Sudah dua bulan aku nutup akun Instagram dan pada akhirnya Facebook juga. Alasannya mungkin terlalu personal: aku ingin bahagia. Simpel. Titik.
.
Setiap orang memiliki definisi bahagianya masing-masing dan mungkin berkata bahwa yang penting bisa balance menggunakan sosial media. Tapi dari hasil research (yang sangat tidak ilmiah) aku menemukan orang lain juga tidak balance menggunakan sosmed. Maksudku, dalam kurang dari 30 menit seringkali aku menemukan ratusan akun melihat storygram-ku. Akun-akun itu segera muncul lagi lagi dan lagi ketika aku mengupdate story yang lain. Lalu akupun bertanya-tanya “apa tidak ada hal lain yang orang-orang ini lakukan?” atau “apa tidak ada momen kehidupan sesungguhnya yang ingin mereka nikmati?”
Tidak menghakimi orang lain, aku sadar apa yang sosmed lakukan pada mereka adalah apa yang sosmed lakukan padaku juga. Dengan cara yang aneh, tanganku terasa ‘gatal’ untuk scrolling, melihat update orang lain, lalu posting di Instagram sambil mengantisipasi likes and comments. Berjam-jam setiap hari sehingga merasa bahwa identitasku tergantung dengan apa yang kuposting. Lalu memikirkan postinganku berikutnya bagaimana caranya mendapatkan lebih banyak likes and comments. Dengan cara yang aneh pula, rasanya aku kewalahan sekaligus ketagihan. Instagram juga berisik, bikin stress, depresi, dan membanding-bandingkan diriku dengan orang lain.
Sosial media adalah mata uang sosial. Seperti dolar, sosial media ibarat mata uang yang kita gunakan untuk memberikan nilai pada sebuah barang atau jasa. Dalam sosial media, likes, comments, dan shares menjadi bentuk dari mata uang sosial ini. Dalam marketing disebut "Economy of Attention". Setiap penawar barang/jasa berkompetisi demi mendapat perhatian pembeli dan saat kita (sebagai pembeli) menyukai atau memberi perhatian pada barang/jasa itu, maka itu akan menjadi sebuah transaksi yang terekam untuk memberikan standar nilai. Yang mana bagus banget,kalau yang dijual adalah album atau pakaian. Masalahnya, dalam sosial media, WE ARE THE PRODUCT. Kitalah produknya. Dan kita membiarkan orang lain memberikan nilai/harga pada kita. Contoh, orang yang menghapus foto di Instagram karena tidak banyak yang likes; dalam marketing juga kita berhenti menjual produk yang tidak cepat terjual. -Bailey Parnell
Ada yang bilang semakin banyak followers maka akan semakin banyak manfaat kepada orang lain. Dan dalam hadits Nabi Muhammad, sebaik-baik seorang muslim adalah yang paling banyak manfaatnya pada orang lain. Mungkin hadits ini menjadi legitimasiku yang dulu untuk menggunakan persona (topeng) dan menambah followersku hingga 3000.
Misal: aku upload foto di Instagram seorang anak kecil yang sedang kelaparan di tengah ibu kota dan berjualan tisu kesana kemari dengan sendal jepitnya untuk mencari makan. Lalu aku menulis caption di foto tersebut tentang pelajaran hidup untuk terus berjuang, meningkatkan empati dan terus bersyukur. Ribuan followers-ku lalu like dan berkomentar “waahh kakak idola...!” dsb. Lalu aku berkata pada diriku senidri “aku bermanfaat dan lebih bermanfaat daripada teman-temanku yang lain dengan banyaknya followersku sembari menuliskan caption inspiratif!”. Tanpa aku sadari bahwa identitasku dibentuk atas dasar persona (topeng) bukan diriku sesungguhnya dalam kehidupan. Begitu pula manfaat yang ku sebarkan pondasinya adalah persona (topeng) bukan nilai hidupku itu sendiri.
Tidak ada yang salah dari menulis caption inspiratif. Tapi begini, ribuan orang-orang yang kuinspirasi mungkin bukannya memberi makan anak itu atau membeli tisu dari anak itu, melainkan posting lagi di instagram dan menuliskan caption inspiratif lagi. Mereka melakukannya untuk mendapat pengakuan, terlihat baik, dan menginspirasi orang lain lagi untuk menulis caption inspiratif –lagi. Terus begitu dan begitu.
Misalnya juga, mungkin kita pernah mendapatkan teman kita upload foto dirinya selfie dengan wajahnya yang cantik. Lalu captionnya adalah: "Beauty is not about having pretty face, it is about having a pretty mind, a prettty heart, and a pretty soul.". Atau juga saat hari ibu, seorang anak meng-upload foto bersama ibunya. Di saat yang bersamaan, ibunya sedang mengepel dan menyapu lantai, anaknya tiduran bermain instagram. Sampai akhirnya kita merasa bahwa identitas kita sudah cukup diukur dari postingan instagram. Bukan dari benar-benar apa yang kita lakukan. Kalau kata Frank William Abagnale “Teruslah berbohong sampai kebohongan itu menjadi kebenaran.”.
.
Tentu aku pernah tutup akun dan mengaktifkan akunku kembali, berjanji aku hanya akan memposting yang baik-baik dan berguna saja. Sampai akhirnya kusadari, aku sama sekali tak ingin berada di atas pondasi persona untuk bermanfaat pada orang lain. Ada banyak cara yang lebih mengakar-rumput, manfaat terasa langsung di masyarakat, dan lebih dibutuhkan (misal penyuluhan imunisasi di desa-desa, penyediaan fasilitas belajar bersama dinas pendidikan, dsb) daripada menulis caption inspiratif.
Lalu aku tutup akun lagi sekarang, for real, lebih dari satu tahun mungkin (target tahun ini) dan berpikir tahun depan aku mungkin sama sekali tak akan dan tak ingin menggunakan Instagram seumur hidupku. Aku tak tahu, hanya saja aku sekarang bahagia ketika melakukan satu hal kebaikan yang manfaatnya terasa langsung namun tak seorang pun tahu. Aku tak foto juga tak upload apapun. Ini yang kusebut bahagia. Masih banyak di depan sana menungguku, momen bersama keluarga, teman, kerabat, jalan-jalan, dsb. Tapi hey! Aku tak memikirkan setiap momen berhargaku untuk dijadikan storygram. Dimana setelahnya aku mengantisipasi likes dan comment; yang mana mereka bukanlah ukuran kebahagiaan, melainkan hanya business metric.
Aku tak mau menukar kebahagiaanku dengan business metric.
Kemarin aku tutup akun Facebook setelah menonton sebuah video di Youtube ketika seseorang akan lebih bahagia jika tidak menggunakan sosmed sama sekali. Facebook, Instagram, Twitter, Snapchat, Path dsb.
Alasanku tutup Facebook berbeda jauh dari Instagram. Karena aku sama sekali tidak ketagihan Facebook dan sudah menginginkannya selama ini
.
Aku akhirnya tutup Facebook setelah jari jempolku gempor unfriend dan unfollow beberapa orang yang curhat ttg kasus pelakor disawer ratusan juta. Mereka menghina-hina si pelakor (tanpa tahu kisah utuhnya). Lalu para teman facebook-ku (yang tak kukenal) itu curhat mengenai kehidupan rumah tangga mereka dan bagaimana mereka bersabar menghadapi suami yang punya cenderung mendua. Ada juga yang saling menjatuhkan dan memusuhi karena perbedaan pandangan politik. Ada yang saling mengkafiri karena temannya membela Ahok. Ada juga yang menebarkan kebencian; teriak boikot, bakar, buang pada karya “Dilan 1990” karena sosok Dilan tidak patut dicontoh seperti sosok Mush’ab bin Umair. Sungguh, perbandingan yang sulit ditelan otak.
Semua orang curhat di Facebook. Mereka mengeluarkan/memancarkan energi negatif. Lalu aku sebagai pembacanya sadar tidak sadar menyerap energi negatif tersebut. Dan ya, pernahkah kita bertanya, apakah scrolling facebook membuat kita merasa lebih baik atau lebih buruk??
Jujur, aku melihat seluruh beranda Facebook-ku berwarna hitam....
Pernah sekali aku mengutarakan isi pikiranku, lalu seseorang berdebat denganku tak habis-habis dan akhirnya aku mengalah. Lalu dia menulis di profilnya sendiri dengan bahasa arab, pemikiranku adalah pemikiran orang-orang buruk di akhir zaman (pembawa misi liberal, antek zionis dsb) ; seakan-akan aku takkan mengerti.
Baru beberapa bulan kemudian, aku tutup Facebook. Aku sadar. Menyadari semua ini terlalu banyak mudharat: Mencari pengakuan, melakukan pembuktian diri yang sebenarnya hanya pencitraan, membaca curhatan pribadi orang yang tak kukenal, melihat orang-orang menyebar kebencian
Dan daripada aku dikatakan antek zionis lagi sama mereka-mereka yang tak kukenal, lebih baik menghabiskan hariku dengan keponakanku yang masih bayi Fatih, mengajak jalan-jalan keliling setiap pagi dan siang dan merasakan gigitannya (dengan empat gigi barunya) di bahuku ketika dia gak mau dilepas dari gendongan... uhhhh....
You might also like these:
Pencarian:
Tidak menghakimi orang lain, aku sadar apa yang sosmed lakukan pada mereka adalah apa yang sosmed lakukan padaku juga. Dengan cara yang aneh, tanganku terasa ‘gatal’ untuk scrolling, melihat update orang lain, lalu posting di Instagram sambil mengantisipasi likes and comments. Berjam-jam setiap hari sehingga merasa bahwa identitasku tergantung dengan apa yang kuposting. Lalu memikirkan postinganku berikutnya bagaimana caranya mendapatkan lebih banyak likes and comments. Dengan cara yang aneh pula, rasanya aku kewalahan sekaligus ketagihan. Instagram juga berisik, bikin stress, depresi, dan membanding-bandingkan diriku dengan orang lain.
Sosial media adalah mata uang sosial. Seperti dolar, sosial media ibarat mata uang yang kita gunakan untuk memberikan nilai pada sebuah barang atau jasa. Dalam sosial media, likes, comments, dan shares menjadi bentuk dari mata uang sosial ini. Dalam marketing disebut "Economy of Attention". Setiap penawar barang/jasa berkompetisi demi mendapat perhatian pembeli dan saat kita (sebagai pembeli) menyukai atau memberi perhatian pada barang/jasa itu, maka itu akan menjadi sebuah transaksi yang terekam untuk memberikan standar nilai. Yang mana bagus banget,kalau yang dijual adalah album atau pakaian. Masalahnya, dalam sosial media, WE ARE THE PRODUCT. Kitalah produknya. Dan kita membiarkan orang lain memberikan nilai/harga pada kita. Contoh, orang yang menghapus foto di Instagram karena tidak banyak yang likes; dalam marketing juga kita berhenti menjual produk yang tidak cepat terjual. -Bailey Parnell
Ada yang bilang semakin banyak followers maka akan semakin banyak manfaat kepada orang lain. Dan dalam hadits Nabi Muhammad, sebaik-baik seorang muslim adalah yang paling banyak manfaatnya pada orang lain. Mungkin hadits ini menjadi legitimasiku yang dulu untuk menggunakan persona (topeng) dan menambah followersku hingga 3000.
Misal: aku upload foto di Instagram seorang anak kecil yang sedang kelaparan di tengah ibu kota dan berjualan tisu kesana kemari dengan sendal jepitnya untuk mencari makan. Lalu aku menulis caption di foto tersebut tentang pelajaran hidup untuk terus berjuang, meningkatkan empati dan terus bersyukur. Ribuan followers-ku lalu like dan berkomentar “waahh kakak idola...!” dsb. Lalu aku berkata pada diriku senidri “aku bermanfaat dan lebih bermanfaat daripada teman-temanku yang lain dengan banyaknya followersku sembari menuliskan caption inspiratif!”. Tanpa aku sadari bahwa identitasku dibentuk atas dasar persona (topeng) bukan diriku sesungguhnya dalam kehidupan. Begitu pula manfaat yang ku sebarkan pondasinya adalah persona (topeng) bukan nilai hidupku itu sendiri.
Tidak ada yang salah dari menulis caption inspiratif. Tapi begini, ribuan orang-orang yang kuinspirasi mungkin bukannya memberi makan anak itu atau membeli tisu dari anak itu, melainkan posting lagi di instagram dan menuliskan caption inspiratif lagi. Mereka melakukannya untuk mendapat pengakuan, terlihat baik, dan menginspirasi orang lain lagi untuk menulis caption inspiratif –lagi. Terus begitu dan begitu.
Misalnya juga, mungkin kita pernah mendapatkan teman kita upload foto dirinya selfie dengan wajahnya yang cantik. Lalu captionnya adalah: "Beauty is not about having pretty face, it is about having a pretty mind, a prettty heart, and a pretty soul.". Atau juga saat hari ibu, seorang anak meng-upload foto bersama ibunya. Di saat yang bersamaan, ibunya sedang mengepel dan menyapu lantai, anaknya tiduran bermain instagram. Sampai akhirnya kita merasa bahwa identitas kita sudah cukup diukur dari postingan instagram. Bukan dari benar-benar apa yang kita lakukan. Kalau kata Frank William Abagnale “Teruslah berbohong sampai kebohongan itu menjadi kebenaran.”.
.
Tentu aku pernah tutup akun dan mengaktifkan akunku kembali, berjanji aku hanya akan memposting yang baik-baik dan berguna saja. Sampai akhirnya kusadari, aku sama sekali tak ingin berada di atas pondasi persona untuk bermanfaat pada orang lain. Ada banyak cara yang lebih mengakar-rumput, manfaat terasa langsung di masyarakat, dan lebih dibutuhkan (misal penyuluhan imunisasi di desa-desa, penyediaan fasilitas belajar bersama dinas pendidikan, dsb) daripada menulis caption inspiratif.
Lalu aku tutup akun lagi sekarang, for real, lebih dari satu tahun mungkin (target tahun ini) dan berpikir tahun depan aku mungkin sama sekali tak akan dan tak ingin menggunakan Instagram seumur hidupku. Aku tak tahu, hanya saja aku sekarang bahagia ketika melakukan satu hal kebaikan yang manfaatnya terasa langsung namun tak seorang pun tahu. Aku tak foto juga tak upload apapun. Ini yang kusebut bahagia. Masih banyak di depan sana menungguku, momen bersama keluarga, teman, kerabat, jalan-jalan, dsb. Tapi hey! Aku tak memikirkan setiap momen berhargaku untuk dijadikan storygram. Dimana setelahnya aku mengantisipasi likes dan comment; yang mana mereka bukanlah ukuran kebahagiaan, melainkan hanya business metric.
Aku tak mau menukar kebahagiaanku dengan business metric.
Kemarin aku tutup akun Facebook setelah menonton sebuah video di Youtube ketika seseorang akan lebih bahagia jika tidak menggunakan sosmed sama sekali. Facebook, Instagram, Twitter, Snapchat, Path dsb.
Alasanku tutup Facebook berbeda jauh dari Instagram. Karena aku sama sekali tidak ketagihan Facebook dan sudah menginginkannya selama ini
.
Aku akhirnya tutup Facebook setelah jari jempolku gempor unfriend dan unfollow beberapa orang yang curhat ttg kasus pelakor disawer ratusan juta. Mereka menghina-hina si pelakor (tanpa tahu kisah utuhnya). Lalu para teman facebook-ku (yang tak kukenal) itu curhat mengenai kehidupan rumah tangga mereka dan bagaimana mereka bersabar menghadapi suami yang punya cenderung mendua. Ada juga yang saling menjatuhkan dan memusuhi karena perbedaan pandangan politik. Ada yang saling mengkafiri karena temannya membela Ahok. Ada juga yang menebarkan kebencian; teriak boikot, bakar, buang pada karya “Dilan 1990” karena sosok Dilan tidak patut dicontoh seperti sosok Mush’ab bin Umair. Sungguh, perbandingan yang sulit ditelan otak.
Semua orang curhat di Facebook. Mereka mengeluarkan/memancarkan energi negatif. Lalu aku sebagai pembacanya sadar tidak sadar menyerap energi negatif tersebut. Dan ya, pernahkah kita bertanya, apakah scrolling facebook membuat kita merasa lebih baik atau lebih buruk??
Jujur, aku melihat seluruh beranda Facebook-ku berwarna hitam....
Pernah sekali aku mengutarakan isi pikiranku, lalu seseorang berdebat denganku tak habis-habis dan akhirnya aku mengalah. Lalu dia menulis di profilnya sendiri dengan bahasa arab, pemikiranku adalah pemikiran orang-orang buruk di akhir zaman (pembawa misi liberal, antek zionis dsb) ; seakan-akan aku takkan mengerti.
Baru beberapa bulan kemudian, aku tutup Facebook. Aku sadar. Menyadari semua ini terlalu banyak mudharat: Mencari pengakuan, melakukan pembuktian diri yang sebenarnya hanya pencitraan, membaca curhatan pribadi orang yang tak kukenal, melihat orang-orang menyebar kebencian
Dan daripada aku dikatakan antek zionis lagi sama mereka-mereka yang tak kukenal, lebih baik menghabiskan hariku dengan keponakanku yang masih bayi Fatih, mengajak jalan-jalan keliling setiap pagi dan siang dan merasakan gigitannya (dengan empat gigi barunya) di bahuku ketika dia gak mau dilepas dari gendongan... uhhhh....
You might also like these:
- 14 Cara Menjadi Pembicara Forum Internasional
- Pengalaman Merit 360 dan Unjuk Ide di PBB
- Kemiskinan, Lingkaran Setan dan Buku-Buku di Meja Pak Presiden
- 15 Manfaat dan Keutamaan Sholat Dhuha
- [Cerbung Fiksi Ilmiah] Indonesia Terakhir Part 1
Pencarian:
- hidup tanpa social media
- bahagia tanpa sosial media
- cara berhenti main sosial media
- berhenti main instagram
- meninggalkan sosial media
- keluar dari sosial media
- tidak bermain sosial media
- berhenti main medsos
- berhenti main facebook
- berhenti main instagram
aku iri dgn paragraf terakhir :"
ReplyDeletesangat menginspirasi. semoga bisa terus bertahan untuk tdk membuka sosial media. ternyata pemikiran org2 yg ingin menutup akun media sosialnya rata2 sama ya. tp jujur, hidup tanpa sosial media itu memang lebih bahagia. semangatt...!!!!
ReplyDeletesukak! aku juga beberapa kali mencoba tutup akun instagram tapi aku buka lagi aku tutup lagi sebulan kemudian ku buka lagi, aku lagi coba utk bertahan lebih lama lagi utk tutup instagram 💪
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete👍💪
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteMemang iya, setiap kali buka sosmed ada rasa2 khawatir. Entah itu apa ya.
ReplyDeleteIngin berhenti dari aktifitas sosmed. Tapi tak bermaksud menutup akun. 😁