Ada
satu masa ketika harga buku itu dinilai dengan emas. Wah, pasti mahal donk. Mana bisa rakyat
menjangkaunya? Bisa tuh karena harga buku tersebut dibayarkan oleh negara
dengan emas seberat buku yang ditulis. Buku tersebut kemudian dipasarkan dengan
gratis atau harga minimal sekadar mengganti ongkos cetak. Sedangkan penulisnya
tidak lagi menerima bayaran dari penerbit ataupun royalti. Hal ini terjadi di
masa Khalifah Al-Makmun yang memberikan emas kepada Hunain bin Ishak seberat
kitab-kitab yang ia salin ke bahasa Arab dengan ukuran yang sama beratnya.
Semua
orang boleh dan berhak bahkan wajib menyebarkan buku-buku tersebut ketika
isinya adalah ajakan pada kebaikan. Bukan hanya menyebarkan saja, tapi setiap
orang berhak untuk menggandakan dengan cara apa pun. Tidak akan ada penulis
atau penerbit yang merasa dirugikan karena konsumen menggandakan tanpa seizin
mereka. Bahkan sebaliknya, mereka akan sangat mendorong setiap orang untuk
sama-sama menyebarkan buku dan isinya tersebut.
Tidak
ada orang yang berteriak-teriak menuntut ganti rugi karena bukunya disalin atau
digandakan tanpa seizinnya. Alasannya adalah hak cipta, padahal intinya ia
berteriak karena dirugikan secara materi. Hal ini sangat biasa di alam
Kapitalisme karena memang segala sesuatu selalu dinilai secara materi. Meskipun
hak cipta didengungkan di alam Kapitalisme, nasib pengarang tetap saja merana
tanpa ada perlindungan sama sekali. Hanya segelintir pengarang yang karyanya
best seller saja yang hidup layak. Itu pun juga tidak terlepas dari potongan
pajak ini-itu.
Berbeda
dengan sistem Islam yang sangat menghargai ilmu pengetahuan. Kaya tidaknya
seorang ulama/ilmuwan tidak bergantung dari laku tidaknya karya tersebut di
pasaran. Tapi pemimpin dalam hal ini Khalifah telah memberikan imbalan lebih
dari cukup kepada pengarang, penterjemah dan ilmuwan demi agar mereka bisa
hidup layak. Bila kehidupan terjamin maka konsentrasi dan dedikasi bisa lebih
fokus untuk pengembangan ilmu pengetahuan demi kemajuan Islam. Tak heran bila
saat itu, wilayah kekhilafahan Islam menjadi pusat ilmu pengetahuan dan
teknologi mengalahkan peradaban lainnya di zaman itu.
Nasib
penulis, penterjemah dan ilmuwan di zaman ini lebih menghargai kemolekan tubuh
daripada ilmu pengetahuan. Profesi artis, selebritis, foto model dan
sebangsanya jauh lebih dihargai mahal daripada mereka yang memeras keringat
demi kemajuan bangsa. �
Bandingkan
dengan nasib penulis, penterjemah dan ilmuwan di zaman ini ketika sistem yang
ada jauh lebih menghargai kemolekan tubuh daripada ilmu pengetahuan. Profesi
artis, selebritis, foto model dan sebangsanya jauh lebih dihargai mahal
daripada mereka yang memeras keringat demi kemajuan bangsa. Sudahlah dihargai
murah, hasil keringat dari penulis dan penterjemah banyak yang masuk ke kantong
penerbit dalam hal ini sebagai pemilik modal. Parahnya, pemerintah masih dengan
teganya memotong hasil yang cuma sekitar 8 % dari harga jual itu dengan pajak.
Sudah jatuh tertimpa tangga, mungkin peribahasa ini tepat untuk menggambarkan nasib
penulis dan penterjemah di zaman ini. Bukan hanya di Indonesia, tapi praktis
hampir di seluruh dunia hal ini berlaku.
Melihat
hal demikian, hanya orang bebal saja yang bangga dengan kondisi memprihatinkan
ini. Hanya orang yang rela hidup terhina saja yang mau dijajah. Orang beriman,
tentu saja menolak hidup dalam kungkungan kapitalisme yang selalu mendewakan
materi dan kenikmatan jasadi. Tak ada pilihan lain bagi orang beriman kecuali
berjuang untuk perubahan. Dakwah tanpa kekerasan untuk merubah kondisi dari
terhina menjadi mulia.
Yuk,
kita kembalikan lagi kemuliaan manusia ketika isi kepala lebih dihargai
daripada goyang ngebor. Kita dudukkan lagi posisi para ilmuwan ke tempatnya
yang mulia dengan mendapat penghargaan semestinya, bukan malah yang pamer aurat
dihormati di mana-mana. Kita rindu satu masa ketika buku adalah sesuatu yang
dirindu karena ada ilmu pengetahuan di sana, dan bukan malah sinetron puluhan
episode yang menjadi tuntunan. So, mari berjuang demi perubahan ini. Semangat!
^_^
Sabtu, 08 May 2010