London, 15 Desember 2005
Nida, seorang wanita Indonesia berbalut jilbab terpaksa lewat jalan yang sedikit gelap agar tiba dengan cepat ke rumahnya. Ia mempercepat jalannya karena mulai merasa takut. Punggungnya serasa disiram air dingin dan tangannya merinding.
“Mau kemana, manis?” seorang pria datang menggodanya. Nida jelas makin ketakutan. Ia mencoba lari tapi datang tiga orang pria lagi.
“Cantik-cantik koq pakai karung di kepala sih? Sini kami benerin pakaiannya!”
“Jangan macam-macam!” gertak Nida.
“Atau?”
“Atau aku akan melaporkan polisi!”
“Woo, lapor polisi? Takut...” kata salah seorang dari mereka.Mereka pun mulai mendekati Nida dan tiba-tiba...
BUG! Rifki Mahatir, yang merupakan sepupu dari suaminya datang. Ia langsung menghajar keempat pria tersebut. Ternyata ada gunanya juga belajar tifan dan karate sewaktu di pesantren. Dalam hitungan menit, keempat pria itu telah KO.
“Rifki, terimakasih telah menolongku...”
“Kebetulan saja aku sedang lewat. Lain kali jangan pergi ke tempat sepi ini sendi..”
DOR! Peluru merajam. Salah seorang dari pria itu menembak Rifki. Rifki langsung terjatuh. Pria itu kembali menembaknya. Nida menjerit ketakutan, dan detik berikutnya Rifki telah tergelatak di aspal. Dia mati. Para pria itu mulai mendekati Nida dan Nida terpaksa berlari sambil menangis membiarkan mayat Rifki dibawa oleh keempat pria itu.
-ooOoo-
Skotlandia, dua tahun kemudian...
Di sebuah tempat yang sedang dicari polisi, sebuah tempat dengan arena pertandingan berterali besi dan ramai dengan penonton yang menyukai kekerasan. Tempat anak-anak muda beradu jotos dan taruhan. Di tengah-tengah sorak sorai penonton, Henry dan George sedang memijat-mijat bahu Steve Hallberg. Pemuda berusia 26 tahun itu tampaknya akan mulai beradu kekuatan di terali besi dengan si juara bertahan, pria raksasa dengan otot-otot besarnya, O’ Bryan.
“Aku tidak suka peran begini,” ujar Steve Hallberg. Ia melihat tubuhnya dengan otot seadanya. Ia pasti kalah.
“Kau harus menang untuk bisa dekat dengan pria itu!” bisik Henry menunjuk ke salah seorang pria yang duduk di tempat yang dijauhi dari orang-orang kebanyakan. Pria itu duduk santai sambil menghisap cerutunya. Di dekat pria itu ada beberapa pria yang berdiri mematung dengan pakaian hitam-hitam.
“Danny Hogan…” gumam Steve.
“Kau tahu itu Steve,” tambah George.
Steve menghela nafas, ia memang disuruh oleh kepolisian untuk menjadi mata-mata Danny Hogan, salah seorang pembesar mafia yang sudah lama menjadi buronan polisi. Tapi ia benar-benar tidak menyukai peran berkelahi dengan raksasa.
Pertandingan dimulai beberapa saat kemudian. Steve dan O’ Bryan kini hanya berdua dalam terali besi. Baru saja Steve memasuki tempat itu, O’ Bryan langsung meninju pelipis Steve. Steve sempat pusing. O’ Bryan meninju rahang bawah Steve dua kali lebih keras lalu mendorong Steve ke besi pengurung tempat itu. Membenturkan kepala Steve berkali-kali.
Penonton yang bertaruh untuk kemenangan O’ Bryan mendapat sinyal bagus.
“Kau harus kehilangan 100 poundmu! Temanmu itu kecil...,” ujar seorang pria kumal pada Henry. Henry hanya diam tidak menanggapinya. Henry dan George terlalu sibuk memikirkan apakah Steve baik-baik saja.
Steve terjatuh tidak berdaya setelah sepuluh kali kepalanya dibenturkan ke besi itu. O’ Bryan hendak menindih tubuh Steve dengan tubuh raksasanya. Seorang wanita yang tidak lain adalah Shelby Wilson berdiri di dekat Danny Hogan melihat kejadian itu. Ia resah.
“Wilson, kamu akan kehilangan 10.000 pound,” Danny Hogan terkekeh.
“Bangun..!! Kau harus bangun...!” teriak Shelby dari tempat itu.
Segera disadari Steve kalau ia berada di tengah pertandingan yang sengit. Dalam hitungan milidetik ia langsung menyingkir sehingga O’Bryan gagal menindih tubuhnya. Kepalanya masih terasa pusing dan pandangannya kabur. Sisa tenaganya hampir habis, tapi ia masih memiliki semangat yang memaksa tubuhnya untuk terus bertarung.
“Rifki, antum harus menggunakan jurus-jurus bela diri ini di saat yang tepat,” ujar Guru Karatenya beberapa tahun yang lalu. Inikah saat yang tepat mengeluarkan kemampuan bela diri karate dan tifan yang diajarkannya sewaktu di pesantren? Ketika O’ Bryan datang hendak menyundulkan kepalanya ke arah Steve, Steve segera sadar ini adalah keadaan yang dimaksud gurunya atau ia akan mati!
Steve menyingkir dan kepala O’ Bryan membentur besi. Steve mulai mengambil nafas hendak mengeluarkan jurus-jurus bela diri yang dikuasainya. Dengan satu kali tendangan di pipi, O’ Bryan memuncratkan darah yang sangat banyak dari mulutnya. Dia terjatuh bersama tubuh besarnya. Tidak sadarkan diri.
Steve melotot. Dia... menang?
-ooOoo-
“Methampetamine seharusnya lebih murah dari kokain, dan sebungkus ini 1000 dollar?” tanya Henry pada seorang pria kurus berusia sekitar 47 tahun. Ada jenggot tumbuh di wajahnya yang kurus.
“Kami hanya memiliki uang 100 dollar hasil menang taruhan. Kau mau uang ini tidak?” tanya George.
“Tidak! Barang ini terlalu berharga untuk harga semurah itu. Kuberi tahu, kokain hanya bisa mabuk empat jam, sementara methampetamine dua belas jam!”kata pria itu.
“Tapi aku bisa membuat methampetamine sendiri menggunakan obat batuk. Jadi bukankah seharusnya harganya memang murah?” tanya Henry.
“Lalu kenapa kristal yang dibuat dari asap knalpot harganya tetap mahal?” tanya pria itu. “Kalau kalian tidak punya uang, buat saja sendiri! Aku masih punya banyak pelanggan,”
“Kita pergi saja!” seru Henry. Langkah kedua orang itupun menjauh dari tempat tersebut. “George, kita harus mencurinya untuk barang bukti,”
“Aku tahu,”
-ooOoo-
Di dalam sebuah ruangan yang tertutup. Dan sebuah sofa merah yang melingkar dalam ruangan itu, Steve berdiri di depan Danny Hogan dan mafia yang lain. Mereka memandang Steve. Steve hanya memandang sepatunya yang mulai berubah warna dari putih jadi coklat. Dia ingat ia belum mencuci sepatu pemberian sepupunya itu sebulan yang lalu. Itu karena ia terlalu sibuk bekerja.
“Apa kau ingin lukamu kusembuhkan?” tanya Shelby Wilson.
Tanpa melihat Shelby, Steve terus melihat sepatunya yang benar-benar mulai usang, “apa kau ingin mencuci sepatuku juga?’ tanya Steve.
Shelby melihat sepatu Steve, “tidak, terimakasih.”
“Siapa namamu dan apa pekerjaanmu?” tanya Danny Hogan.
“Steve Hallberg. Aku mahasiswa,” kata Steve yang juga adalah seorang polisi. Ia tidak lagi memandangi sepatu usangnya.
“Kau sama dengan Devon Murray,” kata Danny Hogan menyebut seorang pembesar mafia juga.
“Devon Murray?”
“Dia adalah orang kepercayaan kami. Dia memiliki banyak uang sekarang, apa kau juga ingin memiliki banyak uang?”
“Tentu saja,”
“Kalau begitu kau harus bergabung denganku.”
“Kenapa aku harus bergabung?”
“Untuk mendapatkan uang!”
“Apa yang kulakukan?”
“Mata-matai Devon Murray! Aku tidak mengerti kenapa Steven Herald bisa begitu percaya padanya, tapi aku tidak,” kata Danny Hogan.
“Baik, mungkin aku bisa bantu, tapi aku butuh informasi lebih tentang keterkaitannya dengan Steven Herald dan mengapa ia menjadi mafia,” kata Steve.
“Bagaimana aku bisa percaya padamu?” tanya Danny Hogan.
“Karena aku adalah teman Devon Murray di kampus, aku bisa memata-matainya. Kalau aku mengecewakanmu, kau bisa membunuhku,” ujar Steve.
Tidak lama kemudian, terdengar kegaduhan di luar ruangan. Pembicaraan Steve dan Danny Hogan terganggu.
“Periksa!” suruh Danny Hogan pada seorang anak buahnya. Lalu pria berbaju hitam itupun keluar dari ruangan untuk memeriksa apa yang terjadi.
“Bos, ada dua orang polisi mencuri!” kata Jeff, nama pria berbaju hitam itu.
“Bagaimana polisi bisa berada di tempat ini?” tanya Danny Hogan tercekat. Tempat ini sudah tidak aman!
“Bawa mereka ke hadapanku!” suruh Danny Hogan. Jeff mengangguk sekali lalu pergi untuk memenuhi perintah bosnya. Steve hanya diam ketika Henry dan George diseret masuk ke dalam ruangan itu. Henry dan George melihat Steve yang berdiri menatapnya.
“Bunuh mereka!” suruh Danny Hogan pada anak buahnya.
“Biar aku saja yang membunuh mereka agar kau bisa lebih mempercayaiku!” ujar Steve. Danny Hogan tersenyum. Ia tahu kalau Steve adalah salah satu dari mereka.
“Aku tidak perlu mempercayaimu karena itu membahayakanku,” ujar Danny Hogan. “Apa kau tahu, nak? Aku tidak pernah percaya pada siapapun kecuali diriku sendiri,”
“Lalu kenapa kau menjadikanku mafia?”
“Karena kau bilang kau adalah mahasiswa, sama seperti Devon Murray,”
“Kumohon biar aku yang membunuh mereka. Mereka adalah teman-temanku, dan dengan membunuhnya tak ada yang menghalangi jalanku menjadi anak buahmu,”
“Steve, apa yang kau lakukan? Kau bercanda?” tanya Henry melotot.
“Kau tidak boleh membunuh kami! Kau ingat rencana kita, kan?”
“Pakai ini!” Danny Hogan memberikan sebuah pistol pada Steve. Steve mengambil pistol itu dan memakukannya ke arah jantung kedua temannya. Henry dan George tidak bisa lari karena mereka ditahan oleh Jeff dan beberapa mafia yang lain.
Peluru merajam. Dua kali. Bisingannya memenuhi setiap sudut ruangan. Henry dan George tergeletak di atas lantai. Mereka mati.
“Kerjamu bagus!” ujar Danny Hogan.
“Singkirkan mayat ini, Jeff!” suruh Danny Hogan. Jeff mengangguk.
“Ikutlah denganku, Steve! Tempat ini sudah tidak aman,polisi dan FBI akan datang sebentar lagi,” ujar Danny Hogan.
“O-oke.”
Steve berjalan di belakang Danny Hogan meninggalkan ruangan tersebut untuk kabur. Di ambang pintu, ia melihat Henry dan George. Semoga mereka baik-baik saja, batinnya.
-ooOoo-
Malam harinya. Depan tempat tersebut sudah banyak polisi. Beberapa dari mereka adalah FBI. Pengepungan sudah berhasil dilakukan. Semua orang di tempat itu telah tertangkap termasuk Danny Hogan. Kecuali seorang wanita yang berhasil melarikan diri: Shelby Wilson.
“Kau cukup jenius. Tapi tidak akan kuizinkan kau melakukan ini lain kali,” ujar William Grasp bicara pada Steve melewati kaca mobil yang terbuka. Steve terdiam. Ia harus pura-pura ditangkap juga oleh kepolisian untuk sementara.
“Baik, sir,” ujar Steve. Tapi ia tidak terlihat begitu gembira karena Shelby Wilson tidak tertangkap. Tidak lama kemudian, Henry dan George memasuki mobil polisi yang dimasuki Steve dan mengapit Steve. Well, mereka tidak mati. Maksudku, belum. Karena mereka tadi menggunakan rompi anti peluru. Ini sudah rencana awal.
“Bau badanku tidak enak,” ujar Henry. Tadi Jeff membuangnya ke tempat sampah.
“Idemu gila, Steve. Bagaimana kalau Danny Hogan menyuruhmu membunuh kami dengan pedang samurai?” tanya George. “Sekarang, kau sudah mendapatkan data tentang Devon Murray sepupumu?” tanya George lagi.
“Hampir,” kata Steve. “Sekarang jam berapa?” tanya Steve.
“Jam sebelas. Ada apa?” ujar Henry.
“Aku akan kembali sebentar lagi,” ujar Steve melepas tangannya yang diborgol
“Shelby Wilson bisa melihatmu,” kata Henry.
“Aku tahu. Aku akan berhati-hati tapi urusan ini tidak bisa kutunda,” jawab Steve lalu pergi. Ia harus segera sholat isya. Hey, Ia adalah seorang muslim??
-ooOoo-
No comments:
Post a Comment
Jangan jadi silent reader, giliranmu bercuap-cuap ria.