Saturday, June 23, 2012

Indonesia Terakhir Part V




“Tunggu!” kata Professor Lincoln tiba-tiba saat aku menyambar radio itu di meja. “Ada yang aneh pada satelit telekomunikasi,” ujarnya sambil terus mengotak-atik kode-kode rumit tersebut. Jari-jemarinya dengan lihai menari di atas keyboard.

Sejurus kemudian, seisi ruangan menjadi gelap. Satu-satunya penerangan berasal dari gurat-gurat jingga di kaki langit. Aku menumpahkan pandangan ke sana. Aneh, seluruh listrik di Gomera padam. Padahal sebelumnya ini tidak pernah terjadi.

“Mata-mata di GenQ pasti memberitahu pada ayah tentang radio yang akan kusiarkan.” Aku berspekulasi.

“Presiden pasti mencarimu.” Professor Lincoln menimpali.

Tiba-tiba, sinar laser memancar menjebol pintu rumah Professor Lincoln. Aku tersentak, tiga polisi bionik tiba-tiba menyeretku keluar. Aku mencoba berontak tapi mereka terlalu kuat berkat teknologi yang terpasang di tubuh. Berbeda dengan biobot, polisi bionik adalah manusia yang masih hidup.

“Lepaskan dia!” sentak Professor Lincoln.

“Maaf, Professor. Kami diperintah oleh presiden,” ujar salah seorang dari mereka. Mereka terus menyeretku sampai di selasar. Apa mereka akan membuatku menderita kanker kulit dengan menyeretku melewati sinar matahari? Ternyata tidak. Mereka melepasku untuk memakai baju anti-ultraviolet dan kacamata terlebih dahulu. Aku memanfaatkannya untuk lari dari selasar secepatnya dan para polisi bionik itu mengejarku. Mereka cepat sekali.

“Cepat naik!” Seorang pemuda menaiki SkyBike menepi. Aku menurutinya dan dalam hitungan detik kami melesat kencang di jalanan. Speedometer menunjukkan kecepatan 200 mil/jam. Sayangnya, para polisi bionik itu muncul menggunakan SkyRider. Semacam mobil patroli yang menggunakan kapasitor sensor cahaya yang mengubah energi cahaya menjadi energi kinetik.

Pemuda itu membawa SkyBike ke dalam terowongan. Sepertinya dia tahu kalau SkyRider bergantung pada cahaya. Sementara, listrik di Gomera padam dan hari pun beranjak malam. Kami bisa lolos walau perlu waktu lama menunggu energi cadangan SkyRider mereka habis. Malam merangkak naik, kami berhenti di tempat yang dipenuhi dengan bangunan-bangunan tua. Ini pasti ratusan mil dari Gomera.

“Jaringan telekomunikasi putus total. Kita harus menunggu di sini untuk sementara waktu baru bisa menyiarkannya,” ujar pemuda itu membuka helmnya.

“Fathir?” tanyaku tercekat. “Kau bicara padaku dengan bahasa...”

“Aku sudah tahu, Lintang. Radio itu terhubung dengan komputer di markas GenQ. Jadi kami dengar saat kau memutarnya.”

“Lalu GenQ?” tanyaku masih diliputi tanda tanya.

“Kami sengaja menyerahkan diri agar tahu siapa mata-matanya. Sekarang, semua tugas diserahkan pada kita,” ujar Fathir. “Lintang, di sana ada mata air pertemuan laut merah dan laut mati. Kau bisa meminumnya kalau haus. Aku harus ke sana dulu ambil air wudhu.”

Lintang melangkah menuju bebatuan itu dan aku merebahkan tubuh di teras sebuah bangunan. Kantuk mulai bergelayut di pelupuk mata. Perlahan kubiarkan gelap menyelimuti lelap. Hening. Diselingi desir suara angin yang berembus menanti pagi datang.

“Danny...” Samar-samar kudengar suara dari kejauhan. Mataku mengerjap dan kutemukan diriku berada di tempat lain lagi. Tunggu, ini di kelas? Kulepaskan virtual glasses dari kepala dan Mr. Lovis memberiku segelas air putih.

 “Ini mimpi, kan?” tanyaku bingung.

 “Tidak, tapi kau terlalu tenggelam dalam virtual,” katanya. Kutampar pipiku sendiri keras-keras meyakinkan diri. Rasanya sakit. Itu artinya kalau aku tidak sedang bermimpi. Ini benar-benar nyata.

“Maaf, aku tahu bahwa Indonesia virtual itu sangat seru. Tapi aku terpaksa menon-aktifkan programnya sebelum di sana kau tertidur. Kau tahu itu, kan?”

Ya, aku tahu. Akan sangat sulit dibangunkan jika tertidur atau pingsan di dunia virtual. Berbeda dengan meninggal, itu membuat kita segera sadar. Aku jadi ingat, butuh berjam-jam untuk membangunkan Lindy yang pingsan saat pelajaran Exoplanet. Tapi beda dengan Asuka saat pelajaran Sejarah. Ia menjadi pekerja Aljeida Babylon yang gagal menepati janji pada Julius Caesar. Akhirnya Asuka meninggal karena dijadikan santapan singa di hadapan masyarakat Romawi kuno. Dia pun bangun terlalu cepat.

Aku terdiam tiba-tiba menyadari sesuatu. Elit pemerintah Indonesia tahu aku orang Indonesia, dan mereka yang merancang adalah Mr. Lovis. Itu artinya, Mr. Lovis tahu bahwa aku orang Indonesia? Alisku terpaut menggaris dahi. Mataku berkeliling menyadari suasana kelas ini terasa asing. Aku pun bangkit menuju koridor.

“Danny, ada apa?” tanya Mr. Lovis tapi kuabaikan. Kubuka jendela dan sinar matahari masuk, membuat mata sakit dan kulitku memerah. Aku tidak peduli dan naik ke gerendel jendela. Ratusan kaki dari jalanan, angin menampar wajahku. Sebelum Mr. Lovis berhasil menangkapku, aku sudah menjatuhkan diri lebih dahulu.

Bersambung.

Next:

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

Jangan jadi silent reader, giliranmu bercuap-cuap ria.

Related Posts Plugin by ScratchTheWeb