Sejak pertama
kali dibincangkan menjelang kemerdekaan 1945, multitafsir pancasila telah
mengundang perdebatan dari banyak kalangan dan tak jarang tafsir-tafsir
pancasila itu saling bertentangan. Berbagai elite dari gerakan Islam
berpendapat bahwa Pancasila merupakan rumusan Islam versi kebangsaan Indonesia.
Namun tidak sedikit pula yang menganggap bahwa pancasila adalah simbol
paganisme yang memasung Islam.
Sejak 1985
dengan terpaksa atau karena sikap pragmatis hampir seluruh gerakan Islam
menjadikan pancasila sebagai satu-satunya asas. Dua dekade kemudian asas itu
ditinjau ulang, bahkan sebagian di antara gerakan Islam telah menanggalkannya.
Dalam suasana reformasi sejak 21 Mei 1998, respons lain yang berbeda atas pancasila yang muncul di awal 80-an ini
menjadi penting ditelusuri.
Salah satu
contoh kasus tahun 2013, Hizbut Tahrir Indonesia menolak dengan keras bahwa
Pancasila menjadi satu-satunya asas dalam penyelesaian masalah multidimensi.
Selain itu, Fraksi PKS di DPR yang menolak adanya asas tunggal untuk ormas
adalah Pancasila seperti tercantum dalam RUU Ormas. Hal ini dinilai tidak
mengedepankan aspirasi publik, melainkan mengedepankan pasal-pasal yang
bersifat represif dan pengekangan. Bukan hanya PKS, semua fraksi dan juga
pemerintah sepakat untuk menunda RUU Ormas tersebut karena Pancasila dinilai
masih multitafsir.
Dengan maksud
memberikan sebuah nuansa kritis atas multitafsir pancasila secara keagamaan,
khususnya Islam, dalam pengantar ini akan dibahas beberapa topik. Melalui sikap
kritis atas keyakinan keagamaan yang kita peluk dan atas pancasila sebagai
dasar negara, pembebasan pemberhalaan sebuah doktrin “ideologis” bisa
diharapkan tidak memuat kita “memberhalakan” doktrin yang lain. Dari sini, saya
harap kita baca dengan nalar dan hati yang jernih.
Indonesia
memiliki pancasila, tetapi karena pengamalan yang masih sangat kurang bahkan
dikhawatirkan akan dapat dipengaruhi oeh asimilasi kultural asing. Di samping
itu kita khawatir adanya tafsiran parsial dan kesukuan yang dapat saja
memaksakan dan melumpuhkan persatuan dan
kesatuan bangsa. Contohnya, kita memiliki tradisi musyawarah untuk mufakat
tetapi semakin langka penerapannya. Kita memiliki iklim dekmoratis dalam
kehidupan nasional, tetapi tuntutan demi tuntutan untuk menciptakan iklim
demokratis telah mengundang pertanyaan yaitu kemurnian dari sikap demokratisnya
tersebut.
Belum lagi
pengembangan tafsiran pancasila sendiri di Indonesia. Karena tidak memiliki
metode penafsiran yang baku, setiap rezim di Indonesia memiliki penafsiran
berbeda terhadap Pancasila. Pada masa Soekarno, Pancasila ditafsirkan sebagai
gotong royong dan sosialisme. Pada masa Soeharto, pancasila ditafsirkan sebagai
kapitalisme sekuler. Pada masa sekarang, pancasila ditafsirkan sebagai
neoliberalisme. Belum lagi penafsiran Pancasila yang berbeda-beda secara
parsial maupun dimensi masyarakat. Padahal kita tahu Roeslan Abdulgani dalam
bukunya “Pengembangan Pancasila di Indonesia” menyatakan bahwa Pancasila
bukanlah sekadar hafal rumusan Pancasila serta urutan-urtuannya, melainkan
mengamalkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dengan segala sikap yang
menyentuh hati nurani. Jika penafsirannya sudah berbeda-beda, apakah
pengamalannya pun akan berbeda pula?
Saya pribadi
setuju bahwa mengamalkan pancasila berarti mengamalkan buah pikiran dengan
mempergunakan pendekatan multidisiplin ilmu. Mengamalkan ilmu harus seimbang
dengan pelaksanaan pembangunan. Tujuh sistem nilai yang dikembangkan
Aristoteles tentunya sangat berguna untuk mengukur pertumbuhan pembangunan.
Karena ukuran pancasila bukan lagi terbatas pada ekonomi, melainkan meliputi
keseluruhan persoalan seperti politik, sosial, budaya, dan sebagainya. Namun,
dari kondisi tersebut membawa arti bahwa Pancasila tidak mungkin dapat
dilakukan secara bersama-sama!
Misalnya, mungkinkah
kita dapat menggunakan manajemen ilmiah ketika ekologi administrasi kita tetap
tradisional? Kita gagal dalam melakukan pengawasan intern organisasi sehingga
penyalahgunaan wewenang sering kali terjadi dan kian melebar. Sementara, orang
yang melakukan pengawasan dengan kritis sering digeser dan dianggap menentang
atasan. Mereka yang kritis pun digeser dan dikotak-kotakkan dalam
lembaga-lembaga penelitian dan bukan lembaga pemerintahan!
Dari segi hukum,
kita bangga kalau pelaksanaan pekerjaan formalnya tidak melanggar hukum,
walaupun hakikatnya tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peradaban. Semboyan
hukum dan keadilan yang bersumber pada kepribadian nasional ternyata
menghasilkan buah yang teramat pahit dan getir bagaikan empedu. Keadilan hukum
merupakan barang yang mustahil dapat diperoleh, kecuali bagi mereka yang mampu
mempermainkan dan memanipulasikannya.
Pertanyaan-pertanyaan
lain tentang multitafsir pancasila dan aspek multidimensional yang tidak dapat
dilakukan akan saya tuliskan dalam bahasan selanjutnya. Hanya saja,
problem-problem yang dihadapi masyarakat dalam menegakkan demokrasi Pancasila
tak hanya sampai disni. Tetapi sampai pada anak cucu, dan meningkat laksana
deret ukur sementara usaha untuk melaksanakannya laksana deret hitung. Walhasil,
yang berkembang bukanlah usaha merealisasikan pancasila, melainkan tafsir
Pancasila yang berkembang sesuai dengan kepentingan sosial politik.
Pergeseran Tafsir Pancasila dari Orde Lama hingga Kini
Masa demokrasi
terpimpin Soekarno menafsirkan Pancasila sebagai satu-satunya alat pemersatu
bangsa. Pancasila dinilai sebagai weltanschauung bangsa yang dapat menjadi
resep ampuh untuk mengatasi beragama masalah kebangsaan dan kenegaraan. Hal itu
jelas menunjukkan keinginan Soekarno untuk meletakkan Pancasila sebagai sebuah
ideologi yang konklusif. Sosialisasi seperti itu menjadi pembuka penting bagi
upaya selanjutnya; Pancasila sebagai sebuah ideologi negara yang tampil
hegemonik.
Upaya Soekarno
dalam meletakkan Pancasila sebagai sebuah ideologi yang konklusif juga saat
Soekarno meringkas kembali Pancasila menjadi Trisila bahkan Ekasila yang
berarti sosialisme atau gotong royong.
Kecenderungan untuk
menampilkan Pancasila sebagai ideologi negara kembali terulang pada masa orde
baru. Cikal bakalnya sudah tertanam sejak demokrasi terpimpin. Tokoh-tokoh
antikomunis saat itu tidak dapat mempersatukan seluruh kekuatan antikomunis
kecuali Pancasila. Masalahnya, wacana Pancasila masa demokrasi terpimpin
didominasi tafsir Soekarno, sedangkan mereka tidak menyetujuiya. Maka,
satu-satunya jalan yang paling mungkin dilakukan adalah mendelegitimasi seluruh
tafsir Pancasila versi Soekarno dan PKI.
Belakangan, orde
baru menjawab tafsir Pancasila dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (P4) yang diindoktrinasi kepada seluruh lapisan masyarakat. Orde baru
kemudian bergerak lebih jauh dengan mewajibkan seluruh elemen masyarakat
menggunakan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan sosial politik
kemasyarakatan. Di sini Pancasila telah berubah menjadi ideologi negara yang
komprehensif tidak lagi memberi tempat bagi ideologi lainnya.
Dan kini,
Indonesia dihadapkan pada era liberal dimana Pancasila dan UUD 1945 kembali
dipertanyakan sesuai dengan perkembangan zaman. Meskipun Pancasila dianggap
sebagai pemersatu bangsa, ideologi negara, sumber dasar hukum, dan sebagainya,
namun apakah Pancasila itu benar-benar sakti hingga saat ini? Jika dahulu Pancasila
dianggap sakti karena perannya untuk memberantas PKI, maka tumpukan persoalan
saat ini benar-benar jauh berbeda. Kemiskinan, bencana alam, korupsi, tindak
kriminal, pengangguran, dan jaminan kesehatan serta sederet lainnya menuntut
penyelesaian dengan cepat dan tepat. Pertanyaannya, apakah sekarang pendidikan
Pancasila yang ramai dibicarakan, disosialisasikan bersama tiga pilar lainnya
(UUD 1945, NKRI, serta Bhineka Tunggal Ika) benar-benar jawaban yang dibutuhkan
bagi era liberal seperti saat ini?
Akhirnya banyak
penafsiran Pancasila yang kembali muncul dalam setiap aspek kehidupan
masyarakat. Sebagai upaya untuk mengubah dirinya menjadi ideologi ilmiah, dalam
rentang sejarah tampaknya Pancasila belum mampu. Korupsi yang merajalela dan
elite-elite pemerintah dilakukan secara masal maupun individual merupakan bukti
bahwa Pancasila tidak lagi sakti. Faktanya, penjaga moral bangsa hingga saat
ini bukanlah Pancasila melainkan ajaran agama dan budaya ketimuran Nusantara
yang sudah ada sejak dahulu.
Lalu bagaimanakah
dengan nasib Pancasila? Perlukah metode penafsiran lain agar Pancasila berubah
menjadi ideologi modern tanpa menghilangkan legitimasi kultural yang telah
melekat? Sehingga bangsa Indonesia yang sedari dulu dipenuhi dengan mitos-mitos
seperti mitos Pancasila sakti penjamin kesejahteraan, Pancasila sakti penjamin kesentosaan,
Pancasila sakti pemersatu bangsa, dan sebagainya berubah bukan lagi
memberhalakan sebuah doktrin, melainkan mengamalkan nilai-nilai dengan segala
sikap, contoh, dan menyentuh nurani juga dengan menerima ideologi-ideologi
kebenaran yang lain.
Kritik Untuk Gerakan Pemantapan Pancasila (GPP)
Upaya untuk kembali mensosialisasikan
Pancasila salah satunya adalah dibentuknya Gerakan Pemantapan Pancasila (GPP)
pada 5 Juli 2012. GPP dengan jelas menyalahkan pemerintah yang hingga saat ini
tidak menetapkan hari lahir Pancasila. Belum lagi GPP menuding ada upaya
menyejajarkan Pancasila dengan empat pilar bangsa yang sesungguhnya secara
tidak langsung dianggap melemahkan Pancasila
Pertanyaannya,
manakah yang lebih penting? “Pancasila” atau nilai-nilai Pancasila? Surat hukum
atau jiwa hukum itu sendiri? Padahal nilai-nilai yang terkandung pada
Pancasila, terkandung pula pada empat pilar bangsa yang diusung MPR. Seperti
itu pula, nilai-nilai Pancasila juga terkandung dalam ajaran agama dan adab
ketimuran Nusantara. Maka pertanyaan ini menjadi penting dalam setiap upaya pemantapan
Pancasila yang lebih mirip pemberhalaan sebuah doktrin lama dibanding
mengamalkan nilai sesuai dengan perkembangan zaman.
Saran penulis,
dibandingkan sibuk mensosialisasikan Pancasila melalui Gerakan Pemantapan
Pancasila (GPP) lebih baik sibuk membuat “Gerakan Pengamalan Nilai-Nilai Pancasila”.
Toh, nilai-nilai yang ada di Pancasila sudah sangat mantap mencakup berbagai
multidisiplin ilmu. Juga posisinya sudah jelas sangat strategis dimana Pancasila
sudah mencapai gelombang akademik; diajarkan pada anak-anak SD hingga mata
kuliah di perguruan tinggi. Namun permasalahannya, pengamalan nilai-nilainya
yang justru masih sangat kurang.
Contoh Multitafsir Pancasila
1.
Syafruddin
Prawiranegara dalam suratnya tanggal 7 Juli 1983 dia menyatakan: “Pergantian
asas Islam oleh asas Pancasila bertentangan dengan UUD 1945 yang berlandaskan
pancasila. Jadi Pancasila yang ada sekarang berlawanan dengan Pancasila yang
asli itu sendiri. Dimana pergantian asas itu berlawanan dengan kemerdekaan
beragama dan beribadah yang dijamin oleh pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Sebab,
menurut ajaran Islam, mendirikan perkumpulan Islam yang anggota-anggotanya
terdiri dari orang Muslim, itu namanya perkumpulan berasaskan Islam; Al-Quran
dan As-Sunnah. Bukan perkumpulan berasaskan Pancasila yang diinginkan oleh
segelintir orang menjadikan Pancasila sebagai asas dalam semua aspek kehidupan
bermasyarakat.
2.
Dalam menafsirkan sila
demi sila Pancasila pun menjadi memiliki banyak makna dan lebih berfungsi
seperti pasal karet. Pasal karet berarti pasal ini ditafsirkan sesuai dengan
kepentingan tertentu, bukan dengan metode baku yang ditetapkan. Seperti
misalnya sila: “Ketuhanan yang Maha Esa”. Keganjilan itu antara lain:
a. Islam
bukan satu-satunya agama di Indonesia. Sementara frase “Maha Esa” menunjukkan
Tuhan yang tunggal. Padahal dalam Kristen dan Katholik dikenal trinitas, dalam
Hindu dikenal dewa-dewa, dsb.
b. Sementara
itu, istilah “Ketuhanan” yang merujuk pada kata jamak atau banyak. Seperti
penggunaan kata “Kepulauan”. Maka Ketuhanan bisa diartikan sebagai
“Tuhan-Tuhan” tetapi Maha Esa? Maka sebenarnya sila ini tidak merujuk pada
agama Islam juga tidak merujuk pada agama lain.
c. Dalam
sila pertama yang menjunjung tinggi agama ini tidak dijelaskan lebih lanjut.
Kalimat “Ketuhanan yang Maha Esa” tidak memberi keterangan bahwa agama yang
dimaksud untuk Tuhan atau untuk masyarakatnya?
Perdebatan
masalah tafsir Pancasila memang terjadi hingga kini. Namun,
penafsiran-penafsiran oleh berbagai multidimensi masyarakat perlu disikapi
dengan bijaksana. Alangkah baiknya, jika selain menghayatinya juga mengamalkan
nilai-nilainya tanpa ada doktrin bahwa Pancasila adalah satu-satunya ideologi
pemersatu bangsa dan pembawa kemakmuran.
Menghadapi
persoalan di atas, tanggung jawab paling besar terletak di tangan elite
pemerintah, elite politik dan keagamaan. Namun, bukan berarti mereka secara
sepihak bisa bersikap arogan, merasa paling benar, paling baik, dan paling
mengerti apa yang paling benar dan paling baik bagi rakyat dan negeri ini.
Karena itu,
betapa amat sulit meyakinkan elite penguasa bahwa rakyat memiliki kecerdasan
dan kearifan dalam menyelesaikan banyak persoalan yang dihadapi. Namun,
persoalan ini mudah dipecahkan bila saja para penguasa dan aparat meletakkan
dirinya sebagai “pelayan” kebangsaan, kenegaraan, dan keagamaan. Dengan cara
pandang kearifan dan kekuasaan itulah kita bisa berharap bahwa perbedaan
pendapata dalam politik dalam kasus pemaknaan Pancasila atau dalam beragama
tidak mengurangi peluang tumbuhnya kesatuan yang kokoh bagi kehidupan sosial.