Thursday, July 29, 2010

Rainbow at The School Part 2


Jie Fei mengendap-endap masuk ke dalam kelas 3-A sambil berjinjit. Kelas itu sedang sepi, karena tiga puluh muridnya masih berada di Laboratorium Komputer. Dia mendekati meja Huang Zi yang berada di dekat jendela, sebuah tas hitam berada di atas meja tersebut.

“Ini pasti meja Kak Ho,” gumam Jie Fei. “Kak Ho, bolehkah aku membuka tasmu?” tanyanya. “Ehem! Untuk apa?” Jie Fei mendehem seraya meniru suara Huang Zi. “Aku tidak ingin kau kelaparan, jadi aku membuatkan ini!” Jie Fei menyodorkan kotak makanan ke kursi kosong tersebut. Dia mengatupkan bibirnya sembari berhati-hati memasukkan kotak makanan itu ke dalam tas berwarna hitam tersebut.

“Kenapa kau datang lagi?” tanya seseorang beberapa langkah di belakang Jie Fei. Jie Fei tersentak, dia membeku seperti patung. Perlahan tapi pasti dia menoleh ke belakangnya dan melihat seluruh murid kelas 3-A berdiri di belakangnya, mereka pasti baru saja tiba dari Laboratorium Komputer. Semua mata melihatnya dan sorotan yang paling tajam tentu saja sorotan mata orang itu. Ho Huang Zi.

“Kenapa kau datang lagi?!” tanya Huang Zi dengan nada suara lebih tinggi. Lelaki itu berjalan mendekatinya. “Sudah cukup?”

“Apa?” pekik Jie Fei.

“Berhentilah mendekatiku!”

“Tapi..., kenapa?”

“Selamanya aku tidak akan pernah menyukaimu, apa kau mengerti?”

“Tidak bisa. Setiap hari aku selalu memikirkanmu, berikan aku kesempatan untuk dekat denganmu, Kak Ho!”

Huang Zi mendesah kesal. “Masalahnya, sejak awal aku sudah membencimu, kau tahu kenapa? Karena kau bodoh! Jadi enyahlah dari sini!”

“Aku...” Jie Fei menunduk merasa terpojok. “Aku sudah lompat dari gedung tinggi seperti katamu. Kau tahu resikonya jika aku tidak mendarat di balon kan? Malam itu terlalu banyak angin dan bisa saja…”

“Aku tidak peduli.”

“Huang Zi, aku tahu ini bukan urusanku. Tapi kau hanya tinggal memberinya kesempatan,” ujar salah seorang murid laki-laki diantara puluhan murid yang berkerubung tersebut.

“Lagipula, sepertinya gadis ini benar-benar tulus menyukaimu!” ujar yang lain.

“Berikanlah dia kesempatan, tidak ada ruginya bagimu jika dia mengejarmu!”

“Kalian tidak pernah berkata begitu dengan gadis-gadis lain yang mengirim padaku surat cinta,” ujar Huang Zi.

“Itu karena dia sudah melompat dari gedung!” jawab seorang murid.

“Bagaimana kalau yang melompat dari gedung itu bukan dirinya?” tanya Huang Zi. “Bagaimana kalau dia menyuruh orang lain berpakaian seperti dirinya? Gambar itu terlalu jauh dan wajahnya tidak terlihat.”

“Aku benar-benar sudah lompat!” kata Jie Fei, walaupun pada video itu memang bukan dirinya, tapi dia kan sudah melompat seperti keinginan Huang Zi.

“Siapa yang tahu kau berbohong?”

“Aku tidak berbohong!”

“Buktikan padaku!”

“Baik! Aku akan melompat lagi sebanyak yang Kak Ho inginkan!”

“Jangan gila!”

“Aku memang sudah gila semenjak kemunculan Kak Ho tujuh tahun lalu! Aku lebih dahulu menyukaimu dibanding gadis-gadis lainnya, jadi kumohon berikan aku kesempatan!”

“Kau hanya mencintai dirimu sendiri dan terobsesi denganku. Jika kau benar mencintaiku, maka kau tidak akan membuatku terbebani seperti ini,” kata Huang Zi.

“Tidak, aku yakin dengan perasaan ini. Aku mencintaimu!”

“Aku capek. Terserah!” Huang Zi berbalik dan melangkah pergi melewati kerubungan murid-murid kelas 3-A itu. Lelaki itu keluar dari kelas, mungkin mau ke kantin sekolah. Tempat biasa yang dia kunjungi ketika istirahat kedua.

Murid-murid kelas 3-A itu langsung kembali menuju bangkunya masing-masing, sementara seorang murid perempuan mendekati Jie Fei dan merangkul pundaknya. “Ini pertama kalinya aku melihat Huang Zi bicara begitu banyak dengan wanita. Namamu siapa?”

“Aku Jiu Jie Fei dari kelas 2-F. Kakak sendiri?”

“Kau bisa panggil aku Xiao Lin.”

“Kak Xiao Lin, apa tadi itu artinya dia memberiku kesempatan?” tanya Jie Fei.

“Jangan yakin dulu. Kalau mau mengejarnya kau harus kuat! Kau tahu hampir semua gadis di sekolah ini menyukainya dan tidak ada seorang pun yang akhirnya berbekas di benak Huang Zi. Bahkan namanya sekalipun.”

“Kau tahu banyak tentang Kak Ho?”

“Tidak. Tidak ada satupun di kelas ini yang kenal akrab dengannya. Dia sepertinya tidak mudah berteman. Bahkan dia tidak pernah berkata ‘kita’ dengan siapapun.”

Jie Fei terdiam. Dalam beberapa detik dia menyadari sesuatu. Segera saja dia mengeluarkan kotak makan di dalam tas Huang Zi dan berlari keluar.


***


Jie Fei berjalan menyusuri koridor sekolah. Dia membawa kotak makanan di tangan kirinya dan tangan kanan bergaya seakan-akan akan menyulap kotak itu. “Simsalabim… setelah kau memakan ini kau akan jatuh cinta padaku!”

Ia pun tiba di kantin sekolah, dan matanya berkeliling ke seisi ruangan hingga akhirnya mendapati Huang Zi sedang makan sendirian di sebuah meja. Jie Fei tersenyum dan berjalan mendekati lelaki itu.

“Ni Hao!” sahutnya ceria sembari duduk di salah satu kursi. Tangan Huang Zi yang bergerak untuk memasukkan makanan ke dalam mulut lewat sumpit berhenti bergerak ketika menyadari kehadiran Jie Fei. Setelah itu ia kembali melanjutkan makannya. “Kak Ho mau memakan masakan buatanku?” Jie Fei menyodorkan kotak makanan tersebut.

“Tidak.”

Jie Fei menghela nafas, “Hei, mau aku ingatkan kembali tentang tujuh tahun yang lalu?”

“Tidak.”

“Kenapa Kak Ho selalu menjawab tidak?”

“Bukan urusanmu. Sebaiknya kau pikirkan dirimu yang mulai dibicarakan!”

Jie Fei menoleh ke belakangnya dan melihat gadis-gadis di kantin sekolah sedang melihat ke arahnya sambil berbisik dengan teman mereka masing-masing. Jie Fei kembali melihat Huang Zi. “Jika mereka tidak lagi membicarakanku, apa Kak Ho mau mendengar peristiwa tujuh tahun yang lalu? Apa Kak Ho benar-benar tidak mengingatnya?”

“Apa itu penting bagiku?”

“Mungkin tidak. Tapi itu penting bagiku,” kata Jie Fei. “Waktu itu Kak Ho lewat di depanku, setelah itu Kak Ho mengatakan sesuatu. Kak Ho benar-benar tidak mau mendengarnya?”

“Apa kau tidak mengerti arti kata ‘tidak’?”

“Baiklah. Aku tidak akan mengatakannya!” ujar Jie Fei lalu melangkah pergi meninggalkan Huang Zi. Setelah beberapa langkah, Jie Fei kembali lagi mendekati meja Huang Zi. “Yakin tidak mau dengar?”

“Tidak mau.”

Jie Fei mengatupkan bibirnya seraya menghela nafas. Putus asa. Dia lalu berjalan pergi meninggalkan Huang Zi sendirian di mejanya. Seorang murid lewat di depan Jie Fei, dia Wen Tse, teman satu kelasnya di 2-F yang sudah membantunya membobol komputer server di Laboratorium Komputer untuk memutar video itu.

“Wen Tse!” sahut Jie Fei. Langkah Wen Tse terhenti dan dia menoleh ke arah gadis tersebut. “Aku ingin berterimakasih atas bantuanmu.”

“Sama-sama,” katanya sembari tersenyum.

“Aku tidak pernah sebelumnya hanya mengucapkan terima kasih. Aku harus memberimu sesuatu yang kau suka. Kau suka apa?”

“Apa yang bisa kau beri.”

“Apa?”

“Kotak makanan itu, itu makan siang untukku kan?”

“Sebenarnya…”

Wen Tse langsung mengambil kotak makanan tersebut dan membukanya. “Ini buatanmu?” tanya Wen Tse.

“Iya. Makanan ini sebenarnya bukan untukmu, tapi orang itu tidak mau menerimanya.”

“Ho Huang Zi,” kata Wen Tse dan Jie Fei mengangguk kecil. “Jika dia tidak mau memakannya, untukku saja! Boleh?” ujar Wen Tse.

“Tentu saja! Habiskan ya!”

Wen Tse berjalan menuju sebuah meja dan Jie Fei ikut duduk bersamanya. Wen Tse membuka tutup kotak tersebut dan mulai memakannya. Ketika makan satu suapan, lelaki itu mengunyah dengan pelan.

“Bagaimana?” tanya Jie Fei penuh antusias.

“Lumayan, rasanya unik.”


***


Wen Tse berdiri di depan cermin, tangannya menekan westafel kamar mandi khusus pria tersebut. Da memuntahkan seluruh makan siangnya tadi. Kalau mau jujur, makanan buatan Jie Fei itu sebenarnya sangat tidak enak dan dia tersiksa ketika mengunyahnya.

“Makanan apa itu?” gumamnya lalu mencuci wajah. Dia lalu menatap wajahnya di cermin. “Wen Tse, kau harus berjuang untuk mendapatkan hatinya,” ucapnya lagi. Dia pun tersenyum tipis menghadap cermin. “Setelah itu kau bisa menghancurkannya,” katanya kecil sekali, mungkin hanya terdengar oleh telinganya saja.

“Kenapa kau tidak jujur padanya saja?” Huang Zi muncul dari dalam salah satu kamar mandi. “Kau menyukai gadis itu kan?”

Wen Tse terperangah melihat Huang Zi ada disana, “Kau mendengar apa?”

“Aku mendengar semuanya. Kau berpura-pura menikmati makanan siluman itu karena kau menyukai gadis itu. Lebih baik kau katakan saja tentang perasaanmu padanya, untuk kebaikan dia dan dirimu,” ujar Huang Zi lalu melangkah pergi keluar dari kamar mandi.

Wen Tse terdiam, sepertinya Huang Zi tidak mendengar kalimat terakhir. Hampir saja, aku harus lebih berhati hati, batinnya.

Sementara itu, Huang Zi berjalan di koridor sekolah. Dalam hatinya berkata, aku mendengar kau berkata ingin menghancurkan gadis itu, tapi aku tidak peduli.


***
 

Saturday, July 24, 2010

Rainbow at The School Part 1


 


Ketika bel istirahat telah berdering, dan langkah kaki murid-murid keluar dari kelasnya masing-masing. Bergedebuk di lantai koridor sekolah. Jie Fei langsung menuju kelas 3-A, sejak tadi siang ia sudah mengikuti cowok itu terus secara diam-diam, Ho Huang Zi, kakak kelas idamannya . JIe Fei menghampiri seorang laki-laki yang juga merupakan murid di kelas 3-A, laki-laki itu tampaknya hendak menuju suatu tempat tapi tertahan Jie Fei.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya.

“Bisa panggilkan Kak Ho?”

Lelaki itu mengernyit ke arah Jie Fei. Rasanya dia ingin bertanya, kenapa tidak panggilkan sendiri? Tapi setelah ada jeda beberapa lama, diapun masuk ke dalam kelasnya. Tidak lama kemudian, lelaki itu keluar lagi dan meneruskan langkahnya pergi. Sementara Huang Zi muncul dengan tampangnya yang biasa. Beku.

“Apa kau mengenalku?” tanya Jie Fei, “tujuh tahun yang lalu?”

“Tidak.”

“Tentu saja. Sudah tujuh tahun berlalu…,” kata Jie Fei dengan nada kecewa. Mungkin kejadian tujuh tahun lalu itu tidak berarti bagi Huang Zi. Tapi sangaaat berarti bagi Jie Fei. Itu telah merubah dirinya.

“Ada perlu apa? Aku harus segera ke perpustakaan.”

“Ide bagus! Kita bisa bicara disana!”

“Perpustakaan adalah tempat membaca, bukan mengobrol,” kata Huang Zi. “Katakan sekarang!”

Jie Fei tersenyum, rasanya Huang Zi akan mendengarnya. Dia tersenyum. “Mmm…, aku…”

Huang Zi masih berdiri didepannya, menatapnya.

“Aku…”

Huang Zi mengangkat alis…

“Ada yang ingin kusampaikan tapi aku sangat malu mengatakannya…” kata Jie Fei sambil menunduk. Huang Zi menyeringai seraya mendengus kesal.

“Membuang waktu!” kata Huang Zi lalu berjalan pergi. Jie Fei tersentak, dengan segera dia langsung menahan tangan Huang Zi. Huang Zi menoleh dan menyingkirkan tangan Jie Fei seakan-akan tangan Jie Fei kotor oleh sesuatu.

“Aku sudah berjuang untuk bisa berbicara denganmu, tapi setelah berlatih tujuh tahun aku tetap tidak sanggup. Karena itu aku menuliskannya disini.” Gadis itu memberikan sehelai kertas yang dilipat pada Huang Zi. Menaruhnya di telapak tangan lelaki dingin tersebut.

“Apa ini?”

“Surat cintaku padamu…”

“Apa?” pekik Huang Zi. “Waktu tujuh tahun telah kau jadikan sampah. Hanya untuk memberikan ini?”

“Apa kau tidak senang?”

“Senang? Kenapa harus senang?”

“Semua teman-temanku, maksudku mantan teman-temanku dan pelay… maksudku orang-orang disekelilingku berkata kalau aku sangat cantik. Kau tidak senang mendapat surat cinta dari gadis cantik sepertiku?” tanya Jie Fei yang baru saja tidak percaya Huang Zi berkata dia tidak senang mendapat surat cinta darinya.

“Aku tidak akan berkata kau jelek, tapi kau biasa saja seperti gadis murahan lainnya. Dalam seminggu aku mendapat surat cinta 10 kali. Apa kau tahu itu?”

“Tapi aku benar-benar menyukaimu, maksudku, mencintaimu. Tidak seperti gadis yang lain…”

“Semua gadis yang mengirimiku surat cinta berkata seperti itu. Itu sangat klise,” kata Huang Zi.

“Aku benar-benar ingin membuat Kak Ho bahagia. Tolong berikan aku kesempatan!”

Huang Zi terdiam sejenak, dia menghela nafas. “Apa kau akan melakukan segala perintahku?”

“Iya, apa saja!” ujar Jie Fei penuh antusias.

“Pergilah ke atas gedung dan lompat!”

“Apa?” Jie Fei tidak percaya dengan pendengarannya.

“Kau tidak mencintaiku. Kau mencintai dirimu sendiri dan angan-angan. Menyingkirlah agar kau tidak segera ditertawakan.”

Jie Fei menunduk, dan tidak segera menyingkir. Dia mengatupkan bibirnya rapat-rapat, dan meledak beberapa detik kemudian. “JIKA ITU MAUMU AKAN KULAKUKAN! AKU AKAN LOMPAT DARI GEDUNG YANG SANGAT TINGGI!!!”

Huang Zi terperangah, dia membelalakkan matanya. Tapi kembali dengan ekspressi bekunya semula. “Terserah!” katanya lalu melangkah pergi menuju perpustakaan. Tempat biasanya ketika istirahat pertama.

***

“Ketika aku ingin membuktikan ketulusanku, haruskah aku lompat dari gedung setinggi ini?” tanya Jie Fei bertanya pada dirinya sendiri. Hembusan angin menampar wajahnya dan membuat rambut panjangnya berkibar seperti bendera. Dia benar-benar sedang berada di atas gedung tinggi, membiarkan kakinya melayang di atas ratusan meter dari permukaan tanah. Taiwan begitu dingin malam ini, berhiaskan lampu-lampu menyala seakan ribuan kunang-kunang yang berasal dari bangunan-bangunan yang berdiri dengan angkuh.

“Haaah…” Jie Fei mengeluarkan nafas dari mulutnya yang lalu menjelma menjadi asap putih. Ia tidak sedang merokok, tapi karena udara begitu dingin dan menyeruak ke segenap pori-pori membuat nafasnya seperti asap putih yang berkepul. Ini saatnya aku lompat, batin Jie Fei dan menghempaskan tubuhnya ke depan dengan mata terpejam. Tubuhnya meluncur dengan cepat membalap kecepatan lift gedung. Ketika lompat dari ketinggian seperti itu, sebuah bayangan langsung berkelebat. Peristiwa tujuh tahun lalu yang telah membuatnya seperti ini…

***

7 tahun yang lalu…

Makiko adalah seorang anak bungsu dari pengusaha paling sukses di Jepang. Dia adalah anak yang paling sering dimanja daripada keempat kakaknya. Dia juga yang paling banyak pelayan pribadinya. Dia memiliki apapun yang diinginkan anak-anak seusianya. Kecuali… teman.

Makiko sedang ulang tahun, usianya sudah menginjak 10 tahun. Pakaiannya sangat cantik dan banyak anak perempuan iri dengan gaun ulang tahun berwarna biru yang dia dikenakan. Semua orang dari kalangan terpandang datang hanya untuk menghadiri ulang tahunnya. Ini adalah hari yang benar-benar menggembirakan bagi Makiko.

Anak-anak seusianya menghampiri Makiko. Mereka berdecak kagum dengan semua yang dimiliki Makiko. Makiko dikelilingi oleh anak-anak itu hingga akhirnya dia mengajak mereka bermain dengan permainan balap mobil dan roller coaster, hadiah ulang tahunnya yang baru. Semua teman-temannya menyambut dengan gembira, mereka bermain sepuasnya di pekarangan rumah mewah tersebut.

Seorang anak laki-laki berusia 11 tahun melewati Makiko. Begitu saja. Tepat di depannya. Tanpa melihat sedikiiit pun. Hati Makiko mencelos. Apa anak laki-laki itu tidak melihatku?

“Wait!” Makiko memberhentikan anak laki-laki itu yang tidak lain adalah Ho Huang Zi. Dia sudah mahir berbahasa Inggris karena dia pernah tinggal di Inggris selama beberapa tahun. Untungnya, Huang Zi juga mahir berbahasa Inggris di usia semuda itu karena dia mudah menyerap berbagai pelajaran. Komunikasi mereka pun tidak terhambat. “Kau tidak melihatku, kan? Katakan kau tidak melihatku!”

“Aku melihatmu…”

“Bohong! Kalau begitu kenapa kau melewatiku begitu saja?! Apa kau tahu akulah anak perempuan manis yang sedang ulang tahun sekarang!”

“Aku tidak peduli.”

“Tidak peduli? Heh, aku ini bisa memberimu apapun seperti mereka. Kau mau apa? Mainan? Kue? Aku akan memberikannya. Bagaimana kau bisa berkata tidak peduli?”

“Membuang waktu.”

“Kau tidak bisa menolak keinginanku!”

“Aku bisa.”

“Aku punya semuanya! Kau tidak mungkin menolak keinginanku karena keinginanku akan terkabulkan. Pasti!”

“Kau tidak memiliki apapun kecuali uang. Kau tidak memiliki teman dan teman-temanmu itu bukan teman sejati. Mereka akan hilang ketika kau tidak bisa lagi memberikan apapun. Dan aku tidak mau menjadi mereka, temanmu. Kau mengerti?”

Makiko membelalakkan matanya. Terkejut dengan apa yang baru saja dikatakan anak laki-laki berusia sebelas tahun itu. Ini pertama kalinya, dalam hidupnya, seseorang mencampakkannya hingga ia benar-benar sakit hati. “Kau… iri padaku, kan?” tanyanya dengan bibir gemetar.

“Iri? Kenapa harus iri?” tanya Huang Zi. “Aku kasihan padamu,” ujarnya dengan nada kalem lalu melangkah pergi menuju orang tuanya yang sedang mengobrol di dekat air mancur.

“Nona, ini bando yang kau inginkan…” seorang pria tua bernama Paul datang menghampiri Makiko sembari menyodorkan bando berwarna biru serasi dengan gaun Makiko. Makiko mengambilnya tapi setelah itu langsung dia lemparkan ke wajah pria tua yang tidak lain adalah pelayan pribadinya tersebut.

“KAU SAJA YANG MEMAKAINYA!” kata Makiko lalu berjalan pergi dengan menghentakkan kaki dan melipat tangannya kesal.

***

Jie Fei terjatuh ke sebuah balon besar berbentuk telapak tangan yang memang sejak tadi berada disana. Seorang pria tua dengan rambut yang disisir rapih dan jas yang terkancing sampai leher langsung menghampirinya. Dia Paul. Merekapun lalu bicara dalam bahasa Jepang.

“Nona, anda tidak apa-apa?” tanyanya.

“Kau sudah buatkan videonya belum?” tanya Makiko.

“Maaf, saya tidak mengerti cara menyalakan apa ini?”

“Handy Cam?”

“Iya, lagipula saya sangat khawatir dengan keselamatan anda, nona.”

Jie Fei mendesah kecewa. “Di atas dingin sekali pula dan liftnya mati, aku tidak mau menaiki 20 lantai dengan menaiki tangga. Bagaimana kalau kau mengenakan pakaianku dan wig dengan bando agar wignya tidak lepas untuk lompat dari atas sana dan aku yang merekam? Bagaimana?”

“Tapi…”

“Aah, sudahlah. Tidak akan ketahuan karena sangat tinggi. Bagaimana?”

“Ba.. baik!” katanya. Dia memang diperintahkan untuk mematuhi semmuuua keinginan Jie Fei, maksudku, Makiko. Mereka adalah orang yang sama. Makiko belajar bahasa Mandarin selama tiga tahun, dia ingin menjadi cewek yang mudah berkomunikasi dengan pangeran pujaannya yang telah menyadarkannya tujuh tahun lalu. Huang Zi benar, ketika Makiko sakit, teman-temannya tidak ada satupun yang menjenguknya. Mereka hanya menginginkan harta, mainan, dan kue Makiko saja. Mereka tidak ada ketika Makiko membutuhkan mereka.

***

Puluhan komputer berbaris dan berjajar sangat rapih dalam laboratorium sekolah elit di Taipei ini. Seluruh murid kelas 3-A sedang berada disana, mereka tengah mengikuti pelajaran komputer. Pak Guru Ming sedang menjelaskan panjang lebar tentang materi bisnis online di sebuah layar besar yang merupakan tampilan dari komputer server. Huang Zi juga berada disana, duduk mendengarkan.

“Affiliate Marketing adalah kita menjual produk orang lain dan kita akan mendapat komisi dari setiap penjualan yang berhasil kita lakukan,” katanya. Pria berusia 44 tahun itu hendak melanjutkan pelajarannya tapi terpotong. Layar yang digunakannya untuk menyampaikan secara visual kepada murid tiba-tiba menjadi berwarna hitam seluruhnya. Dan seluruh layar komputer yang berada dalam ruangan itu juga. BLAM! Menjadi gelap. Bukan. Bukan mati karena beberapa detik kemudian, tampilan dalam layar itu berubah menjadi sebuah video, seorang “gadis” melompat dari gedung tinggi. Selanjutnya, layar kembali hitam dan kini muncul video Jie Fei sedang duduk.

“Kau sudah tahu aku sangat mencintaimu, jadi aku tidak akan malu lagi mengatakannya di depan semua orang…”

Para murid dan guru langsung heran. Huang Zi terkejut, dia langsung merasa tidak nyaman.

“Walaupun kau tampan, tapi bukan itu yang membuatku mencintaimu. Kau telah merubah pemahamanku tentang teman. Walau kau pernah bilang tidak mau berteman denganku, bagaimana kalau kita… pacaran? Ehehe, aku memang sangat aneh. Tapi aku sudah membuktikannya kan? Aku benar-benar melompat dari gedung. ”

“Ada apa ini?!!” Pak Guru Ming terlihat sangat heran bukan main, dia menuju server untuk mengembalikan tampilan seperti semula. Tapi tidak bisa.

“Aku mencintaimu, Huang Zi…” ujar Jie Fei. Layar pun langsung kembali seperti semula dan kini Huang Zi menyadarinya. Semua mata menuju ke arahnya dengan sorotan yang membuat tidak nyaman.

***

Selanjutnya:

Thursday, July 22, 2010

The Authority Part 3 (Final)



Di London, Minggu Natal, saljunya putih sekali hingga menyakitkan mata bila kita melihat keluar dari kedai minum dan melihat orang berjalan keluar. Mereka berjalan di atas sepanjang jalan yang sudah menjadi rata karena dilindas kereta salju, dan menguning terkena air kencing kuda. Berapa kali musim dingin sudah dilewati Devon di London? Sepuluh kali! Yaitu semenjak pindah SMA ke London dari Jakarta. Ia memilih ikut ayahnya.

Waktu itu di perpustakaan Oxford, Devon menutup buku yang dia baca dan merasakan (bukan mendengar) seseorang sedang mengawasinya di belakang. Devon segera menoleh tapi ternyata tidak ada siapa-siapa.

Sementara itu, Rifki sedang sembunyi di balik rak buku.

-ooOoo-

Di Share House, Pagi hari, David sedang berkutat di depan laptopnya. Dia tersenyum penuh kemenangan mengetahui jebakannya berhasil. Dia telah mendapatkan data-data dari laptop Devon sekarang.

“Lihat ini!” kata David. Rifki, Henry, Harry, dan George yang tadi sibuk dengan urusannya masing-masing langsung mendekat ke David dan melihat apa yang baru saja didapatkannya. “Ini adalah data-data di laptop sepupumu itu, Rifki.”

“Benarkah?” tanya Rifki melihat sekumpulan data-data itu. Membukanya satu demi satu. “Iya, sepertinya kau benar!”

“Hore! Kau memang hebat, saudaraku!” ujar George.

“Sst..., jangan berisik! Di rumah ini juga tinggal putri Danny Hogan,”

“Dia wanita yang baik. Kurasa tidak mungkin dia adalah mafia,” ujar Harry.

Rifki yang tadi mengecek kumpulan data-data itu mendapati sesuatu, “mereka malam ini akan berkumpul di atas gedung kondominium yang tidak terpakai. Dimana itu?” tanyanya setelah menganalisa cookies Devon Murray.

“Sepertinya aku tahu kondominium yang tidak berpenghuni. Cukup jauh dari keramaian kota,” ujar David.

Tidak lama kemudian, terdengar suara kepalan tangan mengetuk pintu.

“Masuk!” kata George. Helen Hogan masuk dan dia menatap Rifki seakan hanya bicara padanya. “Steve, seseorang mencarimu!” kata Helen Hogan.

“Mencariku?” tanya Rifki.

“Maksudku, mencari kalian semua.”

“Katakan padanya suruh kesini!” kata Rifki.

“Maksudnya, bisa kau panggil dia kesini, Helen?” tanya Harry lebih halus.

“Of course!” kata Helen lalu melangkah keluar. Beberapa saat kemudian, seorang pria 44 tahun yang tidak lain adalah ketua tim penyelidikan FBI masuk. Dia William Grasp. Setelah masuk, pria itu menutup pintu kamar mereka.

“Bagaimana?” tanya William.

“Kami baru mendapatkan data dari laptop Devon Murray,” ujar Rifki.

“Hanya itu? Rifki, ingat! Tugas ini adalah tanggung jawabmu, aku harap kau bekerja cepat menangkap Devon Murray!”

“Baik, sir!”

-ooOoo-

Siang harinya...

Rifki menyamar menjadi mafia diantara puluhan mafia di atas gedung setengah jadi ini. Shelby Wilson pasti mengenalinya sebagai Steve Hallberg, yang kemarin telah menerima menjadi anggota mafia. Rifki terperangah kaget bukan main, dia melihat Harry datang bersama Helen Hogan juga ke tempat itu. Rifki mengucek matanya mengharap dia tidak salah lihat.

“Aku ingin memberi tahu untuk kalian semua! Sekarang, di sini ada seorang mata-mata!” kata Harry lalu mendelikkan matanya ke Rifki yang berada di barisan belakang mafia. “Dia ada disana!” kata Harry lalu menunjuk Rifki. Semua mata melihat ke arah Rifki. Sialan! Dia dijebak!

Harry berjalan mendekati Rifki. “Teman, maafkan aku. Tapi aku sejak awal memang bukan FBI. Aku mata-mata,” katanya. “Aku mendapat kabar dari sepupumu kalau dia kebobolan oleh David. Aku memanfaatkannya dengan membuat seolah-olah akan ada pertemuan mafia disini dengan membuat data palsu. Itu semua agar menjebakmu. Tapi kau tenang saja, aku tidak memberitahu Devon soal kau masih hidup. Aku ingin Devon tidak pernah tahu hingga kau telah benar-benar mati!”

Rifki membelalakkan matanya kaget. “Apa maumu sebenarnya?”

“Membunuhmu,” katanya lalu mengarahkan pistol tepat ke kepala Rifki. Tapi tiba-tiba, pistol itu jatuh. Bangunan setengah jadi itu berguncang, seperti mau ambruk. Rifki memanfaatkan kesempatan itu untuk kabur. Secepatnya.

-ooOoo-

Di dalam boks telepon, Rifki mencoba menelepon ketiga rekannya, Henry, George dan David. Tapi sudah sejak tadi nomor mereka tidak juga aktif-aktif. Ada apa ini? Rifki keluar dari boks telepon karena ada orang lain yang juga tengah mengantri. Pria yang mengantri setelahnya sedang membaca sebuah koran hangat, halaman pertamanya bertuliskan: “Tiga Orang Remaja Tewas Dimutilasi Dalam Sebuah Share House”

DEG! Rifki benar-benar terkejut sekarang. Permainan mafia Eropa memang benar tidak disangka-sangka. Tiga remaja itu tidak lain adalah Henry, George, dan David! Dan pelaku mutilasinya adalah Bibi Ann sendiri. Rifki merebut koran itu dari pria tersebut.

“Hey!” kata pria itu tidak terima.

“Kau masuk saja!” ujar Rifki menunjuk boks telepon dengan mukanya. Ia lalu membaca koran itu. Diduga Bibi Ann sejak awal terkena gangguan mental seperti yang tertulis dalam surat kabar tersebut. Rifki langsung menduganya, Bibi Ann pasti kabur dari rumah sakit jiwa karena dibantu oleh mafia. Dan yang akhirnya menentukan mereka tinggal dimana sewaktu memata-matai Devon Murray adalah Harry Compton. Dan Helen Hogan, dia pasti menaruh obat tidur di sarapan ketiga rekannya sehingga mereka tidak menyerang ketika dimutilasi. Benar-benar rapih.

Rifki terdiam dan penyesalan besar menyesaki ruang dadanya. Menangkap Devon Murray adalah rencananya, dan karena itu ketiga rekannya mati terbunuh. Rifki melangkah pergi dengan jalan gontai. Entah hendak kemana.

-ooOoo-

Seseorang mengetuk pintu secara beruntun, Nida sadar dia harus segera membuka pintu. Ketika wanita itu membukanya, ia menekap mulut dengan kedua tangannya tidak percaya. Matanya nanar. “Rifki! Kau...? Kau masih hidup...?”

“Dimana suamimu?” tanya Rifki langsung berjalan masuk. Michael Murray keluar dari kamarnya dan melihat Rifki sedang berada di ruang tengah. Pria itu membelalakkan matanya, kaget luar biasa.

“Kau! Mahatir?!”

“Paman, dimana Devon?!”

“Tunggu! Bagaimana kau bisa masih hidup?!”

“Kejadian kematianku itu hanya sandiwara agar Devon mengira aku sudah mati. Sekarang aku ingin dia melihatnya sendiri kalau aku masih hidup dan siap menangkapnya!” kata Rifki.

“Aku sudah tahu kau memang masih hidup!” ujar Devon muncul dari pelosok ruangan.

“Kau ditangkap!” kata Rifki dan memperlihatkan lencana FBI nya.

Devon menyeringai, “lencana itu sudah tidak berguna karena kau bukan FBI lagi!”

“Apa?” pekik Rifki.

“Data tentang dirimu di komputer internal FBI dan kepolisian sudah kuhapus semuanya, Steve Hallberg!” ujar Devon. “Tidak ada yang tahu kau adalah FBI, ketiga temanmu pun telah mati”

“Ketua tim penyelidikan FBI, William Grasp!”

“Kudengar dari Helen Hogan, setelah pria itu keluar dari kamarmu, Hogan langsung menembak kepalanya dengan pistol yang digulung handuk, hingga desingannya meredem.”

Rifki mengepalkan tangannya kesal.

“Ada apa ini?” tanya Nida pada suaminya itu.

“Bukan apa-apa. Aktingku bagaimana? Bagus kan?” ucap Devon yang baru menyadari ada istrinya ada disana. “Aku hanya sedang berakting. Ingin menyaingi Rifki yang dulu berakting meninggal di depanmu!”

Nida ingin sekali menampar suaminya. Bermain-main? Kenapa harus seserius ini? Rifki juga, jadi kejadian itu hanya sandiwara? Nida menghentakkan kakinya melangkah pergi. Masuk ke kamarnya dengan membanting pintu.

“Katakan padaku, enam tahun lalu kau menerima tawaran Steven Herald?” tanya Michael Murray.

“Iya. Lalu?” tanya Devon.

“Aku lebih baik mati daripada punya anak sepertimu!” ujar Michael lagi.

“Siapa peduli? Lagipula uang datang kepadaku seperti hujan deras yang tidak kunjung berhenti. Kau tidak mungkin dapat melewatinya melainkan kau kecipratan airnya sedikit karena memakai payung. Sekarang awan di atasku sedang mendung, aku akan hujan-hujanan setelah membunuhmu, Rifki!”

BUG! Sekepal tangan mendarat di pipi Devon sangat keras. Rifki meninjunya. “KAU TELAH MEMAKAN UANG HARAM! AKU TAHU KAU TAHU ITU KARENA KAU JUGA SEORANG MUSLIM!!” bentaknya.

Devon mengelap darah yang keluar dari bibirnya, setelah itu balas meninju Rifki, “JANGAN PURA-PURA PEDULI?!”

“PURA-PURA PEDULI? AKU TIDAK PERNAH PURA-PURA PEDULI! KAU SEPUPUKU DAN AKU TIDAK MAU KAU TERJEBAK DENGAN KEADAAN SEPERTI INI!”

Devon terhenyak. Dia juga bisa melihat Rifki mengenakan sepatu yang diberikan darinya. Aku tahu kau memang peduli, tapi aku tidak ingin kau bersedih ketika aku sudah mati, jadi kau harus membenci diriku, batin Devon.

“Aku akan berjuang mendapatkan identitasku kembali, setelah itu aku akan langsung menangkapmu!” ujar Rifki lalu pergi meninggalkan ruangan itu. Michael Murray melihat putranya dengan tatapan luar biasa shock.

“Aku memang menerima tawaran enam tahun lalu, tapi percayalah aku tidak pernah membunuh orang!” ujar Devon ingin membuat ayahnya yakin.

“Aku tidak percaya...” kata Michael Murray, “Kau bukan anakku lagi, Devon!”

-ooOoo-

Tengah malam, di sebuah pelabuhan tua yang sudah lama tidak lagi terpakai. Para mafia sedang berkumpul disini, dan Devon termasuk diantara mereka.

“Devon, kau dipanggil bos di mobil!” kata Mandarlo menghampiri rekannya itu. Tanpa berkata apapun lagi, Devon langsung berjalan menuju mobil sedan berwarna hitam. Steven Herald sedang berada di dalam sana. Pria berambut ikal itu memberi isyarat agar Devon masuk. Devon pun masuk dan duduk di samping pria yang tidak lain adalah bos terbesar mafia Eropa tersebut.

Devon mulai keringat dingin. Dia membawa pistol di saku jasnya dan ingin sekali menembak pria di sampingnya ini. Tapi seakan ada sesuatu yang menahannya.

“Aku sudah mendengarnya dari Helen Hogan kalau kau telah bertemu lagi dengan sepupumu yang ternyata FBI itu bukan?”

“Iya.”

“Walau selama ini kau menolak untuk diberi upah seperti mafia lain dan menolak untuk membunuh dan mencuri. Aku ingin kau membunuhnya. Aku sangat percaya padamu dibandingkan Danny Hogan maupun Shelby Wilson!” katanya lalu menepuk pundak Devon. “Sekarang kau bisa keluar.”

-ooOoo-

“Anda orang kesepuluh untuk minggu ini menggunakan lencana palsu atas nama FBI!” ujar seorang polisi. Malam itu, Rifki sedang berada di kantor kepolisian meminta identitasnya dikembalikan. “Lagipula tidak ada data tentang polisi bernama Rifki Mahatir ataupun Steve Hallberg. Kau tidak boleh mempermainkan polisi dengan mengaku memiliki dua nama seperti itu!”

“Itu karena data saya dihapus!”

“Siapa yang tahu kalau kau bohong?” tanya polisi itu. Rifki mendesah kesal. Dia ingin menjelaskan lebih detail lagi tapi perhatiannya teralihkan pada seseorang. Harry Compton. Mengenakan seragam kepolisiannya, bersama para polisi, sibuk sebagaimana seorang polisi. Padahal sebenarnya dia sendiri adalah mafia.

“Ayo! Kita harus ke bandara sekarang!” Harry mengenakan jaketnya yang tebal, beberapa polisi lainnya juga mengenakan jaket. Harry tampak kaget melihat Rifki menghalang jalannya.

“Sekarang saatnya mereka tahu kalau kau mata-mata kepolisian!”

“Lupakanlah masalah itu! Sekarang ada yang lebih penting!”

“Lupakan? Bagaimana bisa?”

“Karena ini sangat rumit!”

“Apa yang menghalangmu berangkat, Harry?” William Grasp tiba-tiba muncul. Rifki terkejut melihatnya, Bukankah seharusnya pria itu sudah mati? Seperti dikatakan Devon? “Rifki?” tanya William Grasp heran.

“Ada apa ini sebenarnya?” tanya Rifki heran.

“Jika kau ingin tahu, ikutlah ke pelabuhan!” ujar Harry.

-ooOoo-

“Kenapa kau tidak juga keluar?” tanya Steven Herald.

“Malam ini yang mati ditanganku bukanlah Rifki, melainkan dirimu!” ujar Devon mengarahkan pistol yang dipegangnya ke kepala Steven Herald. Para mafia yang melihat kejadian itu langsung mengarahkan pistol mereka ke Devon dari balik jendela mobil.

“Turunkan pistolmu, nak. Kau bisa mati,” ujar Steven Herald kalem.

“Aku tahu. Tapi aku tidak seperti dulu.”

“Kau makin mirip dengan ayahmu!”

“Itu kebanggaan untukku, terimakasih,” ujar Devon seraya menarik pelatuk pistolnya. Tapi.., tidak ada bunyi peluru merajam dan yang keluar adalah gelembung-gelembung sabun. Itu pistol mainan! Devon kaget bukan main. Bagaimana bisa? Ah! Kejadian di kedai kopi ketika ia tidak sengaja menabrak seorang anak kecil! Itu pasti telah menukar pistol mereka.

“HAHAHAHA....!!!” Steven Herald langsung tertawa terbahak-bahak. “Kau memang tidak bisa membunuhku, Devon...”

Seorang mafia langsung membuka pintu mobil dan menyeret Devon keluar. Steven Herald juga keluar, dia kembali menghisap cerutunya. “Tom! Habisi bocah ini!” katanya. Seorang pria raksasa, tak jauh beda besar badannya dengan O’ Bryan muncul. Dia lalu mengangkat sebuah kursi kayu di dekat situ dan membenturkannya ke kepala Devon. Devon langsung jatuh. Dia lalu mengangkat Devon tinggi-tinggi dengan mencekik lehernya, lalu memukul-mukul perutnya. Setelah itu membanting Devon ke tanah keras-keras seakan-akan dia adalah laba-laba beracun.

“Kalian semua! Habisi dia!” suruh Steven Herald menyuruh anak-anak buahnya yang lain. Mereka pun keroyokan. Sebuah besi menghantam punggung Devon, sepatu menginjak-injak tubuhnya dan meremukkan tulang-tulangnya. Tom lalu membentur-benturkan kepala Devon dengan kepalanya, dan membantingnya lagi. Sementara Steven Herald terus menghisap cerutunya.

“Aaargh....!!!” Devon teriak kesakitan. Ia di tahap sekarat.

“Jika sudah mati buang saja ke laut!” kata Steven.

“Angkat tangan! Kalian dikepung!” puluhan polisi datang dan mengepung mereka. Steven Herald tetap tenang, dia tahu ada jalan melarikan diri. Toh, dia sudah sering kesini. Rifki hendak mengejar Steven tapi ditahan Devon yang memaksakan diri untuk berdiri.

“Steven Herald milikku! Berikan pistolmu!” Devon mengambil pistol Steve dan lalu berjalan tergopoh-gopoh mengejar Steven. Pandangannya buyar. Malam begitu dingin, Devon terus mengejar Steven hingga ujung dermaga yang menjorok ke laut. Steven terjebak.

“Kau harus mati!”

“Setelah itu kau tidak berbeda jauh denganku, Devon. Kau akan menjadi pembunuh!”

DOR!

Peluru merajam. Devon tersentak. Ia memegangi dadanya yang bolong tertembus peluru dari belakang. Shelby Wilson menembaknya. Seutas kalimat terucap dari mulutnya. Syahadat. BRUK! Tubuhnya jatuh menghantam dermaga dengan luka tembak menganga di dada Devon sebelah kiri. Dia mati. Benar-benar mati tidak seperti Rifki, Henry maupun George waktu itu.

Tidak lama kemudian...

“Angkat tangan kalian! Kalian dikepung!” kali ini puluhan polisi mengelilingi mereka. Rifki langsung berlari menghampiri sepupunya itu dan melepaskan jaketnya untuk menyelimuti jasad sepupunya itu.

-ooOoo-

Beberapa hari kemudian, kala itu mentari bersinar begitu cerah. Rifki tengah menghadiri upacara pemakaman Devon. Harry menghampirinya dan berdiri di samping Rifki.

“Kau beruntung memiliki sepupu sebaik dirinya!” kata Harry. “Devon memintaku melakukannya. Pura-pura menjadi jahat di depanmu agar Helen Hogan percaya. Cookies itu memang sengaja dibuat, agar kau datang ke atas gedung. Dan tentang Henry, George, dan David, mereka sebenarnya masih hidup dan pulang ke Skotlandia. Sementara Bibi Ann adalah utusan FBI, bukan mafia. Walaupun Helen Hogan memang memberi mereka obat tidur, tapi setelah itu dia pergi bersamaku sehingga dia tidak melihat sendiri kematian Henry, George dan David. Setelah itu untuk meyakinkan para mafia, kami membuat berita palsu di koran,”

“Gempa yang terjadi di gedung juga termasuk rencana Devon, dia ingin agar kau bisa melarikan diri. Katanya, dia pasti akan mati setelah membunuh Steven Herald, jadi dia tidak ingin kau menangisi kepergiannya!”

Rifki terdiam mendengarnya, ucapan itu menggema di seluruh rongga jiwa. Tidak lama kemudian, Henry, George, dan David datang dan ikut memandangi upacara pemakaman tersebut.

Jika akhirnya seperti ini...

Maka harmoniskanlah semuanya, Ya Robbi...

Semata hanya untukmu...


Cerita ini disingkat dari yang sebenarnya kubuat sebelumnya dengan judul yang sama.

The Authority Part 2



Di sebuah ruangan yang cukup sempit, di kantor kepolisian, Steve dan Harry Compton tengah menginterogasi Danny Hogan. Pria yang sudah menginjak usia 49 tahun itu terlihat santai sekali. Steve berdiri sementara Harry duduk di hadapan Danny Hogan.

“Kau sudah menjadi mafia sejak 12 tahun yang lalu, kau pasti tahu banyak tentang seluk beluk organisasimu,” kata Harry.

“Aku tidak akan menjelaskan apapun pada kalian,” kata Danny Hogan.

“Jangan membela diri, kau pasti tahu sesuatu tentang Steven Herald,” ujar Steve.

“Jika aku memberi tahumu apa akan menguntungkan?”

“Kau pun pasti tahu tentang Devon Murray,” ujar Steve lagi. “Kenapa dia sampai tergabung ke dalam mafia ini?” tanya Steve. Danny Hogan hanya diam sambil membuang mukanya.

“KATAKAN?!” bentak Steve sembari menarik kerah Danny Hogan. Mata mereka adu ketajaman. Harry langsung mencegah sahabatnya agar tidak terjadi adu jotos disini.

“Aku juga tidak tahu,” jawab Danny Hogan mengangkat alisnya. Emosi Steve memuncak, dia mengepalkan tangannya hendak mendaratkan tinjuan ke muka orang itu. Tapi sesuatu menahannya. “Yang kutahu tentang Devon Murray hanyalah dia orang kepercayaan Steven Herald, posisinya di mafia sama dengan Shelby Wilson,”

“Kau sendiri, kenapa ingin menjadi mafia?” tanya Harry.

Danny Hogan menyeringai, “Karena jumlah uang yang kudapat banyak sekali. Jika kau mendengarnya, kau takkan sanggup menolak menjadi mafia. Hahaha…” dia tertawa, suaranya membahana mengisi seluruh sudut rumah itu dan perutnya yang buncit berguncang-guncang. Harry dan Steve hanya terdiam.

-ooOoo-

Malam hari, Steve tinggal di sebuah kondominium bertingkat bersama keempat rekannya yaitu Harry, Henry, George dan David. Henry, George, dan David sedang bertugas, sehingga di dalam ruangan ini hanya ada Steve dan Harry saja. Mereka sedang makan mie instan di ruang tengah.

“Rifki!” Harry memanggil nama asli Steve. “Aku masih memikirkan ucapan si Hogan itu. Bukankah Devon Murray itu sepupumu, makanya kami berempat disuruh pura-pura membunuhmu di depan istri Devon Murray ketika di Inggris dulu?”

“Iya, kau benar. Aku mengira dia hanya mafia biasa yang akan melaporkan identitas FBI ku pada atasannya. Ternyata dia sendirilah atasannya,”

“Sepupumu harus segera ditangkap, kemampuan hackingnya luar biasa. Kemarin dia baru saja membobol komputer pentagon milik NASA,”

“Aku tahu,” kata Rifki datar. Walau hubungannya dengan Devon Murray sangat erat, Steve tetap harus menangkap Devon dan menyerahkannya ke kepolisian.

-ooOoo-

Di saat yang sama, di kota London, Devon dan seorang pria Rusia berpakaian selayaknya sedang duduk di meja gerai sebuah kedai kopi.

“Mau pesan apa?” tanya Mandarlo, nama pria Rusia berusia sekitar 30 tahunan tersebut.

“Kau sendiri?” tanya Devon.

Mandarlo membuka buku menu dan tidak lama kemudian, seorang pelayan kedai itu datang menghampiri mereka berdua. Berdiri diam sambil memegang buku catatan dan sebatang pena. “Aku mau bubur kentang,” kata Mandarlo.

“Aku sandwich selai kacang,” kata Devon.

Pelayan wanita itu mencatatnya, “Hanya itu?”

“Ya, hanya itu” jawab Devon. Pelayan itu langsung melangkah pergi, masuk ke dalam kedai lewat pintu kayu yang terbuka lebar.

Devon membuka notebook vaio yang dibawanya. Mengoneksikannya dengan jaringan. Dia adalah hacker tingkat elit yang mengerti sistem keamanan luar dalam, sanggup mengkonfigurasikan jaringan secara global. Efisien dan terampil. Tidak percaya pada otoritas dan mampu membuat seni keindahan dalam komputer. Ia mampu menyusup ke jaringan internet langsung ke jantung operasionalnya.

“Apa yang kau lakukan?”

“Menghack FBI dalam tiga menit,”

“Untuk apa?” tanya Mandarlo.

“Untuk melihat data seorang anggota FBI bernama Rifki Mahatir,”

“Rifki Mahatir?”

“Aku ingin tahu apa di data FBI ada data tentang kematiannya,” katanya. Tak lama kemudian, “Bingo!” serunya.

“Well, hanya dua menit,” ujar Mandarlo.

Devon terus terpaku ke dalam laptop miliknya itu. Melihat sekumpulan data rahasia milik FBI. “Sudah kuduga, datanya disini tertulis dia memang sudah mati karena ditembak preman jalanan. Dia sudah mati, atau mungkin pura-pura mati.”

“Kenapa kau peduli?”

“Tentu saja. Dia sepupuku dan sebagai FBI, dia penasaran mengapa aku tergabung ke dalam Mafia Eropa”

-ooOoo-

Enam tahun yang lalu…

Malam hari diantara lembab dan pengap dua gedung yang saling berdekatan di London. Sepi. Becek. Jarang sekali ada orang yang lewat lorong itu. Lagipula, lorong ini berakhir di pagar kawat berduri tajam setinggi lima meter.

Pada malam itu, Steven Herald dan beberapa anak buahnya sedang menikmati pemandangan mengenaskan. Seorang algojo bertubuh besar tengah menghajar Michael Murray, bukan main. Pria itu benar-benar sudah kehabisan seluruh tenaganya, ia tidak berkutik. Darah segar mengucur dari kepalanya. Dan beberapa tulangnya patah.

Steven Herald menghampiri Michael Murray yang tergolek tidak berdaya sembari menghisap cerutunya. Menghembuskan asap cerutu itu ke depan wajah Michael. “Aku sekarang sedang sangat senang bisa melihatmu begini, Murray.”

“Sebenarnya apa maumu?”

“Aku ingin kau bergabung. Tidak ada ruginya untukmu.”

“Sampai mati pun aku tidak mau!” kata Michael Murray lalu meludah ke wajah bekas sahabatnya sewaktu di universitas dulu. Steven terkejut, dia mengelap wajahnya dengan tisu dan memasukkan tisu itu ke mulut Michael.

“Habisi dia!” kata Steven menyingkir membiarkan si algojo menghajar Steven. Si Algojo mengangkat kerah Michael hingga tubuhnya terangkat, dan membenturkan kepalanya ke kepala Michael. Setelah itu melemparnya ke kawat besi berduri di dekat tempat itu.

“AKU SUDAH MEMBERIMU KESEMPATAN! TAPI KAU MENOLAKNYA! SEKARANG PIKIRKAN BAIK-BAIK SAHABATKU SEBELUM AKU MEMBUNUHMU!” raung Steven.

“Sa..sahabat?” Michael mulai bicara terbata-bata. “Aku lebih baik mati daripada memiliki sahabat sekeji dirimu!”

Steven mendengus kesal. Ia membuang cerutunya. Dahinya mengerut dan alis bagian luar mencuat ke atas. Rasanya ada api yang membara di dadanya. “DIAAAMM!!!” dia melolong seperti serigala. Para mafia lain menjauh beberapa langkah dari bosnya itu. “KAU SENDIRILAH YANG MEMBUATKU SEPERTI INI! KAU MENGAJARKAN KEPADAKU SIAPA YANG JAHAT LAH YANG AKAN MENANG!”

“Apa maksudmu?”

“KAU TAHU AKU MENCINTAI GELBY DELYS, MAKANYA KAU MEMPERMAINKANNYA UNTUK BERSAING DENGANKU! TAPI APA YANG KAU DAPATKAN? DIA MALAH RELA MATI UNTUKMU SETELAH TAHU KAU SELINGKUH DENGAN WANITA LAIN! KAU YANG MENGAJARIKU DAN MEMBUATKU SEPERTI INI! KAU HARUS TAHU ITU, MICHAEL MURRAY!”

Michael terperangah. Ternyata masalah ini yang telah membuat sahabatnya berubah. Padahal Steven Herald salah paham, dia hanya berusaha mendekatkan Gelby Delys kepada Steven. Tapi malah wanita itu jatuh cinta padanya. Mana dia tahu? Tiba-tiba Gelby Delys loncat dari gedung tinggi karena cemburu melihat Michael sudah menikah dengan seorang wanita Indonesia.

“Tom! Bunuh dia!” kata Steven Herald. Si bertubuh besar itu kembali menghampiri Michael Murray. Hendak membunuhnya. Tapi tiba-tiba…

“DON’T TOUCH MY FATHER!” Devon datang seperti pahlawan kesiangan. Membawa pistol dengan tangan gemetar dan mengarahkannya ke Steven Herald.

“Jika kau menembakku, maka kau akan mati!” kata Steven Herald.

“Tapi kau duluan yang mati!” ujar Devon.

“Aku tidak akan menyakiti ayahmu, singkirkan pistol itu!”

“Tidak!”

“Kau benar-benar bocah yang nekat. Aku suka dengan sifatmu. Bagaimana kalau bergabung saja dengan kami?”

Devon melihat ayahnya yang menggeleng-geleng kecil. “Tidak mau!” ujar Devon.

“Kalau begitu kau akan melihat kematian ayahmu!”

Tom, si Algojo langsung memukul kepala Michael dengan sebuah kayu besar. Pria itu pingsan. Devon kaget bukan main. Dia masih memegang pistolnya dengan gemeteran. Steven Herald perlahan mendekatinya dan menurunkan pistol itu, seraya berbisik di telinganya. “Demi ayahmu, nak.”

-ooOoo-

Devon masih duduk di meja gerai, berkutat dengan laptopnya. Ketika pelayan itu datang mengantarkan sandwichnya, Devon bahkan tidak menyadarinya.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Mandarlo sembari memakan bubur kentangnya.

“Hacking komputer pusat FBI,”

“Yang tadi kau membobol apa?”

“Itu hanya data yang tersimpan di komputer internal. Bukan jantung operasional.”

“Sulitkah?”

“FBI memiliki hacker cukup hebat bernama David Valgas. Usianya sama denganku. Dan kemampuan hacking kami hampir sama. Aku harus menemukan lubang kelemahan yang sebelumnya belum terpikirkan.”

“Berarti dia cukup hebat.”

“Gotcha!” seru Devon beberapa saat kemudian, “Akhirnya firewall dan SSL nya terbypass juga... tapi...”

“Jelaskan apa yang kau lakukan!”

“Ini.. ini seharusnya database servernya, tapi koq...” kata Devon lalu menyadari sesuatu. “Sialan mereka menjebakku dan aku terperangkap!”

“Ada apa?”

“Operating System yang digunakan secara otomatis akan menyalin data-data yang PC yang terhubung dengannya. Mereka mencuri data-dataku!” kata Devon. Sekarang dia dengan FBI sedang bertarung di dunia cyber. “Hey, tapi aku bisa memanfaatkan masalah ini!” ujar Devon lagi baru saja mendapatkan ide bagus.

“Ini pistol milikmu, ya?” tanya seorang bocah laki-laki memungut pistol yang jatuh ke lantai. Devon tersentak dan langsung merebutnya dari bocah laki-laki tersebut.

“Jangan menyentuh barang orang lain tanpa izin!” bentak Devon.

“Cih. Harganya kan cuma 2 pound, kau pelit sekali sih. Aku juga baru beli sama sepertimu barusan! Wee!!” kata bocah itu lalu melangkah pergi.

“Dua pound katanya?” ujar Mandarlo geleng-geleng kepala.

-ooOoo-

Share House milik Bibi Ann ini akan menjadi tempat tingal 5 pemuda yang tidak lain adalah Rifki, Henry, George, David dan Harry. Mereka tinggal disini karena mereka akan pura-pura menjadi mahasiswa Oxford memata-matai Devon Murray. Kebetulan rumah Bibi Ann ini dekat dengan Oxford, dan bisa ditempuh dengan jalan kaki.

Siang itu...

“Share House ini hanya punya dua kamar kosong lagi,” kata wanita berusia 58 tahun yang tidak lain adalah Bibi Ann.

“Tidak perlu. Kita berlima cukup berada dalam satu kamar,” kata Rifki.

“Oh, baiklah kalau begitu. Kamar diatas cukup luas.”

Seorang wanita berjalan melewati ruang tamu. Tubuhnya ramping bagai hiu putih yang elok, matanya biru seperti telaga, rambutnya bergelombang seperti jerami jatuh. Cantik. Bibi Ann memberhentikan wanita yang mungkin berusia 23 tahun tersebut.

“Kenalkan! Dia juga sekolah di Oxford, namanya Helen Hogan!” kata Bibi Ann.

-ooOoo-

Lirik Lagu Wonderful World


Emang sih ni lagu ga populer-populer amat, lumayan susah lagi pas aku searching lirik nya di Mbah Google dan nyari videonya di Youtube. Apalagi orang Indonesia, bisa jadi belum tahu, kan? Tapi alasannya knapa aku suka banget nie lagu, karena video klip nya yg menyorot anak-anak pedalaman Afrika, anak-anak di desa miskin China, juga anak-anak di Palestina. Kitagawa Yujin, vokalisnya juga imut. Hehe. Nie aku kasih lirik dan videonya.





Romaji Wonderful World
writen by: shineontheworld


kikanjuu wo dakishimete nemuru kodomo ga
arehateta daichi de yume wo miru koro
mabayui asa no hikari ni tsutsumareta shoujo wa
yasashii haha no koe de me wo samasu

boku wa kimi no nukumori ni hoho wo yosetemiru
tashika ni kikoetekuru no wa inochi no oto

sekai yo kyou mo maware maware
ai mo kanashimi mo nomikondeyuku
nozomarezu umaretekuru hito nado inai
nakisou na hodo utsukushii WANDAFURU WAARUDO

aoku hikaru kono chikyuu (hoshi) no koe ga kikoeru kai?
ikitoshi ikeru subete no inochi no furusato
ubaiai kitsukeai nikushimiai
soshite kieteiku no wa tsumi naki na mo naki taisetsu na nakamatachi

shiran kao shita machi wa kyou mo hanayaide
kimi no na wo sakebu koe sae mo kakikesareru

mirai he mukete susume susume
zen mo aku mo michidzure ni shite
hakanakute kiesou na kibou wo sagasu
namida de nijimu WANDAFURU WAARUDO

imarete sono shunkan kara mujun wo kakaeikiteyuku no nara
kami wa nan no tame ni kono sekai ni subete no inochi wo ataeta n darou?

sekai yo kyou mo maware maware
ai mo kanashimi mo nomikondeyuku
nozomarezu umaretekuru hito nado inai
ankisou na hodo utsukushii WANDAFURU WAARUDO
hakanakute koesou na kibou wo sagasu
namida de nijimu WANDAFURU WAARUDO
subete ga eien (towa) ni itoshii WANDAFURU WARUDO

sekai yo kyou mo maware maware kimi to boku wo tsunagu
mirai e mukete susume susume kimi mo boku mo ikiteyuku


Kisah Nyata Tentang Perjuangan Seorang Istri Part 4


Ayah,,mengapa keluargamu sangat membenciku
Aku dihina oleh mereka ayah.
Mengapa mereka bisa baik terhadapku pada saat ada dirimu ?
Pernah suatu ketika, aku bertemu Dian di jalan, aku menegornya karena dia adik iparku tapi aku disambut denagn wajah ketidak sukaannya. Sangat terlihat Ayah.
Tapi ketika engkau bersamaku, Dian sangat baik, sangat manis dan ia memanggilku dengan panggilan yang sangat menghormatiku. Mengapa seperti itu ayah.
Aku tak bisa berbicara ttg ini padamu, karena aku tahu kamu pasti membela adikmu, tak ada gunanya Yah.

Aku diusir dari rumah sakit.
Aku tak boleh merawat suamiku.
Aku cemburu paad Desi yang sangat akrab dengan mertuaku
Tiap hari ia datang ke rumah sakit bersama mertuaku
Aku sangat marah....
Jika aku membicarakn hal ini pada suamiku, ia akan pasti membela Desi dan ibunya.
Aku tak mau sakit hati lagi.
Ya Allah kuatkan aku,,maafkan aku
Engkau Maha Adil.
Berilah keadilan ini padaku Ya Allah

Ayah sudah berubah, ayah sudah tak sayang lagi pada ku.
Aku berusaha untuk mandiri ayah, aku tak akan bermanja - manja lagi padamu.
Aku kuat ayah dalam kesakitan ini.
Lihatlah ayah, aku kuat walaupun penyakit kanker ini terus menyerangku.
Aku bisa melakukan ini semua sendiri ayah.

Besok suamiku akan menikah dengan perempuan itu
Perempuan yang aku benci, yang aku cemburui
Tapi aku tak boleh egois, ini untuk kebahagian keluarga suamiku
Aku harus sadar diri
Ayah,,sebenarnya aku tak mau diduakan olehmu
Mengapa harus Desi yang menjadi sahabatku ?
Ayah aku masih tak rela
Tapi aku harus ikhlas menerimanya

Pagi nanti suamiku melangsungkan pernikahan keduanya
Semoga saja aku masih punya waktu untuk melihatnya tersenyum untukku
Aku ingin sekali merasakan kasih sayangnya yang terakhir
Sebelum ajal ini menjemputku
Ayah...aku kangen ayah

Dan kini aku telah membawamu ke orang tuamu Bunda
Aku akan mengunjungimu sebulan sekali bersama Desi ke Pulau Kayu ini
Aku akan selalu membawakanmu bunga mawar yang berwana pink yang mencerminkan keceriaan hatimu yang sakit tertusuk duri.

Bunda tetap cantik, selalu tersenyum disaat tidur.
Bunda akan selalu hidup dihati ayah.
Bunda... Desi tak sepertimu, yang tidak pernah marah...
Desi sangat berbeda denganmu, ia tak pernah membersihkan telingaku, rambutku tak pernah di creambathnya, kakiku pun tak pernah dicucinya.
Ayah menyesal telah menelantarkanmu selama 2 tahun, kamu sakit pun aku tak perduli, dalam kesendirianmu. ...
Seandainya Ayah tak menelantarkan Bunda, mungkin ayah masih bisa tidur dengan belaian tangan Bunda yang halus.

Sekarang Ayah sadar, bahwa ayah sangat membutuhkan bunda..
Bunda,,kamu wanita yang paling tegar yang pernah kutemui..
Aku menyesal telah asik dalam keegoanku..
Bunda maafkan aku. Bunda tidur tetap manis. Senyum manjamu terlihat ditidurmu yang panjang.
Maafkan aku , tak bisa bersikap adil dan membahagiakan mu, aku selalu mengiyakan apa kata ibuku, karena aku takut menjadi anak durhaka. Maafkan aku ketika kau di fitnah oleh keluargaku, aku percaya begitu saja.
Apakah Bunda akan mendapat pengganti ayah di surga sana ?
Apakah Bunda tetap menanti ayah disana ? Tetap setia di alam sana ?
Tunggulah Ayah disana Bunda......
Bisakan ? Seperti Bunda menunggu ayah di sini....... Aku mohon.....
Ayah Sayang Bunda....




Kembali

Kisah Nyata Tentang Perjuangan Seorang Istri Part 1

Kisah Nyata Tentang Perjuangan Seorang Istri Part 2


Aku hanya berpikiran, mungkin dia capek. Aku pun segera merapikan bawaan nya sampai aku pun tertidur. Malam menunjukkan 1/3 malam, mengingatkan aku pada tempat mengadu yaitu Allah, Sang Maha Pencipta.

Biasa nya kami selalu berjama'ah, tapi karena melihat nya tidur sangat pulas, aku tak tega membangun kannya, aku helus mukanya, aku cium kening nya, lalu aku sholat tahajud 8 rakaat plus witir 3 raka'at.

Aku mendengar suara mobilnya, aku terbangun lalu aku liat dia dari balkon kamar kami dia bersiap - siap untuk pergi, aku memanggil nya tapi ia tak mendengar, lalu aku langsung ambil jilbabku, aku lari dari atas ke bawah tanpa memperdulikan darah yg bercecer dari rahimku, aku mengejarnya tapi ia begitu cepat pergi,,ada apa dengan suamiku...mengapa ia sangat aneh terhadapku ?

Aku tidak bisa diam begitu saja firasatku ada sesuatu.

Saat itu juga aku langsung menelpon kerumah mertuaku, kebetulan Dian yang angkat telpon nya, aku bercerita dan aku bertanya apa yang terjadi dengan suamiku. Dengan enteng ia menjawab "Loe pikir aja sendiri !!!" telpon pun langsung terputus.

Ada apa ini ? Tanya hatiku penuh dalam kecemasan. Mengapa suamiku berubah setelah ia pulang dari kota kelahirannya. Mengapa ia tak mau berbicara padaku, apalagi memanjakan ku.

Semakin hari ia menjadi orang yang pendiam, seakan ia telah melepas tanggung jawabnya sebagai seorang suami, kami berbicara seperlunya saja, aku selalu di introgasinya, aku dari mana dan mengapa pulang terlambat, ia bertanya denagn nada yg keras, suamiku telah berubah.

Bahkan yang membuat ku kaget, aku pernah di tuduh nya berzina dengan mantan pacarku. Ingin rasanya aku menampar suamiku yang telah menuduhku serendah itu, tapi aku selalu ingat, sebagaimana pun salahnya seorang suami, status suami tetap di atas para istri, itu yang aku pegang, aku hanya berdo'a agar suamiku sadar akan prilakunya.

2 Tahun berlalu, suamiku tak berubah juga, aku menangis tiap malam, lelah menanti seperti ini, kami seperti orang asing yang baru saja kenal, kemesraan yang kami ciptakan dulu telah sirna, walaupun kondisinya tetap seperti itu, aku tetap merawatnya & menyiapi segala yang ia perlukan. Penyakitku pun masih aku simpan dengan baik dan ia tak pernah bertanya obat apa yang aku minum. Kebahagiaan ku telah sirna, harapan menjadi ibu pun telah aku pendam. Aku tak tahu kapan ini semua akan berakhir.

Bersyukurlah, aku punya penghasilan sendiri dari aktifitasku sebagai seorang guru ngaji jadi aku tak perlu repot - repot meminta uang pada nya hanya untuk pengobatan kankerku. Aku pun hanya berobat semampuku.

Sungguh suami yang dulu aku puja, aku banggakan sekarang telah menjadi orang asing, setiap aku tanya ia selalu meyuruhku untuk berpikir sendiri.

Tiba - tiba saja malam itu, setelah makan malam selesai, suamiku memanggilku.

"ya ada apa Yah !" sahutku dengan memanggil nama kesayangannya "Ayah"

"Lusa kita siap - siap ke Sabang ya !" Jawabnya tegas

" Ada apa ?" Mengapa ?" sahutku penuh dengan keheranan

Astaghfirullah. ..suami ku yang dulu lembut menjadi kasar, diya mebentakku,, tak ada lagi diskusi antara kami.

Dia mengatakan " Kau ikut saja jgn byk tanya !!! "

Aku pun lalu mengemasi barang - barang yang akan dibawa ke Sabang sambil menangis,sedih karena suamiku yang tak ku kenal lagi.

2 Tahun pacaran, 5 tahun kami menikah dan sudah 2 tahun pula ia menjadi orang asing buat ku. Ku lihat kamar kami yg dulu hangat penuh cinta yang dihiasi foto pernikahan kami sekarang menjadi dingin, sangat dingin dari batu es. Aku menangis dengan kebingungan ini. Ingin rasanya aku berontak tapi aku tak bisa, suamiku tak suka dengan wanita yang kasar, ngomong dengan nada tinggi, suka membanting barang - barang, dia bilang perbuatan itu menunjukkan ketidakhormatan kedapanya. Aku hanya bisa bersabar menantinya bicara dan sabar mengobati penyakitku ini sendiri.

Kami telah sampai di Sabang, aku masih merasa lelah karena semalaman aku tidak tidur, karena terus berpikir. Keluarga besar nya telah berkumpul disana, termasuk ibu & adik - adiknya, aku tidak tahu ada acara apa ini.. Aku dan suamiku pun masuk ke kamar kami. Suamiku tak betah didalam kamar tua itu, ia pun keluar bergabung dengan keluarga besarnya.

Baru saja aku membongkar koper kami dan ingin memasukkannya ke dlm lemari tua yg berada di dekat pintu kamar, lemari tua itu telah ada sebelum suamiku lahir.

Tiba - tiba Tante Lia, tante yang sangat baik pada ku memanggil ku untuk segera berkumpul diruang tangah, aku pun ke ruang keluarga yag berada di tengah rumah besar itu, rumah zaman peninggalan belanda diaman langit - langit nya lebih dari 4 meter. aku duduk disamping suamiku, suamiku menunduk penuh dengan kebisuan, aku tak berani bertanya pada nya, tiba - tiba saja neneknya, orang yang dianggap paling tua dan paling berhak atas semuanya membuka pembicaraan.

"Baiklah,karena kalian telah berkumpul, nenek ingin bicara dengan kau Fisha ! "

Nenek nya bicara sangat tegas.. Dengan sorot mata yang tajam.

" Ada apa ya Nek ?" sahutku dengan penuh tanya..

Nenek pun menjawab " Kau telah gabung dengan keluarga kami hampir 8 tahun, sampai saat ini kami tak melihat tanda - tanda kehamilan yang sempurna, sebab selama ini kau selalu keguguran !!'

Aku menangis, untuk inikah aku diundang ke mari, untuk dihina atau di pisahkan dengan suamiku.

"Sebenarnya kami sudah punya calon untuk Fikri, dari dulu, sebelum kau menikah dengannya, tapi Fikri anak yang keras kepala, tak mau di atur, dan akhirnya menikahlah ia dengaa kau." Neneknya berbicara sangat lantang, mungkin logat orang Sabang seperti itu semua.

Aku hanya bisa tersenyum dan melihat wajah suamiku yang kosong matanya.

"Dan aku dengar dari ibu mertua mu kau pun sudah berkenalan dengannya" Neneknya masih melanjutkan pembicaraan itu.

Sedangkan suamikku hanya diam saja, tapi aku lihat air matanya. Ingin aku peluk suamiku agar ia kuat dengan semua ini, tapi aku tak punya keberanian.

Nenek nya masih saja berbicara panjang lebar dan yang terakhir dari pembicaraannya ialah dengan wajah yang sangat menantang ia berkata " kau mau nya gimana ? kau di madu atau diceraikan ?"

Masya Allah...... kuat kan hati ini, aku ingin jatuh pingsan, hati ini seakan remuk mendengar nya, hancur hati ku, mengapa keluarganya bersikap seperti ini terhadapku..

Aku selalu munutupi masalah ini dari kedua orang tuaku yang tinggal di pulau kayu tersebut, mereka mengira aku sangat bahagia 2 tahun belakangan ini.

"Fish, jawab !! " Dengan tegas Ibunya langsung memintaku untuk menjawab

Aku langsung memegang tangan suamiku, dengan tangan yang dingin dan gemetar aku menjawab dengan tegas....... ..

" Walaupun aku tidak bisa berdiskusi dulu dengan imamku, tapi aku dapat berdiskusi dengannya melalui bathiniah, untuk kebaikan dan masa depan keluarga ini, aku akan menyambut baik seorang wanita baru dirumah kami."

Itu yang aku jawab, dengan kata lain aku rela cinta ku di bagi, pada saat itu juga suami ku memandangku dengan tetesan air mata, tapi mata ku tak sedikit pun menetes di hadapan mereka.

Aku lalu bertanya kepada suami ku, "Ayah siapakah yang akan menjadi sahabat ku

dirumah kita nanti Yah ? "

Suamiku menjawab " Dia Desi ! "

Aku pun langsung menarik napas dan langsung berbicara " Kapan pernikahan nya berlangsung ? Apa yang harus saya siapkan dalam pernikahan ini Nek ?"

Ayah mertuaku menjawab "Pernikahannya 2 minggu lagi."

" Baiklah kalo begitu saya akan menelpon pembantu di rumah, untuk menyuruh nya mengurus KK kami ke kelurahan besok" setelah berbicara seperti itu aku permisi untuk pamit ke kamar.

Tak tahan lagi, air mata ini akan turun, aku berjalan sangat cepat, aku buka pintu kamar, aku langsung duduk di tempat tidur. Ingin berteriak, tapi aku sendiri disini. Tak kuat rasanya menerima hal ini, cintaku telah dibagi,,sakit. ..diiringi akutnya penyakitku. Apakah karena ini suamiku menjadi orang yang asing selama 2 tahun belakangan ini ?

Aku berjalan menuju ke meja rias, ku buka jilbabku, aku bercermin sudah tidak cantikkah aku ini, ku ambil sisirku, aku menyisiri rambutku yang setiap hari rontok, ku lihat wajahku,,ternyata aku memang sudah tidak cantik lagi, rambutku sudah hampir habis, kepalaku sudah botak dibagian tengahnya.

Tiba - tiba pintu kamar ini terbuka, ternyata suami ku datang, ia berdiri dibelakangku, ,tak kuhapus air mata ini aku langsung memandangnya dari cermin meja rias itu.

Kami diam sejenak, lalu aku mulai pembicaraan "terimah kasih ayah, kamu memberi sahabat kepada ku, jadi aku tak perlu sedih lagi saat ditinggal pergi kamu nanti ! iya kan ?"

Suami ku mengangguk sambil melihat kepalaku tapi tak sedikitpun ia tersenyum dan bertanya knp rambutku rontok, dia hanya mengatakan jangan salah memakai shampo, dalam hati ku mengapa ia sangat cuek ? ia sudah tak memanjakan ku lagi.. Lalu dia bilang bilang "sudah malam, kita istirahat yuk " !

"Aku sholat isya dulu baru aku tidur" jawab ku tenaang.

Dalam sholat, dalam tidur aku menangis, ku hitung waktu, kapan aku akan berbagi suami dengannya. Aku pun ikut sibuk mengurusi pernikahan suamiku. Aku tak tahu kalo Desi orang Sabang juga. Sudahlah ini mungkin takdirku. Aku ingin suamiku kembali seperti dulu, yang sangat memanjakan aku, diamana rasa sayang dan cintanya itu.

Malam sebelum hari pernikahan suamiku, aku menulis curahan hatiku di laptopku.
 
Selanjutnya:
 

Kisah Nyata Tentang Perjuangan Seorang Istri Part 3

 
 
Di laptop aku menulis saat - saat terakhirku melihat suamiku, aku marah pada suamiku yang telah menelantarkanku. Aku menangis melihat suamiku yang tidur pulas, apa salahku sampai ia berlaku kejam kepada ku. Aku save di my document yang bertitle "Aku mencintaimu Suamiku "

Hari pernikahan telah tiba, aku telah siap, tapi aku tak sanggup untuk keluar, aku berdiri didekat jendela, aku melihat matahari, mungkin aku takkan bisa melihat sinarnya lagi. Aku berdiri sangat lama,, lalu suamiku yang telah siap dengan pakaian pengantinnya masuk dan berbicara padaku.

"Apakah kamu sudah siap ?"

Kuhapus airmata yang menetes diwajahku sambil berkata :

"Nanti jika ia telah sah jadi istrimu, ketika kamu membawa ia masuk ke dalam rumah ini, cucilah kaki nya sebagaimana kamu mencuci kaki ku dulu, lalu ketika kalian masuk ke dalam kamar pengantin bacakan do'a di ubun - ubunya sebagaimana yang kamu lakukan pada ku dulu lalu setelah itu....." tak sanggup aku ingin meneruskan pembicaraan ini, aku ingin menangis meledak

Tiba - tiba suamiku menjawab "lalu apa Bunda ?"

Aku kaget mendengar kata itu, yang tadinya aku menunduk,aku langsung menatapnya dengan mata yang berbinar - binar...

"bisa kamu ulangi apa yang kamu ucapkan barusan ?" pinta ku tuk menyakini bahwa kuping ini tidak salah mendengar.

Dia mengangguk dan berkata " Baik bunda akan ayah ulangi, lalu apa bunda ?" sambil ia menghelus wajah dan menghapus airmataku, dia agak sidikit membungkuk karena diya sangat tinggi, aku hanya sedada nya saja.

Dia tersenyum, sambil berkata " Kita liat saja nanti ya !" dia memelukku dan berkata, "bunda adalah wanita yang paling kuat yang ayah temui selain mama" lalu ia mencium keningku.

Aku langsung memeluk nya erat dan berkata " Ayah, apakah ini akan segera berakhir ? Ayah kemana saja ? Mengapa ayah berubah ? Aku kangen sama ayah ? Aku kangen belaian kasih sayang ayah ? Aku kangen dengan manjanya ayah ? Aku kesepian ayah ? Dan satu hal lagi yang harus ayah tau bahwa aku tidak pernah berzinah ! Dulu waktu awal kita pacaran,aku memang belum bisa melupakannya, setelah 4 bulan bersama ayah baru bisa aku terima, jika yang dihadapanku itu adalah lelaki yang aku cari." Bukan bearti aku pernah berzina ayah. Aku langsung bersujud di kakinya dan muncium kaki imamku sambil berkata " Aku minta maaf ayah telah membuatmu susah"

Saat itu juga, diangkatnya badanku,ia hanya menangis.Ia memelukku sangat lama, 2 tahun aku menanti dirinya kembali. Tiba - tiba perutku sakit, ia menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan ku, dan ia bertanya " bunda baik - baik saja kan" tanya nya dengan penuh khawatir.

"aku pun menjawab, bisa memeluk dan melihat kamu kembali seperti dulu itu sudah mebuatku baik Yah" aku tak bisa bicara sekarang.. Karena dia akan menikah. Aku tak mau buat diya khawatir. Dia harus khusyu menjalani acara prosesi akad nikah tersebut.

*

Setelah tiba dimasjid, ijab qabul pun dimulai. Aku duduk di sebrang suamiku.

Aku melihat suamiku duduk berdampingan dengan perempuan itu membuat hati ini cemburu, ingin berteriak mengatakn "Ayah Jangan" tapi aku ingat akan kondisi ku.

Jantung ini berdebar kencang, ketika mendengar ijab qabul tersebut. Begitu ijab qabul selesai, aku menarik napas panjang, Tante Lia, tante yang baik itu, memelukku. Dalam hati aku berusaha untuk menguatkan hati ini, ya,,aku kuat.

Tak sanggup aku melihat mereka duduk bersanding di pelaminan. Orang - orang yang hadir di acara resepsi itu iba melihatku, mereka melihatku sangat aneh, wajahku yang selalu tersenyum tapi hatiku menangis.

Sampai dirumah, suamiku langsung masuk ke dalam rumah begitu saja, tak mencuci kaki nya. Aku sangat heran dengan prilaku nya. Apa iya, dia tidak suka dengan pernikahan ini ?

..Sementara itu Desi sambut hangat di dalam keluarga suamiku,tak seperti aku yang di musuhinya.

Malam ini aku tak bisa tidur, bagaimana bisa !! Suamiku akan tidur dengan perempuan yang sangat aku cemburui. Aku tak tau apa yang mereka lakukan didalam.

1/3 malam, pada saat aku ingin sholat lail aku keluar untuk berwudhu, aku melihat ada lelaki yang mirip suamiku tidur disofa ruang tengah, ku dekati lalu ku lihat.... Masya Allah, suamiku tak tidur dengannya,ia tidur disofa, aku duduk disofa itu sambil menghelus mukanya yang lelah, tiba - tiba ia memegang tangan kiriku, tentu saja aku kaget.

"kamu datang ke sini, aku pun tau " ia langsung berkata seperti itu, aku tersenyum dan megajaknya sholat lail. Setelah sholat lail, ia mengatakan "maafkan aku, aku tak boleh menyakitimu, kamu menderita karena ego nya aku. Besok kita pulang ke Jakarta, biar Desi pulang dengan mama,papa Dan juga adik - adikku"

Aku menatapnya dengan penuh keheranan. Tapi ia langsung mengajakku untuk istirahat. Saat tidur ia memelukku sangat erat. Aku tersenyum saja, sudah lama ini tidak terjadi. Ya Allah, apakah Engkau akan menyuruh malaikat maut untuk mengambil nyawaku sekarang ini, aku telah meresakan kehadirannya saat ini. Tapi masih bisakah engaku ijinkan aku untuk merasakan kehangatan dari suamiku yang telah hilang selama 2 tahun ini.

Suamiku berbisik, "Bunda kok kurus ?"

Aku menangis dalam kebisuan. Pelukannya masih bisa aku rasakan.

Aku pun berkata "Ayah kenapa tidak tidur dengan Desi ?"

"Aku kangen sama kamu Bunda " Aku tak mau menyakitimu lagi, kamu sudah terluka oleh sikapku yang egois" Dengan lembut suamiku menjawab seperti itu.

Lalu suamiku berkata," Bun, ayah minta maaf telah menelantarkan bunda... Selama ayah di Sabang, ayah dengar kalo bunda tidak tulus mencintai ayah, bunda seperti mengejar sesuatu, seperti harta ayah, dan satu lagi ayah pernah melihat sms bunda dengan mantan pacar bunda dimana isinya klo bunda gk mw berbuat seperti itu, dan seperti itu di beri tanda kutip ( "seperti itu" ), ayah ingin ngomong tapi takut bunda tersinggung, dan ayah berpikir klo bunda pernah tidur dengannya sebelum bunda bertemu ayah, terus ayah dimarahi oleh keluarga ayah karena ayah terlalu memanjakan bunda "

Hati ini sakit ketika difitnah oleh suamiku, ketika tidak ada kepercayaan didirinya, hanya karena omongan keluarganya, yang tidak pernah melihat betapa tulusnya aku mencintai pasangan seumur hidupku ini.

Aku hanya menjawab "Aku sudah ceritakan itu kan Yah, akutidak pernah berzinah, dan aku mencintaimu setulus hatiku, jika aku hanya mengejar hartamu, mengapa kamu, banyak lelaki yang lebih mapan darimu waktu itu Yah. Jika aku hanya mengejar hartamu, aku tak mungkin setiap hari menangis karena menderita mencintaimu.

Entah aku harus bahagia atau aku harus sedih karena sahabatku sendirian di kamar pengantin itu. Malam itu, aku menyelesaikan masalahku dengan suamiku dan berusaha memaafkannya beserta sikap keluarganya juga. Karna aku tak mau mati dalam hati yang penuh denagn rasa benci.

Keesokan harinya..... .....

Katika aku ingin bangun untuk mengambil wudhu, kepalaku pusing, rahimku sakit sekali..aku pendarahan.. suamiku kaget...

Suamiku kaget bukan main, ia langsung menggendongku.

Aku pun dilarikan ke rumah sakit.....

Jauh sekali aku mendengar suara zikir suamiku....

Aku merasakan tanganku basah...

Ketika kubuka mata ini, kulihat wajah suamiku penuh dengan rasa kekhawatiran.

Ia menggenggam tanganku dengan erat.. Dan mengatakan " Bunda,,Ayah minta maaf ,,,,!!"

Berapa kali ia mengucapkan hal itu. Dalam hati ku, apa ia tahu apa yang terjadi padaku.

Aku berkata dengan suara yang lirih " Yah....Bunda ingin pulang,,bunda ingin bertemu kedua orang tua bunda, anterin bunda kesana ya Yah...."

"Ayah jangan berubah lagi ya !!! Janji ya Yah... !!! Bunda sayang banget sama Ayah "

Tiba - tiba saja kakiku sakit sangat sakit, sakit nya semakin keatas, kakiku sudah tak bisa bergerak lagi, aku tak kuat lagi memegang tangan suamiku, kulihat wajahnya yang tampan, linangan air matanya.

Sebelum mata ini tertutup ku lafazkan kalimat syahadat dan ditutup denagn kalimat tahlil.

Aku bahagia melihat suamiku punya pengganti diriku

Aku bahagia selalu melayaninya dalam suka dan duka,,

Menemaninya dalam ketika ia mengalami kesulitan dari kami pacaran sampai kami menikah.

Aku bahagia bersuamikan dia. Dia adalah nafas ku.

Untuk Ibu mertuaku : "Maafkan aku telah hadir didalam kehidupan anakmu sampai aku hidup didalam hati anakmu, ketahuilah Ma, dari dulu aku selalu berdo'a agar Mama merestui hubungan kami. Mengapa engkau fitnah diriku didepan suamiku, apa engkau punya bukti nya Ma. Mengapa engkau sangat cemburu padaku Ma ? Fikri tetap milikmu Ma, aku tak pernah menyuruhnya untuk durhaka kepadamu, dari dulu aku selalu mengerti apa yang kamu inginkan dari anakmu, tapi mengapa kau benci diriku.. Dengan Desi kau sangat baik tetapi dengan ku, menantumu kau bersikap sebaliknya."

Setelah ku buka laptop,ku baca curhatan istriku

TO be Continue
 

Related Posts Plugin by ScratchTheWeb