Penyakit mental
disebabkan oleh setan atau roh jahat sebenarnya berasal dari orang Eropa pada
periode Abad pertengahan yang memandang penyakit mental terkait dengan setan.
Ini adalah kerangka kerja yang paling umum digunakan untuk memahami kesehatan
mental yang buruk pada saat itu (Porter, 1999). Dan memang pada akhirnya masih
mendasari pemikiran orang awam di zaman modern, khususnya di kalangan komunitas
Muslim.
Namun perlu dicatat,
bahwa secara historis, dunia Islam memiliki pendekatan yang sangat berbeda
terhadap gangguan mental. Perspektif Islam terhadap kesehatan mental lebih
holistic, dimana kesehatan mental dan kesehatan fisik yang positif itu saling
berhubungan. Para scholar Muslim saat itu, seperti Ibnu Sina (Avicenna, pendiri
Kedokteran Modern) justru menolak konsep tersebut dan memandang gangguan mental
sebagai kondisi yang didasarkan pada masalah fisiologis.
Dokter dan filsuf di masa
lalu, seperti Abu Bakar Muhammad Bin Zakaria Al-Razi and Abu Zayd Al-Balkhi,
mengakui penyakit mental sebagai wacana medis dan menganjurkan pendekatan yang
seimbang untuk meraih kesejahteraan.
Ini kemudian menyebabkan
pendirian bangsal psikiatri pertama di Baghdad, Irak pada tahun 705 M oleh
Al-Razi. Ini juga rumah sakit jiwa pertama di dunia. Menurut Al-Razi, gangguan
mental dapat diobati dengan psikoterapi dan perawatan obat.
Sebagaimana sabda
Rasulullah, “Tidak ada penyakit yang diciptakan oleh Allah, kecuali ia juga
menciptakan obatnya.” [Shahih Bukhari]
Islam tidak menuntut kita
untuk menjadi manusia super. Jika seseorang mengalami masalah kesahatan mental,
ia dodorong untuk mengatasinya, melakukan Tindakan positif yang mungkin atau
mencari bantuan profesional jika kasusnya klinis. Islam memberi Muslim kode perilaku, etika,
dan nilai-nilai sosial, yang membantu kita dalam menoleransi dan mengembangkan
strategi koping untuk menghadapi peristiwa kehidupan yang penuh tekanan.
Islam mengajarkan
bagaimana hidup dalam harmoni dengan orang lain “Dan carilah pada apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan.” (Al Quran 28: 77)
Al-Ghazali juga menulis
mengenai pentingnya kesehatan psikospiritual dan relasinya dalam hubungan kita
dengan ALLAH SWT. Dalam Ihya Ulumuddin, beliau menulis, “Ketika Tuhan
menginginkan yang terbaik bagi seorang hamba, Dia memberikan kesadaran akan
kekurangannya sendiri.” (halaman 256). Ini menekankan pentingnya kesadaran diri
kita untuk tidak malu menghubungi profesional jika mengalami masalah kesehatan
mental. Pada akhirnya, kesehatan mental itu juga agar kita dapat beribadah
secara sebaik-baiknya kepada Allah SWT.
#30DWCJilid33
#Day18