Friday, June 22, 2012

Indonesia Terakhir Part I

Cerpen FIKSI ILMIAH. Sains Fiksi. Science Fiction.
Mau berbagi cerbung FIKSI ILMIAH yang kebetulan di muat di majalah sekolah. Semoga pada suka.

Oleh         : Maryam Qonita XI-3 Science

Sudah satu jam kutumpahkan pandanganku ke langit di luar jendela, yang seperti biasa, seakan menyimpan sejuta misteri. Aku tidak mengerti klimatologi, tapi aku mendengar dari teman-teman kalau langit berwarna jingga adalah dampak dari pemanasan global yang terus meningkat. Sinar matahari yang sangat beringas membuat manusia harus menggunakan pakaian anti ultraviolet dan kacamata khusus ketika hendak beraktifitas ke luar rumah pada siang hari.

Sekarang tahun 2136. Gedung-gedung pencakar langit menjamur di tiap penjuru negeri. Alam yang hijau sudah tidak ada lagi dan pepohonan dianggap sebagai museum. Bahkan  Indonesia, negeri seribu pohon itu telah menghilang karena pergeseran lempeng yang membuatnya tenggelam di dasar samudra Atlantik. Bukan hanya Indonesia saja, lebih dari setengah daratan di dunia tenggelam. Permukaan air laut naik karena pemanasan global yang menyebabkan gletser mencair. Seluruh penduduk dunia yang tersisa pun mengungsi ke sebuah negeri bernama Gomera.

Aku masih ingat pertama kali aku datang ke Gomera, dua pria asing bertubuh besar membawaku dengan pesawat yang melaju dengan kecepatan Mach-5. Yaitu 5 kali kecepatan suara. Pada awalnya aku bingung, karena manusia lain mengungsi ke Gomera perlu mengemis-ngemis agar diizinkan masuk. Mereka pun harus mengurus surat-surat migrasi di departemen luar negeri. Mungkin, cuma aku yang diundang oleh utusan dari negeri itu.

Pertanyaanku terjawab ketika Professor Lincoln, orang pertama yang kukenal di negeri asing ini berkata kalau aku anak yang  spesial. Wajahku mirip dengan wajah anak presiden Gomera yang meninggal dua tahun lalu. Ibu Presiden yang kini kupanggil dia Mama sangat menginginkan anaknya hidup lagi, karena itu aku disuruh menjadi Danny hingga Mama bisa menerima keadaan.

            Danny memang mirip sekali denganku. Aku bisa lihat fotonya yang berada di atas meja di samping tempat tidur. Kertas holograf yang disatukan secara elektronik membuat background foto itu berubah-ubah. Pertama kali melihatnya, aku bahkan tidak sadar mulutku menganga cukup lama karena aku tidak menemui foto seperti itu di Indonesia.

            “Tuan muda Danny, sarapan sudah siap.” Suara dari interkom membuatku tersentak. Beberapa detik kemudian, Lon, robot pribadiku masuk mendorong sebuah meja beroda yang diatasnya terdapat makanan sintetis. Aku mengangguk padanya tanda terimakasih.

            “Tuan muda Danny, selamat makan!” Lon lalu pergi dengan kakinya yang berbentuk bundar, atau mungkin itu bukan kaki.

            Kulihat bubur berwarna biru di atas meja itu. Ini adalah makanan sintetis yang bisa menghilangkan lapar. Sebenarnya aku sudah muak memakan makanan sintetis ini, tapi itu masih lebih baik daripada manusia kebanyakan yang makan dengan bubur berwarna hijau. Mirip cairan hidung. Jika bubur biru ini disajikan untuk mereka, mereka pasti sangat menyukainya dan memakannya dengan lahap. Sementara, mengingat aku adalah anak angkat Presiden Gomera, setiap hari aku bisa makan bubur biru¾dimana warna makanan menjadi pembeda makanan elit dan rendah¾juga tidak pernah kekurangan air minum.

            Sangat sulit mendapat air bersih akibat radiasi nuklir bekas perang dunia ketiga. Yang juga mengakibatkan musnahnya 80% penduduk dunia. Jika hujan turun, maka yang terjadi adalah hujan asam yang telah membuat ribuan bahkan jutaan tumbuhan musnah. Ilmu sanitasi pun menjadi kurikulum wajib di semua sekolah. Untuk mandi dan mencuci, manusia sudah menggunakan teknologi canggih. Sebuah alat yang memancarkan laser dan dalam waktu singkat, wuus… benda itu telah membersihkan seketika.

            Hff…, hembusan nafasku mengembun di kaca jendela. Pemandangan di luar sana jauh berbeda dengan Indonesia, kampung halamanku, dimana aku dilahirkan 11 tahun yang lalu. Sayangnya, karena Indonesia berada di atas dua buah lempeng raksasa yang bertabrakan dan membuat tsunami besar-besaran, negeri dengan nuansa seribu pulau ini menghilang. Hanya ada birunya samudra sejauh mata memandang jika aku pergi ke 6’LU-11’LS dan 95’BT-141’BT.

            Hari ini di sekolahku ada pelajaran Geografi. Aku sudah menunggunya sejak seminggu yang lalu karena sekarang membahas tentang Indonesia. Ya, Indonesia! Mr. Lovis pasti akan membawa kami tamasya ke Indonesia virtual ratusan tahun lalu dimana ada birunya langit, wangi rerumputan hijau, dan kuningnya jagung matang. Seperti kemarin, Miss Vio membawa kami ke Neptunus dalam pelajaran exoplanet. Beberapa temanku ada yang pingsan saking kedinginan. Walau virtual, tapi seperti nyata.

            Aku melangkah dengan setengah berlari ke selasar. Kulihat seorang pria berambut hitam dengan bola mata keabuan, pria itu ayah. Dia mengenakan setelan jas berwarna hitam. Ayah lalu memijit sebuah tombol pada semacam remot lalu pintu mobil di depannya terbuka. Sebuah mobil berbentuk kapsul yang tidak memiliki roda satupun. Mobil zaman sekarang melintas dengan mengambang. Seperti sihir.

            “Lintang, come in!” Ayah mempersilakanku masuk dengan mengarahkan dagunya ke mobil. Dia memang tidak pernah memanggilku Danny¾kecuali di depan Mama¾karena dia  tahu aku bukan Danny. Setelah aku masuk, ayah duduk di sampingku. Mobil kami pun melesat di jalanan dengan robot sebagai supir. Robot memang bukan benda asing sekarang, bahkan jumlahnya lebih banyak daripada jumlah manusia.

            “Hari ini ayah mau mengajakmu ke suatu tempat,” kata ayah membuatku terkejut.
            “Tapi aku kan harus sekolah.” jawabku yang sejak seminggu lalu menunggu hari ini. Lebih tepatnya, menunggu pelajaran Geografi.
            “Kau tidak akan menyesal pergi bersama Ayah.” Ayah tersenyum.
            “Memangnya, Ayah akan membawaku kemana?”
            Ayah tersenyum sebelum akhirnya dia berkata, “Ke Indonesia.”

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

Jangan jadi silent reader, giliranmu bercuap-cuap ria.

Related Posts Plugin by ScratchTheWeb