Friday, August 29, 2014

Mimpi Sederhana Anak-Anak Kampung

Menyusuri sawah (Doc. pribadi)

Saat ini, aku berada di kampung dimana aku dibesarkan sejak 19 tahun lalu. Kampungku desa Maniskidul adalah sebuah desa kecil yang berada tepat di kaki gunung Ciremai. Jadi ingat, dulu di belakang rumah ada kebun labu yang tidak jelas siapa pemiliknya. Di sebelah selatan rumah ada hutan jati yang batangnya lurus menjulang tinggi ke langit. Jika berjalan menyusuri hutan jati tersebut, kumelihat sebuah kali yang di seberangnya adalah puluhan hektar sawah sebelum menuju ke pusat perkotaan. Di sana banyak sekali delman berkeliaran di jalan-jalan raya, pusat kota, ataupun pasar. Kotaku pun sering disebut “Kota Seribu Kuda” alias Kota Kuningan, Jawa Barat.

Delman di pusat kota
(Gambar dipinjam dari mediawargakuningan.wordpress.com)

Dalam kenangan masa kecil, seringkali aku menghabiskan waktu dengan teman-teman bermain ke tempat pembuatan batu-bata. Tempat pembuatan batu-bata itu berada di tengah hutan bambu dekat pembuangan sampah. Bersama Amel, Asmaa, dan Nafisah, aku biasa mengorek-ngorek sarang undur-undur di balik pasir. Jika beruntung, kami akan mendapatkan dua undur-undur sekaligus dari satu lubang. Setelah itu kami akan menggenggamnya dalam tangan dan tertawa-tertawa geli ketika undur-undur berjalan di permukaan tangan.

Kami anak-anak kampung, terbiasa mendapatkan kegembiraan sekaligus pembelajaran dengan bermain. Yang paling kami sukai adalah ketika kami bermain di tengah sawah. Pohon-pohon berjajar seperti barisan tentara yang sedang menjaga kami main ibu-ibuan dalam saung.
Desa Maniskidul Kab. Kuningan berlatar Gunung Ciremai
                 (Gambar dipinjam dari nusaena.blogspot.com)

Saat main ibu-ibuan, kami berpura-pura sudah menjadi dewasa dan memiliki profesi masing-masing. Pernah suatu kali kami serempak memakai baju dari plastik hitam yang bagian bawahnya digunting dan menjelma jadi orang lain dalam imajinasi kami masing-masing.

Ketika matahari sudah beringsut kembali ke tempat terbenamnya. Kemilau jingga pun terbiaskan di ceruk lingkaran langit. Indah.. itu satu kata yang cukup untuk melukiskannya.

Yang membuat kami takjub adalah banyaknya kehidupan yang tersembunyi di balik keindahan tersebut. Kami anak-anak adalah bagian kehidupan yang tersembunyi itu. Kami suka mendengar gemerisik pepohonan tertiup angin, menangkap kepiting kecil di kali, menangkap belalang untuk dimakan, dan mendengar suara burung-burung beterbangan.

Kaki-kaki ringkih dan kecil kami melangkah pulang membawa beberapa kehidupan yang berhasil kami tangkap dari luar sana. Kami dipertemukan lagi di surau setelah mandi sore untuk mengaji dan hafalan surat-surat pendek. Di sela-sela TPA, ustadzah menanyakan kami tentang mimpi kami saat ini. Banyak dari kami menjawab ingin menjadi guru, satu-satunya profesi yang menjadi cita-cita kami.

Ustadzah meminta kami untuk membedakan antara mimpi dan cita-cita. Dia lalu meminta kami untuk menuliskan mimpi-mimpi itu di atas kertas. Aku lupa apa yang aku tuliskan saat itu, tapi mimpi kami begitu sederhana.

Ketika anak-anak kota bermimpi untuk keliling dunia dan mengubah dunia, kami anak-anak kampung hanya ingin menambah hafalan surat-surat pendek dan bisa melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Satu persatu membacakan mimpi mereka masing-masing, sementara ustadzah turut mendengarkan dan mendoakan.

Hal yang tidak pernah kami lupakan, saat pulang TPA kami selalu salim pada ustadzah dan mencium tangannya lama-lama karena sangat wangi. Setiap ustadzah yang berbeda, wangi tangannya pun berbeda-beda. Namun, ada hal lain yang mungkin kami tidak sadari adalah hari itu bisa jadi awal mimpi-mimpi sederhana kami.

Sementara waktu kian berputar dalam dimensi kehidupan. Kami pun menjadi santri di Pondok Pesantren Husnul Khotimah karena di komplek pesantren inilah kami tinggal. Dunia anak-anak yang polos secara luar biasa mempengaruhi masa depan kami hingga saat ini.

Setiap debu beterbangan, setiap rumput kami injak bersama, setiap tetes embun yang menempel di dedaunan, menyiratkan begitu banyak ilmu Allah yang ternyata belum kami ketahui.

Ah ya, rupanya masa telah berganti. Hampir saja aku tidak menyadarinya... Kami mulai jarang bermain-main seperti dulu, sibuk dengan urusan masing-masing sebagai siswa aliyah. Waktunya untuk kami menghadapi masa-masa remaja yang labil. 


Uhibbuka fillah
(Gambar dipinjam dari rafiddahaddini.blogspot.com)

Bahkan, tiba saat yang kata orang bernama "cinta" mulai tumbuh kokoh di dalam hati, mengalir bersama desiran darah dan hadir dalam tiap embusan napas. Sesosok yang gagah itu seakan berdiri di ujung jalan pencarian, di antara kelopak sakura yang bermekaran. 

Aku mulai berpikir…, apakah ada bedanya menunggu satu hari, satu bulan atau satu tahun lagi? Jika harus memilih, semua itu tak ada bedanya dengan menunggu untuk selamanya. Namun jika itu yang kupilih, rindu yang menggunung hanya akan menghalangi mimpi-mimpiku ke depan.

Mimpi-mimpiku…

Ah yaa, musim masih terus berganti dan (lagi-lagi) aku hampir tidak menyadarinya. Namun aku mengerti, bahwa setiap musim adalah ruang untuk terus diisi. Aku berlari dengan sisa tenaga menyusuri jejak-jejak mimpi yang kutulis dalam ribuan kertas di dinding kamar. Mimpi kuliah informatika, mimpi menjadi penulis, mimpi membanggakan orang tua, dan membelikan mereka televisi baru di rumah..


Mimpi-mimpiku dalam ribuan kertas
(doc. pribadi)

Saat itu, masih dalam balutan jingga langit senja. Aku berusaha menapaki suara hati. Ternyata hati ini meyakini bahwa tidak setiap mimpi dapat menemukan muaranya. Ah yaa,, aku baru belajar bahwa tak selamanya syair-syair kehidupan dapat dieja dengan baik. Namun, harapan akan menjadi satu-satunya yang kumiliki untuk kembali menemukan muaranya.

Kami anak-anak kampung, sekarang masih menuntut lebih banyak ilmu Allah di luar kota bahkan luar negeri. Mungkin tujuan, cara, dan tempat yang berbeda, tapi kami merasa memiliki sebuah kesamaan. Ya, kami sama-sama ingin menjadi manusia hebat di usia muda. Menguraikan satu demi satu mimpi-mimpi sederhana saat kami masih kecil dulu.


Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

Jangan jadi silent reader, giliranmu bercuap-cuap ria.

Related Posts Plugin by ScratchTheWeb