Wednesday, September 22, 2010

Airen Part 3 (Final)



“Dia yang memelukku begitu saja!” bela Rifki di dalam mobil.

“Lalu, kau tahu kan hari ini ulang tahunmu?” tanya Devon yang duduk di bangku belakang.

“Aku seorang supir taksi, tidak mengenal hari ulang tahun,” ujar Rifki.

“Kau adalah anggota keluarga juga, Mahatir,” ujar Michael Murray yang duduk di samping Rifki.

“Ya, Sudah berjam-jam kita menunggumu,” ujar Devon.

“Kalian merayakannya?” tanya Rifki.

“Hm, Nida memasakkan makanan untukmu. Seharian ini dia sangat berusaha,” ujar Devon.

“Jadi ini tentang dia?”

“Memangnya kenapa?” tanya Devon.

“Apa kalian berharap agar aku menyukainya dan menikah dengan Nida? Huh?”

“Sebenarnya, apa kau punya masalah dengan pernikahan?” tanya Devon.

“Aku hanya tidak ingin menikah dalam waktu dekat ini.”

“Lalu apa masalah bagimu jika dia membuatkan sesuatu untukmu? Dia tidak memaksamu untuk menikah dengannya dalam waktu dekat ini, bukan?” tanya Devon.

“Yang bermasalah itu dirimu. Kenapa kau sangat ikut campur urusanku dengan Nida? Apa jangan-jangan kau yang menyukainya?” tanya Rifki. “Berhentilah bicara, suaramu mengganggu konsentrasi.” Devon menghempaskan tubuhnya ke jok mobil. Dia melipat tangannya kesal dan membuang muka ke luar jendela.

@@@

“Assalamu’alaikum,” Rifki, Devon, dan Michael masuk ke dalam rumah mereka. Di ruang tengah sudah dihias segala macam pernak-pernik, dan ada kue ulang tahunnya di atas meja. Rifki berdiri melihatnya. Dia bahkan tidak tersenyum sama sekali.

“Atir ku sayang, kau kemana saja tidak pulang?” tanya ibunya Rifki menghampiri putranya itu.

“Kakak…” gumam Nida melihat kedatangan Rifki.

“Bu, aku ini bukan anak kecil lagi. Dan ibu juga tahu kalau dalam agama Islam tidak ada namanya perayaan ulang tahun,” ujar Rifki, dia lalu melihat Nida yang berdiri beberapa meter di depannya. “Kau belajar apa saja di pesantren?” tanyanya sinis lalu masuk ke dalam kamar. Di dalam, Rifki menyandar ke pintu. Menghela nafas. “Kenapa dia melakukan hal itu? Membuatku merasa bersalah saja,” batinnya.

@@@

Hari terus bergulir dalam dimensi kehidupan. Tidak ada yang mampu memutar ulang kembali sang waktu kecuali Sang Pencipta waktu itu sendiri. Penyakit Seiji semakin parah seperti apa yang dikatakan dokter, ia pun mengalah kalau kini ia harus dioperasi.

“Percayalah kau akan sembuh, apa kau siap?” ujar Dr. Terry memegang jarum suntik anestesia. Seiji melotot melihat jarum suntik itu. Walaupun diam-diam dia adalah FBI sekaligus mahasiswa yang pintar, dia sebenarnya takut dengan jarum suntik.

“Ya,” ujar Seiji yang ketika itu tengah dikelilingi oleh beberapa dokter bedah dan para perawat dalam ruang operasi.

Sementara itu, Jessica terdiam di lorong sambil bersandar ke dinding. Bunyi jam membuat jantungnya semakin berdegup kencang. Bagaimana kalau Seiji akan mati atau lumpuh total?

@@@

Dua hari telah berlalu, operasi telah selesai dilaksanakan. Seiji masih berjalan pelan di lorong rumah sakit. Seharusnya, dia istirahat lebih lama seperti kata dokter. Tapi Seiji yang keras kepala, memilih untuk pulang.

“Seiji, kau yakin tidak ingin istirahat dulu?” tanya Jessica.

“Aku ingin pulang,” ujarnya. “Dampak operasi ini berhasil atau tidak akan muncul sebentar lagi, dan aku tidak mau menghadapi kematian di rumah sakit.”

“Jangan katakan itu!” bentak Jessica yang terus mengikuti Seiji hingga ke selasar rumah sakit. Jessica terkejut, dia melihat Seiji menaiki sepeda motornya yang sudah terparkir di dekat situ.

“Kau baru saja dioperasi, kau tidak boleh naik motor!”

“Kalau operasi ini berhasil, seharusnya aku akan baik-baik saja. Kalau operasi ini gagal, maka lebih dramatis mati kecelakaan daripada berbaring di rumah sakit.”

“Kau gila.”

“Ya, aku memang sudah gila.”

“Bagaimana motor ini bisa disini? Kau kesini kan dengan menggunakan taksi.”

“Aku meminta Kyousuke mengantarnya.” Kyousuke muncul dan Jessica langsung menatapnya marah.

“Apa yang kau lakukan? Apa kau tahu kalau Seiji ini sedang sakit?”

“Apa?” tanya Kyousuke.

“Sarafnya bisa lumpuh tiba-tiba. Dan kalau itu terjadi, dia akan mengalami kecelakaan!” bentak Jessica. Kyousuke mendadak kaget. Dia melihat Seiji dengan tatapan bukan main tidak percaya.

“Kenapa kau tidak bilang? Bagaimana aku mengatakannya di markas FBI?” tanya Kyousuke.

“Carikan saja penggantiku,” ujar Seiji lalu memakai helmnya dan menyalakan sepeda motornya yang berwarna hitam tersebut. Beberapa detik kemudian, motor itu sudah meluncur di jalan raya dengan sangat kencang.

@@@

Malam kian merangkak naik. Jalanan kota sudah sepi. Hanya Seiji dan sebuah mobil kijang di belakangnya. Sekarang, mungkin sudah pukul 12 malam, tapi Seiji tidak benar-benar pulang ke apartemen, dia seperti menunggu penyakitnya itu kambuh lagi di atas motor yang melaju pesat.

Dampak itu muncul! Tangannya kaku, kakinya mati rasa, bahkan seluruh tubuhnya mulai terasa lumpuh. BRUK! Seiji terjatuh dari motornya yang sangat ngebut itu. Wajah tampannya terseret di aspal. Belum lagi, mobil kijang dibelakangnya itu menabraknya dan membuatnya terlempar ke tiang pinggir jalan. Motornya terbelah dua. Dan darah segar mengalir dari dalam kepala Seiji banyak sekali. Ia mati???

@@@

Keesokan harinya, Siang hari…

“Aku minta maaf karena kemarin memelukmu begitu saja, aku tidak tahu kau memiliki keyakinan dimana kau harus menjaga jarak dengan seorang wanita,” ujar Yi Jae menghampiri Rifki yang waktu itu baru pulang dari Islamic Cultural Centre of London. Michael Murray kemarin menjelaskan pada Yi Jae bahwa Rifki adalah seorang muslim yang taat.

“Hm, aku memaafkanmu,” ujar Rifki mengangguk kecil.

“Sejujurnya aku sangat kaget, karena seharusnya kau senang bisa dipeluk olehku yang seorang artis. Tapi ternyata kau malah berusaha melepas pelukan itu. Pantas selama ini kau begitu dingin,” ujar Yi Jae lagi.

“Memang aku orang yang seperti itu.”

“Aku menyimak perkataan orang itu, sepertinya aku mulai tertarik.”

“Ada beberapa non-muslim juga disini yang ingin tahu lebih tentang Islam.”

“Kalau begitu setiap hari Kamis, aku bisa datang kemari untuk mendengarnya. Aku ingin tahu kenapa di dalam agamamu kau tidak boleh menyentuh wanita.”

“Ya, itu bagus. Datanglah dengan kemauanmu sendiri, jangan ada paksaan.”

@@@

Beberapa bulan kemudian…

Sudah lama tidak ada lagi kabar tentang Seiji. Yi Jae sendiri perlahan mulai melupakannya. Mereka tidak ada yang tahu kalau Seiji kecelakaan malam itu. Termasuk Jessica dan Kyousuke. Sebenarnya, Seiji itu kemana?

Kyousuke sendiri sudah kembali ke Jepang. Kembali bertugas setelah cuti di Inggris cukup lama. Jessica meneruskan kuliahnya. Sementara, Yi Jae memiliki sesuatu yang kini dia geluti. Dia senang sekali menghadiri komunitas non-muslim yang ingin tahu lebih tentang islam di Islamic Centre di London. Seiring tentang itu, Yi Jae juga suka mencari referensi tentang Islam tanpa diketahui Go Min Sung, manajernya. Tidak jarang muncul banyak pertanyaan dalam benaknya yang sulit diselesaikan. Membuatnya rela duduk berjam-jam untuk mendiskusikan masalah ini.

Yi Jae juga sering berpastisipasi dalam acara seminar dan aktifitas keislaman seperti puasa. Namun, dia belum tergerak untuk bersyahadat. Semua ini dilakukan untuk mendapatkan pengalaman spiritual di tengah kehidupannya yang melelahkan.

Hingga suatu hari, Ustadz Ahmad mengajak hadirin yang mau bersyahadat berdiri setelah beliau membahas tentang hari akhir. Walau sedikit ragu, Yi Jae pun bersama-sama beberapa non-muslim lainnya membulatkan tekad untuk berdiri sebelum akhirnya mereka berikrar: “Asyhadu an laa ilaaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan Rasul Allah", disambut dengan pekikan takbir berkali-kali oleh para hadirin dan do’a oleh Ustadz Ahmad.

@@@

Pagi mengawali denyut nadi kehidupan, menggerakkan jiwa dan raga untuk menganyam helai demi helai berjuta harapan. Bekerja dan berusaha demi masa depan masing-masing. Rifki menyambar meja makan, di atas meja ada makanan kesukaannya yaitu martabak telur dan telur balado. Di meja makan sudah ada seluruh keluarga, termasuk Devon dan Nida. Mahatir langsung duduk di samping sepupunya itu.

“Apa kau sudah mendengarnya? Kalau sekarang Heo Yi Jae sudah masuk Islam?” tanya Mahatir pada Devon.

“Benarkah?” tanya Devon. Seluruh keluarga pun terlihat kaget.

“Iya, beberapa bulan yang lalu dia meminta maaf padaku karena memelukku begitu saja. Aku melepas pelukannya. Dan mungkin karena itu dia mulai penasaran dengan agama Islam,” ujar Rifki.

“Kalau begitu Ibu setuju kau menikah dengannya,” ujar ibunya Rifki.

“Aku tidak tertarik. Kecantikannya sudah dinikmati banyak orang,” ujar Rifki.

“Oh ya, Ibu, Ibu Ani, dan Ayahmu seminggu lagi akan pulang ke Indonesia,” ujar ibunya Rifki lagi. Rifki, Devon, dan Michael terlihat kaget.

“Apa? Seminggu lagi?” tanya Rifki. “Sayang sekali, padahal aku sangat senang ibu tinggal disini. Masakan Ibu sangat enak.”

“Kau tidak tahu, ya? Ibu kan diajarkan oleh Nida. Dia juga yang mengajarkan Ibu memasak makanan kesukaanmu itu, martabak telur dan telur balado.”

Rifki tertegun. Dia melihat Nida yang hanya menunduk sambil tersenyum. “Oh, buatan Nida…” ucapnya pelan. Setelah memakan satu martabak telur, Rifki ingin mengambil lagi tapi sudah habis. Devon yang tahu kalau Rifki paling doyan martabak memberikan satu dari dua martabak miliknya.

“Ini untukmu,” katanya.

Rifki melihat tangan Devon yang menaruh martabak di atas piringnya itu.

“Aku baru tahu kau memakai cincin, seperti wanita saja,” ucap Rifki menarik tangan Devon ke atas meja. Devon terdiam.

“Rifki, Devon sudah mengkhitbah Nida. Dan cincin itu adalah salah satu hantaran pernikahan,” ujar ibunya Rifki.

Rifki terperangah kaget bukan main. Devon sudah melamar Nida?? Entah kenapa, dia tidak suka mendengarnya. Ia bahkan tidak bisa menelan makanannya sendiri. Bukan karena dia kaget karena selama ini tidak tahu, tapi karena Rifki sadar kalau dia mulai mencintai gadis yang dijodohkan oleh Ibunya itu. Apalagi setelah mengetahui kalau Nida lah yang telah memasakkan sarapan pagi untuk keluarganya beberapa bulan ini.

“Selama ini kan kau tidak suka dengan Nida, sementara Devon berkata kalau dia bersedia menggantikanmu,” ujar Ibunya Devon.

“Kalau kau sudah siap menikah, Ibu akan segera datang lagi ke sini dengan membawa calon istri yang Insya Allah sholehah, cantik, dan pintar masak seperti Nida. Namanya… Maryam Qonita!” ujar ibunya Rifki. “Dia itu anaknya sholeha, cantik, penurut, hafidzoh pula! Dia pasti suka kamu yang bekerja sendiri demi biaya pendaftaran masuk Oxford. Padahal Ibu dan Ayahmu bisa membiayakannya. Kalian berdua memang cocok!”

“Aku sudah kenyang,” ujar Rifki bangkit berdiri meninggalkan meja makan.

@@@

Kota London, Malam Hari…

Besok adalah ujian masuk Oxford. Nida dan Rifki harus sudah belajar cukup banyak. Tapi ketika malam sebelum ujian, Nida dan Rifki tidak sempat belajar. Mereka mengantarkan Yi Jae ke konferensi pers. Tapi hanya mengantarkan, dan setelah itu pulang untuk belajar. Devon mengaku tidak bisa menjemput istrinya karena ada urusan penting dan harus menginap di rumah teman mahasiswanya.

“Devon tidak menjemputmu?” tanya Rifki.

“Tidak,” jawab Nida.

“Kau mau pulang?” tanya Rifki.

“Iya, aku mau belajar buat besok. Kakak sendiri?”

“Aku ingin membeli makan malam dulu. Tapi mungkin aku bisa mengantarmu sebentar pulang ke rumah dengan taksi.”

“Tidak usah, makasih. Aku tidak ingin mengacaukan acara makan malammu. Lagipula, aku sudah menikah. Tidak baik jalan dengan pria yang bukan suamiku.”

“Ya, kau benar.”

“Aku duluan.” Nida akhirnya berjalan kembali ke rumah tempat tinggalnya tersebut. Berjalan kaki sendirian pada malam hari. Seorang perempuan pula. Ia pun mempercepat jalannya karena mulai merasa takut. Punggungnya serasa disiram air dingin dan tangannya merinding ketika melewati jalanan sepi yang gelap di antara dua gedung di London.

“Mau kemana, manis?” seorang pria datang menggodanya. Nida jelas makin ketakutan. Ia mencoba lari tapi datang tiga orang pria lagi.

“Cantik-cantik koq pakai karung di kepala sih? Sini kami benerin pakaiannya!”

“Jangan macam-macam!” gertak Nida.

“Atau?”

“Atau aku akan melaporkan polisi!”

“Woo, lapor polisi? Takut...” kata salah seorang dari mereka.Mereka pun mulai mendekati Nida dan tiba-tiba...

BUG! Rifki Mahatir, yang merupakan sepupu dari suaminya datang. Ia langsung menghajar keempat pria tersebut. Ternyata ada gunanya juga belajar tifan dan karate sewaktu di pesantren. Dalam hitungan menit, keempat pria itu telah KO.

“Rifki, terimakasih telah menolongku...”

“Kebetulan saja aku sedang lewat. Lain kali jangan pergi ke tempat sepi ini sendi..”

DOR! Peluru merajam. Salah seorang dari pria itu menembak Rifki. Rifki langsung terjatuh. Pria itu kembali menembaknya. Nida menjerit ketakutan, dan detik berikutnya Rifki telah tergelatak di aspal. Dia mati. Para pria itu mulai mendekati Nida dan Nida terpaksa berlari sambil menangis membiarkan mayat Rifki dibawa oleh keempat pria itu.

@@@

Lagi-lagi aku buat cerita hasil ngerangkum dari serial Seiji. Kenapa dirangkum? Karena aku lebih suka yang alurnya cepat dan karena banyak kejadian yang gak penting. Aku baru nyadar banyak banget yang bisa aku hilangkan dari cerita yang kubuat pas aku masih ingusan ini. Hehehe. Maklumin ya kalau ceritanya rada gaje dan aneh. Soalnya, aku buat cerita ini cuma buat iseng aja. Ini adalah buku kedua serial seiji, dan The Authority yang sudah kuposting sebelumnya adalah buku ketiga. Buku keempatnya menunggu ya…

Sebelumnya

Introduce Airen

Airen Part 1

Airen Part 2

Comments
4 Comments

4 comments:

  1. Nice story :)

    "Namanya… Maryam Qonita!” ujar ibunya Rifki. “Dia itu anaknya sholeha, cantik, penurut, hafidzoh pula!"
    Hahaha rasanya aneh.

    ReplyDelete
  2. oh...yg ini bersambung ke the authority ya?
    bagus ceritanya...tp aku mau kritik sedikit,
    "wajah tampannya terseret di aspal"
    menurutku lebih bagus kalau "wajah tampannya bergesekan dengan aspal.."

    maaf kalau kritikannya ga penting bgt

    ReplyDelete
  3. ditunggu ya kritikan selanjutnya ^^

    ReplyDelete
  4. apix....mf gag pnting..

    ReplyDelete

Jangan jadi silent reader, giliranmu bercuap-cuap ria.

Related Posts Plugin by ScratchTheWeb