Tuesday, August 3, 2010

Rainbow at The School Part 3



Tokyo, sepuluh tahun yang lalu...

Seorang bocah laki-laki berlari dengan kaki telanjang dibawah guyuran hujan yang kian deras. Dingin menusuk ke segenap pori-pori dan anak itu mulai kelelahan. Dia duduk di trotoar. Tubuhnya yang menggigil itu meringkuk bersama lapar yang kini menderanya. Sementara, jam demi jam berselang, waktu terus berputar dalam dimensi kehidupan. Manusia hanya sibuk dengan urusan mereka masing-masing, sehingga tak ada satupun dari mereka yang peduli dengan anak itu. Bahkan ketika keramaian kota meredup dan langit telah menampakkan kegelapan malam, anak itu masih disana, memeluk lututnya.

Sebuah bayangan lewat di benak Satoshi, nama anak tadi.

***

“Dia juga anakmu, Soichiro!” jerit seorang wanita sembari memeluk kaki seorang pria. Suara Rinko, nama wanita itu mengisi seluruh ruangan apartemen mewah tersebut.

“Bukan, kau telah menipuku!”

Rinko terus menangis sambil memeluk kaki pria berusia tiga puluh tahunan tersebut. “Aku hanya mencintaimu. Dan Satoshi adalah anakmu!”

“Pergilah dari sini!”

“Satoshi anakmu...!! Dia anakmu!!”

“Tes DNA itu telah membuktikan yang sebenarnya!”

“Apa kau lebih percaya pada tes DNA itu daripada aku?”

“Tentu saja! Kau bahkan bukan istriku, kau hanya pelacur hina!”

“Soichiro..., kumohon!”

“Pergilah dari sini!” pria itu mencoba melepaskan dirinya, tubuh Rinko menjadi terseret di lantai. Ia tetap memeluk erat kaki Soichiro. Seorang bocah laki-laki mendekati pria itu, dia juga memeluk kaki pria tersebut.

“Ayah, jangan sakiti ibu!”

“Kau bukan anakku, pergilah dari sini dan cari ayahmu yang sebenarnya!”

“Ibu, kenapa ayah berubah menjadi jahat?” tanya Satoshi.

“Satoshi, ayahmu hanya salah paham.”

Soichiro mengeluarkan ponsel dari saku celananya, dia menelepon sekuriti. Rinko terperangah kaget, ia mencoba meraih ponsel tersebut tapi Soichiro terlanjur meneleponnya. Tidak lama kemudian, dua orang pria memakai pakaian keamanan khusus dari apartemen itu datang.

“Bawa keluar ibu dan anak ini!” kata Soichiro. Tanpa berpikir dua kali, kedua pria itu langsung menyeret Satoshi dan Rinko secara paksa. Tidak butuh waktu lama, Soichiro bisa berjalan bebas lagi. Rinko digiring keluar apartemen, dan dia tidak mampu melepaskan diri walau mencoba memberontak.

“Soichiro!” jerit wanita itu. Tapi ia sama sekali tidak berdaya. Soichiro hanya berdiri diam dengan angkuhnya.

***

Beberapa hari setelah itu...

Rinko dan Satoshi memutuskan tinggal di desa tempat adik Rinko tinggal. Pagi itu, Satoshi sedang melihat kelompok anak-anak yang sedang bermain sepak bola di lapangan desa. Satoshi pun mendekati mereka.

“Boleh aku bergabung?”

Anak-anak itu langsung melihat Satoshi dengan sorotan mata tidak akrab. Mereka berhenti bermain dan mengelilinginya. “Kau anak baru yang tidak punya ayah itu, ya?” tanya mereka.

“Apa?”

“Orang tua kami berkata kalau ibumu adalah pelacur, dan kami tidak boleh dekat-dekat denganmu!”

“Ibuku bukan pelacur!” bela Satoshi.

“Ibumu pelacur! Kalau ibumu bukan pelacur, ayahmu dimana?”

“Ayahku ada di Tokyo. Dia sedang bekerja untuk menafkahi aku dan ibu!”

“Ayahmu adalah seorang penggila wanita! Dia mengusir ibumu karena dia sudah bosan dengan ibumu!” sembur mereka lagi.

“Ayahku tidak seperti itu!”

“Ayahmu adalah orang jahat, ibumu adalah pelacur, dan kau anak haram!”

Satoshi mengatupkan bibirnya. Rasanya ada api yang membara di dalam dada. Dia pun mendorong salah seorang dari anak-anak itu hingga terjatuh. “Kalian salah!” bentaknya tidak kalah sengit.

Anak-anak itu kini mengelilinginya. “Orang tuamu pasti menyesal kau telah lahir!”

“Kau sampah bagi mereka!”

“Diam!” Kali ini Satoshi memukul salah seorang dari anak-anak itu. Amarah anak-anak itu memuncak, mereka mulai berkelahi.

“Satoshi!” Rinko datang membawa sapu lidi. Dia lalu memukuli pantat anak-anak itu sehingga mereka lari ketakutan. Seakan mereka baru saja melihat monster. Rinko lalu melihat wajah Satoshi dekat-dekat.

“Jangan dengarkan ucapan mereka, mereka hanya iri padamu!” ucapnya.

“Ibu, apakah ayah mencampakkanmu?” tanya Satoshi.

“Tidak, waktu itu ayah hanya marah sedikit.”

“Lalu, kenapa aku tidak bisa bertemu ayah lagi?” tanya Satoshi.

“Kau akan bertemu ayahmu tidak lama lagi, kau percaya pada ibu kan?”

“Ibu, pelacur itu apa?” tanya Satoshi lagi.

Rinko membisu.

“Ibu, apakah ibu pelacur?”

“Diamlah! Atau ibu pukul pantatmu!”

“Ibu, apakah ibu menyesal melahirkanku? Aku sampah keluarga?”

“Ibu bilang diam!” bentak Rinko lalu memukul pantat Satoshi begitu keras sampai air mata Satoshi jatuh membasahi pipinya. Dia menangis seraya merintih kesakitan. Rinko langsung memeluknya.

“Maafkan ibu, Satoshi! Ibu memang bukan seorang ibu yang baik!” ujar Rinko ikut menangis. Dia terus mendekap putra satu-satunya itu begitu erat.

***

Dalam sebuah kamar yang gelap, Satoshi belum tertidur walau malam kian larut. Ia mendengar suara bibi dan ibunya yang sedang bicara di ruang tengah.

“Rinko, maafkan aku. Aku harus menyampaikan ini.”

“Ada apa, Saeko?” tanya Rinko.

“Carilah tempat tinggal lain, aku tidak bisa terus menampungmu dalam rumahku. Tetangga-tetangga tidak suka kau dan anakmu ada disini. Gosip yang beredar kau bukan wanita baik-baik dan bisa saja kau merebut suami mereka.”

“Aku tidak mungkin melakukan itu!”

“Aku percaya padamu tapi mereka juga bilang kalau kau suka memukuli anak-anak mereka, apa itu benar?”

Rinko terdiam sesaat. “Jika kau menjadi aku, kau akan melakukan hal yang sama.”

“Aku minta maaf, tapi besok pagi kau sudah pergi dari sini. Jika kau butuh uang, aku akan memberikannya.”

“Tidak, aku tidak mau merepotkanmu lagi.”

“Kau butuh uang, Rinko.”

“Kau sudah terbebani olehku, jadi aku tidak ingin menerima uang darimu secara cuma-cuma. Mungkin aku bisa menjual ponselku padamu, Saeko.”

“Baiklah jika itu maumu.”

***

“Satoshi, bangun!” Sayup-sayup mata Satoshi terbuka. Ia mendengar suara ibunya membangunkannya. Ia lalu beranjak duduk dan mengucek matanya yang masih mengantuk.

“Kita mau ke ayah!”

“Kita ke ayah?” tanya Satoshi. Mendadak pikirannya yang tadi masih terbang di alam kapuk, kembali ke daratan.

“Ayo siap-siap!” ujar Rinko. Satoshi melipat kasurnya dan memasukkannya ke lemari. Jam dinding menunjukkan sekarang pukul lima pagi. Walau Satoshi sedikit heran kenapa mereka akan ke ayah pada dini hari seperti ini, dia mengabaikannya. Yang penting sekarang, dia ingin bertemu ayahnya sekarang juga.

***

Pukul tujuh pagi, Rinko dan Satoshi sudah tiba di Tokyo. Mereka baru saja turun dari bus dan kini berada di trotoar jalan raya dengan membawa sebuah koper besar.

“Bukankah kita akan bertemu ayah?” tanya Satoshi.

“Iya, ayahmu bekerja di gedung itu!” kata Rinko menunjuk sebuah bangunan besar mewah di seberang jalan. “Ayahmu akan datang sebentar lagi.”

Jam demi jam berselang, mereka masih berada disana bahkan hingga siang hari. Satoshi duduk kelelahan, begitu pula Rinko.

“Aneh. Seharusnya ayahmu sudah datang sejak tadi.”

“Kenapa kita tidak masuk saja?” tanya Satoshi.

“Kalau tidak ada ayah, kita tidak boleh masuk.”

“Lalu, kenapa kita tidak pulang ke rumah saja, bu? Mungkin ayah ada di rumah.”

“Ibu tidak tahu rumah kita dimana. Rumah itu sudah dijual.”

“Dijual? Kenapa dijual?”

Rinko menghela nafas, “Ibu juga tidak tahu.”

Waktu terus berputar, mentari beringsut kembali ke lingkup terbenamnya. Perlahan tapi pasti, langit senja pun mulai temaram. Langit juga mulai menghitam dan hujan turun. Rinko dan Satoshi langsung berteduh di dalam sebuah toko. Kebetulan ada kaca besar yang bisa melihat jalan di luar sehingga mereka bisa menunggu Soichiro di sana. Mata Satoshi mulai berat, dia mengantuk dan tertidur.

***

“Dik, bangun!” suara seorang wanita membangunkan Satoshi. Itu bukan suara ibunya melainkan suara wanita pemilik toko. Satoshi melihat jam dinding di toko, ia terkejut melihat waktu menunjukkan pukul sebelas malam dan tidak melihat ada ibunya di sana. Hanya ada koper besar bersamanya.

“Toko mau tutup, rumahmu dimana?” tanya wanita itu.

“Aku tidak punya rumah. Apa bibi melihat ibuku?” tanya Satoshi.

“Ibumu?”

“Iya, dia memakai jaket berwarna hijau tua.”

Air muka wanita itu berubah seketika. “Ibumu? Wanita yang memakai jaket hijau tua itu adalah ibumu?” tanyanya dengan nada tercekat.

“Iya, dimana dia sekarang?”

Wanita itu tidak kuasa menahan tangisnya, air mata membasahi pipi dan itu membuat Satoshi heran. Wanita itu langsung memeluk Satoshi erat-erat.

***

Satoshi membeku sesaat melihat mayat ibunya di sebuah rumah sakit. Banyak darah keluar dari kepalanya dan kepalanya pucat. Dia berlari dan langsung memeluk jasad ibunya erat sekali. “Ibu...!” tangisnya.

Dokter dalam ruangan itu hanya bisa diam melihat Satoshi menangis.

“Ibumu menyebrang jalan dengan berlari, sebuah truk menabraknya,” kata wanita pemilik toko tadi di belakang Satoshi.

“Ibu, jangan mati! Kenapa ibu dingin sekali? Ibu... Ibu...!” Air mata terus membasahi pipi Satoshi. Tangisnya tak kunjung berhenti. “Ibu jangan pergi! Jangan tinggalkan Satoshi sendirian! Ibu pasti melihat ayah datang dan mengejarnya, kan? Kenapa ibu tidak membangunkanku?!”

***

Buliran bening jatuh membasahi pipi Wen Tse. Ia baru saja teringat masa kecilnya. Jie Fei datang dan membuyarkan lamunan Wen Tse. Dia tersentak.

“Ni Hao!” sahut Jie Fei sembari menaruh setumpuk buku-buku tebal di atas meja Wen Tse. Mereka sedang di kelas ketika itu. “Eh? Kenapa sedih?” tanya Jie Fei melihat wajah Wen Tse dekat. Wen Tse segera menghapus air matanya.

“Tidak, mungkin kelilipan.”

“Kau kan paling jenius di kelas ini, jadi ajarkan aku, ya?”

“Tentu saja.”

“Oh ya, belakangan ini aku sedang berpikir selera wanita yang Kak Ho sukai seperti apa, ya?” tanya Jie Fei. “Kalau kau? Selera wanita yang kau sukai seperti apa?”

“Kenapa bertanya aku?”

“Kalian berdua kan sama-sama laki-laki.”

“Rambutnya panjang dan kurus,” jawab Wen Tse sekenanya.

Jie Fei memegang rambutnya yang panjang sebahu dan tubuhnya yang sedikit gemuk. Ia menghela nafas. “Bagaimana denganku? Apa Kak Ho akan menyukaiku?”

Wen Tse menggeleng seraya mengangkat bahu. Jie Fei mendesah dan memanyunkan bibirnya.

***

Comments
2 Comments

2 comments:

  1. uwah...bagus bgt ceritanyaa..
    lanjut ya!

    ReplyDelete
  2. Ceritanya menarik, terutama pembawaan alurnya.
    Ditunggu lanjutannya

    ReplyDelete

Jangan jadi silent reader, giliranmu bercuap-cuap ria.

Related Posts Plugin by ScratchTheWeb