Menyusuri sawah (Doc. pribadi)
Saat
ini, aku berada di kampung dimana aku dibesarkan sejak 19 tahun lalu. Kampungku desa Maniskidul adalah sebuah desa
kecil yang berada tepat di kaki gunung Ciremai. Jadi ingat, dulu di belakang
rumah ada kebun labu yang tidak jelas siapa pemiliknya. Di sebelah selatan
rumah ada hutan jati yang batangnya lurus menjulang tinggi ke langit. Jika
berjalan menyusuri hutan jati tersebut, kumelihat sebuah kali yang di
seberangnya adalah puluhan hektar sawah sebelum menuju ke pusat perkotaan. Di
sana banyak sekali delman berkeliaran di jalan-jalan raya, pusat kota, ataupun
pasar. Kotaku pun sering disebut “Kota Seribu Kuda” alias Kota Kuningan, Jawa Barat.
Dalam
kenangan masa kecil, seringkali aku menghabiskan waktu dengan teman-teman
bermain ke tempat pembuatan batu-bata. Tempat pembuatan batu-bata itu berada di
tengah hutan bambu dekat pembuangan sampah. Bersama Amel, Asmaa, dan Nafisah, aku biasa mengorek-ngorek
sarang undur-undur di balik pasir. Jika beruntung, kami akan mendapatkan dua
undur-undur sekaligus dari satu lubang. Setelah itu kami akan menggenggamnya
dalam tangan dan tertawa-tertawa geli ketika undur-undur berjalan di permukaan
tangan.
Kami
anak-anak kampung, terbiasa mendapatkan kegembiraan sekaligus pembelajaran
dengan bermain. Yang paling kami sukai adalah ketika kami bermain di tengah
sawah. Pohon-pohon berjajar seperti barisan tentara yang sedang menjaga kami main
ibu-ibuan dalam saung.
Saat
main ibu-ibuan, kami berpura-pura sudah menjadi dewasa dan memiliki profesi
masing-masing. Pernah suatu kali kami serempak memakai baju dari plastik hitam
yang bagian bawahnya digunting dan menjelma jadi orang lain dalam imajinasi
kami masing-masing.
Ketika
matahari sudah beringsut kembali ke tempat terbenamnya. Kemilau jingga pun
terbiaskan di ceruk lingkaran langit. Indah.. itu satu kata yang cukup untuk
melukiskannya.
Yang
membuat kami takjub adalah banyaknya kehidupan yang tersembunyi di balik keindahan
tersebut. Kami anak-anak adalah bagian kehidupan yang tersembunyi itu. Kami suka
mendengar gemerisik pepohonan tertiup angin, menangkap kepiting kecil di kali,
menangkap belalang untuk dimakan, dan mendengar suara burung-burung
beterbangan.
Kaki-kaki
ringkih dan kecil kami melangkah pulang membawa beberapa kehidupan yang
berhasil kami tangkap dari luar sana. Kami dipertemukan lagi di surau setelah
mandi sore untuk mengaji dan hafalan surat-surat pendek. Di sela-sela TPA,
ustadzah menanyakan kami tentang mimpi kami saat ini. Banyak dari kami menjawab
ingin menjadi guru, satu-satunya profesi yang menjadi cita-cita kami.
Ustadzah
meminta kami untuk membedakan antara mimpi dan cita-cita. Dia lalu meminta kami
untuk menuliskan mimpi-mimpi itu di atas kertas. Aku lupa apa yang aku tuliskan
saat itu, tapi mimpi kami begitu sederhana.
Ketika
anak-anak kota bermimpi untuk keliling dunia dan mengubah dunia, kami anak-anak kampung hanya ingin menambah hafalan
surat-surat pendek dan bisa melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Satu persatu membacakan mimpi mereka masing-masing, sementara
ustadzah turut mendengarkan dan mendoakan.
Hal
yang tidak pernah kami lupakan, saat pulang TPA kami selalu salim pada ustadzah
dan mencium tangannya lama-lama karena sangat wangi. Setiap ustadzah yang
berbeda, wangi tangannya pun berbeda-beda. Namun, ada hal lain yang mungkin
kami tidak sadari adalah hari itu bisa jadi awal mimpi-mimpi sederhana kami.
Sementara
waktu kian berputar dalam dimensi kehidupan. Kami pun menjadi santri di Pondok Pesantren Husnul Khotimah karena di komplek pesantren
inilah kami tinggal. Dunia anak-anak yang polos secara luar biasa mempengaruhi
masa depan kami hingga saat ini.
Setiap
debu beterbangan, setiap rumput kami injak bersama, setiap tetes embun yang
menempel di dedaunan, menyiratkan begitu banyak ilmu Allah yang ternyata belum kami
ketahui.
Ah
ya, rupanya masa telah berganti. Hampir saja aku tidak menyadarinya... Kami mulai jarang bermain-main seperti dulu, sibuk dengan urusan masing-masing sebagai siswa aliyah. Waktunya
untuk kami menghadapi masa-masa remaja yang labil.
Bahkan, tiba saat yang kata orang bernama "cinta" mulai tumbuh kokoh di dalam hati, mengalir bersama desiran darah dan hadir dalam tiap embusan napas. Sesosok yang gagah itu seakan berdiri di ujung jalan pencarian, di antara kelopak sakura yang bermekaran.
Uhibbuka fillah
(Gambar dipinjam dari rafiddahaddini.blogspot.com)
Bahkan, tiba saat yang kata orang bernama "cinta" mulai tumbuh kokoh di dalam hati, mengalir bersama desiran darah dan hadir dalam tiap embusan napas. Sesosok yang gagah itu seakan berdiri di ujung jalan pencarian, di antara kelopak sakura yang bermekaran.
Aku mulai berpikir…, apakah ada bedanya
menunggu satu hari, satu bulan atau satu tahun lagi? Jika harus memilih, semua
itu tak ada bedanya dengan menunggu untuk selamanya. Namun jika itu yang
kupilih, rindu yang menggunung hanya akan menghalangi mimpi-mimpiku ke depan.
Mimpi-mimpiku…
Ah
yaa, musim masih terus berganti dan (lagi-lagi) aku hampir tidak
menyadarinya. Namun aku mengerti, bahwa setiap musim adalah ruang untuk terus
diisi. Aku berlari dengan sisa tenaga menyusuri jejak-jejak mimpi yang
kutulis dalam ribuan kertas di dinding kamar. Mimpi kuliah informatika, mimpi
menjadi penulis, mimpi membanggakan orang tua, dan membelikan mereka televisi baru
di rumah..
Mimpi-mimpiku dalam ribuan kertas
(doc. pribadi)
Saat
itu, masih dalam balutan jingga langit senja. Aku berusaha menapaki suara hati.
Ternyata hati ini meyakini bahwa tidak setiap mimpi dapat menemukan muaranya. Ah
yaa,, aku baru belajar bahwa tak selamanya syair-syair kehidupan dapat dieja
dengan baik. Namun, harapan akan menjadi satu-satunya yang kumiliki untuk
kembali menemukan muaranya.
Kami
anak-anak kampung, sekarang masih menuntut lebih banyak ilmu Allah di luar kota
bahkan luar negeri. Mungkin tujuan, cara, dan tempat yang berbeda, tapi kami
merasa memiliki sebuah kesamaan. Ya, kami sama-sama ingin menjadi manusia hebat
di usia muda. Menguraikan satu demi satu mimpi-mimpi sederhana saat kami masih
kecil dulu.