Aku melongo, tidak percaya ayah akan
membawaku ke Indonesia. Selama beberapa tahun aku tinggal di Gomera, aku yakin
tidak ada lagi tempat manusia bisa bertahan hidup selain di Gomera. Lalu,
apa maksud ayah adalah samudera tak berpenghuni yang dulunya adalah Indonesia?
“Apa maksud ayah tentang Indonesia yang ayah bilang?”
“Bagaimana kalau kau melihatnya sendiri?”
“Baiklah, aku ikut ayah saja,” jawabku setengah hati. Sebenarnya aku sangat
keberatan meninggalkan pelajaran Geografi hari ini, tapi ketika melihat ayah,
dia hampir tidak punya waktu. Kulihat ayah tersenyum kemenangan, dia tidak lagi
mengatakan apapun. Walau aku masih penasaran, tapi aku rasa dia tidak akan
menjawabnya. Mobil itu lalu membawa kami ke stasiun lintas dunia milik negara.
Pesawat yang kunaiki kali ini melaju dengan kecepatan Mach-10. Sehingga
perjalanan dari Gomera ke Indonesia hanya membutuhkan satu jam. Kutumpahkan
pandanganku ke luar jendela, disini dulu Indonesia berada, tapi sekarang
menjelma menjadi jutaan kubik air dan gulungan-gulungan ombak saja sejauh mata
memandang.
Tiba-tiba, pesawat memasuki zona lain. Sebuah terowongan sepanjang 1 mil yang
tiba-tiba saja muncul di atas permukaan samudera. Tidak lama, pesawat pun
berhenti di sebuah tempat yang aku rasa bukan berada di abad yang sama. Ayah
menggandeng tanganku keluar dari pesawat saat pintu pesawat terbuka. Aku
langsung memejamkan mata. Bukankah matahari sekarang bisa membuat mata menjadi buta?
Mengapa ayah…?
“Buka saja matamu,” kata Ayah. Aku mengerjap dan kurasakan mataku baik-baik
saja. Aku juga tidak perlu memakai pakaian khusus anti ultraviolet. Dia masih
menggandeng tanganku dan berjalan keluar. Puluhan pria berkulit sawo matang
berjejer di depan pesawat.
“Selamat datang di Indonesia, Presiden Horace!” ujar salah seorang dari mereka.
Aku terkejut. Senang, bingung, dan tidak percaya bercampur aduk. Apa mereka
orang Indonesia? Apa di sini Indonesia?
“Apa ini benar-benar…?” tanyaku tercekat.
“Iya. Kampung halamanmu,” katanya. Kukucek mataku berkali-kali dan aku masih
tidak percaya dengan pemandangan ini. Aku tidak sedang bermimpi, kan?
“Ada kubah dari metamaterial yang membuat gelombang elektromagnetik dibelokkan.
Sehingga Indonesia menjadi tak terlihat bahkan tak terlacak radar. Begitu pula
cahaya matahari yang pada dasarnya adalah gelombang elektromagnetik. Sementara
sumber energi terbesar didapat dari energi fusi nuklir.”
“Tapi kenapa mereka bilang Indonesia tenggelam?”
“Itu karena rekayasa genetika impian manusia yang hampir membuat orang
Indonesia musnah. Indonesia harus disembunyikan.”
“Mereka menginginkan gen orang Indonesia?”
“Ya, makanya selain Professor Lincoln, kau jangan memberitahu siapapun kalau
kau orang Indonesia. Paham?” tanya Ayah. Aku mengangguk.
Sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan kami. Mobil tersebut masih
memakai roda, tidak secanggih di Gomera. Aku dan ayah masuk setelah seorang
pria membuka pintu mobil. Di dalamnya, manusia lah yang menjadi supir. Bukan
robot.
Aku melongok ke luar jendela saat mobil melewati sebuah gerbang besar yang
terbuat dari karbon nanotube. Yaitu material yang sangat kuat tapi sangat
ringan. Di balik gerbang itu dapat kulihat pohon-pohon berjejer, kepakan lembut
sayap kupu-kupu, dan semilir angin yang merayu bunga-bunga yang tersenyum
merekah. Laksana goresan sebuah lukisan yang sangat indah. Masih kunikmati
pemandangan itu sampai akhirnya mobil ini berhenti di depan sebuah bangunan
tinggi. Aku dan Ayah keluar dan disambut para pria berkulit sawo matang.
Tunggu, aku baru sadar kalau wajah para pria berkulit sawo matang itu mirip
satu sama lain. Bahkan ekspresi wajah mereka sama: datar. Jika kau ingin lebih
dramatis lagi, mereka seperti... mati.
Seorang pria berkepala besar dengan rambut beruban muncul dari dalam bangunan
itu. Dia menyambut Ayah dengan jabat tangan.
“Welcome in Indonesia, Mr. President!” sambut orang itu dengan senyuman. Dia
adalah orang pertama yang kulihat berbeda. Dia pasti orang khusus.
“Dia adalah Danny, anak tunggalku.”Ayah menepuk pundakku.
“Hai Danny, salam kenal. Kau bisa panggil saya Professor Surya.” Pria itu
tersenyum dan kami berjabat tangan.
Professor
Surya lalu mengajak ayah masuk ke dalam tempat itu. Para pria berkulit sawo
matang melihatku dengan tajam, membuatku tak betah lama-lama berdiri disini
sendiri. Aku lalu memilih ikut ayah masuk sebelum akhirnya seseorang menepuk
pundakku dari belakang.
“Kau ikut
aku saja!” kata seorang anak remaja laki-laki berperawakan tinggi. Rambutnya
hitam dan kulitnya lebih putih dibanding para pria misterius itu. Dia adalah
orang kedua yang kutemukan berbeda. Usianya mungkin 16 sampai 17 tahun.
“Tapi...,”
kataku bingung melihat Ayah masuk.
“Apa kau mau
menghabiskan waktu dengan rapat yang membosankan?” tanyanya.
“Kau mau
bawa aku kemana?”
“Yang pasti
kamu tidak menyesal kubawa ke sana,” kata orang itu sambil menaiki sepedanya.
“Ayo naik!”
Orang itu
pun memboncengku. Sementara aku hanyut menyaksikan alam hijau yang telah
bertahun-tahun tidak lagi kunikmati. Kubiarkan desau angin sejuk membelai
tubuhku sampai akhirnya...
“Seperti
asli tapi semua itu tumbuhan palsu. Professor Surya memang sangat hebat,” kata
anak remaja itu. “Tadi kau bilang namamu Danny, kan? Kenalkan namaku Fathir.”
“Palsu?”
tanyaku dengan nada tercekat. Memang, semenjak pemanasan global dan sejak
radiasi nuklir bekas perang dunia, lahan rusak dan tumbuhan tidak pernah
tumbuhan lagi. Aku sudah tahu jawabannya, jadi aku lontarkan pertanyaan lain.
“Fathir, orang-orang itu mereka mirip. Kau tahu kenapa?”
“Biobot,”
kata Fathir.
“Hah?”
“Penyatuan
antara biologi manusia dengan robot. Mereka adalah biologi manusia dengan
komputer kuantum di otaknya dan melakukan pekerjaan dengan sempurna. Hasil
singularitas. Sayangnya mereka sudah mati alias...”
“Ma-yat?”
aku melanjutkan dengan merinding.
“Ya, kau
benar. Wajah mereka mirip karena wajah asli mereka sudah hancur bekas percobaan
rekayasa genetika dua tahun yang lalu.”
Fathir
menepikan sepedanya di depan sebuah toko tele scouter yang sudah tutup. Tulisan
’closed’ yang terpajang di pintu kaca toko itu tampak mulai usang. Aku
mengikuti Fathir masuk ke toko sepi tersebut, aneh, tapi aku memutuskan untuk
tidak banyak bertanya, karena sepertinya aku akan tahu sendiri.
“Use it!”
Fathir memberiku sebuah tele scouter, semacam kacamata yang dapat menerjemahkan
ucapan orang lain. “Mereka akan berbicara dalam bahasa Indonesia, kau butuh
benda ini.”
“Mereka?”
Fathir hanya
menjawab dengan tersenyum sombong, dia lalu berjalan menuju sebuah pintu hijau
di ujung ruangan. Aku mengikutinya sambil memakai kacamata itu, walau
sebenarnya aku tidak butuh. Sebuah sinar memancar, memindai pupil mata Fathir.
Tidak lama kemudian, pintu itu terbuka dan di dalamnya hanyalah sebuah ruangan
sempit yang muat untuk dua orang.
“Di Gomera
sepertinya canggih sekali, ya?” tanya Fathir masuk ke dalam ruang sempit itu.
“Ya, sangat.
Kecuali makanannya yang mirip cairan hidung,” jawabku ikut masuk ke dalam
ruangan itu. Pintu ruangan itu tertutup dan membuat sesak.
“Kau akan
melihat yang jauh lebih canggih lagi!” ujar Fathir bangga. Sedetik kemudian,
ruangan itu meluncur ke bawah dengan super cepat. Membuatku seperti ingin
muntah. Ternyata ruangan ini adalah lift.
Pintu lift
terbuka, cahaya putih yang sangat terang jatuh di pelupuk mata. Silau. Tak
lama, mataku mulai terbiasa dengan penerangan yang entah dari mana sumbernya.
Tidak ada jendela dan tidak ada lampu. Sampai akhirnya aku sadar, penerangan
berasal dari bawah: lantai.
Cuma ada
satu pintu, yaitu di ujung ruangan. Fathir membuka pintu yang terbuat dari
karbon nanotube itu. Teknologi nano memang sedang populer belakangan ini. Di
balik pintu itu ada sekumpulan anak muda yang masing-masing sibuk dengan
urusannya. Ada yang di depan komputer, ada yang sibuk dengan larutan kimia, ada
pula yang sibuk merangkai sesuatu. Well, Fathir telah membawaku ke abad yang
lain lagi aku rasa.
“Assalamu’alaikum!”
Fathir berseru. Semua mata pun mengarah pada kami berdua.
“Walaikum’salam.
Dia siapa, Fathir?” tanya seorang laki-laki menunjukku.
“Namanya
Danny, dia anak Presiden Gomera.”
“Hai Danny,
apa kau tahu bahwa Fathir juga adalah anak presiden sama sepertimu?” tanya
laki-laki itu. Aku terkejut dan menggeleng, dari penampilannya tidak bisa
ditebak kalau dia adalah anak presiden.
“Ah,
sudahlah! Itu tidak penting.” Fathir sepertinya memang tidak ingin membahas
itu. Aku pun memulai mengganti topik pembicaraan.
“Jadi,
’mereka’ yang kau bilang tadi adalah mereka?”
”Ya. Tapi
lain kali kau menyebut ’mereka’ Gen-Q atau Generasi Qur’ani. Nama yang bagus,
kan?” tanya Fathir tersenyum makin lebar.
To be continued.
Next:
Next:
Hey keep posting such good and meaningful articles.
ReplyDelete