Oleh : Maryam Qonita XI IPA 3
Cerpen Cinta Islami - Jauh di dasar hati, aku masih mampu mengingat kenangan itu. Kenangan ketika dia menuliskan sebait puisi untukku. Saat dimana dia berkata kepadaku bahwa dia membutuhkanku seperti nafas, dan dia akan selalu ada di sana menungguku. Dilanda rindu kidung candu asmara kita berdua.
Masih membekas di ingatanku, di suatu sore, ketika senja memperlihatkan gurat-gurat jingganya. Perlahan tapi pasti menuju ufuk barat cakrawala, membiaskan kemilau keemasan di langit Bogor yang cerah kala itu. Kubiarkan semilir angin membelai ragaku yang bergemelayut manja di pundaknya. Aku masih mabuk dalam rengkuhnya sampai akhirnya dia mengucapkan kalimat yang begitu menelusuk relung hati.
“Ratih, Abang minta maaf kalau Abang gak bisa memberikan apa yang Ratih mau. Abang ingin pergi dulu buat belajar di Jepang menyelesaikan S-2 biar gampang dapet kerja. Nanti kalau Abang udah berkecukupan, Abang akan langsung melamar Ratih. Ratih mau nunggu Abang, kan?”
Aku membisu. Entahlah, aku tidak bisa memberikan jawaban apapun pada Bang Arif. Bagiku, asal ada dirinya di sisiku, hidupku sudah lengkap. Aku tidak perlu harta atau apapun, aku lebih mencintainya daripada apapun juga. Bahkan Tuhanpun hanya mendapat sisa tempat yang sangat sempit di hatiku. Sudah penuh dengannya.
“Abang tahu kamu pasti merasa berat Abang pergi, Abang juga begitu. Kamu percaya itu kan, Ratih?”
“Tapi aku gak bisa pisah sama Abang sampai empat tahun.” Butiran bening luruh bagai daun yang berguguran. Menganak sungai di tebing mataku.
“Kita kan bisa saling nelpon. Abang juga akan pulang setahun sekali buat mengunjungi kamu dan keluarga Abang disini.” Dalam diamku, dia mendekapku dalam pelukan. “Abang janji, Abang akan kembali lagi. Empat tahun dari sekarang di tanggal yang sama.”
Sayangnya, janji manis itu hanya terucap di bibir. Setelah dua tahun berlalu, Bang Arif tidak pulang mengunjungiku. Rasa kecewa menyeruak ke segenap pori-pori. Apakah dia tahu bagaimana perihnya melalui penantian ini. Aku benar-benar ingin bertemu dengan Bang Arif, merasakan hangat pelukannya setelah dua tahun kami tak sua. Tapi kenapa setelah dua tahun Bang Arif cuma mengirimku sepucuk surat?
Aku diam termangu membaca sepucuk surat itu. Mengikhlaskanku dengan orang lain? Entah berapa lama dia menyakiti nurani ini dalam penantian dua tahun, dan dia masih bisa berkata mengikhlaskanku pada orang lain? Air mataku pecah saat itu juga. Mungkin Abang benar, aku tidak paham kenapa Abang ingin memutuskan hubungan ini. Makanya aku cuma bisa memutuskan untuk percaya. Abang pasti akan datang melamarku setelah lulus nanti. Dua tahun ke depan lagi.
“Dua tahun lagi? Ratih.. ratih.. sekarang usiamu sudah 25 tahun, wanita di atas 25 tahun biasanya sudah gak laku lagi, tau gak! Mau kamu jadi perawan tua?” ujar Kak Mira tempo hari.
“Kamu masih percaya setelah dia membohongimu? Dia bahkan tidak pernah meneleponmu sama sekali!” kata temanku, Rina.
“Jika aku jadi kakak aku akan mencari pria lain yang lebih baik dan lebih mapan,” tambah Lili, adik perempuanku.
“Ayah pernah kunjungan kerja ke Jepang, wanita di Jepang memang cantik-cantik,” ujar ayah.
“Kau sangat tersiksa dua tahun ini, Ibu tidak ingin kau tersiksa lagi dua tahun ke depan. Tidak usah menunggunya, bukankah Arif bilang dia bisa ikhlas?” tanya ibu.
Perkataan ibulah yang paling mengerti perasaanku walau perkataan mereka semua kubenarkan dalam pikiran. Tapi aku hanya bisa masih memutuskan untuk percaya, aku akan terus percaya pada Bang Arif sampai Bang Arif lulus.
Empat tahun telah berlalu, saat dimana taman ini menjadi saksi kepingan kenangan sukma aku dan Bang Arif. Menguraikan asmara yang entah sampai kapan akan terus bertahta. Jauh dalam lubuk hatiku, Bang Arif masih duduk disana. Di singgasana cinta dengan namanya yang terukir indah. Penantianku... hampir selesai.
Walau aku tidak mengerti sebelumnya, kenapa dia tak pernah meneleponku dan kenapa dia memutuskan hubungan kita. Tapi aku tidak punya daya apapun, cintaku pada Bang Arif sudah terlalu besar. Bahkan jika aku harus menunggu selama sisa hidupku, aku akan melakukannya.
Pandanganku menerawang ke langit senja yang perlahan dihantam malam. Dapat kulihat sesekali awan terbias kemerahan sehingga muncul corak jingga di ufuk barat cakrawala. Desau anginpun menjadi saksi rerumputan dan ilalang yang menari. Sementara, kuhadapkan wajahku menantang terik mentari yang mulai bersembunyi di peraduannya. Seakan mentari takut padaku yang sangat percaya diri pada hari esok, bahwa Bang Arif akan pulang.
Senyum menjuntai di mulutku entah ditujukan pada siapa. Masih kusaksikan keindahan cakrawala Tuhan sebelum nafasku mengendur makin pelan. Sesaat semuanya menjadi buram ketika kurasakan sakit luar biasa hinggap di kepalaku. Semuanya pun menjadi gelap.
Mataku mengerjap, langsung kujumpai atap sebuah ruangan asing sebelum kusadari ini adalah rumah sakit. Ada apa denganku? Bagaimana tubuhku bisa tiba-tiba berbaring disini, lemah tidak berdaya.
“Ratih, kau sudah bangun?” tanya seseorang di sampingku. Aku melirik ke arahnya dan kulihat sosok pria yang sangat tampan disana. Bang Arif. Ada genangan air di matanya sambil mencium tanganku.
“Bang Arif?” tanyaku parau. Sudah empat tahun berlalu, dan kulihat kini dia bahkan jauh lebih tampan daripada terakhir kami bertemu.
“Terimakasih kau sudah percaya padaku,” ujar Bang Arif. Buliran bening dari matanya jatuh membasahi tanganku.
“Kenapa aku bisa disini?”
Raut muka Bang Arif langsung berubah, dia hanya menjawab pertanyaanku dengan senyuman dan mencoba mengalihkan pembicaraan. “Bercerminlah, kau makin cantik di mataku sekarang,” kata Bang Arif menaruh cermin beberapa senti di depan wajahku.
“Jilbab? Aku… memakai jilbab?” tanyaku heran.
“Ya, tentu saja aku tidak ingin kecantikan istriku dinikmati banyak orang.”
“Istrimu?” aku semakin tidak mengerti.
“Kakak? Kakak sudah bangun?!” tanya Lili membuka pintu kamar rumah sakit itu. Tidak lama, Lili pun memanggil ibu, ayah, dan Kak Mira dengan semangat. Mereka masuk dan bisa kurasakan pendaran mata mereka yang tidak biasa melihatku. Ada apa ini?
“Lili, kakak sakit apa?” tanyaku minta penjelasan. Aku tahu Lili lah yang paling jujur setiap ditanya. Tapi, sama seperti Bang Arif, raut Lili langsung berubah. Begitu pula ayah, ibu, dan Kak Mira. Lili pun mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Kakak sekarang sudah menikah dengan Bang Arif, kakak senang, kan?”
“Tapi kakak sakit apa? Lili, kakak mohon, katakanlah!”
“Kaki kakak lumpuh,” ujar Lili pelan sekali tapi aku masih bisa mendengarnya. Aku tertegun, tidak percaya dengan pendengaranku sendiri.
“Kaki kakak lumpuh, kata dokter itu karena kakak demam tapi kakak membiarkannya dan tidak memberi tahu kami. Saat demam kakak tinggi-tingginya, kakak malah pergi ke taman dan sehingga sekarang kakak lumpuh. Dokter juga bilang, ini mungkin bisa berlangsung selamanya. Besoknya, aku pikir Bang Arif sudah gila ketika memutuskan untuk menikahi kakak saat itu juga. Tapi kami sekeluarga setuju, karena Bang Arif berjanji akan mengurus kakak sebagai seorang suami. Jadi kami langsungkan pernikahan sewaktu kakak masih tidak sadarkan diri.”
Aku membisu. Beberapa hari ini kepalaku memang pusing sekali, tapi aku pikir itu hanya sakit kepala biasa yang akan sembuh beberapa hari. Ternyata itu demam yang jika dibiarkan akan mengakibatkan kelumpuhan. Hatiku rasanya seperti hancur berkeping-keping, air mata berderai di lekukan pipiku. Tuhan, apakah ini hukuman darimu karena cintaku pada Bang Arif jauh lebih besar daripada cintaku padamu?
Bang Arif masih menggenggam tanganku erat. “Ratih, tenanglah. Ada Abang disini. Abang ingin membalas penantianmu pada Abang selama ini, jadi biarkanlah Abang di sisimu dan menjagamu selama sisa hidup Abang.”
Aku tersenyum. Aku tahu, entah kakiku lumpuh atau seluruh tubuhku lumpuh, asal ada Abang di sisiku, itu sudah cukup.
Malam itu, aku masih terjaga di atas kasur. Kudengar suamiku sedang menangis di penghujung tahajudnya. Dia berdo’a kepada Allah agar aku bisa sembuh. Tentu saja, Tuhan Maha Pengasih, Dia telah memberiku Bang Arif. Jadi Tuhan juga pasti akan memberiku kesembuhan. Yang perlu kulakukan hanya percaya.
Baca Cerpen Lainnya:
Cerpen Cinta Islami - Jauh di dasar hati, aku masih mampu mengingat kenangan itu. Kenangan ketika dia menuliskan sebait puisi untukku. Saat dimana dia berkata kepadaku bahwa dia membutuhkanku seperti nafas, dan dia akan selalu ada di sana menungguku. Dilanda rindu kidung candu asmara kita berdua.
Masih membekas di ingatanku, di suatu sore, ketika senja memperlihatkan gurat-gurat jingganya. Perlahan tapi pasti menuju ufuk barat cakrawala, membiaskan kemilau keemasan di langit Bogor yang cerah kala itu. Kubiarkan semilir angin membelai ragaku yang bergemelayut manja di pundaknya. Aku masih mabuk dalam rengkuhnya sampai akhirnya dia mengucapkan kalimat yang begitu menelusuk relung hati.
“Ratih, Abang minta maaf kalau Abang gak bisa memberikan apa yang Ratih mau. Abang ingin pergi dulu buat belajar di Jepang menyelesaikan S-2 biar gampang dapet kerja. Nanti kalau Abang udah berkecukupan, Abang akan langsung melamar Ratih. Ratih mau nunggu Abang, kan?”
Aku membisu. Entahlah, aku tidak bisa memberikan jawaban apapun pada Bang Arif. Bagiku, asal ada dirinya di sisiku, hidupku sudah lengkap. Aku tidak perlu harta atau apapun, aku lebih mencintainya daripada apapun juga. Bahkan Tuhanpun hanya mendapat sisa tempat yang sangat sempit di hatiku. Sudah penuh dengannya.
“Abang tahu kamu pasti merasa berat Abang pergi, Abang juga begitu. Kamu percaya itu kan, Ratih?”
“Tapi aku gak bisa pisah sama Abang sampai empat tahun.” Butiran bening luruh bagai daun yang berguguran. Menganak sungai di tebing mataku.
“Kita kan bisa saling nelpon. Abang juga akan pulang setahun sekali buat mengunjungi kamu dan keluarga Abang disini.” Dalam diamku, dia mendekapku dalam pelukan. “Abang janji, Abang akan kembali lagi. Empat tahun dari sekarang di tanggal yang sama.”
Sayangnya, janji manis itu hanya terucap di bibir. Setelah dua tahun berlalu, Bang Arif tidak pulang mengunjungiku. Rasa kecewa menyeruak ke segenap pori-pori. Apakah dia tahu bagaimana perihnya melalui penantian ini. Aku benar-benar ingin bertemu dengan Bang Arif, merasakan hangat pelukannya setelah dua tahun kami tak sua. Tapi kenapa setelah dua tahun Bang Arif cuma mengirimku sepucuk surat?
Assalamu’alaikum wr wb.
Ratih, bagaimana kabarmu? Semoga baik-baik saja seperti Abang disini. Abang memilih untuk mengirim surat agar kesannya dekat.
Terimakasih telah menunggu Abang, tapi Abang minta maaf karena gak pulang selama dua tahun. Sebenarnya bukan karena Abang tidak mau pulang dan bertemu kamu, Abang hanya tidak ingin kamu salah paham kalau sekarang Abang sudah beda.
Ratih, kamu mungkin tidak paham, tapi Abang ingin memutuskan hubungan kita berdua. Mulai sekarang, kita gak usah pacaran lagi, ya? Abang memutuskan hubungan ini bukan karena ada orang lain ataupun sudah tidak cinta lagi pada Ratih, tapi karena Abang gak ingin Allah cemburu dan marah karena hubungan kita yang sering membuat kita lupa pada-Nya.
Jika Ratih serius, tunggulah Abang sebentar lagi. Insya Allah, Abang akan datang melamar Ratih setelah lulus nanti. Seperti keinginan Abang.
Tapi jika Ratih tidak sabar dalam penantian ini, Abang bebaskan Ratih untuk tidak lagi menunggu Abang. Jika di Bogor ada pria yang lebih sempurna daripada Abang melamarmu, kamu boleh menerimanya. Insya Allah Abang bisa ikhlas.
Aku diam termangu membaca sepucuk surat itu. Mengikhlaskanku dengan orang lain? Entah berapa lama dia menyakiti nurani ini dalam penantian dua tahun, dan dia masih bisa berkata mengikhlaskanku pada orang lain? Air mataku pecah saat itu juga. Mungkin Abang benar, aku tidak paham kenapa Abang ingin memutuskan hubungan ini. Makanya aku cuma bisa memutuskan untuk percaya. Abang pasti akan datang melamarku setelah lulus nanti. Dua tahun ke depan lagi.
“Dua tahun lagi? Ratih.. ratih.. sekarang usiamu sudah 25 tahun, wanita di atas 25 tahun biasanya sudah gak laku lagi, tau gak! Mau kamu jadi perawan tua?” ujar Kak Mira tempo hari.
“Kamu masih percaya setelah dia membohongimu? Dia bahkan tidak pernah meneleponmu sama sekali!” kata temanku, Rina.
“Jika aku jadi kakak aku akan mencari pria lain yang lebih baik dan lebih mapan,” tambah Lili, adik perempuanku.
“Ayah pernah kunjungan kerja ke Jepang, wanita di Jepang memang cantik-cantik,” ujar ayah.
“Kau sangat tersiksa dua tahun ini, Ibu tidak ingin kau tersiksa lagi dua tahun ke depan. Tidak usah menunggunya, bukankah Arif bilang dia bisa ikhlas?” tanya ibu.
Perkataan ibulah yang paling mengerti perasaanku walau perkataan mereka semua kubenarkan dalam pikiran. Tapi aku hanya bisa masih memutuskan untuk percaya, aku akan terus percaya pada Bang Arif sampai Bang Arif lulus.
Empat tahun telah berlalu, saat dimana taman ini menjadi saksi kepingan kenangan sukma aku dan Bang Arif. Menguraikan asmara yang entah sampai kapan akan terus bertahta. Jauh dalam lubuk hatiku, Bang Arif masih duduk disana. Di singgasana cinta dengan namanya yang terukir indah. Penantianku... hampir selesai.
Walau aku tidak mengerti sebelumnya, kenapa dia tak pernah meneleponku dan kenapa dia memutuskan hubungan kita. Tapi aku tidak punya daya apapun, cintaku pada Bang Arif sudah terlalu besar. Bahkan jika aku harus menunggu selama sisa hidupku, aku akan melakukannya.
Pandanganku menerawang ke langit senja yang perlahan dihantam malam. Dapat kulihat sesekali awan terbias kemerahan sehingga muncul corak jingga di ufuk barat cakrawala. Desau anginpun menjadi saksi rerumputan dan ilalang yang menari. Sementara, kuhadapkan wajahku menantang terik mentari yang mulai bersembunyi di peraduannya. Seakan mentari takut padaku yang sangat percaya diri pada hari esok, bahwa Bang Arif akan pulang.
Senyum menjuntai di mulutku entah ditujukan pada siapa. Masih kusaksikan keindahan cakrawala Tuhan sebelum nafasku mengendur makin pelan. Sesaat semuanya menjadi buram ketika kurasakan sakit luar biasa hinggap di kepalaku. Semuanya pun menjadi gelap.
Mataku mengerjap, langsung kujumpai atap sebuah ruangan asing sebelum kusadari ini adalah rumah sakit. Ada apa denganku? Bagaimana tubuhku bisa tiba-tiba berbaring disini, lemah tidak berdaya.
“Ratih, kau sudah bangun?” tanya seseorang di sampingku. Aku melirik ke arahnya dan kulihat sosok pria yang sangat tampan disana. Bang Arif. Ada genangan air di matanya sambil mencium tanganku.
“Bang Arif?” tanyaku parau. Sudah empat tahun berlalu, dan kulihat kini dia bahkan jauh lebih tampan daripada terakhir kami bertemu.
“Terimakasih kau sudah percaya padaku,” ujar Bang Arif. Buliran bening dari matanya jatuh membasahi tanganku.
“Kenapa aku bisa disini?”
Raut muka Bang Arif langsung berubah, dia hanya menjawab pertanyaanku dengan senyuman dan mencoba mengalihkan pembicaraan. “Bercerminlah, kau makin cantik di mataku sekarang,” kata Bang Arif menaruh cermin beberapa senti di depan wajahku.
“Jilbab? Aku… memakai jilbab?” tanyaku heran.
“Ya, tentu saja aku tidak ingin kecantikan istriku dinikmati banyak orang.”
“Istrimu?” aku semakin tidak mengerti.
“Kakak? Kakak sudah bangun?!” tanya Lili membuka pintu kamar rumah sakit itu. Tidak lama, Lili pun memanggil ibu, ayah, dan Kak Mira dengan semangat. Mereka masuk dan bisa kurasakan pendaran mata mereka yang tidak biasa melihatku. Ada apa ini?
“Lili, kakak sakit apa?” tanyaku minta penjelasan. Aku tahu Lili lah yang paling jujur setiap ditanya. Tapi, sama seperti Bang Arif, raut Lili langsung berubah. Begitu pula ayah, ibu, dan Kak Mira. Lili pun mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Kakak sekarang sudah menikah dengan Bang Arif, kakak senang, kan?”
“Tapi kakak sakit apa? Lili, kakak mohon, katakanlah!”
“Kaki kakak lumpuh,” ujar Lili pelan sekali tapi aku masih bisa mendengarnya. Aku tertegun, tidak percaya dengan pendengaranku sendiri.
“Kaki kakak lumpuh, kata dokter itu karena kakak demam tapi kakak membiarkannya dan tidak memberi tahu kami. Saat demam kakak tinggi-tingginya, kakak malah pergi ke taman dan sehingga sekarang kakak lumpuh. Dokter juga bilang, ini mungkin bisa berlangsung selamanya. Besoknya, aku pikir Bang Arif sudah gila ketika memutuskan untuk menikahi kakak saat itu juga. Tapi kami sekeluarga setuju, karena Bang Arif berjanji akan mengurus kakak sebagai seorang suami. Jadi kami langsungkan pernikahan sewaktu kakak masih tidak sadarkan diri.”
Aku membisu. Beberapa hari ini kepalaku memang pusing sekali, tapi aku pikir itu hanya sakit kepala biasa yang akan sembuh beberapa hari. Ternyata itu demam yang jika dibiarkan akan mengakibatkan kelumpuhan. Hatiku rasanya seperti hancur berkeping-keping, air mata berderai di lekukan pipiku. Tuhan, apakah ini hukuman darimu karena cintaku pada Bang Arif jauh lebih besar daripada cintaku padamu?
Bang Arif masih menggenggam tanganku erat. “Ratih, tenanglah. Ada Abang disini. Abang ingin membalas penantianmu pada Abang selama ini, jadi biarkanlah Abang di sisimu dan menjagamu selama sisa hidup Abang.”
Aku tersenyum. Aku tahu, entah kakiku lumpuh atau seluruh tubuhku lumpuh, asal ada Abang di sisiku, itu sudah cukup.
Malam itu, aku masih terjaga di atas kasur. Kudengar suamiku sedang menangis di penghujung tahajudnya. Dia berdo’a kepada Allah agar aku bisa sembuh. Tentu saja, Tuhan Maha Pengasih, Dia telah memberiku Bang Arif. Jadi Tuhan juga pasti akan memberiku kesembuhan. Yang perlu kulakukan hanya percaya.
Baca Cerpen Lainnya:
- [Cerbung Fiksi Ilmiah] Indonesia Terakhir Part 1
- [Cerpen Keluarga Islami] Aisah Malaikat Kecilku
- [Cerpen Motivasi] Bocah Dalam Hujan
- [Cerpen Cinta Islami] Bukan Diari Cinderella
- [Cerpen Cinta Islami] Cinta Sang Jutawan
- [Cerpen Islami] Hikari No Suugaku
- [Cerpen Keluarga Islami] Mentari Sudah Pulang
- [Cerpen Psikologi] Retak
Nah, itu kan bisa puitis nulis nya,,
ReplyDeleteAyo,, semangat!
=)