Pagi mengintai di balik kapas-kapas putih yang melayang. Hari itu aku dan kelompok PPM (Praktek Pengenalan Masyarakat) 15 sudah tiba di Desa Karangbaru. Sebuah desa terpencil di sudut kota, di tengah persawahan yang amat luas.
Sebenarnya sakti banget
nih desa, mentang-mentang namanya Karangbaru, kami ditempatkan di sebuah rumah
yang baru (belum dicat), dengan peralatan alat masuk yang juga baru. Kalau naik
ke lantai dua, dengan leluasa temanku banyak yang membuka jilbab saking jarangnya
penduduk di desa ini. Aku cuma elus-elus dada. Sayangnya, disini
tidak ada sinyal. Kami pun sangat kesulitan menggunakan alat komunikasi.
Selama satu bulan, 14
orang santri putri Pondok Pesantren Husnul Khotimah ditempatkan di desa ini
untuk mengabdi pada masyarakat. Kami menyebutnya PPM atau yang biasa dikenal PKL. Kami pun berlatih pidato bahasa Sunda, membentuk remaja masjid, mengadakan TPA (Taman
Pendidikan Al-Quran), pesantren kilat selama empat hari, mengadakan bantuan sosial, dan mengadakan perlombaan
antar pemuda atau anak-anak.
Karena di sini tidak
ada sekolah dan tidak ada angkot, maka para pemuda banyak yang putus sekolah
dan memilih bekerja di ibu kota. Jumlah pemuda di desa ini bisa dihitung jari.
Kebanyakan penduduk adalah orang tua dan anak-anak. Karena jarang ada pemuda, tingkat
kriminal dan kekerasan cukup tinggi. Pencurian, penculikan, bahkan pemerkosaan.
Dengan ilmu seadanya
yang kami dapati dari pesantren selama lima tahun, kami pun menggiring
anak-anak di desa itu untuk berani bermimpi. Meski sekolah sangat jauh,
sebagian tetap berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Saat TPA pun kami sering
menanyakan mimpi-mimpi mereka, Ada Daus yang ingin jadi da’i dan ada Iis yang
belum tahu mimpinya. Diantara mereka ada Aldi dan Aisah (bukan nama sebenarnya).
Dua kakak beradik ini sama-sama kelas 5 SD, hanya saja Aldi sedikit lebih tua beberapa bulan.
Keduanya sama-sama
ingin menjadi guru, namun mereka mengatakannya sambil menundukkan kepala.
Mereka menarik perhatianku dan sahabatku, Sani. Pasalnya, Aldi dan Aisah
memiliki sifat yang sama-sama pendiam meski mereka anak yang rajin.
“Aldi
sama Aisah tinggal bareng neneknya,” kata Daus ketika TPA
telah dibubarkan.
“Emang ibu bapaknya
dimana?” tanyaku.
“Bapak sudah meninggal dan Ibunya menikah lagi. Tapi, bapak tirinya kerja di Jakarta sementara ibunya gak tau kemana.”
Aku mangut-mangut
mengerti. “Udah berapa lama?”
“Dari kelas 1 SD
kayaknya, ya?” tanya Daus ke anak TPA yang lainnya.
“Neneknya sering nyuruh
Aldi berhenti sekolah terus kerja, soalnya neneknya sering sakit-sakitan, teh.”
kata salah satu anak TPA tapi aku lupa namanya. Aku terdiam berpikir, anak
kelas 5 SD emang mau kerja apa? Aku bahkan tak sanggup membayangkan selama ini
Aldi dan Aisah tidak tinggal bersama bersama orang tua mereka selama 5 tahun.
Ibunya menghilang entah kemana dan ayah tirinya bekerja di Jakarta tidak pernah
pulang. Sementara mereka tinggal dengan nenek mereka yang sakit-sakitan?
"Ibunya masih hidup kan?" tanya Sani.
"Iya teh, tapi gak pernah muncul," jawab Daus.
"Ibunya masih hidup kan?" tanya Sani.
"Iya teh, tapi gak pernah muncul," jawab Daus.
Meskipun tidak paham
benar, tapi aku tahu bahwa ada batas yang tidak mampu aku dan Sani lampaui.
Kami sibuk mengurus anak-anak TPA yang lainnya. Kemampuan kami hanyalah
mencoba menanamkan mimpi-mimpi yang tinggi untuk anak-anak di desa ini saat
seluruh pemudanya banyak yang putus sekolah.
Meski sebagian dalam
hatiku berkata “tidak mungkin”, tapi sebagian dari diriku yang lain menyuruhku untuk tetap
mencoba menanam kebaikan sekecil apapun itu. Meski terkadang memaksa mereka untuk punya mimpi.
Masih teringat jelas di benakku saat memaksa anak-anak satu kelas di pesantren kilat (yang hampir seluruhnya tidak punya cita-cita) agar memiliki cita-cita saat itu juga. "Masa sih gak punya cita-cita atau mimpi? Apa aja kek... kamu mau jadi apa, ayo bilang!"
Akhirnya satu anak bilang ingin jadi dokter, semuanya pun ikutan pengen jadi dokter. "Dokter aja teh..." atau "Dokter juga teh..." atau mungkin "Iya teh, sama," dengan suara yang sangat pelan. Hfft... ya sudahlah tidak apa-apa.
Masih teringat jelas di benakku saat memaksa anak-anak satu kelas di pesantren kilat (yang hampir seluruhnya tidak punya cita-cita) agar memiliki cita-cita saat itu juga. "Masa sih gak punya cita-cita atau mimpi? Apa aja kek... kamu mau jadi apa, ayo bilang!"
Akhirnya satu anak bilang ingin jadi dokter, semuanya pun ikutan pengen jadi dokter. "Dokter aja teh..." atau "Dokter juga teh..." atau mungkin "Iya teh, sama," dengan suara yang sangat pelan. Hfft... ya sudahlah tidak apa-apa.
Bersama anak-anak Pesantren Kilat yang semuanya ingin jadi Dokter
Berbeda dengan pesantren kilat yang hanya empat hari, TPA diadakan setiap sore hari. Saat itu, Aisah yang selalu menjadi perhatianku. Ketika anak-anak yang lain berebut mencari perhatian, dia hanya diam di tempatnya. Wajahnya manis sekali. Bahkan, untuk ukuran anak kelas 5 SD Aisah terbilang tinggi. Setiap pulang TPA, Aldi dan Aisah selalu pulang bersama dengan berboncengan sepeda. So sweetnya kakak adek :)
Hari demi hari bergulir. Setelah sebulan mengabdi, tibalah hari terakhir kami di desa
ini. Yang kami lakukan memang hal-hal kecil, akan tetapi kami
yakin peninggalan kami seperti DKM (Dewan Kemakmuran Masjid) dan
Karang Taruna sedikit banyak adalah bentuk kontribusi nyata.
Hari demi hari terus bergulir. Matahari terbit di Timur, terbenam di barat…. Terbit di timur,
terbenam di barat… Bayang-bayang memanjang dan memendek. Memanjang lagi dan
memendek lagi. Begitu seterusnya hingga minggu dan minggu kian berganti. Hingga
bulan demi bulan. Kami adalah siswa kelas 3 aliyah, disibukkan dengan ujian
Quran 5 juz, try out UN dan persiapan masuk universitas.
Hingga akhirnya, kami
sekelompok kembali ke desa Karangbaru setelah menempuh ujian SNMPTN 2012. Bisa
dikatakan setelah setahun kemudian kami baru mengunjungi desa ini kembali. Kami
juga mengunjungi kepala desa, sekolah, mushala, TPA, dan rumah-rumah
penduduk.
Alhamdulillah, DKM dan
Karang Taruna masih aktif. Hanya saja TPA sudah tidak lagi berjalan padahal
kami sudah meminta pemuda DKM mengganti mengajar. Anak-anak TPA kembali kami
temui dan banyak dari mereka yang menghabiskan waktu sore harinya bermain-main.
“Loh koq pada gak TPA
lagi?” tanyaku pada Akmal.
“Soalnya yang lain gak
berangkat juga, teh…” ujarnya.
“Tapi masih pada
sekolah kan?!” tanyaku menginterogasi.
“Iya lah teh.., cuma
Aldi sama Aisah aja yang gak sekolah lagi.”
“Loh.. kenapa?” tanyaku
Anak-anak itu tidak menjawab.
Mereka hanya menggelengkan kepala. Meski aku tidak yakin mereka benar-benar
tidak tahu ketika salah seorang menaruh telunjuk di bibir.
Aku masih tidak
memiliki firasat apa-apa sampai kami sekelompok kembali menaiki angkot carteran
bersama untuk pulang. Mobil angkot pun meluncur di jalanan kecil di tengah sawah.
Sambil berdesakan di dalam mobil, teman-temanku yang lain mengobrol. Awalnya aku
hanya menyimak obrolan mereka saja.
“Ingat itu gak? ...Aisah?”
“Itu yang tinggi cantik, yang adiknya Aldi
kan?”
“…diperkosa ya?”
Aku tertegun mendengarnya. Sontak aku langsung bertanya, “Sama siapa?!”
“Kamu gak tau? Sama bapak tirinya
sendiri, katanya bapaknya datang dari Jakarta.”
“Kalian tahu darimana
sih?!!” tanyaku masih gak percaya.
“Udah diomongin semua
tetangga kali, Mar… dari tadi kamu kemana aja?”
Sumpah serapah keluar
dari mulut teman-temanku menghujat pria yang akhirnya kabur sebelum diamuk masa itu.
Aku terdiam melihat ke pemandangan di belakang mobil. Tinggal sawah sejauh mata
memandang. Aku tak tahu kapan lagi aku bisa mengunjungi desa ini, Desa dimana kutemui
kehidupan mereka, Aldi dan Aisah. Apakah mereka melanjutkan sekolah lagi atau
tidak? Dimana mereka sekarang? Bagaimana mereka bertahan hidup? Atau bagaimana mimpi keduanya ingin menjadi
seorang guru? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul dalam benakku bersamaan namun
tak ada satupun yang terjawab hingga saat ini.