Dikisahkan dalam kitab At-Tawwabin karya
Ibnu Qudamah tentang seorang putra khalifah yang meninggalkan kehidupan mewah
di istana dan menjadi seorang kuli panggul.
Suatu hari ‘Abdullah bin Faraj
Al-Abid memerlukan buruh harian untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Maka ia
pun pergi ke pasar. Sesampainya di sana, ia menemukan sekumpulan buruh harian.
Ternyata di barisan paling belakangnya ada seorang pemuda berjubah dan
berpakaian dari bulu yang wajahnya pucat pasi. Ia tengah membawa keranjang
besar.
“Kamu mau bekerja?” tanya ‘Abdullah
bin Faraj kepadanya.
“Ya,” jawabnya.
“Berapa bayarannya?”
“Satu seperenam dirham.”
“Baiklah!”
“Tapi, ada syaratnya.”
“Apa syaratnya?” tanya ‘Abdullah bin
Faraj.
“Jika waktu Zhuhur tiba dan muadzin
telah mengumandangkan adzan, aku akan berhenti bekerja; kemudian bersuci dan
menunaikan shalat secara berjamaah di masjid. Lalu kembali bekerja lagi.
Demikian pula pada waktu shalat Ashar,” pintanya.
“Baiklah!”
‘Abdullah bin Faraj menyuruhnya
memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lainnya. Pemuda itu pun mengikat
tubuhnya lalu mulai bekerja dan sama sekali tidak mengajak ‘Abdullah bicara
hingga muadzin mengumandangkan adzan Zhuhur.
“Hai, hamba Allah. Muadzin telah
mengumandangkan adzan,” serunya.
“Silakan!” jawab ‘Abdullah.
Ia pergi dan menunaikan shalat.
Setelah pulang, ia kembali bekerja dengan baik hingga waktu Ashar, ketika
muadzin mengumandangkan adzan.
“Hai, hamba Allah. Muadzin telah
mengumandangkan adzan,” serunya.
“Silakan!” jawab ‘Abdullah.
Ia pergi dan menunaikan shalat
Ashar. Setelah pulang, ia kembali bekerja hingga sore. ‘Abdullah kemudian
memberinya upah. Setelah itu, pemuda tersebut pulang.
Beberapa waktu berselang, ‘Abdullah
bin Faraj membutuhkan lagi seorang buruh.
“Carilah buruh muda kemarin. Sungguh
ia telah member teladan kepada kita ketika bekerja,” pinta istrinya.
‘Abdullah pergi ke pasar, namun
tidak melihatnya. Ia menanyakan kepada orang-orang di pasar.
“Anda menanyakan pemuda yang pucat
dan lemah yang tidak kami lihat selain hari Sabtu dan yang tidak duduk kecuali
sendirian di bagian belakang?” jawab orang di pasar.
Maka ‘Abdullah pun pulang. Barulah
pada hari Sabtu ia pergi ke pasar. Benar, ia pun menemukannya.
“Kamu mau bekerja?”
“Anda telah mengetahui upah dan
syaratnya.”
“Ya, aku menyetujuinya.”
Ia bangkit dan bekerja dengan baik
seperti sebelumnya. Ketika tiba saatnya memberi upah, ‘Abdullah menambahinya.
Ternyata pemuda itu menolak menerima tambahannya. Namun, ‘Abdullah memaksanya
untuk menerima. Kali ini pemuda itu merasa risih sehingga ia pergi meninggalkan
‘Abdullah. ‘Abdullah merasa tidak enak. Ia pun membuntuti dan membujuknya
sampai akhirnya ia mau menerima, tetapi hanya upahnya saja.
Beberapa waktu kemudian, ‘Abdullah
kembali hendak memerlukannya. Ia pergi ke pasar pada hari Sabtu namun ia tidak
menemukannya.
“Ia hanya datang ke pasar setiap
hari Sabtu untuk bekerja dengan upah satu seperenam dirham. Setiap hari ia
menghabiskan seperenam dirham untuk makan. Dan kini ia telah jatuh sakit.
‘Abdullah menanyakan rumahnya untuk
membesuk.
Dijumpainya seorang wanita tua.
“Apakah di sini tinggal seorang
pemuda yang biasa bekerja sebagai buruh harian?” tanya ‘Abdullah kepada wanita
tua yang ternyata pemilik rumah.
“Ia sakit sejak beberapa hari yang
lalu.”
‘Abdullah masuk dan mendapatinya
sakit dengan berbantalkan batu bata. Setelah mengucap salam kepadanya,
‘Abdullah bertanya, “Apakah kamu mempunyai suatu keperluan?”
“Ya, jika Anda mau memenuhinya,”
jawabnya.
“Ya, aku mau memenuhinya.”
“Setelah aku mati nanti, juallah
tali ini dan cucilah jubah dan kain dari bulu ini. Kemudian kafanilah aku
dengannya. Setelah itu, bukalah saku ini karena di dalamnya ada sebuah cincin.
Lalu pada saat Harun Ar-Rasyid lewat, berdirilah di tempat yang terlihat
olehnya, bicaralah, dan perlihatkan cincin itu kepadanya. Jangan lakukan ini
kecuali setelah aku dikuburkan.”
“Baiklah!” jawab ‘Abdullah.
Setelah ia meninggal, ‘Abdullah
bermaksud melakukan apa yang dimintanya. Suatu hari, dengan duduk di sisi
jalan, ia menanti lewatnya Harun Ar-Rasyid. Harun Ar-Rasyid melintas di
hadapannya.
“Wahai Amirul Mukminin, ada titipan
untukmu padaku!” seru ‘Abdullah seraya memperlihatkan cincin itu. Namun, Harun
Ar-Rasyid menyuruh anak buahnya menangkap ‘Abdullah untuk dibawa ke istana.
Sesampainya di sana, Harun Ar-Rasyid
memanggil ‘Abdullah dan menyuruh keluar semua orang yang ada di tempat itu.
“Siapa Anda?” tanya Harun Ar-Rasyid.
“’Abdullah bin Faraj.”
“Dari mana kamu mendapatkan cincin
itu?”
‘Abdullah bin Faraj kemudian
menuturkan kisah pemuda yang pernah ditemuinya. Tiba-tiba Harun Ar-Rasyid
menangis hingga ‘Abdullah merasa iba. Setelah kembali tenang, ‘Abdullah
memberanikan diri untuk bertanya.
“Wahai Amirul Mukminin, ada hubungan
apa antara dia dengan Anda?”
“Ia anakku.”
“Bagaimana ia bisa seperti itu?”
“Ia lahir sebelum aku diangkat
menjadi khalifah. Lalu tumbuh sebagai anak yang baik, yang belajar Al-Quran
serta ilmu-ilmu lainnya. Namun, ketika aku telah diangkat menjadi khalifah, ia
meninggalkanku dan tidak mau menikmati sedikit pun dari kenikmatan yang aku
peroleh. Aku kemudian memberikan cincin ini –cincin yaqut yang harganya sangat
mahal– kepada ibunya sambil mengatakan, ‘Berikan ini kepadanya (karena ia
sangat patuh kepada ibunya), dan suruhlah ia selalu membawanya. Siapa tahu
sewaktu-waktu ia membutuhkannya’. Lalu ibunya meninggal dan saya sama sekali
tidak mengetahui kabar beritanya hingga Anda datang memberitahukannya kepadaku
ini,” jelas Harun Ar-Rasyid.
“Jika malam telah tiba, tunjukkanlah aku kuburannya.”
Dan kala malam telah gelap, keduanya
pergi tanpa pengawalan hingga tiba di kuburan putranya. Harun Ar-Rasyid duduk
di dekatnya dan menangis. Ketika fajar menyingsing, mereka bangkit untuk
pulang.
“Temanilah aku menziarahi kuburnya
beberapa malam lagi,” pinta Harun Ar-Rasyid. Pada malam berikutnya, ‘Abdullah
bin Faraj menemaninya. []