Tahun 2015, saya pernah diminta Dinas Sosial untuk menjadi pembimbing dan motivator bagi ratusan anak-anak putus sekolah Kabupaten Kuningan. Di antara salah satu anak bimbingan saya bernama Siti (15 tahun) dan dia menceritakan alasan dirinya putus sekolah adalah karena orang tuanya menyuruhnya bekerja menjadi seorang buruh cuci.
Menurut ibunya, seorang perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya perempuan akan berakhir di sumur, dapur, kasur. Tidak lama kemudian, ibunya ingin menjodohkan dirinya dengan seorang yang usianya jauh lebih tua daripada dirinya. Dinas sosial lalu mendapat rujukan untuk mengasuh Siti dari teman-teman SMP Siti agar mendapatkan bantuan pendanaan dari PPA-PKH dan disekolahkan hingga perguruan tinggi. Siti merasa bahwa dirinya tidak berbakti pada orang tua karena menolak pernikahan dan meminta bantuan dinas sosial agar menampung dirinya.
Nina, bukan nama sesungguhnya, juga mengalami hal yang sama. Dia lulus seleksi masuk Universitas Padjajaran jurusan Hubungan Internasional. Sebuah jurusan yang cukup bergengsi di Indonesia. Dia menceritakan salah satu kisahnya dimana setelah lulus SMP dan SMA, orang tuanya selalu berusaha untuk menjodohkan dia dengan pria yang jauh lebih tua. Hingga demi bias membiayai pelarian dirinya dari rumah, dia harus menjual domba dan tinggal di rumah salah satu sahabatnya. Meski di sisi lain, Nina juga merasa tidak enak hati dan merasa dirinya bukan anak yang berbakti.
Saya rasa banyak sekali remaja yang mengalami dilema seperti Nina dan Siti. Dilema antara menolak perjodohan atau menjalankan kewajiban untuk berbakti pada orang tua. Meski pada dasarnya, dua hal tersebut bukanlah hal yang dipertentangkan. Menolak perjodohan bukanlah berarti tidak berbakti pada orang tua asalkan penolakannya disampaikan dengan cara yang baik-baik.
Usia lulus SMP maupun lulus SMA, merupakan usia yang terlalu muda untuk menikah. Untuk melakukan pernikahan, kematangan fisik (biologis) dan psikologis sangatlah penting. Menurut para ahli, secara biologis perempuan yang berusia di bawah 20 tahun memiliki risiko yang sangat tinggi untuk penyakit dan kematian ketika menjalani fungsi alat reproduksi. Belum lagi secara psikologis, usia 16 tahun ini masih sangatlah labil dan belum siap melakukan pernikahan. Kita perlu ingat, bahwa tujuan menikah itu adalah untuk tercapainya sakinah, mawaddah, warrahmahy (QS Ar Rum: 21).
Dampak pernikahan di usia dini telah ditunjukkan oleh berbagai penelitian, seperti terputusnya pendidikan, kemiskinan, kehilangan kesempatan berkarir, rawan perceraian, anak yang dilahirkan kurang perhatian, perkembangan psikologis remaja yang terhambat, dan mudah terpengaruh melakukan perbuatan menyimpang seperti tergoda dengan remaja lain sementara dirinya sudah berstatus istri orang.
Orang tua memang mempunyai kewajiban untuk menjadi wali bagi anak-anaknya ketika anak tersebut menikah, namun kewajiban menjadi wali bukan berarti wajib untuk menjodoh-jodohkan putra-putrinya dengan paksa. Sebagaimana dalam hadits Nabi:
“Tidak boleh menikahkan seorang janda sebelum dimusyawarahkan dengannya dan tidak boleh menikahkan anak gadis (perawan) sebelum meminta izin darinya. (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 1419)
Al-Bukhari memberikan judul bab terhadap hadits ini, Bab: Jika seorang lelaki menikahkan putrinya sementara dia tidak senang, maka nikahnya tertolak (tidak sah).
Sementara menurut ilmu fiqh, dalam pernikahan, ada beberapa syarat yang wajib dipenuhi. Salah satunya adalah kerelaan calon isteri. Wajib bagi wali untuk menanyakan terlebih dahulu kepada si calon isteri, dan mengetahui kerelaannya sebelum dilakukan aqad nikah. Perkawinan merupakan pergaulan abadi antara suami isteri. Kelanggengan, keserasian, persahabatan tidaklah akan terwujud apabila kerelaan pihak calon isteri belum diketahui. Islam melarang menikahkan dengan paksa, baik gadis atau janda dengan pria yang tidak disenanginya. Akad nikah tanpa kerelaan wanita tidaklah sah. Ia berhak menuntut dibatalkannya perkawinan yang dilakukan oleh walinya dengan paksa tersebut (Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 7).
Secara hukum, kawin paksa adalah perkawinan yang dilaksanakan tanpa didasari atas persetujuan kedua calon mempelai, hal ini bertentangan dengan pasal 6 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi: Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
Berdasarkan hadits, ilmu fiqh, dan peraturan perundang-undangan, maka perempuan berhak menolak ketika dia tidak menyetujui perjodohan tersebut dan orang tua tidak boleh memaksakan kehendak terhadap putrinya.
Hadits tersebut di atas menegaskan hak perempuan atas dirinya. Tidak ada seorang pun bahkan orang tuanya yang berhak memaksakan, mengatur kapan, dan dengan siapa perempuan itu menikah kecuali perempuan itu sendiri. Hadits tersebut juga menyiratkan bahwa menolak perjodohan khususnya pernikahan dini bukanlah perbuatan yang membangkang orang tua atau tidak berbaktinya anak pada orang tua. Menerima dan menolak perjodohan merupakan hak bagi seorang perempuan. Berbakti atau tidak berbaktinya seseorang kepada orang tua tidak diukur dari menerima atau menolak perjodohan, melainkan dari cara berkomunikasi anak terhadap orang tua.
Banyak ayat dalam Al-Quran yang menekankan bahwa yang dimaksud dengan berbuat baik kepada orang tua terletak dari cara berinteraksi dan berkomunikasi anak terhadap orang tuanya. Ketika anak tidak setuju dan tidak sepakat dengan keputusan orang tuanya, anak tersebut tidak dilarang untuk menyatakan ketidaksetujuannya. Hanya saja hal itu perlu disampaikan secara baik-baik dengan bahasa yang tidak menyakiti orang tua.
Yang perlu dilakukan oleh seseorang adalah mengomunikasikan ketidaksetujuan dengan orang tua secara baik-baik. Seperti berbicara mengenai dampak-dampak negative dari pernikahan dini dan meyakinkan orang tua bahwa perempuan pun perlu berpendidikan tinggi, dan dirinya bisa tetap menjadi istri yang baik meskipun sambil berkarir atau berpendidikan.
Sumber: berbagai sumber (Google) & Nyai Hj. Hindun Anisah MA
It was very useful for me. Keep sharing such ideas in the future as well. This was actually what I was looking for, and I am glad to came here! Thanks for sharing the such information with us.
ReplyDelete