Sunday, August 31, 2014

Cerita Praktek Masyarakat Desa Karangbaru




Pagi mengintai di balik kapas-kapas putih yang melayang. Hari itu aku dan kelompok PPM (Praktek Pengenalan Masyarakat) 15 sudah tiba di Desa Karangbaru. Sebuah desa terpencil di sudut kota, di tengah persawahan yang amat luas.

Sebenarnya sakti banget nih desa, mentang-mentang namanya Karangbaru, kami ditempatkan di sebuah rumah yang baru (belum dicat), dengan peralatan alat masuk yang juga baru. Kalau naik ke lantai dua, dengan leluasa temanku banyak yang membuka jilbab saking jarangnya penduduk di desa ini. Aku cuma elus-elus dada. Sayangnya, disini tidak ada sinyal. Kami pun sangat kesulitan menggunakan alat komunikasi.


Selama satu bulan, 14 orang santri putri Pondok Pesantren Husnul Khotimah ditempatkan di desa ini untuk mengabdi pada masyarakat. Kami menyebutnya PPM atau yang biasa dikenal PKL. Kami pun berlatih pidato bahasa Sunda, membentuk remaja masjid, mengadakan TPA (Taman Pendidikan Al-Quran), pesantren kilat selama empat hari, mengadakan bantuan sosial, dan mengadakan perlombaan antar pemuda atau anak-anak.

Karena di sini tidak ada sekolah dan tidak ada angkot, maka para pemuda banyak yang putus sekolah dan memilih bekerja di ibu kota. Jumlah pemuda di desa ini bisa dihitung jari. Kebanyakan penduduk adalah orang tua dan anak-anak. Karena jarang ada pemuda, tingkat kriminal dan kekerasan cukup tinggi. Pencurian, penculikan, bahkan pemerkosaan.

Dengan ilmu seadanya yang kami dapati dari pesantren selama lima tahun, kami pun menggiring anak-anak di desa itu untuk berani bermimpi. Meski sekolah sangat jauh, sebagian tetap berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Saat TPA pun kami sering menanyakan mimpi-mimpi mereka, Ada Daus yang ingin jadi da’i dan ada Iis yang belum tahu mimpinya. Diantara mereka ada Aldi dan Aisah (bukan nama sebenarnya). Dua kakak beradik ini sama-sama kelas 5 SD, hanya saja Aldi sedikit lebih tua beberapa bulan.



Keduanya sama-sama ingin menjadi guru, namun mereka mengatakannya sambil menundukkan kepala. Mereka menarik perhatianku dan sahabatku, Sani. Pasalnya, Aldi dan Aisah memiliki sifat yang sama-sama pendiam meski mereka anak yang rajin.

“Aldi sama Aisah tinggal bareng neneknya,” kata Daus ketika TPA telah dibubarkan.

“Emang ibu bapaknya dimana?” tanyaku.

“Bapak sudah meninggal dan Ibunya menikah lagi. Tapi, bapak tirinya kerja di Jakarta sementara ibunya gak tau kemana.”

Aku mangut-mangut mengerti. “Udah berapa lama?”

“Dari kelas 1 SD kayaknya, ya?” tanya Daus ke anak TPA yang lainnya.

“Neneknya sering nyuruh Aldi berhenti sekolah terus kerja, soalnya neneknya sering sakit-sakitan, teh.” kata salah satu anak TPA  tapi aku lupa namanya. Aku terdiam berpikir, anak kelas 5 SD emang mau kerja apa? Aku bahkan tak sanggup membayangkan selama ini Aldi dan Aisah tidak tinggal bersama bersama orang tua mereka selama 5 tahun. Ibunya menghilang entah kemana dan ayah tirinya bekerja di Jakarta tidak pernah pulang. Sementara mereka tinggal dengan nenek mereka yang sakit-sakitan?

"Ibunya masih hidup kan?" tanya Sani.

"Iya teh, tapi gak pernah muncul," jawab Daus.

Meskipun tidak paham benar, tapi aku tahu bahwa ada batas yang tidak mampu aku dan Sani lampaui. Kami sibuk mengurus anak-anak TPA yang lainnya. Kemampuan kami hanyalah mencoba menanamkan mimpi-mimpi yang tinggi untuk anak-anak di desa ini saat seluruh pemudanya banyak yang putus sekolah.

Meski sebagian dalam hatiku berkata “tidak mungkin”, tapi sebagian dari diriku yang lain menyuruhku untuk tetap mencoba menanam kebaikan sekecil apapun itu. Meski terkadang memaksa mereka untuk punya mimpi.

Masih teringat jelas di benakku saat memaksa anak-anak satu kelas di pesantren kilat (yang hampir seluruhnya tidak punya cita-cita) agar memiliki cita-cita saat itu juga. "Masa sih gak punya cita-cita atau mimpi? Apa aja kek... kamu mau jadi apa, ayo bilang!"

Akhirnya satu anak bilang ingin jadi dokter, semuanya pun ikutan pengen jadi dokter. "Dokter aja teh..." atau "Dokter juga teh..." atau mungkin "Iya teh, sama," dengan suara yang sangat pelan. Hfft... ya sudahlah tidak apa-apa.

Bersama anak-anak Pesantren Kilat yang semuanya ingin jadi Dokter

Berbeda dengan pesantren kilat yang hanya empat hari, TPA diadakan setiap sore hari. Saat itu, Aisah yang selalu menjadi perhatianku. Ketika anak-anak yang lain berebut mencari perhatian, dia hanya diam di tempatnya. Wajahnya manis sekali. Bahkan, untuk ukuran anak kelas 5 SD Aisah terbilang tinggi. Setiap pulang TPA, Aldi dan Aisah selalu pulang bersama dengan berboncengan sepeda. So sweetnya kakak adek :)

Hari demi hari bergulir. Setelah sebulan mengabdi, tibalah hari terakhir kami di desa ini. Yang kami lakukan memang hal-hal kecil, akan tetapi kami yakin peninggalan kami seperti DKM (Dewan Kemakmuran Masjid) dan Karang Taruna sedikit banyak adalah bentuk kontribusi nyata.

Hari demi hari terus bergulir. Matahari terbit di Timur, terbenam di barat…. Terbit di timur, terbenam di barat… Bayang-bayang memanjang dan memendek. Memanjang lagi dan memendek lagi. Begitu seterusnya hingga minggu dan minggu kian berganti. Hingga bulan demi bulan. Kami adalah siswa kelas 3 aliyah, disibukkan dengan ujian Quran 5 juz, try out UN dan persiapan masuk universitas.

Hingga akhirnya, kami sekelompok kembali ke desa Karangbaru setelah menempuh ujian SNMPTN 2012. Bisa dikatakan setelah setahun kemudian kami baru mengunjungi desa ini kembali. Kami juga mengunjungi kepala desa, sekolah, mushala, TPA, dan rumah-rumah penduduk.

Alhamdulillah, DKM dan Karang Taruna masih aktif. Hanya saja TPA sudah tidak lagi berjalan padahal kami sudah meminta pemuda DKM mengganti mengajar. Anak-anak TPA kembali kami temui dan banyak dari mereka yang menghabiskan waktu sore harinya bermain-main.

“Loh koq pada gak TPA lagi?” tanyaku pada Akmal.

“Soalnya yang lain gak berangkat juga, teh…” ujarnya.

“Tapi masih pada sekolah kan?!” tanyaku menginterogasi.

“Iya lah teh.., cuma Aldi sama Aisah aja yang gak sekolah lagi.”

“Loh.. kenapa?” tanyaku

Anak-anak itu tidak menjawab. Mereka hanya menggelengkan kepala. Meski aku tidak yakin mereka benar-benar tidak tahu ketika salah seorang menaruh telunjuk di bibir.

Aku masih tidak memiliki firasat apa-apa sampai kami sekelompok kembali menaiki angkot carteran bersama untuk pulang. Mobil angkot pun meluncur di jalanan kecil di tengah sawah. Sambil berdesakan di dalam mobil, teman-temanku yang lain mengobrol. Awalnya aku hanya menyimak obrolan mereka saja.

“Ingat itu gak? ...Aisah?”

 “Itu yang tinggi cantik, yang adiknya Aldi kan?”

“…diperkosa ya?”

Aku tertegun mendengarnya. Sontak aku langsung bertanya, “Sama siapa?!”

“Kamu gak tau? Sama bapak tirinya sendiri, katanya bapaknya datang dari Jakarta.”

“Kalian tahu darimana sih?!!” tanyaku masih gak percaya.

“Udah diomongin semua tetangga kali, Mar… dari tadi kamu kemana aja?”

Sumpah serapah keluar dari mulut teman-temanku menghujat pria yang akhirnya kabur sebelum diamuk masa itu. Aku terdiam melihat ke pemandangan di belakang mobil. Tinggal sawah sejauh mata memandang. Aku tak tahu kapan lagi aku bisa mengunjungi desa ini, Desa dimana kutemui kehidupan mereka, Aldi dan Aisah. Apakah mereka melanjutkan sekolah lagi atau tidak? Dimana mereka sekarang? Bagaimana mereka bertahan hidup? Atau bagaimana mimpi keduanya ingin menjadi seorang guru? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul dalam benakku bersamaan namun tak ada satupun yang terjawab hingga saat ini. 




Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

Jangan jadi silent reader, giliranmu bercuap-cuap ria.

Related Posts Plugin by ScratchTheWeb