Saturday, June 23, 2012

Indonesia Terakhir part III



“Generasi Qur’ani? Apa itu sebuah kelompoki ilegal?” tanyaku.

            “Bagaimana kau tahu?” tanya Fathir.

            “Hanya menebak,” jawabku berbohong. Sebenarnya aku tahu dari penggunaan istilah “Qur’an” yang mereka gunakan.

            “Kau benar, kami memang kelompok ilegal. Tapi itu karena banyak orang tidak tahu dulu ada sebuah agama dimana kebanyakan pemeluknya ada di Indonesia: Agama Islam.”

            “Lalu kenapa tidak meminta tolong pada ayahmu saja, Fathir? Bukankah ayahmu presiden?” tanyaku. Fathir terlihat tidak suka pertanyaan ini, tapi aku benar-benar penasaran.

            Fathir diam sejenak sebelum akhirnya dia bicara, “Dia cuma boneka.”

            “Hah?”

            “Dia cuma boneka Professor Surya. Dia menuruti semua permintaan orang gila itu, termasuk menjadikan mayat sebagai biobot. Tapi bukan Gen-Q namanya jika kehabisan ide.” Fathir menjentikkan jarinya dengan sombong, dia berjalan menuju sebuah lemari dan aku mengikutinya. Fathir membuka lemari itu, di dalamnya ada sebuah radio. Radio?

            “Ini adalah radio yang dapat mendengar suara dari masa lalu. You know? Gelombang itu energi, dan energi bersifat tetap. Jadi suara-suara –yang pada dasarnya adalah gelombang– tidak pernah hilang, tapi “berserakan” di udara. Hal ini bisa jadi saksi akan adanya Islam dan seruan dakwah Rasulullah. Sayangnya kubah metamaterial yang melingkupi Indonesia ini benar-benar menghalangi gelombang radio masuk.”

            Aku terpana dan menyentuh radio tersebut. Sekilas seperti radio tua biasa dengan antena yang bentuknya rada aneh. Tapi alat ini bisa menjadi awal dari sebuah revolusi besar-besaran. “Kau memberitahuku proyek ini? Apa tidak takut aku membocorkannya?”

            “Justru itulah yang kuinginkan, aku ingin kau membocorkannya terutama pada ayahmu,” ujar Fathir. “Radio ini kau putar di Gomera, karena di sini teknologi yang membutuhkan gelombang elektromagnetik tidak berguna.”

            “Kau menyeretku?” tanyaku tidak percaya.

            “Bukankah itu jelas? Bagaimana perasaanmu melihat mayat-mayat itu dimanfaatkan menjadi biobot?”

            Hari ini, lagi-lagi aku disuruh membuat sebuah keputusan yang berat. Bukannya aku tidak mau membantu Fathir, tapi aku teringat temanku di panti asuhan dulu. Namanya Fikri. Hanya karena dia ketahuan menyimpan Al-Qur’an di bawah bantal, dia menghilang dan tidak pernah muncul lagi di panti asuhan. Seperti ia akan dibunuh karenanya.

            “Aku tidak tahu, maaf,” kataku dengan nada menyesal.

            Fathir terlihat kecewa. Begitu pula anak-anak remaja di ruangan ini yang mendengar percakapan kami berdua. Tapi kan mereka tidak bisa bertumpu kepadaku.

            “Bodohnya aku, seharusnya aku tahu kalau kau tidak mungkin melakukannya. Tapi, radio ini tetap kau bawa saja ke Gomera. Aku tidak memaksamu memutarnya, anggap saja ini hadiah.”

            “Tapi...”

            “Tapi aku juga tidak butuh. Kami bisa membuatnya lagi jika kami mau. Gen-Q gitu loh!” Fathir tersenyum.

            Setelah kejadian di laboratorium tadi, Fathir membawaku pulang ke depan gedung tinggi dimana ayah rapat. Dia membawaku dengan sepedanya, dan aku membawa radio yang cukup berat itu. Para biobot yang menjaga di depan pintu masuk, membuatku takut. Teringat bahwa kenyataannya mereka tak berbeda dengan zombie.

            Fathir mengayuh sepedanya kembali ke markas Gen-Q. Sementara, aku duduk sendirian di taman dengan tumbuhan-tumbuhan palsu. Desau angin menjadi saksi rerumputan dan ilalang yang menari. Aku pun mulai bosan, sudah sepuluh menit aku menunggu di taman palsu ini dan ayah tidak segera keluar. Tidak tahu apa yang aku lakukan, aku pun menyalakan radio itu. Mungkin ia akan menangkap gelombang yang “berserakan” dalam kubah.

            Zzz.. zztt.. Zzz... zztt... Suara riuh susul menyusul muncul tiada habisnya. Seperti radio, aku mengaturnya sedemikian rupa sehingga suara yang muncul menjadi lebih halus. Dapat! Sekumpulan pria yang sedang mengobrol.

            “Mata-mata kami melaporkan bahwa Fathir membawa anakmu, Presiden Horace.”

“Anak keras kepala itu memang tidak pernah kapok!”

            “Sudah lama aku ingin membekukan mereka di dalam nitrogen cair!” Seperti suara Prof. Surya.

            “Tapi jangan sentuh putraku Fathir! Aku akan membiayaimu untuk membekukan yang lainnya.”

            “Dan walaupun Fathir mengajak Lintang, jangan sentuh dia juga! Atau aku tidak akan membiayai singularitas biobot tahun ini. Dia penurut dan tidak tahu apapun, bahkan tidak tahu ayah dan ibu kandungnya meninggal karena membela Islam,” itu suara ayah.

Bersambung

Next:
Indonesia Terakhir Part VI          

Comments
1 Comments

1 comment:

Jangan jadi silent reader, giliranmu bercuap-cuap ria.

Related Posts Plugin by ScratchTheWeb