(Artikel ini dimuat di majalah Husnul Khotimah)
Pada suatu hari seorang wartawan terkemuka Amerika, James Thurber bertemu dengan seorang pemulung mobil-mobil rusak yang tidak lain adalah William James Sidis. Manusia paling jenius yang pernah dunia punya. Memang, saya tidak bisa mengklaim kalau Sidis adalah manusia paling jenius dan tidak seorang pun bisa mengatakan hal itu. Tapi banyak bukti bagaimana mitos itu lahir sehingga Sidis dikatakan lebih pantas disebut sebagai manusia paling jenius bahkan bila disandingkan namanya dengan Albert Einstein, John Stuart Mills, maupun Da Vinci.
Pertanyaannya, siapakah William James Sidis? Jika dia disebut manusia paling jenius mengapa namanya tenggelam? Dan apakah tidak cukup kejeniusannya itu untuk mendapat sebuah pekerjaan yang layak?
Abraham Sperling menulis buku “A Story of Genius” yang fokus menceritakan kehidupan William James Sidis. Pria yang lahir di Rusia pada tanggal 1 April 1898 itu memiliki IQ yang mencapai kisaran 250-300. Skor tertinggi yang pernah dicapai jika dibandingkan rata-rata IQ manusia hanya 90-120.
Ayahnya, Boris Sidis, Ph.D., MD, adalah psikiater handal berdarah Yahudi lulusan Harvard yang kemudian mengajar di sana. Boris adalah seorang poligot dan menulis banyak buku dan artikel tentang psikologi abnormal. Dan ibunya, Sarah Mandelbaum Sidis, MD, lulus dari Fakultas Kedokteran, Boston University dan melanjutkan belajar psikiologi juga, sama seperti suaminya.
Keajaiban Sidis sudah terlihat semenjak usianya 8 bulan, Di usia semuda itu ia sudah bisa makan sendiri menggunakan sendok. Lalu pada usia 1 tahun 6 bulan, Sidis menjadikan New York Times sebagai teman sarapan paginya. Belum genap 8 tahun, dia telah menguasai 8 bahasa asing (Latin, Yunani, Perancis, Rusia, Jerman, Ibrani, Turki, dan Armenia) dan telah menulis buku tentang astronomi dan anatomi. Dan semenjak itu namanya selalu menghiasi headline surat kabar. Meskipun awalnya Harvard University menolak Sidis ketika ayahnya mendaftarkannya karena masih 9 tahun, Sidis memecahkan rekor sebagai mahasiswa termuda di usia 11 tahun.
Sidis bergabung di klub matematika di Harvard bersama matematikawan, Norbert Wiener dan Richard Buckminster Fuller. Dia lalu membuat Harvard berdecak kagum padanya ketika memberikan ceramah tentang four dimensional bodies di depan para professor matematika. Daniel F. Comstock Professor dari M.I.T memperkirakan bahwa Sidis akan menjadi matematikawan besar di masa depan.
Sidis baru mengikuti mata kuliah penuh di usia 12 tahun. Tidak lama setelah lulus di usia 16 tahun, dia mengatakan kepada media bahwa dia ingin hidup bebas dalam pengasingan. Ia juga bersumpah di depan wartawan bahwa ia tidak akan menikah karena wanita tidak menarik baginya. Walau pada akhirnya dia bertemu dengan Martha Foley dan jatuh cinta pada wanita itu.
Kehebatan Sidis yang lain, di usia dewasanya ia telah menguasai 200 jenis bahasa di dunia dan mampu mempelajari satu bahasa baru secara menyeluruh dalam satu hari dengan sangat baik! Dia juga mampu mengalihbahasakan suatu buku ke bahasa yang lain dengan sangat cepat dan mudah.
Pria yang mengajar di tiga kelas (Euclidean geometri , non-Euclidean geometri , dan trigonometri) itu mulai menjadi dosen di usia 17 tahun demi gelar doktornya. Tapi ia merasa tertekan dengan mahasiswa universitas yang mengancamnya secara fisik.
Pada tahun 1919, usianya 21 tahun, dia mendekam di penjara di Sedition Act selama 18 bulan karena terlibat perkelahian di acara May Day di Boston. Selama persidangan dia mengatakan bahwa dirinya adalah sosialis, menentang perang dunia I dan tidak percaya adanya Tuhan. Ia lalu mengembangkan filsafatnya sendiri tentang “libertarianisme”. Setelah mendekam di penjara, keluarganya menahannya di Sanitorium di New Samphire selama satu tahun untuk memperbaiki diri Sidis. Mereka juga membawanya ke California selama satu tahun lagi dan mengancam memasukkannya ke rumah sakit jiwa jika tidak menurut.
Kehidupan selanjutnya dia memutuskan untuk hidup bebas dan independen. Dia bekerja sebagai teknisi mesin dan pekerjaan kasar lainnya di New York. Ia memutuskan hubungan dengan keluarganya sendiri. Sebuah majalah bahkan menuliskan bahwa Sidis menghabiskan sisa hidupnya dengan menjadi seorang berandalan. Sidis juga mengaku kepada pers kalau ia membenci matematika dan menarik diri dari ilmu pengetahuan karena itulah yang selama ini membuatnya tersiksa.
Tahun 1937, ia menulis artikel berjudul “Where Are They Now?” dengan nama samaran dan dituduh telah menulis banyak pernyataan palsu. Di bawah judul, ia menulis tentang hidupnya yang kesepian dalam kamar tidur. Dalam pengasingan dia menjadi publik cemooh dan hinaan yang lalu membuatnya hidup menderita.
Sidis meninggal di usia tergolong muda pada hari Senin, 17 Juli 1944 karena pendarahan di otak. Dia meninggal dalam keadaan menganggur, kesepian dan sangat miskin. Ayahnya juga meninggal dengan penyakit yang sama di usia 56 tahun.
Belakangan disadari bahwa kesuksesannya di masa lampau adalah hasil percobaan sang ayah yang pada akhirnya membuatnya tersiksa dan mengasingkan diri ini. Boris ingin menjadikan anaknya sebagai model pendidikan yang baru untuk menentang sistem pendidikan konvensional yang dianggapnya sebagai biang keladi kriminalitas. Sayangnya, penyadaran dan penyesalan selalu datang terlambat.
Pelajaran yang mungkin bisa kita ambil dari artikel ini adalah IQ tinggi saja tidak cukup. Dibutuhkan keseimbangan antara IQ (Intelligence Quotient), EQ (Emotional Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient). Dan juga bahwa orang tua tidak bisa begitu saja menjadikan anak sebagai proyek mereka hanya demi mengemban obsesi dan ambisi semata karena setiap anak pasti akan mewarisi perbuatan orang tuanya. Seperti dinyatakan White Lion dalam lagunya When The Cry, …what have we become …just look what we have done …all that we destroyed …you must build again.