Saturday, November 13, 2021

Islam, Kesehatan Mental, dan Kesedihan Para Nabi

 


Islam memandang kesehatan mental sebagai sesuatu yang amat penting. Sebagaimana Nabi Muhammad sendiri berkata bahwa beliau diutus untuk pengembangan pribadi dan karakter. “Sesungguhnya saya diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.”  (HR Baihaqi dari Abu Hurairah RA)

Dalam Islam, kesehatan mental, mirip dengan kesehatan fisik, merupakan aspek yang sangat penting dalam kesejahteraan seseorang, karena merupakan bagian integral dari menjalani kehidupan yang sehat dan seimbang.  Kesehatan psiko-spiritual berhubungan langsung dengan kemampuan seorang Muslim untuk mengaktuliasikan tujuan spiritual primordial mereka. Semua manusia diciptakan untuk menapaki jalan yang menjamin keselamatan mereka di akhirat dan mampu memperoleh keridhaan Allah SWT.

Kesehatan dengan demikian, dianggap sebagai kemampuan individu untuk tetap berada di jalan ibadah. Sehingga, apapun yang dianggap merusak fungsi manusia patut diperhatikan.

Sayangnya, bahkan dengan berat dan seriusnya masalah ini, masalah penyakit mental itu sendiri adalah masalah yang tabu untuk dibicarakan baik di masyarakat kita yang lebih luas maupun di dalam komunitas Muslim. Setiap kali masalah ini diangkat, kesalahpahaman pasti akan mengikuti.  Orang awam sering kali melihat gangguan mental berdasarkan model yang berasal dari Pra Islam. Misalnya persepsi bahwa penyakit mental disebabkan oleh azab Allah, evil eye (penyakit ain), sihir, iri hati, atau roh gaib.

Ketika masalah ini dilihat dalam paradigma agama, seperti kerasukan jin, berarti individu tersebut kurang iman atau tidak rajin ibadah. Kemudian, perawatannya dianggap dengan membaca Al-Quran setiap hari, zikir, atau ruqyah.

Jika mengalami gangguan kesehatan mental, banyak orang awam Muslim meminta tolong pada ustadz atau imam mereka. Meskipun membaca quran, doa dan nasihat dapat menangkan hati, tetapi jika masalah yang dialami adalah klinis, intervensi itu mungkin tidak cukup. Selain itu, tentu saja akan ada gap antara seorang mental health profesional dan seorang ustadz dalam membantu pasien mengatasi masalah psikologis mereka yang bersifat klinis.

Wacana gangguan mental disebabkan oleh setan berasal dari orang Eropa abad Pertengahan. Pada akhirnya masih mendasari pemikiran orang awam di zaman modern, khususnya di kalangan komunitas Muslim. Secara historis, dunia Islam memiliki pendekatan yang sangat berbeda terhadap gangguan mental. Perspektif Islam terhadap kesehatan mental lebih holistik, dimana kesehatan mental dan kesehatan fisik yang positif itu saling berhubungan.

Para cendekiawan Muslim saat itu, seperti Ibnu Sina (pendiri Kedokteran Modern) menolak konsep tersebut dan memandang gangguan mental sebagai kondisi yang didasarkan pada masalah fisiologis. Begitu pula para filsuf, dokter, dan cendekiawan Muslim yang lain seperti Ar-Razi, Al-Bakhi, dan Ishaq Ibn Imran.

Bagaimanapun, Islam tidak menuntut kita untuk menjadi manusia super. Jika kita mengalami masalah kesahatan mental, kita dodorong untuk mengatasinya, melakukan Tindakan positif yang mungkin atau mencari bantuan profesional jika kasusnya klinis.

Kita sering berpikir bahwa emosi kita tidak valid atau menekan perasaan kita sendiri. Jika kita merasakan hal yang "tidak seharusnya," kita merasa diri kurang iman. Padahal jika kita merujuk dalam AL-Quran dan As Sunah, duka yang dihadapi oleh para Nabi Allah adalah contoh bagaimana kita dapat secara simultan memiliki kepercayaan pada-Nya dan masih merasakan kesedihan manusia yang sesungguhnya. 

Sebagai contoh, Nabi Muhammad, yang memiliki hubungan paling dekat dengan Allah, merasakan kesedihan yang mendalam setelah kepergian ibunya, istrinya Khadijah, putra-putranya yang meninggal saat masih bayi, dan pamannya Abu Thalib. Nabi Yaqub berduka selama beberapa dekade setelah kematian putranya, Yusuf. 

Membaca tentang pentingnya kesejahteraan psikologis dari perspektif Islam sangat mengharukan bagi saya, karena Islam menekankan pentingnya berhubungan dengan emosi kita. Kita telah menciptakan budaya penindasan kepada diri sendiri padahal sebenarnya, kita didorong untuk mengeksplorasi dan memperdalam hubungan ini dengan diri sendiri.

Apa yang saya temukan paling menarik melalui semua ini adalah pentingnya kesadaran diri dalam Islam. Jika niat kita adalah untuk membantu diri sendiri melalui terapi, perawatan diri, dukungan profesional - ini adalah tindakan ibadah, karena kitasecara inheren memperkuat kemanusiaan dan keimanan. 

Insya Allah kita dapat mengubah nilai-nilai budaya kita untuk memasukkan esensi sejati Islam: perdamaian eksternal dan internal.

 





#30DWCJilid33

#Day19

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

Jangan jadi silent reader, giliranmu bercuap-cuap ria.

Related Posts Plugin by ScratchTheWeb