“Tunggu!”
kata Professor Lincoln tiba-tiba saat aku menyambar radio itu di meja. “Ada yang
aneh pada satelit telekomunikasi,” ujarnya sambil terus mengotak-atik kode-kode
rumit tersebut. Jari-jemarinya dengan lihai menari di atas keyboard.
Sejurus
kemudian, seisi ruangan menjadi gelap. Satu-satunya penerangan berasal dari
gurat-gurat jingga di kaki langit. Aku menumpahkan pandangan ke sana. Aneh,
seluruh listrik di Gomera padam. Padahal sebelumnya ini tidak pernah terjadi.
“Mata-mata
di GenQ pasti memberitahu pada ayah tentang radio yang akan kusiarkan.” Aku
berspekulasi.
“Presiden
pasti mencarimu.” Professor Lincoln menimpali.
Tiba-tiba,
sinar laser memancar menjebol pintu rumah Professor Lincoln. Aku tersentak,
tiga polisi bionik tiba-tiba menyeretku keluar. Aku mencoba berontak tapi
mereka terlalu kuat berkat teknologi yang terpasang di tubuh. Berbeda dengan
biobot, polisi bionik adalah manusia yang masih hidup.
“Lepaskan
dia!” sentak Professor Lincoln.
“Maaf,
Professor. Kami diperintah oleh presiden,” ujar salah seorang dari mereka.
Mereka terus menyeretku sampai di selasar. Apa mereka akan membuatku menderita
kanker kulit dengan menyeretku melewati sinar matahari? Ternyata tidak. Mereka
melepasku untuk memakai baju anti-ultraviolet dan kacamata terlebih dahulu. Aku
memanfaatkannya untuk lari dari selasar secepatnya dan para polisi bionik itu
mengejarku. Mereka cepat sekali.
“Cepat
naik!” Seorang pemuda menaiki SkyBike menepi. Aku menurutinya dan dalam
hitungan detik kami melesat kencang di jalanan. Speedometer menunjukkan
kecepatan 200 mil/jam. Sayangnya, para polisi bionik itu muncul menggunakan
SkyRider. Semacam mobil patroli yang menggunakan kapasitor sensor cahaya yang
mengubah energi cahaya menjadi energi kinetik.
Pemuda itu
membawa SkyBike ke dalam terowongan. Sepertinya dia tahu kalau SkyRider
bergantung pada cahaya. Sementara, listrik di Gomera padam dan hari pun
beranjak malam. Kami bisa lolos walau perlu waktu lama menunggu energi cadangan
SkyRider mereka habis. Malam merangkak naik, kami berhenti di tempat yang
dipenuhi dengan bangunan-bangunan tua. Ini pasti ratusan mil dari Gomera.
“Jaringan
telekomunikasi putus total. Kita harus menunggu di sini untuk sementara waktu
baru bisa menyiarkannya,” ujar pemuda itu membuka helmnya.
“Fathir?”
tanyaku tercekat. “Kau bicara padaku dengan bahasa...”
“Aku sudah
tahu, Lintang. Radio itu terhubung dengan komputer di markas GenQ. Jadi kami
dengar saat kau memutarnya.”
“Lalu GenQ?”
tanyaku masih diliputi tanda tanya.
“Kami
sengaja menyerahkan diri agar tahu siapa mata-matanya. Sekarang, semua tugas
diserahkan pada kita,” ujar Fathir. “Lintang, di sana ada mata air pertemuan
laut merah dan laut mati. Kau bisa meminumnya kalau haus. Aku harus ke sana
dulu ambil air wudhu.”
Lintang
melangkah menuju bebatuan itu dan aku merebahkan tubuh di teras sebuah
bangunan. Kantuk mulai bergelayut di pelupuk mata. Perlahan kubiarkan gelap
menyelimuti lelap. Hening. Diselingi desir suara angin yang berembus menanti
pagi datang.
“Danny...”
Samar-samar kudengar suara dari kejauhan. Mataku mengerjap dan kutemukan diriku
berada di tempat lain lagi. Tunggu, ini di kelas? Kulepaskan virtual glasses
dari kepala dan Mr. Lovis memberiku segelas air putih.
“Ini
mimpi, kan?” tanyaku bingung.
“Tidak,
tapi kau terlalu tenggelam dalam virtual,” katanya. Kutampar pipiku sendiri
keras-keras meyakinkan diri. Rasanya sakit. Itu artinya kalau aku tidak sedang
bermimpi. Ini benar-benar nyata.
“Maaf, aku
tahu bahwa Indonesia virtual itu sangat seru. Tapi aku terpaksa menon-aktifkan
programnya sebelum di sana kau tertidur. Kau tahu itu, kan?”
Ya, aku
tahu. Akan sangat sulit dibangunkan jika tertidur atau pingsan di dunia
virtual. Berbeda dengan meninggal, itu membuat kita segera sadar. Aku jadi
ingat, butuh berjam-jam untuk membangunkan Lindy yang pingsan saat pelajaran
Exoplanet. Tapi beda dengan Asuka saat pelajaran Sejarah. Ia menjadi pekerja
Aljeida Babylon yang gagal menepati janji pada Julius Caesar. Akhirnya Asuka
meninggal karena dijadikan santapan singa di hadapan masyarakat Romawi kuno.
Dia pun bangun terlalu cepat.
Aku terdiam
tiba-tiba menyadari sesuatu. Elit pemerintah Indonesia tahu aku orang
Indonesia, dan mereka yang merancang adalah Mr. Lovis. Itu artinya, Mr. Lovis
tahu bahwa aku orang Indonesia? Alisku terpaut menggaris dahi. Mataku
berkeliling menyadari suasana kelas ini terasa asing. Aku pun bangkit menuju
koridor.
“Danny, ada
apa?” tanya Mr. Lovis tapi kuabaikan. Kubuka jendela dan sinar matahari masuk,
membuat mata sakit dan kulitku memerah. Aku tidak peduli dan naik ke gerendel
jendela. Ratusan kaki dari jalanan, angin menampar wajahku. Sebelum Mr. Lovis
berhasil menangkapku, aku sudah menjatuhkan diri lebih dahulu.
Bersambung.
Bersambung.
Next: