“Generasi
Qur’ani? Apa itu sebuah kelompoki ilegal?” tanyaku.
“Bagaimana kau tahu?” tanya Fathir.
“Hanya menebak,” jawabku berbohong. Sebenarnya aku tahu dari penggunaan istilah
“Qur’an” yang mereka gunakan.
“Kau benar, kami memang kelompok ilegal. Tapi itu karena banyak orang tidak
tahu dulu ada sebuah agama dimana kebanyakan pemeluknya ada di Indonesia: Agama
Islam.”
“Lalu kenapa tidak meminta tolong pada ayahmu saja, Fathir? Bukankah ayahmu
presiden?” tanyaku. Fathir terlihat tidak suka pertanyaan ini, tapi aku
benar-benar penasaran.
Fathir diam sejenak sebelum akhirnya dia bicara, “Dia cuma boneka.”
“Hah?”
“Dia cuma boneka Professor Surya. Dia menuruti semua permintaan orang gila itu,
termasuk menjadikan mayat sebagai biobot. Tapi bukan Gen-Q namanya jika
kehabisan ide.” Fathir menjentikkan jarinya dengan sombong, dia berjalan menuju
sebuah lemari dan aku mengikutinya. Fathir membuka lemari itu, di dalamnya ada
sebuah radio. Radio?
“Ini adalah radio yang dapat mendengar suara dari masa lalu. You know?
Gelombang itu energi, dan energi bersifat tetap. Jadi suara-suara –yang pada dasarnya
adalah gelombang– tidak pernah hilang, tapi “berserakan” di udara. Hal ini bisa
jadi saksi akan adanya Islam dan seruan dakwah Rasulullah. Sayangnya kubah
metamaterial yang melingkupi Indonesia ini benar-benar menghalangi gelombang
radio masuk.”
Aku terpana dan menyentuh radio tersebut. Sekilas seperti radio tua biasa
dengan antena yang bentuknya rada aneh. Tapi alat ini bisa menjadi awal dari
sebuah revolusi besar-besaran. “Kau memberitahuku proyek ini? Apa tidak takut
aku membocorkannya?”
“Justru itulah yang kuinginkan, aku ingin kau membocorkannya terutama pada
ayahmu,” ujar Fathir. “Radio ini kau putar di Gomera, karena di sini teknologi
yang membutuhkan gelombang elektromagnetik tidak berguna.”
“Kau menyeretku?” tanyaku tidak percaya.
“Bukankah itu jelas? Bagaimana perasaanmu melihat mayat-mayat itu dimanfaatkan
menjadi biobot?”
Hari ini, lagi-lagi aku disuruh membuat sebuah keputusan yang berat. Bukannya
aku tidak mau membantu Fathir, tapi aku teringat temanku di panti asuhan dulu.
Namanya Fikri. Hanya karena dia ketahuan menyimpan Al-Qur’an di bawah bantal,
dia menghilang dan tidak pernah muncul lagi di panti asuhan. Seperti ia akan
dibunuh karenanya.
“Aku tidak tahu, maaf,” kataku dengan nada menyesal.
Fathir terlihat kecewa. Begitu pula anak-anak remaja di ruangan ini yang
mendengar percakapan kami berdua. Tapi kan mereka tidak bisa bertumpu kepadaku.
“Bodohnya aku, seharusnya aku tahu kalau kau tidak mungkin melakukannya. Tapi,
radio ini tetap kau bawa saja ke Gomera. Aku tidak memaksamu memutarnya, anggap
saja ini hadiah.”
“Tapi...”
“Tapi aku juga tidak butuh. Kami bisa membuatnya lagi jika kami mau. Gen-Q gitu
loh!” Fathir tersenyum.
Setelah kejadian di laboratorium tadi, Fathir membawaku pulang ke depan gedung
tinggi dimana ayah rapat. Dia membawaku dengan sepedanya, dan aku membawa radio
yang cukup berat itu. Para biobot yang menjaga di depan pintu masuk, membuatku
takut. Teringat bahwa kenyataannya mereka tak berbeda dengan zombie.
Fathir mengayuh sepedanya kembali ke markas Gen-Q. Sementara, aku duduk
sendirian di taman dengan tumbuhan-tumbuhan palsu. Desau angin menjadi saksi
rerumputan dan ilalang yang menari. Aku pun mulai bosan, sudah sepuluh menit
aku menunggu di taman palsu ini dan ayah tidak segera keluar. Tidak tahu apa
yang aku lakukan, aku pun menyalakan radio itu. Mungkin ia akan menangkap
gelombang yang “berserakan” dalam kubah.
Zzz.. zztt.. Zzz... zztt... Suara riuh susul menyusul muncul tiada habisnya.
Seperti radio, aku mengaturnya sedemikian rupa sehingga suara yang muncul
menjadi lebih halus. Dapat! Sekumpulan pria yang sedang mengobrol.
“Mata-mata kami melaporkan bahwa Fathir membawa anakmu, Presiden Horace.”
“Anak keras kepala itu memang tidak pernah kapok!”
“Sudah lama aku ingin membekukan mereka di dalam nitrogen cair!” Seperti suara
Prof. Surya.
“Tapi jangan sentuh putraku Fathir! Aku akan membiayaimu untuk membekukan yang
lainnya.”
“Dan walaupun Fathir mengajak Lintang, jangan sentuh dia juga! Atau aku tidak
akan membiayai singularitas biobot tahun ini. Dia penurut dan tidak tahu
apapun, bahkan tidak tahu ayah dan ibu kandungnya meninggal karena membela
Islam,” itu suara ayah.
Bersambung
Next:
Indonesia Terakhir Part VI
Bersambung
Next:
Indonesia Terakhir Part VI
Hey keep posting such good and meaningful articles.
ReplyDelete