Beberapa waktu lalu seorang teman bertanya padaku tentang toleransi
beragama. Tentang hukumnya dalam agama Islam.
Walaupun saya seorang santri dan lingkungan saya selama 17 tahun adalah melulu
orang-orang pesantren, pada akhirnya saya pun berhadapan dengan teman-teman
non-Muslim selepas dari pesantren. Apalagi buat teman-teman setelah memasuki
dunia perkuliahan, betul atau betuuul??
Setelah menggali informasi dari sana-sini, tanya-tanya juga dengan
ortu dan senior, rata-rata mereka menjawab dengan jawaban yang sama. Akhirnya ....
jreng-jreng-jreng.... dapat kesimpulan yang sangat singkat dari surat
Al-Kafiirun ayat 6: Lakum diinukum waliya diin. Untukmu Agamamu... dan
untukku agamaku... Sudah selesai. Hehehe...
Jawabannya : tidak ada toleransi beragama. Toleransi
beragama itu Haram hukumnya. Jika toleransi beragama itu halal, maka umat
Kristen bisa beribadah di Masjid dan umat Muslim bisa beribadah di Gereja. Umat
Kristen bisa ikut Shalat Ied dan umat Islam bisa ikut Natal. Dan berarti itu
membenarkan semua agama (Sinkretisme). Jadilah Agama seperti piring yang
menjadi sarana kita terhubung dengan kebutuhan kita (Baca: Tuhan), tapi berdalih
tidak selamanya harus satu piring. Apakah agama itu piring?? Dan bisa disamakan
dengan piring??
Di samping toleransi beragama HARAM hukumnya, toleransi antar
umat beragama WAJIB hukumnya. Jadi beda ya?
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap
sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena
adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS.
Al-Maidah : 8)
“Maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah : 7)
Allah Ta’ala juga berfirman yang artinya, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah : 8)
Dari dalil Qur’an tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa: Toleransi
antar umat beragama itu wajib selama memang saling menghormati.
Lalu bagaimana dengan bersahabat (berkasih sayang) dengan beda
agama??
Bersahabat beda agama berbeda dengan toleransi antar umat
beragama. Toleransi antar umat beragama
adalah saling menghormati dan berlaku adil satu sama lain, sementara bersahabat
masuk dalam kategori berkasih sayang satu sama lain dengan umat yang berbeda
agama. Termasuk dalam halnya menjadikan wali, orang yang dicintai, ataupun
saudara. Dan Alhamdulillah... Allah mengharamkannya di dalam Al-Qur’an.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.” (QS. Al-Mumtahanah: 1)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena)
mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu.” (QS. Ali Imran: 118)
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada
Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang
menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau
anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (QS. Al-Mujadilah: 22)
“Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa
mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil
orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong.” (QS. An-Nisa`: 138-139)
“Tidakkah
kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah
sebagai teman? Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari
golongan mereka.” (QS. Al-Mujadilah: 14)
“Barangsiapa
yang mencari agama selain agama islam, maka sekali-kali tidak akan diterima
(agama itu) dari padanya, dan diakhirat termasuk orang-orang yang rugi”.
(Al-Imran: 85)
Yang perlu kita pahami bersama adalah
WAJIB
|
HARAM
|
Bergaul dengan baik
|
Bersahabat (Mengadakan cinta kasih)
|
Bekerja sama (dalam bisnis, pelajaran, organisasi, dll)
|
Keakraban, kasih sayang, saling berpengaruh
|
Pergaulan untuk tujuan syariat
|
Pergaulan tanpa tujuan syariat
|
Menghormati dan tidak mengganggu hari raya berbeda
agama
|
Mengucapkan selamat pada hari raya beda agama
|
Saling menghormati, Saling sabar dan menghargai
|
Saling mengasihi
|
Menyadari perbedaan
|
Mengabaikan perbedaan
|
Toleransi antar umat beragama
|
Toleransi beragama (Sinkretisme)
|
Kesalahan
memahami arti toleransi dapat mengakibatkan talbisul haq bil bathil,
mencampuradukan antara hak dan batil, suatu sikap yang sangat terlarang
dila-kukan seorang muslim, seperti halnya nikah antar agama yang dijadikan
alasan adalah tole-ransi padahal itu merupakan sikap sinkretis yang dilarang
oleh Islam.
Sementara itu
tidak ada paksaan untuk menyinggung dan mengangkat isu-isu agama. Jika pun
suatu saat berdiskusi tentang masalah sensitif ini, jangan sampai memaksakan
bahwa agama Islamlah yang paling benar. Karena tidak ada paksaan dalam agama.
“Tidak ada paksaan dalam masuk ke dalam agama Islam, karena
telah jelas antara petunjuk dari kesesatan. Maka barangsiapa yang ingkar kepada
thoghut dan beriman kepada Alloh sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul
tali yang kuat yang tidak akan pernah putus. Dan Alloh Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” ( Qs. Al-Baqoroh : 256 )
“Berilah peringatan, karena engkau ( Muhammad ) hanyalah seorang
pemberi peringatan, engkau bukan orang yang memaksa mereka.” ( Qs. Al-Ghosyiyah : 21 -22 )
Sementara itu, bagaimana dengan pernikahan berbeda
Agama dalam pandangan Islam ?
Masalah ini terbagi dalam 2 kasus
Pertama :
Laki-Laki non-Muslim dan wanita Muslim
Kedua : Laki-Laki Muslim dan wanita
non-Muslim
Kasus pertama, para
ulama sepakat untuk mengharamkan pernikahan yang terjadi dengan keadaan seperti
itu. Seperti dalam surat Al-Baqoroh ayat 221 dan Al-Mumtahanah ayat 10.
Untuk kasus kedua, para
ulama sepakat bahwa Laki-laki Muslim boleh menikahi wanita non-Muslim tetapi
hanya dari kalangan ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Seperti dalam surat Al-Maaidah
ayat 5. Tetapi bukan penganut injil dan taurat yang ada saat ini, melainkan
mereka yang mengakui adanya Allah tapi tidak mengakui adanya Muhammad.
Wallahu’alam
Analisis yang cerdas, iqra yang cermat. :)
ReplyDelete