika karena tuhan sendiri menyadari bahwa dia menciptakan manusia sudah kebablasan.”

            “Professor?” tanyaku tercekat.

       “Lintang, hanya aku yang bisa membuat dunia virtual. Professor Surya tidak bisa membuatnya karena di Indonesia tidak pernah diterapkan,” ujar Professor Lincoln lagi.

            “Kau mau bilang kalau kau yang menjebakku di dunia virtual?” tanyaku.

            “You’re right. I designed it. Isn’t you get the point, Fathir?” tanya Professor Lincoln pada Fathir. Fathir terdiam seperti tertegun menyadari sesuatu.

            “Katakan! Dimana teman-temanku?!” bentak Fathir tiba-tiba.

            “Sekarang kau peduli dimana teman-temanmu?” tanya Professor Surya. “Sepertinya kau ingin menyusul mereka, tapi sayang sekali karena kau anak Presiden Faruq, aku tak bisa membekukanmu dengan nitrogen cair sama seperti mereka.”

            “Jadi kau takut membekukanku? Atau sebenarnya alat itu tidak ada dan kau hanya menakut-nakuti saja?” tanya Fathir menantang.

            “Alat pembeku itu ada dan ini alatnya!” Professor Surya menunjukkan sebuah benda mirip pena dari saku jasnya. Dia lalu membekukan salah satu biobot untuk membuktikan bahwa alat itu benar-benar berfungsi. Professor Lincoln dengan cepat merebutnya dan membekukan Fathir. Aku terhenyak, mataku membelalak.

            “Tidak perlu takut pada siapapun sekalipun pada presiden!” ujar Professor Lincoln. “Bawa mereka!” Professor Lincoln menyuruh biobot itu menyeretku dan Fathir yang kini membeku dalam nitrogen cair. Aku benar-benar tidak percaya bahwa kami mengalami kekalahan. Professor Lincoln satu-satunya tumpuanku menyebarkan agama Islam ternyata berpihak pada Professor Surya yang menuhankan akal manusia. Fathir dibekukan dengan nitrogen cair begitu pula GenQ. Apa yang harus aku lakukan dengan seorang diri?

            Hari bergulir. Sudah sepekan semenjak Fathir dibekukan dan dibawa ke suatu tempat rahasia. Entah dimana sehingga aku tidak bisa menolongnya. Kutumpahkan pandanganku ke luar jendela sana, langit siang kini tampak jingga agak gelap dan cahayanya begitu menyengat kulit. Aku sudah merasakannya dua kali seminggu yang lalu, saat aku berusaha keras ingin memutar radio itu di Gomera.

            Nitrogen cair yang sudah membekukan Fathir dan teman-temannya. Neraka virtual yang ternyata sudah membuat kedua orang tuaku gila lalu meninggal. Aku baru mengetahuinya dari ayah dan dia menginginkan aku menurut agar tidak bernasib sama seperti mereka. Aku tahu, aku mungkin tidak punya kekuatan apa-apa sekarang. Tapi aku berjanji, sepuluh atau dua puluh tahun kemudian aku akan kembali mengibarkan panji Islam dan meluruskan filsafat yang error di dunia.

            Dalam satu pekan ini prostitusi dengan robot humanoid meningkat tajam, manusia mulai saling tidak mengenal satu sama lain, pasien sakit jiwa pun bertambah. Propaganda yang dilakukan oleh Professor Surya demi dunia impiannya terwujud. Bagiku, ini hanyalah seperti padang gersang yang penuh dahaga. Sampai akhirnya embun yang kunantikan selama ini pun tiba.

            Aku tengah berangkat sekolah dan layar besar yang menempel di sebuah gedung yang tadinya sedang menampilkan berita televisi kini mendadak berubah. Aku terkejut mendengar suara yang muncul dari layar besar tersebut. Suara riuh susul menyusul yang khas. Saling bergulat satu sama lain. Ini adalah suara radio itu!

            Dan akhirnya tetesan-tetesan embun penyegar itu mengalir. Seruan-seruan dakwah Islam pun didengarkan oleh seluruh manusia di Gomera. Mereka seakan terpaku dengan siaran tersebut. Semua aktivitas mereka terhenti karena seakan-akan ada magnet yang menarik mereka untuk mendengarnya. Aku rasa karena agama menjawab segala keresahan mereka selama ini. Bahwa ada kekuatan besar di luar manusia yang disebut Tuhan. Selain seruan dakwah, radio itu juga membongkar tentang rencana segelintir orang yang menginginkan pemerintahan tunggal yang berkuasa.

            Epilog
            Pagi merekah. Mengawali denyut nadi kehidupan yang baru. Alangkah senangnya, sekarang orang Islam tidak perlu lagi menyembunyikan identitasnya. Di sekolahku salah satunya, Miss Vio sekarang berani memakai jilbab tanpa perlu lagi takut akan dihukum pemerintah. Aku kaget, ternyata dia orang Islam. Proyek pembangunan masjid pun mulai direncanakan dan sumber air wudhu didapat dari pengaliran air zam-zam. Begitu pula air minum.

            Mungkin manusia tidak serta-merta masuk Islam secara berbondong-bondong. Tapi mengenalkan Islam sebagai agama yang mudah diterima merupakan suatu awal yang baik.

            Kulihat Fathir tengah duduk di bawah pohon yang kini menjadi museum di Gomera. Aku pun mendekatinya.

            “Fathir, kau berjanji mengajariku berwudhu! Cepat ajarkan sebelum kau kembali ke Indonesia.”

            “Aku akan menepati janjiku, Insya Allah.”

            “Fathir, sampai sekarang aku masih penasaran. Bagaimana kau bisa tiba-tiba mengumumkan radio tersebut? Kau kan sedang dibekukan?”

            “Kata siapa? Sebenarnya tidak seperti itu. Pembekuanku kemarin hanyalah drama.”

            “Drama?”

            “Waktu itu Professor Lincoln berkata kalau dialah yang merancang dunia virtual itu, kan? Dan dalam dunia virtual yang kujelajahi, dia memberitahuku strategi drama yang direncanakannya. Aku benar-benar terkejut karena dalam dunia virtual tersebut strategi kemenangannya mirip dengan yang kualami setelah aku bangun. Dia menginginkan agar aku memancing Professor Surya membekukanku dan agar aku bisa dibawa ke tempat rahasia untuk kembali menyusun radio yang sudah dihancurkan oleh biobot. Kau mengerti?”

            Aku mangut-mangut. Pantas saja waktu itu Professor Lincoln bertanya apakah Fathir mengerti atau tidak. Ternyata memang ada makna terselubung.

            Sekumpulan anak muda datang. Mereka adalah GenQ. Fathir melihat mereka dan bangkit untuk menyapa rekan-rekannya yang baru saja dibekukan tersebut. Aku tersenyum bersyukur bahwa usaha mereka selama ini tidak sia-sia.

            “Hai Lintang!” mereka menyapaku. Aku segera bangkit dan mereka menyambarku dengan satu pelukan erat. Beginilah persaudaraan sesama Muslim.
The End

Saturday, June 23, 2012

Indonesia Terakhir Part V




“Tunggu!” kata Professor Lincoln tiba-tiba saat aku menyambar radio itu di meja. “Ada yang aneh pada satelit telekomunikasi,” ujarnya sambil terus mengotak-atik kode-kode rumit tersebut. Jari-jemarinya dengan lihai menari di atas keyboard.

Sejurus kemudian, seisi ruangan menjadi gelap. Satu-satunya penerangan berasal dari gurat-gurat jingga di kaki langit. Aku menumpahkan pandangan ke sana. Aneh, seluruh listrik di Gomera padam. Padahal sebelumnya ini tidak pernah terjadi.

“Mata-mata di GenQ pasti memberitahu pada ayah tentang radio yang akan kusiarkan.” Aku berspekulasi.

“Presiden pasti mencarimu.” Professor Lincoln menimpali.

Tiba-tiba, sinar laser memancar menjebol pintu rumah Professor Lincoln. Aku tersentak, tiga polisi bionik tiba-tiba menyeretku keluar. Aku mencoba berontak tapi mereka terlalu kuat berkat teknologi yang terpasang di tubuh. Berbeda dengan biobot, polisi bionik adalah manusia yang masih hidup.

“Lepaskan dia!” sentak Professor Lincoln.

“Maaf, Professor. Kami diperintah oleh presiden,” ujar salah seorang dari mereka. Mereka terus menyeretku sampai di selasar. Apa mereka akan membuatku menderita kanker kulit dengan menyeretku melewati sinar matahari? Ternyata tidak. Mereka melepasku untuk memakai baju anti-ultraviolet dan kacamata terlebih dahulu. Aku memanfaatkannya untuk lari dari selasar secepatnya dan para polisi bionik itu mengejarku. Mereka cepat sekali.

“Cepat naik!” Seorang pemuda menaiki SkyBike menepi. Aku menurutinya dan dalam hitungan detik kami melesat kencang di jalanan. Speedometer menunjukkan kecepatan 200 mil/jam. Sayangnya, para polisi bionik itu muncul menggunakan SkyRider. Semacam mobil patroli yang menggunakan kapasitor sensor cahaya yang mengubah energi cahaya menjadi energi kinetik.

Pemuda itu membawa SkyBike ke dalam terowongan. Sepertinya dia tahu kalau SkyRider bergantung pada cahaya. Sementara, listrik di Gomera padam dan hari pun beranjak malam. Kami bisa lolos walau perlu waktu lama menunggu energi cadangan SkyRider mereka habis. Malam merangkak naik, kami berhenti di tempat yang dipenuhi dengan bangunan-bangunan tua. Ini pasti ratusan mil dari Gomera.

“Jaringan telekomunikasi putus total. Kita harus menunggu di sini untuk sementara waktu baru bisa menyiarkannya,” ujar pemuda itu membuka helmnya.

“Fathir?” tanyaku tercekat. “Kau bicara padaku dengan bahasa...”

“Aku sudah tahu, Lintang. Radio itu terhubung dengan komputer di markas GenQ. Jadi kami dengar saat kau memutarnya.”

“Lalu GenQ?” tanyaku masih diliputi tanda tanya.

“Kami sengaja menyerahkan diri agar tahu siapa mata-matanya. Sekarang, semua tugas diserahkan pada kita,” ujar Fathir. “Lintang, di sana ada mata air pertemuan laut merah dan laut mati. Kau bisa meminumnya kalau haus. Aku harus ke sana dulu ambil air wudhu.”

Lintang melangkah menuju bebatuan itu dan aku merebahkan tubuh di teras sebuah bangunan. Kantuk mulai bergelayut di pelupuk mata. Perlahan kubiarkan gelap menyelimuti lelap. Hening. Diselingi desir suara angin yang berembus menanti pagi datang.

“Danny...” Samar-samar kudengar suara dari kejauhan. Mataku mengerjap dan kutemukan diriku berada di tempat lain lagi. Tunggu, ini di kelas? Kulepaskan virtual glasses dari kepala dan Mr. Lovis memberiku segelas air putih.

 “Ini mimpi, kan?” tanyaku bingung.

 “Tidak, tapi kau terlalu tenggelam dalam virtual,” katanya. Kutampar pipiku sendiri keras-keras meyakinkan diri. Rasanya sakit. Itu artinya kalau aku tidak sedang bermimpi. Ini benar-benar nyata.

“Maaf, aku tahu bahwa Indonesia virtual itu sangat seru. Tapi aku terpaksa menon-aktifkan programnya sebelum di sana kau tertidur. Kau tahu itu, kan?”

Ya, aku tahu. Akan sangat sulit dibangunkan jika tertidur atau pingsan di dunia virtual. Berbeda dengan meninggal, itu membuat kita segera sadar. Aku jadi ingat, butuh berjam-jam untuk membangunkan Lindy yang pingsan saat pelajaran Exoplanet. Tapi beda dengan Asuka saat pelajaran Sejarah. Ia menjadi pekerja Aljeida Babylon yang gagal menepati janji pada Julius Caesar. Akhirnya Asuka meninggal karena dijadikan santapan singa di hadapan masyarakat Romawi kuno. Dia pun bangun terlalu cepat.

Aku terdiam tiba-tiba menyadari sesuatu. Elit pemerintah Indonesia tahu aku orang Indonesia, dan mereka yang merancang adalah Mr. Lovis. Itu artinya, Mr. Lovis tahu bahwa aku orang Indonesia? Alisku terpaut menggaris dahi. Mataku berkeliling menyadari suasana kelas ini terasa asing. Aku pun bangkit menuju koridor.

“Danny, ada apa?” tanya Mr. Lovis tapi kuabaikan. Kubuka jendela dan sinar matahari masuk, membuat mata sakit dan kulitku memerah. Aku tidak peduli dan naik ke gerendel jendela. Ratusan kaki dari jalanan, angin menampar wajahku. Sebelum Mr. Lovis berhasil menangkapku, aku sudah menjatuhkan diri lebih dahulu.

Bersambung.

Next:

Indonesia Terakhir Part IV




Suara itu menggema dalam rongga jiwa. Ayah menyebut nama asliku di depan elit pemerintah itu padahal dia sendiri berpesan agar aku tidak membocorkan identitasku pada siapapun. Tapi ada yang lebih tidak kupahami, kedua orang tuaku meninggal demi sebuah agama asing bernama Islam? Kenapa ayah tak pernah memberi tahuku selama ini?

Aku terkesiap, teringat kalau Fathir dan teman-temannya akan dibekukan dengan nitrogen cair. Hukuman paling ditakuti setelah neraka virtual. Aku pun bergegas bangkit dan berlari kembali ke toko tele-scouter untuk memberi tahu mereka sebelum terlambat.

Raungan suara sirine terdengar menyusul di belakangku. Para biobot melesat menuju toko tele-scouter itu menggunakan SkyBike. Semacam kendaraan terbang untuk patroli. Salah satu biobot itu mendelikkan matanya, ia sadar kalau aku adalah anak Presiden Gomera. Aku langsung menyusup ke dalam gang kecil  yang dihimpit dua gedung. Berlari di antara celah-celah sempit berharap menemukan jalan keluar.

Aku terjebak! Dalam lorong sempit yang hanya berujung tembok tinggi menjulang. Tak pikir panjang, aku masuk ke dalam kotak sampah besar di dekat situ yang isinya adalah besi-besi berkarat.

Ada lubang kecil di kotak sampah besar itu. Jadi aku bisa mengintip apakah di luar sudah aman atau belum. Sesuatu menepuk pundakku dari belakang membuatku tersentak. Hff… ternyata cuma robot rusak dengan tangan kiri putus dan kabel-kabel mencuat dari tubuhnya. Aku rasa robot ini sudah lama berada di tempat sampah. Ia lalu menjulurkan tangannya yang mulai berkarat tersebut. “Nooie,” katanya.

“Lintang.” Aku menjabat tangan besi itu.

 “Kenapa kau bisa di sini?”

“Aku harus ke Gomera tapi para biobot itu akan menangkapku.”

Nooie mengobrak-abrik tumpukan besi itu, seakan mencari sesuatu. Lalu ia mendapati semacam senter dan memukul-mukulnya. Sementara aku sibuk melihat keluar, menunggu agar aku bisa keluar secepatnya. Tiba-tiba... Aku tiba pada titik yang tidak kupahami maknanya. Kutemukan diriku dalam sebuah keterasingan, seakan keluar dari dimensi ruang dan waktu.

Bles!

Aku terjatuh di tempat yang berbeda. Seluruh tubuhku seakan-akan baru saja dihancurkan. Rasa sakit luar biasa menyergap dada, membuatku tak bisa bernapas. Tanganku memerah memegang aspal mendidih di bawah beringasnya terik matahari. Mataku mengerjap, pandanganku buyar, satu-satunya yang kutahu kini aku berada di antara tapak-tapak kaki yang bergedebukan menghantam jalan. Sebelum akhirnya semuanya menjadi gelap.

Sayup-sayup mataku terbuka. Perlahan semuanya menjadi jelas dan kutemukan tubuhku tergolek di atas sofa. Professor Lincoln berdiri tidak jauh sedang memperbaiki Nooie.

“Kau sudah bangun?” tanya pria paruh baya itu.

“Apa yang terjadi?”

“Teleportasi. Robot ini menggunakan transmitter rusak untuk mengirimmu ke Gomera. Bersyukurlah karena transmitter rusak itu masih bisa menyusun atom-atom tubuhmu dengan benar.”

Aku melihat Nooie dan tersenyum. Entah harus berterimakasih atau tidak, dia memang sudah menolongku lolos dari Biobot. Tapi dia menggunakan transmitter rusak untuk teleportasi. Kalau sampai ada satu atom saja dalam tubuh ini bergeser satu milimeter, aku pasti akan mengalami cacat fisiologis selamanya.

 “Radionya!” aku terpekik.

“Benda itu?” Professor Lincoln menunjuk radio di atas meja dengan wajahnya. Aku mendesah lega.

“Ada yang harus segera kusiarkan! Professor, bukankah kau bisa membobol jaringan komunikasi?”

“Ya, ada apa?”

“Aku ingin menyiarkan kepada Gomera tentang Islam. Sebuah agama yang bagaimanapun dulu pernah ada dan masih ada hingga sekarang. Dengan begitu, aku bisa menolong GenQ dengan membuktikan kalau mereka tidak bersalah. Mereka hanya ingin memberi tahu kebenaran.”

“Lintang, jangan menjebak dirimu. Dunia tidak akan berubah hanya karena keinginanmu sendiri,” nasihat Professor Lincoln. Aku tahu dia memang sangat menyayangiku, tapi apa aku harus diam saja sementara sekarang GenQ dalam bahaya?

“Sendiri? Setidaknya jika orang tuaku masih hidup, mereka akan mendukungku. Aku tidak sendiri.”

Professor Lincoln diam sejenak melihatku seraya menghela napas. “Akhirnya kau sudah tahu.”

Pria paruh baya itu menyalakan komputernya. Jari-jemarinya menari di atas keyboard dan kode-kode rumit bermunculan di layar. Entah apa maksudnya. Ia lalu menekan tombol enter.

“Bingo. Ini adalah jantung operasional penyiarannya, kau bisa menyiarkannya sekarang.”

Bersambung.

Next

Indonesia Terakhir part III



“Generasi Qur’ani? Apa itu sebuah kelompoki ilegal?” tanyaku.

            “Bagaimana kau tahu?” tanya Fathir.

            “Hanya menebak,” jawabku berbohong. Sebenarnya aku tahu dari penggunaan istilah “Qur’an” yang mereka gunakan.

            “Kau benar, kami memang kelompok ilegal. Tapi itu karena banyak orang tidak tahu dulu ada sebuah agama dimana kebanyakan pemeluknya ada di Indonesia: Agama Islam.”

            “Lalu kenapa tidak meminta tolong pada ayahmu saja, Fathir? Bukankah ayahmu presiden?” tanyaku. Fathir terlihat tidak suka pertanyaan ini, tapi aku benar-benar penasaran.

            Fathir diam sejenak sebelum akhirnya dia bicara, “Dia cuma boneka.”

            “Hah?”

            “Dia cuma boneka Professor Surya. Dia menuruti semua permintaan orang gila itu, termasuk menjadikan mayat sebagai biobot. Tapi bukan Gen-Q namanya jika kehabisan ide.” Fathir menjentikkan jarinya dengan sombong, dia berjalan menuju sebuah lemari dan aku mengikutinya. Fathir membuka lemari itu, di dalamnya ada sebuah radio. Radio?

            “Ini adalah radio yang dapat mendengar suara dari masa lalu. You know? Gelombang itu energi, dan energi bersifat tetap. Jadi suara-suara –yang pada dasarnya adalah gelombang– tidak pernah hilang, tapi “berserakan” di udara. Hal ini bisa jadi saksi akan adanya Islam dan seruan dakwah Rasulullah. Sayangnya kubah metamaterial yang melingkupi Indonesia ini benar-benar menghalangi gelombang radio masuk.”

            Aku terpana dan menyentuh radio tersebut. Sekilas seperti radio tua biasa dengan antena yang bentuknya rada aneh. Tapi alat ini bisa menjadi awal dari sebuah revolusi besar-besaran. “Kau memberitahuku proyek ini? Apa tidak takut aku membocorkannya?”

            “Justru itulah yang kuinginkan, aku ingin kau membocorkannya terutama pada ayahmu,” ujar Fathir. “Radio ini kau putar di Gomera, karena di sini teknologi yang membutuhkan gelombang elektromagnetik tidak berguna.”

            “Kau menyeretku?” tanyaku tidak percaya.

            “Bukankah itu jelas? Bagaimana perasaanmu melihat mayat-mayat itu dimanfaatkan menjadi biobot?”

            Hari ini, lagi-lagi aku disuruh membuat sebuah keputusan yang berat. Bukannya aku tidak mau membantu Fathir, tapi aku teringat temanku di panti asuhan dulu. Namanya Fikri. Hanya karena dia ketahuan menyimpan Al-Qur’an di bawah bantal, dia menghilang dan tidak pernah muncul lagi di panti asuhan. Seperti ia akan dibunuh karenanya.

            “Aku tidak tahu, maaf,” kataku dengan nada menyesal.

            Fathir terlihat kecewa. Begitu pula anak-anak remaja di ruangan ini yang mendengar percakapan kami berdua. Tapi kan mereka tidak bisa bertumpu kepadaku.

            “Bodohnya aku, seharusnya aku tahu kalau kau tidak mungkin melakukannya. Tapi, radio ini tetap kau bawa saja ke Gomera. Aku tidak memaksamu memutarnya, anggap saja ini hadiah.”

            “Tapi...”

            “Tapi aku juga tidak butuh. Kami bisa membuatnya lagi jika kami mau. Gen-Q gitu loh!” Fathir tersenyum.

            Setelah kejadian di laboratorium tadi, Fathir membawaku pulang ke depan gedung tinggi dimana ayah rapat. Dia membawaku dengan sepedanya, dan aku membawa radio yang cukup berat itu. Para biobot yang menjaga di depan pintu masuk, membuatku takut. Teringat bahwa kenyataannya mereka tak berbeda dengan zombie.

            Fathir mengayuh sepedanya kembali ke markas Gen-Q. Sementara, aku duduk sendirian di taman dengan tumbuhan-tumbuhan palsu. Desau angin menjadi saksi rerumputan dan ilalang yang menari. Aku pun mulai bosan, sudah sepuluh menit aku menunggu di taman palsu ini dan ayah tidak segera keluar. Tidak tahu apa yang aku lakukan, aku pun menyalakan radio itu. Mungkin ia akan menangkap gelombang yang “berserakan” dalam kubah.

            Zzz.. zztt.. Zzz... zztt... Suara riuh susul menyusul muncul tiada habisnya. Seperti radio, aku mengaturnya sedemikian rupa sehingga suara yang muncul menjadi lebih halus. Dapat! Sekumpulan pria yang sedang mengobrol.

            “Mata-mata kami melaporkan bahwa Fathir membawa anakmu, Presiden Horace.”

“Anak keras kepala itu memang tidak pernah kapok!”

            “Sudah lama aku ingin membekukan mereka di dalam nitrogen cair!” Seperti suara Prof. Surya.

            “Tapi jangan sentuh putraku Fathir! Aku akan membiayaimu untuk membekukan yang lainnya.”

            “Dan walaupun Fathir mengajak Lintang, jangan sentuh dia juga! Atau aku tidak akan membiayai singularitas biobot tahun ini. Dia penurut dan tidak tahu apapun, bahkan tidak tahu ayah dan ibu kandungnya meninggal karena membela Islam,” itu suara ayah.

Bersambung

Next:
Indonesia Terakhir Part VI          

Indonesia Terakhir part II


           Aku melongo, tidak percaya ayah akan membawaku ke Indonesia. Selama beberapa tahun aku tinggal di Gomera, aku yakin tidak ada lagi tempat manusia bisa  bertahan hidup selain di Gomera. Lalu, apa maksud ayah adalah samudera tak berpenghuni yang dulunya adalah Indonesia?

            “Apa maksud ayah tentang Indonesia yang ayah bilang?”

            “Bagaimana kalau kau melihatnya sendiri?”

            “Baiklah, aku ikut ayah saja,” jawabku setengah hati. Sebenarnya aku sangat keberatan meninggalkan pelajaran Geografi hari ini, tapi ketika melihat ayah, dia hampir tidak punya waktu. Kulihat ayah tersenyum kemenangan, dia tidak lagi mengatakan apapun. Walau aku masih penasaran, tapi aku rasa dia tidak akan menjawabnya. Mobil itu lalu membawa kami ke stasiun lintas dunia milik negara.

            Pesawat yang kunaiki kali ini melaju dengan kecepatan Mach-10. Sehingga perjalanan dari Gomera ke Indonesia hanya membutuhkan satu jam. Kutumpahkan pandanganku ke luar jendela, disini dulu Indonesia berada, tapi sekarang menjelma menjadi jutaan kubik air dan gulungan-gulungan ombak saja sejauh mata memandang.

            Tiba-tiba, pesawat memasuki zona lain. Sebuah terowongan sepanjang 1 mil yang tiba-tiba saja muncul di atas permukaan samudera. Tidak lama, pesawat pun berhenti di sebuah tempat yang aku rasa bukan berada di abad yang sama. Ayah menggandeng tanganku keluar dari pesawat saat pintu pesawat terbuka. Aku langsung memejamkan mata. Bukankah matahari sekarang bisa membuat mata menjadi buta? Mengapa ayah…?

            “Buka saja matamu,” kata Ayah. Aku mengerjap dan kurasakan mataku baik-baik saja. Aku juga tidak perlu memakai pakaian khusus anti ultraviolet. Dia masih menggandeng tanganku dan berjalan keluar. Puluhan pria berkulit sawo matang berjejer di depan pesawat.

            “Selamat datang di Indonesia, Presiden Horace!” ujar salah seorang dari mereka. Aku terkejut. Senang, bingung, dan tidak percaya bercampur aduk. Apa mereka orang Indonesia? Apa di sini Indonesia?

            “Apa ini benar-benar…?” tanyaku tercekat.

            “Iya. Kampung halamanmu,” katanya. Kukucek mataku berkali-kali dan aku masih tidak percaya dengan pemandangan ini. Aku tidak sedang bermimpi, kan?

            “Ada kubah dari metamaterial yang membuat gelombang elektromagnetik dibelokkan. Sehingga Indonesia menjadi tak terlihat bahkan tak terlacak radar. Begitu pula cahaya matahari yang pada dasarnya adalah gelombang elektromagnetik. Sementara sumber energi terbesar didapat dari energi fusi nuklir.”

            “Tapi kenapa mereka bilang Indonesia tenggelam?”

            “Itu karena rekayasa genetika impian manusia yang hampir membuat orang Indonesia musnah. Indonesia harus disembunyikan.”

            “Mereka menginginkan gen orang Indonesia?”

            “Ya, makanya selain Professor Lincoln, kau jangan memberitahu siapapun kalau kau orang Indonesia. Paham?” tanya Ayah. Aku mengangguk.

            Sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan kami. Mobil tersebut masih memakai roda, tidak secanggih di Gomera. Aku dan ayah masuk setelah seorang pria membuka pintu mobil. Di dalamnya, manusia lah yang menjadi supir. Bukan robot.

            Aku melongok ke luar jendela saat mobil melewati sebuah gerbang besar yang terbuat dari karbon nanotube. Yaitu material yang sangat kuat tapi sangat ringan. Di balik gerbang itu dapat kulihat pohon-pohon berjejer, kepakan lembut sayap kupu-kupu, dan semilir angin yang merayu bunga-bunga yang tersenyum merekah. Laksana goresan sebuah lukisan yang sangat indah. Masih kunikmati pemandangan itu sampai akhirnya mobil ini berhenti di depan sebuah bangunan tinggi. Aku dan Ayah keluar dan disambut para pria berkulit sawo matang.

            Tunggu, aku baru sadar kalau wajah para pria berkulit sawo matang itu mirip satu sama lain. Bahkan ekspresi wajah mereka sama: datar. Jika kau ingin lebih dramatis lagi, mereka seperti... mati.

            Seorang pria berkepala besar dengan rambut beruban muncul dari dalam bangunan itu. Dia menyambut Ayah dengan jabat tangan.

            “Welcome in Indonesia, Mr. President!” sambut orang itu dengan senyuman. Dia adalah orang pertama yang kulihat berbeda. Dia pasti orang khusus.

            “Dia adalah Danny, anak tunggalku.”Ayah menepuk pundakku.

            “Hai Danny, salam kenal. Kau bisa panggil saya Professor Surya.” Pria itu tersenyum dan kami berjabat tangan.

Professor Surya lalu mengajak ayah masuk ke dalam tempat itu. Para pria berkulit sawo matang melihatku dengan tajam, membuatku tak betah lama-lama berdiri disini sendiri. Aku lalu memilih ikut ayah masuk sebelum akhirnya seseorang menepuk pundakku dari belakang.

“Kau ikut aku saja!” kata seorang anak remaja laki-laki berperawakan tinggi. Rambutnya hitam dan kulitnya lebih putih dibanding para pria misterius itu. Dia adalah orang kedua yang kutemukan berbeda. Usianya mungkin 16 sampai 17 tahun.

“Tapi...,” kataku bingung melihat Ayah masuk.

“Apa kau mau menghabiskan waktu dengan rapat yang membosankan?” tanyanya.

“Kau mau bawa aku kemana?”

“Yang pasti kamu tidak menyesal kubawa ke sana,” kata orang itu sambil menaiki sepedanya. “Ayo naik!”

Orang itu pun memboncengku. Sementara aku hanyut menyaksikan alam hijau yang telah bertahun-tahun tidak lagi kunikmati. Kubiarkan desau angin sejuk membelai tubuhku sampai akhirnya...

“Seperti asli tapi semua itu tumbuhan palsu. Professor Surya memang sangat hebat,” kata anak remaja itu. “Tadi kau bilang namamu Danny, kan? Kenalkan namaku Fathir.”

“Palsu?” tanyaku dengan nada tercekat. Memang, semenjak pemanasan global dan sejak radiasi nuklir bekas perang dunia, lahan rusak dan tumbuhan tidak pernah tumbuhan lagi. Aku sudah tahu jawabannya, jadi aku lontarkan pertanyaan lain. “Fathir, orang-orang itu mereka mirip. Kau tahu kenapa?”

“Biobot,” kata Fathir.

“Hah?”

“Penyatuan antara biologi manusia dengan robot. Mereka adalah biologi manusia dengan komputer kuantum di otaknya dan melakukan pekerjaan dengan sempurna. Hasil singularitas. Sayangnya mereka sudah mati alias...”

“Ma-yat?” aku melanjutkan dengan merinding.

“Ya, kau benar. Wajah mereka mirip karena wajah asli mereka sudah hancur bekas percobaan rekayasa genetika dua tahun yang lalu.”

Fathir menepikan sepedanya di depan sebuah toko tele scouter yang sudah tutup. Tulisan ’closed’ yang terpajang di pintu kaca toko itu tampak mulai usang. Aku mengikuti Fathir masuk ke toko sepi tersebut, aneh, tapi aku memutuskan untuk tidak banyak bertanya, karena sepertinya aku akan tahu sendiri.

“Use it!” Fathir memberiku sebuah tele scouter, semacam kacamata yang dapat menerjemahkan ucapan orang lain. “Mereka akan berbicara dalam bahasa Indonesia, kau butuh benda ini.”

“Mereka?”

Fathir hanya menjawab dengan tersenyum sombong, dia lalu berjalan menuju sebuah pintu hijau di ujung ruangan. Aku mengikutinya sambil memakai kacamata itu, walau sebenarnya aku tidak butuh. Sebuah sinar memancar, memindai pupil mata Fathir. Tidak lama kemudian, pintu itu terbuka dan di dalamnya hanyalah sebuah ruangan sempit yang muat untuk dua orang.

“Di Gomera sepertinya canggih sekali, ya?” tanya Fathir masuk ke dalam ruang sempit itu.

“Ya, sangat. Kecuali makanannya yang mirip cairan hidung,” jawabku ikut masuk ke dalam ruangan itu. Pintu ruangan itu tertutup dan membuat sesak.

“Kau akan melihat yang jauh lebih canggih lagi!” ujar Fathir bangga. Sedetik kemudian, ruangan itu meluncur ke bawah dengan super cepat. Membuatku seperti ingin muntah. Ternyata ruangan ini adalah lift.

Pintu lift terbuka, cahaya putih yang sangat terang jatuh di pelupuk mata. Silau. Tak lama, mataku mulai terbiasa dengan penerangan yang entah dari mana sumbernya. Tidak ada jendela dan tidak ada lampu. Sampai akhirnya aku sadar, penerangan berasal dari bawah: lantai.

Cuma ada satu pintu, yaitu di ujung ruangan. Fathir membuka pintu yang terbuat dari karbon nanotube itu. Teknologi nano memang sedang populer belakangan ini. Di balik pintu itu ada sekumpulan anak muda yang masing-masing sibuk dengan urusannya. Ada yang di depan komputer, ada yang sibuk dengan larutan kimia, ada pula yang sibuk merangkai sesuatu. Well, Fathir telah membawaku ke abad yang lain lagi aku rasa.

“Assalamu’alaikum!” Fathir berseru. Semua mata pun mengarah pada kami berdua.

“Walaikum’salam. Dia siapa, Fathir?” tanya seorang laki-laki menunjukku.

“Namanya Danny, dia anak Presiden Gomera.”

“Hai Danny, apa kau tahu bahwa Fathir juga adalah anak presiden sama sepertimu?” tanya laki-laki itu. Aku terkejut dan menggeleng, dari penampilannya tidak bisa ditebak kalau dia adalah anak presiden.

“Ah, sudahlah! Itu tidak penting.” Fathir sepertinya memang tidak ingin membahas itu. Aku pun memulai mengganti topik pembicaraan.

“Jadi, ’mereka’ yang kau bilang tadi adalah mereka?”

”Ya. Tapi lain kali kau menyebut ’mereka’ Gen-Q atau Generasi Qur’ani. Nama yang bagus, kan?” tanya Fathir tersenyum makin  lebar.

Friday, June 22, 2012

Indonesia Terakhir Part I

Cerpen FIKSI ILMIAH. Sains Fiksi. Science Fiction.
Mau berbagi cerbung FIKSI ILMIAH yang kebetulan di muat di majalah sekolah. Semoga pada suka.
Oleh         : Maryam Qonita XI-3 Science

Sudah satu jam kutumpahkan pandanganku ke langit di luar jendela, yang seperti biasa, seakan menyimpan sejuta misteri. Aku tidak mengerti klimatologi, tapi aku mendengar dari teman-teman kalau langit berwarna jingga adalah dampak dari pemanasan global yang terus meningkat. Sinar matahari yang sangat beringas membuat manusia harus menggunakan pakaian anti ultraviolet dan kacamata khusus ketika hendak beraktifitas ke luar rumah pada siang hari.

Sekarang tahun 2136. Gedung-gedung pencakar langit menjamur di tiap penjuru negeri. Alam yang hijau sudah tidak ada lagi dan pepohonan dianggap sebagai museum. Bahkan  Indonesia, negeri seribu pohon itu telah menghilang karena pergeseran lempeng yang membuatnya tenggelam di dasar samudra Atlantik. Bukan hanya Indonesia saja, lebih dari setengah daratan di dunia tenggelam. Permukaan air laut naik karena pemanasan global yang menyebabkan gletser mencair. Seluruh penduduk dunia yang tersisa pun mengungsi ke sebuah negeri bernama Gomera.

Aku masih ingat pertama kali aku datang ke Gomera, dua pria asing bertubuh besar membawaku dengan pesawat yang melaju dengan kecepatan Mach-5. Yaitu 5 kali kecepatan suara. Pada awalnya aku bingung, karena manusia lain mengungsi ke Gomera perlu mengemis-ngemis agar diizinkan masuk. Mereka pun harus mengurus surat-surat migrasi di departemen luar negeri. Mungkin, cuma aku yang diundang oleh utusan dari negeri itu.

Pertanyaanku terjawab ketika Professor Lincoln, orang pertama yang kukenal di negeri asing ini berkata kalau aku anak yang  spesial. Wajahku mirip dengan wajah anak presiden Gomera yang meninggal dua tahun lalu. Ibu Presiden yang kini kupanggil dia Mama sangat menginginkan anaknya hidup lagi, karena itu aku disuruh menjadi Danny hingga Mama bisa menerima keadaan.

            Danny memang mirip sekali denganku. Aku bisa lihat fotonya yang berada di atas meja di samping tempat tidur. Kertas holograf yang disatukan secara elektronik membuat background foto itu berubah-ubah. Pertama kali melihatnya, aku bahkan tidak sadar mulutku menganga cukup lama karena aku tidak menemui foto seperti itu di Indonesia.

            “Tuan muda Danny, sarapan sudah siap.” Suara dari interkom membuatku tersentak. Beberapa detik kemudian, Lon, robot pribadiku masuk mendorong sebuah meja beroda yang diatasnya terdapat makanan sintetis. Aku mengangguk padanya tanda terimakasih.

            “Tuan muda Danny, selamat makan!” Lon lalu pergi dengan kakinya yang berbentuk bundar, atau mungkin itu bukan kaki.

            Kulihat bubur berwarna biru di atas meja itu. Ini adalah makanan sintetis yang bisa menghilangkan lapar. Sebenarnya aku sudah muak memakan makanan sintetis ini, tapi itu masih lebih baik daripada manusia kebanyakan yang makan dengan bubur berwarna hijau. Mirip cairan hidung. Jika bubur biru ini disajikan untuk mereka, mereka pasti sangat menyukainya dan memakannya dengan lahap. Sementara, mengingat aku adalah anak angkat Presiden Gomera, setiap hari aku bisa makan bubur biru¾dimana warna makanan menjadi pembeda makanan elit dan rendah¾juga tidak pernah kekurangan air minum.

            Sangat sulit mendapat air bersih akibat radiasi nuklir bekas perang dunia ketiga. Yang juga mengakibatkan musnahnya 80% penduduk dunia. Jika hujan turun, maka yang terjadi adalah hujan asam yang telah membuat ribuan bahkan jutaan tumbuhan musnah. Ilmu sanitasi pun menjadi kurikulum wajib di semua sekolah. Untuk mandi dan mencuci, manusia sudah menggunakan teknologi canggih. Sebuah alat yang memancarkan laser dan dalam waktu singkat, wuus… benda itu telah membersihkan seketika.

            Hff…, hembusan nafasku mengembun di kaca jendela. Pemandangan di luar sana jauh berbeda dengan Indonesia, kampung halamanku, dimana aku dilahirkan 11 tahun yang lalu. Sayangnya, karena Indonesia berada di atas dua buah lempeng raksasa yang bertabrakan dan membuat tsunami besar-besaran, negeri dengan nuansa seribu pulau ini menghilang. Hanya ada birunya samudra sejauh mata memandang jika aku pergi ke 6’LU-11’LS dan 95’BT-141’BT.

            Hari ini di sekolahku ada pelajaran Geografi. Aku sudah menunggunya sejak seminggu yang lalu karena sekarang membahas tentang Indonesia. Ya, Indonesia! Mr. Lovis pasti akan membawa kami tamasya ke Indonesia virtual ratusan tahun lalu dimana ada birunya langit, wangi rerumputan hijau, dan kuningnya jagung matang. Seperti kemarin, Miss Vio membawa kami ke Neptunus dalam pelajaran exoplanet. Beberapa temanku ada yang pingsan saking kedinginan. Walau virtual, tapi seperti nyata.

            Aku melangkah dengan setengah berlari ke selasar. Kulihat seorang pria berambut hitam dengan bola mata keabuan, pria itu ayah. Dia mengenakan setelan jas berwarna hitam. Ayah lalu memijit sebuah tombol pada semacam remot lalu pintu mobil di depannya terbuka. Sebuah mobil berbentuk kapsul yang tidak memiliki roda satupun. Mobil zaman sekarang melintas dengan mengambang. Seperti sihir.

            “Lintang, come in!” Ayah mempersilakanku masuk dengan mengarahkan dagunya ke mobil. Dia memang tidak pernah memanggilku Danny¾kecuali di depan Mama¾karena dia  tahu aku bukan Danny. Setelah aku masuk, ayah duduk di sampingku. Mobil kami pun melesat di jalanan dengan robot sebagai supir. Robot memang bukan benda asing sekarang, bahkan jumlahnya lebih banyak daripada jumlah manusia.

            “Hari ini ayah mau mengajakmu ke suatu tempat,” kata ayah membuatku terkejut.
            “Tapi aku kan harus sekolah.” jawabku yang sejak seminggu lalu menunggu hari ini. Lebih tepatnya, menunggu pelajaran Geografi.
            “Kau tidak akan menyesal pergi bersama Ayah.” Ayah tersenyum.
            “Memangnya, Ayah akan membawaku kemana?”
            Ayah tersenyum sebelum akhirnya dia berkata, “Ke Indonesia.”

Tuesday, June 19, 2012

Catatan di Tahun Terakhir



Sebelumnya aku minta maaf buat kawan santri menulis soalnya blog ini belum pernah diupdate lagi. Hhehehe… soalnya masa-masa 3 aliyah di Husnul Khotimah adalah masa-masa sibuk. Tapi jangan khawatir ya, soalnya insya Allah blognya bakal lebih sering diupdate lagi.

Oia, aku punya cerita (semua orang punya cerita). Dan ini hanya sebagian kecil cerita dari kehidupanku. Rasanya, pengen kuputar ulang sekilas tahun-tahun terakhir di Husnul Khotimah, ma’hadku tercinta. Ini dia tahun saat menyerang dan bertahan harus jauh lebih kuat dari sebelumnya. Ada kewajiban Praktek Pengabdian Masyarakat (PPM), setor quran minimal 5 juz, 42 hadits arbain, UAM-BN, UN, dan SNMPTN. Inilah HK, masuk susah, di dalam susah, udah keluar lebih susah lagi. Hehehe.

Jadi inget, saat di tiap sudut pesantren anak-anak khanza (nama angkatan) bawa alquran kemana-mana. Ngafalin dimana-mana. Di saung, di kelas, di lapangan, di masjid, di hampir tiap sudut ma’had. Anak khanza bagai punya dunia sendiri. Sebagai anak khanza, aku bangga punya temen kayak mereka. 11 orang dari anak khanza jadi hafizhoh, jauh lebih banyak dari angkatan-angkatan sebelumnya >.< Dan terutama 100% anak khanza lulus ujian quran. Alhamdulillah.

UN dan SNMPTN. Walaupun anak khanza cukup sibuk sama quran, tapi Alhamdulillah UN juga lulus 100%. Dan SNMPTN, walaupun lewat SNMPTN undangan yang diterima baru 10 orang, tapi kuyakin SNMPTN tulis anak khanza bakal banyak yang lulus. ITB, UI, UGM, tembus dah! Ayo semangat kawan, berlari dan teriakkan mimpi-mimpi kita pada dunia!

Sekarang haflah. Padahal tadinya berusaha biar gak nangis. Soalnya ditantang, kalau gak nangis pas haflah (wisuda) berarti hebat. Jadi pengen nyoba tantangan biar gak nangis. Awalnya sih gak nangis, tapi pada akhirnya tumpah juga. Gak pernah sebelumnya aku minta maaf sambil nangis kenceng dan meluk erat-erat kayak gitu. Terutama buat guru-guru. Mewek banget  gak kuatT_T



Sekarang anak-anak khanza membuka lembar cerita baru. Anak-anak khanza sudah melangkah di ranah yang berbeda. Tapi anak khanza membawa nama Husnul Khotimah di punggung mereka. Cukuplah konsep hidup yang diajarin HK menjadi bekal untuk melangkah di ranah yang berbeda-beda. Dan cukuplah bekal 6 tahun menjadi benteng iman ketika kemaksiatan begitu memikat. Mudah-mudahan anak khanza kembali dipersatukan lagi dalam ikatan ukhuwah yang kokoh. Meskipun jasad tak lagi berjumpa, mudah-mudahan tetap bertemu, walau sekadar di dalam hati.

Semangat buat temen-temen terbaikku. Buat Eva yang baiiik banget dan sabaaar banget jadi classmate aku. Seneng bisa ketemu kamu, Va. Sansan, ciee yang udah hafizhoh. Mudah-mudahan dapat suami hafiz juga ya. Zahra yang care banget, jangan lupa istiqomah loh!! Oia, cepet kelar ya hafizhohnya, jadi bisa meniti mimpi-mimpimu yang lain. Amel, sahabatku sejak TK, mudah-mudahan peristiwa kemarin jadi hikmah biar tetap saling percaya. Juga barakallah buat kehidupannya yang baru ya, so sweet ngelihat kalian berdua.

Love you… always… and if the times go by, our friendship will never die. 

Related Posts Plugin by ScratchTheWeb