Suara itu menggema
dalam rongga jiwa. Ayah menyebut nama asliku di depan elit pemerintah itu
padahal dia sendiri berpesan agar aku tidak membocorkan identitasku pada
siapapun. Tapi ada yang lebih tidak kupahami, kedua orang tuaku meninggal demi
sebuah agama asing bernama Islam? Kenapa ayah tak pernah memberi tahuku selama
ini?
Aku
terkesiap, teringat kalau Fathir dan teman-temannya akan dibekukan dengan
nitrogen cair. Hukuman paling ditakuti setelah neraka virtual. Aku pun bergegas
bangkit dan berlari kembali ke toko tele-scouter untuk memberi tahu mereka
sebelum terlambat.
Raungan
suara sirine terdengar menyusul di belakangku. Para biobot melesat menuju toko
tele-scouter itu menggunakan SkyBike. Semacam kendaraan terbang untuk patroli.
Salah satu biobot itu mendelikkan matanya, ia sadar kalau aku adalah anak
Presiden Gomera. Aku langsung menyusup ke dalam gang kecil yang dihimpit
dua gedung. Berlari di antara celah-celah sempit berharap menemukan jalan
keluar.
Aku
terjebak! Dalam lorong sempit yang hanya berujung tembok tinggi menjulang. Tak
pikir panjang, aku masuk ke dalam kotak sampah besar di dekat situ yang isinya
adalah besi-besi berkarat.
Ada lubang
kecil di kotak sampah besar itu. Jadi aku bisa mengintip apakah di luar sudah
aman atau belum. Sesuatu menepuk pundakku dari belakang membuatku tersentak.
Hff… ternyata cuma robot rusak dengan tangan kiri putus dan kabel-kabel mencuat
dari tubuhnya. Aku rasa robot ini sudah lama berada di tempat sampah. Ia lalu
menjulurkan tangannya yang mulai berkarat tersebut. “Nooie,” katanya.
“Lintang.”
Aku menjabat tangan besi itu.
“Kenapa
kau bisa di sini?”
“Aku harus
ke Gomera tapi para biobot itu akan menangkapku.”
Nooie
mengobrak-abrik tumpukan besi itu, seakan mencari sesuatu. Lalu ia mendapati
semacam senter dan memukul-mukulnya. Sementara aku sibuk melihat keluar,
menunggu agar aku bisa keluar secepatnya. Tiba-tiba... Aku tiba pada titik yang
tidak kupahami maknanya. Kutemukan diriku dalam sebuah keterasingan, seakan
keluar dari dimensi ruang dan waktu.
Bles!
Aku terjatuh
di tempat yang berbeda. Seluruh tubuhku seakan-akan baru saja dihancurkan. Rasa
sakit luar biasa menyergap dada, membuatku tak bisa bernapas. Tanganku memerah
memegang aspal mendidih di bawah beringasnya terik matahari. Mataku mengerjap,
pandanganku buyar, satu-satunya yang kutahu kini aku berada di antara
tapak-tapak kaki yang bergedebukan menghantam jalan. Sebelum akhirnya semuanya
menjadi gelap.
Sayup-sayup
mataku terbuka. Perlahan semuanya menjadi jelas dan kutemukan tubuhku tergolek
di atas sofa. Professor Lincoln berdiri tidak jauh sedang memperbaiki Nooie.
“Kau sudah
bangun?” tanya pria paruh baya itu.
“Apa yang
terjadi?”
“Teleportasi.
Robot ini menggunakan transmitter rusak untuk mengirimmu ke Gomera.
Bersyukurlah karena transmitter rusak itu masih bisa menyusun atom-atom tubuhmu
dengan benar.”
Aku melihat
Nooie dan tersenyum. Entah harus berterimakasih atau tidak, dia memang sudah
menolongku lolos dari Biobot. Tapi dia menggunakan transmitter rusak untuk
teleportasi. Kalau sampai ada satu atom saja dalam tubuh ini bergeser satu
milimeter, aku pasti akan mengalami cacat fisiologis selamanya.
“Radionya!”
aku terpekik.
“Benda itu?”
Professor Lincoln menunjuk radio di atas meja dengan wajahnya. Aku mendesah
lega.
“Ada yang
harus segera kusiarkan! Professor, bukankah kau bisa membobol jaringan
komunikasi?”
“Ya, ada
apa?”
“Aku ingin
menyiarkan kepada Gomera tentang Islam. Sebuah agama yang bagaimanapun dulu
pernah ada dan masih ada hingga sekarang. Dengan begitu, aku bisa menolong GenQ
dengan membuktikan kalau mereka tidak bersalah. Mereka hanya ingin memberi tahu
kebenaran.”
“Lintang,
jangan menjebak dirimu. Dunia tidak akan berubah hanya karena keinginanmu
sendiri,” nasihat Professor Lincoln. Aku tahu dia memang sangat menyayangiku,
tapi apa aku harus diam saja sementara sekarang GenQ dalam bahaya?
“Sendiri?
Setidaknya jika orang tuaku masih hidup, mereka akan mendukungku. Aku tidak
sendiri.”
Professor
Lincoln diam sejenak melihatku seraya menghela napas. “Akhirnya kau sudah
tahu.”
Pria paruh
baya itu menyalakan komputernya. Jari-jemarinya menari di atas keyboard dan
kode-kode rumit bermunculan di layar. Entah apa maksudnya. Ia lalu menekan
tombol enter.
“Bingo. Ini
adalah jantung operasional penyiarannya, kau bisa menyiarkannya sekarang.”
Bersambung.
Next
Bersambung.
Next