Cerpen FIKSI ILMIAH. Sains Fiksi. Science Fiction.
Mau berbagi cerbung FIKSI ILMIAH yang kebetulan di muat di majalah sekolah. Semoga
pada suka.
Sudah satu
jam kutumpahkan pandanganku ke langit di luar jendela, yang seperti biasa,
seakan menyimpan sejuta misteri. Aku tidak mengerti klimatologi, tapi aku
mendengar dari teman-teman kalau langit berwarna jingga adalah dampak dari
pemanasan global yang terus meningkat. Sinar matahari yang sangat beringas
membuat manusia harus menggunakan pakaian anti ultraviolet dan kacamata khusus
ketika hendak beraktifitas ke luar rumah pada siang hari.
Sekarang
tahun 2136. Gedung-gedung pencakar langit menjamur di tiap penjuru negeri. Alam
yang hijau sudah tidak ada lagi dan pepohonan dianggap sebagai museum.
Bahkan Indonesia, negeri seribu pohon itu telah menghilang karena
pergeseran lempeng yang membuatnya tenggelam di dasar samudra Atlantik. Bukan
hanya Indonesia saja, lebih dari setengah daratan di dunia tenggelam. Permukaan
air laut naik karena pemanasan global yang menyebabkan gletser mencair. Seluruh
penduduk dunia yang tersisa pun mengungsi ke sebuah negeri bernama Gomera.
Aku masih
ingat pertama kali aku datang ke Gomera, dua pria asing bertubuh besar
membawaku dengan pesawat yang melaju dengan kecepatan Mach-5. Yaitu 5
kali kecepatan suara. Pada awalnya aku bingung, karena manusia lain mengungsi
ke Gomera perlu mengemis-ngemis agar diizinkan masuk. Mereka pun harus mengurus
surat-surat migrasi di departemen luar negeri. Mungkin, cuma aku yang diundang
oleh utusan dari negeri itu.
Pertanyaanku
terjawab ketika Professor Lincoln, orang pertama yang kukenal di negeri asing
ini berkata kalau aku anak yang spesial. Wajahku mirip dengan wajah anak
presiden Gomera yang meninggal dua tahun lalu. Ibu Presiden yang kini kupanggil
dia Mama sangat menginginkan anaknya hidup lagi, karena itu aku disuruh menjadi
Danny hingga Mama bisa menerima keadaan.
Danny memang mirip sekali denganku. Aku bisa lihat fotonya yang berada di atas
meja di samping tempat tidur. Kertas holograf yang disatukan secara elektronik
membuat background foto itu berubah-ubah. Pertama kali melihatnya, aku bahkan
tidak sadar mulutku menganga cukup lama karena aku tidak menemui foto seperti
itu di Indonesia.
“Tuan muda Danny, sarapan sudah siap.” Suara dari interkom membuatku tersentak.
Beberapa detik kemudian, Lon, robot pribadiku masuk mendorong sebuah meja beroda
yang diatasnya terdapat makanan sintetis. Aku mengangguk padanya tanda
terimakasih.
“Tuan muda Danny, selamat makan!” Lon lalu pergi dengan kakinya yang berbentuk
bundar, atau mungkin itu bukan kaki.
Kulihat bubur berwarna biru di atas meja itu. Ini adalah makanan sintetis yang
bisa menghilangkan lapar. Sebenarnya aku sudah muak memakan makanan sintetis
ini, tapi itu masih lebih baik daripada manusia kebanyakan yang makan dengan
bubur berwarna hijau. Mirip cairan hidung. Jika bubur biru ini disajikan untuk
mereka, mereka pasti sangat menyukainya dan memakannya dengan lahap. Sementara,
mengingat aku adalah anak angkat Presiden Gomera, setiap hari aku bisa makan
bubur biru¾dimana warna makanan menjadi pembeda makanan elit dan rendah¾juga
tidak pernah kekurangan air minum.
Sangat sulit mendapat air bersih akibat radiasi nuklir bekas perang dunia
ketiga. Yang juga mengakibatkan musnahnya 80% penduduk dunia. Jika hujan turun,
maka yang terjadi adalah hujan asam yang telah membuat ribuan bahkan jutaan
tumbuhan musnah. Ilmu sanitasi pun menjadi kurikulum wajib di semua sekolah.
Untuk mandi dan mencuci, manusia sudah menggunakan teknologi canggih. Sebuah
alat yang memancarkan laser dan dalam waktu singkat, wuus… benda itu telah
membersihkan seketika.
Hff…, hembusan nafasku mengembun di kaca jendela. Pemandangan di luar sana jauh
berbeda dengan Indonesia, kampung halamanku, dimana aku dilahirkan 11 tahun
yang lalu. Sayangnya, karena Indonesia berada di atas dua buah lempeng raksasa
yang bertabrakan dan membuat tsunami besar-besaran, negeri dengan nuansa seribu
pulau ini menghilang. Hanya ada birunya samudra sejauh mata memandang jika aku
pergi ke 6’LU-11’LS dan 95’BT-141’BT.
Hari ini di sekolahku ada pelajaran Geografi. Aku sudah menunggunya sejak
seminggu yang lalu karena sekarang membahas tentang Indonesia. Ya, Indonesia!
Mr. Lovis pasti akan membawa kami tamasya ke Indonesia virtual ratusan tahun
lalu dimana ada birunya langit, wangi rerumputan hijau, dan kuningnya jagung
matang. Seperti kemarin, Miss Vio membawa kami ke Neptunus dalam pelajaran
exoplanet. Beberapa temanku ada yang pingsan saking kedinginan. Walau virtual,
tapi seperti nyata.
Aku melangkah dengan setengah berlari ke selasar. Kulihat seorang pria berambut
hitam dengan bola mata keabuan, pria itu ayah. Dia mengenakan setelan jas
berwarna hitam. Ayah lalu memijit sebuah tombol pada semacam remot lalu pintu
mobil di depannya terbuka. Sebuah mobil berbentuk kapsul yang tidak memiliki
roda satupun. Mobil zaman sekarang melintas dengan mengambang. Seperti sihir.
“Lintang, come in!” Ayah mempersilakanku masuk dengan mengarahkan
dagunya ke mobil. Dia memang tidak pernah memanggilku Danny¾kecuali di depan
Mama¾karena dia tahu aku bukan Danny. Setelah aku masuk, ayah duduk di
sampingku. Mobil kami pun melesat di jalanan dengan robot sebagai supir. Robot
memang bukan benda asing sekarang, bahkan jumlahnya lebih banyak daripada
jumlah manusia.
“Hari ini ayah mau mengajakmu ke suatu tempat,” kata ayah membuatku terkejut.
“Tapi aku kan harus sekolah.” jawabku yang sejak seminggu lalu menunggu hari
ini. Lebih tepatnya, menunggu pelajaran Geografi.
“Kau tidak akan menyesal pergi bersama Ayah.” Ayah tersenyum.
“Memangnya, Ayah akan membawaku kemana?”
Ayah tersenyum sebelum akhirnya dia berkata, “Ke Indonesia.”