Jam di pergelangan tanganku
menunjukkan pukul lima sore lebih lima belas menit. Kutumpahkan pandangan ke
lautan awan di luar sana, yang mulai memerah petang ketika mentari beringsut
perlahan kembali ke lingkup terbenamnya. Membiaskan kemilau jingga yang
menyebar melalui ceruk lingkaran langit. Indah. Di sudut lain kehidupan,
orang-orang dalam busway membawa pulang kelelahan setelah seharian bekerja. Tergambar
dari kernyit dahi dan butir peluh yang masih menempel di kerah baju mereka.
Sejenak bola mataku terpaku pada
seorang ibu yang berdiri tepat di depanku. Usianya mungkin sudah lebih dari
setengah abad. Ia membawa sebuah kardus yang sepertinya berat. Ada corat-coret
bergambar bunga matahari di kardus tersebut. Kulihat ibu itu kerap memegangi
kepalanya yang berbalut jilbab. Aku langsung tahu kalau dia pusing setelah
sekian lama berdiri. Sempat terlintas di benakku untuk memberikan tempat
dudukku padanya, tapi aku mengurungkan niatku itu. Rumah kos masih jauh, dan
aku lebih butuh duduk daripada ibu itu, aku rasa.
Langit senja mulai temaram. Mentari
semakin merunduk seolah tunduk pada kekuasaan malam. Dia yang tadi terus
mengintip, akhirnya sempurna bersembunyi di peraduannya. Aku turun di sebuah
terminal busway, sementara ibu tadi sudah turun di tiga terminal sebelumnya
segera setelah adzan maghrib berkumandang. Mungkin dia akan melaksanakan
tugasnya sebagai orang muslim, sholat.
Sholat…, hatiku bergetar. Walau di
KTP tertera aku beragama Katolik, tapi dulu aku beragama Islam. Jika kau
bertanya mengapa aku murtad dari Islam, itu karena aku kehilangan ingatan
sewaktu usiaku 13 tahun. Suster yang merawatku di rumah sakit berkata kalau aku
kecelakaan, entahlah, aku tidak ingat apapun. Yang kutahu, dulu aku beragama
Islam dari jilbab biru muda yang kukenakan waktu itu.
Berbulan-bulan aku tinggal di rumah
sakit, seorang wanita dengan tudung kepala dan kalung salib mendatangiku. Dia
mengajakku untuk tinggal di panti asuhan bersama anak-anak yang nasibnya sama
denganku. Akhirnya, akupun memutuskan tinggal di panti asuhan yang bernaung di
bawah gereja tersebut. Para pengasuh berpakaian biarawati dan anak-anak di
panti asuhan sangat baik. Akhirnya, setelah kurang lebih satu tahun aku tinggal
disana, aku memilih memeluk agama mereka. Aku meyakini tuhan mereka adalah
tuhanku juga. Aku sembahyang di gereja setiap hari Minggu. Dan aku merayakan
natal sebagaimana teman-temanku yang lain.
“Vina, kau tidak perlu lagi
mempedulikan keluargamu. Mereka juga kan tidak mempedulikanmu. Jika mereka
mempedulikanmu, seharusnya mereka datang menjengukmu ke rumah sakit! Hanya kami
yang peduli denganmu, kau pasti tahu itu!” Riska, temanku di panti berkata
padaku beberapa tahun yang lalu. Walau pahit, aku membenarkan ucapannya.
Malam
semakin merangkak naik dan aku masih dalam perjalanan pulang. Udara dingin
menyeruak ke segenap pori pori ditambah lapar yang mendera, pelupuk mataku pun
mulai menggelayut manja, seakan memaksa diri agar cepat tiba di rumah kos.
Ketika sampai nanti, aku perlu mandi untuk menghilangkan butir keringat selepas
kerja sambilan yang kulakukan demi membiayai kuliah teknik sipilku ini. Setelah
itu, makan malam dengan membeli abon dan nasi bungkus dari warung Bi Sumarni.
Sehabis makan, baru aku bisa rebahkan tubuh di atas kasur. Menanti gelap
menyelimuti lelap.
Sebenarnya
aku merasa sebagian teman kampusku sangat beruntung. Ketika mereka pulang
berbekal keletihan, air hangat sudah menyambut di rumah. Belum lagi di benak
mereka sudah terbayang makan malam sederhana tapi nikmat hasil racikan tangan
seorang ibu yang penuh cinta. Ah, nikmatnya…
Buliran bening jatuh membasahi pipi
ketika aku mendongakkan kepala. Langit begitu pekat, tiada rembulan dan
gemintang. Entahlah bagaimana wajah ibuku, tapi aku sangat ingin bertemu dengannya.
“Tuhan, bukankah engkau maha pengasih?
Pertemukanlah aku dengan ibuku…,” ucapku lirih. Kucium tanganku setelah
menyentuh dahi, bahu kiri, dan kanan. Aku ingin melihat wajah ibuku. Ingin
memeluknya begitu erat dan berkata akulah anaknya.
Setelah kuseka buliran bening itu,
aku terperangah mendapati seorang anak laki-laki hendak menyebrang, sementara
terdapat sebuah mobil kijang yang melaju kencang di jalan gelap tersebut. Eh?
Eh? Anak itu berlari begitu saja, tanpa tengok kanan-kiri. Dia akan tertabrak!
Aku langsung berteriak memanggilnya tapi seolah dia tidak mendengarku. Langsung
saja aku berlari mengejarnya sembari berteriak menyuruhnya minggir, tapi dia
tetap tidak menggubris. Anak itu tidak tertabrak. Sementara akulah yang
tertabrak, terdorong, dan jatuh terduduk. Ban mobil itu berdecit nyaring.
Platnya berada sekitar 5 cm di depan wajahku. Adegan yang sangat cepat.
Deg! Aku tidak bergeming laksana
patung. Mataku nanar, nafasku kian tak teratur, dan jantungku memompa lebih
kencang. Tiba-tiba bayangan aneh berkelebat di benakku, saling rangkai
merangkai menjadi kesatuan yang utuh. Mirip pita film yang terkoyak, atau mirip
anak-anak puzzle berterbangan, atau mirip anak rantai yang terputus. Semua itu
menyatu menjadi sebuah rekaman masa lalu yang kembali terulang…
-oo0oo-
Sebelas tahun yang lalu…
Sebenarnya ini bukan keinginanku.
Tapi Putri, Amalia, dan Mira terus membujukku hingga akhirnya aku luluh juga oleh rayuan tersebut. Aku pun
terpaksa berbohong pada Ayah dan ibu. Aku bilang bahwa aku mau belajar bersama
di rumah Putri, dan mereka percaya.
Semula Putri berkata kalau ia hanya
ingin pergi ke bioskop untuk nonton film Star Wars. Tadinya rencanaku, aku
ingin segera pulang setelah selesai menonton film itu. Tapi, sore itu mall
meriah sekali. Membuatku lupa waktu. Selain menonton, aku dan temanku juga
makan ayam goreng dan belanja manik-manik lucu khas perempuan. Ya, namanya juga
ABG alias Anak Baru Gede.
Usai bersenang-senang, baru
kusadari kalau hari sudah malam. Langit sudah hitam dan pijar lampu kota
mewarnai tepi jalan. Aku ingin pulang. Begitu pula Putri, Amalia, dan Mira.
Dasar ibu kota, ketika pada malam hari pun jalanannya masih saja ramai.
Akhirnya, dengan dibantu oleh seorang bapak-bapak, kita pun menyebrangi jalan
raya itu untuk selanjutnya naik taksi ke Lenteng.
“Ingat
ya, jangan beri tahu orang tua kalian!” kata Putri, temanku yang telah berjasa
mentraktir kita hari ini ketika tiba di trotoar.
“Tidak
akan…,” kata Amalia.
“Iya.
Bisa-bisa aku dihukum sama Abi,” timpal Mira.
“Kalian
tunggu disini sebentar ya, aku teringat sesuatu,” ujarku.
“Ada
apa, Ri?” tanya Amalia.
“Tasku
tertinggal di tempat ayam goreng.”
“Ya
sudah, cepat ambil sana! Jangan lama-lama, ya!” kata Putri.
Aku tahu. Aku tidak boleh
lama-lama. Makanya aku melangkah dengan setengah berlari menyebrangi jalan raya
itu tanpa kusadari sebuah mobil yang melaju begitu kencang. Kepalaku membentur
kaca depan mobil dan kurasakan sakit yang luar biasa menyergap seluruh tubuh.
Kulihat darah segar mengalir, kudengar sumpah serapah orang-orang, sebelum
akhirnya teriakan itu mengalun makin pelan, pandanganku buram, dan semuanya
menjadi gelap.
-oo0oo-
Aku sudah ingat semuanya, peristiwa
yang hilang sebelas tahun lalu. Orang-orang mengerumuniku, memandangku dengan
tatapan yang membuatku tak betah lama-lama duduk disini. Aku pun segera bangkit
dan berlari dari tempat ini segera. Tapi, anak laki-laki tadi… dimana? Ah! Aku
tidak peduli karena kutahu dia baik-baik saja.
Rasa rindu membuncah di dada. Aku
ingin pulang ke rumah lamaku. Tapi apa keluargaku masih tinggal disana?
Detik demi detik berselang,
membentuk rangkaian menit dan jam. Aku tidak bisa berhenti memikirkan tentang
ibu, Ayah, dan adikku Hasan. Tapi, ini pun sudah terlalu malam untuk mencari
dimana keluargaku tinggal sekarang. Jadi
aku putuskan untuk mencarinya besok.
Fajar menyingsing di sudut
cakrawala. Mentari menyapa ramah dan sinarnya mengintai dari balik awan-awan
yang bergemelayut manja. Sepasang kakiku melangkah, menyusuri rute jalan menuju
komplek Mabad II, Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Sebuah rumah sederhana bercat
hijau berada di antara rumah yang lain. Itu adalah rumah dimana keluargaku
tinggal sebelas tahun lalu, dan aku akan segera mengetahui apakah mereka masih
tinggal disini atau tidak. Langkahku pun semakin mendekat dan mendekat.
Kupercepat langkahku seirama dengan ritme jantung yang berdegup kencang.
Akhirnya, aku pun tiba di depan pintu rumah ini. Hendak mengetuknya.
Tunggu.
Keluargaku beragama Islam, jadi aku harus mengucapkan salam sebagaimana
kebiasaan mereka. “Assalamu’alaikum!” sahutku seraya mengetuk pintu dengan nada
beruntun, menggambarkan perasaanku yang kini meluap-luap.
“Walaikumsalam...”
Seorang pria membuka pintu. Aku terperangah kaget. Aku mengenalinya walau waktu
telah menampakkan cukup perbedaan. Dia Ayah!
“Ayah,
ini Mentari!” ujarku setengah berteriak.
“Mentari?
Mentari? Itukah kamu?” tanya Ayah menengok ke segala arah.
“Iya!
Mentari disini!” Aku tidak mengerti kenapa Ayah seakan tidak melihatku.
“Kenapa
kamu tidak pulang, nak? Ayah sangat merindukan kamu. Begitu pula ibumu dan
Hasan! Itulah kenapa kami tidak pindah rumah, karena kami menunggumu! Sekarang
ibumu di rumah sakit. Dia menderita tumor otak. Dokter bilang hidupnya sebentar
lagi dan permintaan terakhirnya adalah ingin melihatmu pulang! Tapi, kamu
dimana?”
“Mentari
sudah pulang dan berdiri di depan Ayah..!”
“Dimana?
Kenapa Ayah tidak melihatmu?”
“Ada
apa, yah?” seorang anak muda berusia enam belas tahun muncul dari pelosok
rumah. Aku tertegun, dia Hasan adikku. Terakhir kulihat dia masih kecil, masih
sering merengek minta dibelikan es tung-tung. Kini, dia bahkan lebih tinggi
dariku dan wajahnya sangat tampan, mirip Ayahnya.
“Hasan,
Ayah mendengar suara kakakmu!”
“Apa?”
pekik Hasan
“Sepertinya
ada kakakmu disini!”
“Sudahlah,
Ayah. Sekarang lebih baik kita menjenguk ibu di rumah sakit. Sakit kepala ibu
kambuh lagi setelah kemarin keletihan berdiri di busway. Ibu pasti ingin kita
berada di dekatnya,” kata Hasan.
“Iya,
Ayah tahu! Tapi suara itu benar-benar nyata!” kata Ayah tidak kalah sengit.
“Ayah
hanya berimajinasi. Tidak ada siapa-siapa disini!” ujar Hasan lalu mengangkat
sebuah kardus aqua. “Andai saja kemarin aku membantu ibu membawa buku-buku
jualan ini, ibu tidak akan selelah tadi malam hingga jatuh pingsan dan masuk
rumah sakit.”
Aku
kaget bukan main. Apa mungkin ibu yang kemarin kubiarkan berdiri di busway
adalah seorang wanita yang telah melahirkanku? Seorang wanita yang seharusnya
aku panggil dia ibu? Kulihat kardus aqua itu, ada gambar bunga mataharinya...
Aku langsung jatuh tersungkur. Air mataku tumpah seketika. Dadaku rasanya
sesak. Sesak sekali!
“Koran…, Koran…!” Seorang anak muda
mengayuh pedal-pedal sepeda ontel sembari melempar sebuah koran hangat ke teras
rumah. Aku membaca beberapa baris berita di halaman pertama koran tersebut: Seorang gadis yang diduga bernama Vina (24)
tewas semalam. Menurut saksi, awalnya gadis ini berteriak sendiri di tengah
jalan hingga akhirnya sebuah mobil kijang menabraknya hingga tewas bersimbah
darah…
Kuningan, 11 Mei
2010
Baca Cerpen Lainnya:
- [Cerbung Fiksi Ilmiah] Indonesia Terakhir Part 1
- [Cerpen Keluarga Islami] Aisah Malaikat Kecilku
- [Cerpen Motivasi] Bocah Dalam Hujan
- [Cerpen Cinta Islami] Bukan Diari Cinderella
- [Cerpen Cinta Islami] Cinta Sang Jutawan
- [Cerpen Islami] Hikari No Suugaku
- [Cerpen Cinta Islami] Nantikanku di Batas Waktu
- [Cerpen Psikologi] Retak