Wednesday, March 11, 2020

Symbols for Sale and The Rise of Collaborative Consumption


Pada suatu hari, aku baru saja pulang dari kampus dan aku hendak menyerahkan tempat dudukku di subway pada seorang perempuan. Waktu itu, aku ingin menghampiri temanku yang berdiri tidak jauh. Namun perempuan itu tidak kunjung duduk, lalu yang duduk malah seorang laki-laki asia di sampingnya. Pria itu terlihat tidak enakan, tapi karena dia tetap duduk jadi aku cuekin. Lalu aku membicarakan pria tersebut kepada temanku.

Aku tidak memahami masalah ini sampai temanku tersebut mengatakan bahwa pakaian laki-laki tersebut branded semua. Mulai dari sepatu prada hingga syal louis vitton. Aku periksa harga syalnya di Internet, sekitar 1300 USD. Entah berapa harga semua barang yang melekat di tubuhnya, mungkin bisa ratusan juta? Temanku heran kenapa ada orang seperti itu naik subway, bukannya naik mobil mewah pribadi.

 Mungkin banyak orang yang paham beginian, tapi ada orang kayak aku yang gak ngerti. Dan bersyukur sih, jadi aku gak ngerasa gengsi dan tertekan dengan tekanan sosial yang tinggi. Aku jujur terkejut dengan bagaimana temanku tersebut memberitahuku merek-merek terkenal itu. Kalau aku sendiri ya, aku mencari calan tujuh dolar, hangat dan awet ya sudah cukup. Begitu pula dosenku yang merupakan pakar branding simbol, bahkan meski dia profesornya, semua barang yang dia beli selalu berdasarkan practical values-nya. Bukan simbolnya.

Aku menulis ini di Instastory. Lalu seorang teman berkata bahwa barang branded itu memang lebih bernilai daripada barang bukan branded. Sementara aku berlindung di balik jubah “tidak mengerti.”
Aku mengapresiasi pemikiran dia, karena jika dia beranggapan barang bermerek memang lebih bernilai, maka itu sedemikian adanya. Nilai suatu barang bermerek atau art value itu diperoleh MURNI dari subjektifitas pengguna atau penikmatnya. Meskipun bukan berarti nilai itu ada secara nyata. Satu hal yang pasti menurut profesorku, itu adalah illusi. Karena nilai itu adalah mutlak subjektif. Kalau seseorang menganggapnya ada, ya ada. Kalau gak ada nilainya, ya gak ada nilainya juga.

Jika kalian yang membaca ini adalah orang yang memberi penghargaan lebih sama barang bermerek, ya tidak masalah. Tapi jangan sampai menekan orang lain secara sosial mana yang lebih bernilai dan mana yang tidak.


Dosenku bercerita, suatu hari dipaksa untuk memasuki museum untuk bisa lebih mengapresiasi sebuah seni lukisan. Tapi beliau kesana kemari, gak mengerti. Karena yang beliau pelajari adalah teknisnya, bagaimana menciptakan ilusi dan menjadikan suatu barang (khususnya barang yang diproduksi perusahaan) bernilai lebih di mata orang lain. Tapi bukan berarti seseorang yang S3 di Branding, lalu otomatis menjadikan dia menaruh nilai yang tinggi juga pada simbol-simbol dan art. Karena itu sifatnya intrinsic. Dalam hati manusia. Bukan sesuatu yang dipaksakan dari luar lalu akhirnya ada.

Aku sendiri pernah memasuki museum, keliling sebentar selama 15 menit untuk menghilangkan rasa penasaran. Terus selanjutnya duduk di museum tersebut selama 2-3 jam untuk belajar persiapan UAS.
Faktanya, gak ada peraturan tertulis perbuatanku ini salah atau benar. Tapi jujur, ya ada perasaan bersalah dalam diriku karena orang lain pasti menganggap aku gak bisa menghargai seni. Tapi secara objektfi, tindakanku itu gak bisa dinilai benar atau salah. Tindakanku di museum dinilai dari diriku sendiri. Apakah aku menikmati karyanya atau tidak.

Ada dua buah lukisan, lukisan pertama adalah lukisan asli yang dibuat oleh pelukis legendari A yang sudah meninggal. Harganya jutaan dolar. Satu lagi, lukisan palsu yang dibuat oleh pemalsu lukisan B yang gambarnya persis sama (kualitas cat dan kertas pun sama) dengan lukisan yang asli. Lalu saat semua orang tahui tu palus, lukisan tersebut menjadi sama sekali tidak ada harganya. Nilai jualnya pun turun drastis. Ini mungkin bukti bahwa manusia merupakan makhluk esensialisme, dimana manusia peduli dengan asal muasal suatu benda dan kisah sejarah dibaliknya.

Sedikit mereka tahu misalnya, bahwa lukisan asli yang pertama tersebut berkisah tentang seorang pemalsu lukisan yang melukis sebuah lukisan yang juga gambarnya sama indahnya. Yaitu diam-diam si pemalsu lukisan B.

Siapa yang bisa menilai secara objektfi mana lukisan yang lebih berharga dan bernilai? Lukisan asli atau lukisan palsu? Bagaimana kalian membuktikan bahwa pendapat kalian itu benar? Tidak bisa kan? Ya, itu murni bagaimana kita menginterpretasikannya saja.

Sebagai aktivis sains terbuka, aku pernah berkata bahwa sains terbuka adalah masa depan ilmu pengetahuan. Dunia semakin terbuka sekarang dan para peneliti yang dulu membanggakan simbol-simbol nama jurnal Elsevier maupun indekasasi Scopus, pada akhirnya mereka akan jauh tertinggal. Sekarang yang paling penting adalah manfaat dari isi artikel jurnal tersebut, untuk mencegah banjir atau mengatasi masalah kesehatan. Bukan apakah artikel tersebut dipublikasi di Elsevier atau sekadar repositori kampus.

Begitu pula dalam hal konsumsi dan ekonomi. Dunia menuju yang disebut sebagai collaborative consumption. Siapa yang naik gojek mikirin merek sepeda motor abangnya Honda atau Yamaha? Buat kalian, pada akhirnya yang paling penting adalah membawa kalian dari titik A ke titik B.

Stew Leonard's
Costco

Kalau di Amerika Serikat, terdapat sebuah brand yang bernama Stew Leonards. Sebuah supermarket yang berjualan daging dan bahan-bahan makanan dengan desain supermarket yang disenangi oleh anak-anak. Jalannya pun berkelok-kelok dan penuh taman permainan. Bahkan terdapat sebuah moto besar di dinding supermarket tersebut bahwa: Customers always right.

Landasan dari penciptaan desain supermarket seperti ini adalah agar anak-anak yang dibawa oleh orang tuanya kemari bisa memiliki kenangan indah terhadap Stew Leonards. Jadi mereka akan kemari lagi dengan membawa anak-anak mereka.

Namun kenyataannya pada hari ini, Stew Leonard sudah tidak begitu banyak pengunjung kembali. Padahal orang-orang senang pergi kesana. Pertanyaannya kenapa? Jawabannya adalah konsumsi waktu yang menjadi permasalahan. Orang-orang mulai lelah membuat keputusan tentang brand dan simbol-simbol. Orang tua juga harus merencanakan pergi ke Stew Leonards setidaknya sejak sepekan sebelumnya, sehingga mereka tahu bahwa mereka akan menghabiskan waktu minimal enam jam untuk bermain dengan anak-anak mereka disana. Pada akhirnya, orang-orang lebih senang mengambil keputusan berdasarkan practical values, mana yang harganya paling murah dan menawarkan kecepatan waktu.

Kalau di Amerika, terdapat sebuah supermarket besar lain bernama Costco, yang akan selalu menawarkan produk berkualitas tinggi dengan harga murah dan tempatnya ada dimana-mana yang mudah dijangkau. Beberapa kali aku kesana, tempat itu tidak pernah sepi pengunjung. Karena Costco menawarkan harga murah, pengambilan keputusan cepat dan mudah. Meskipun supermarketnya tidak memiliki desain yang luar biasa cantik.

Kembali lagi, bahwa pada akhirnya manusia akan kembali kepada practical values yang ditawarkan oleh sebuah barang dan jasa. Kemudian, pada dunia masa depan, brand hanya akan menjadi komoditas. Itu artinya murni dinilai berdasarkan practical values-nya. Simbol-simbolnya? Tidak berarti apa-apa.

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

Jangan jadi silent reader, giliranmu bercuap-cuap ria.

Related Posts Plugin by ScratchTheWeb