Wednesday, August 27, 2014

Kemiskinan, Lingkaran Setan, dan Buku-Buku di Meja Pak Presiden

Esai untuk tugas MPA FIP UNJ 2013
oleh: Maryam Qonita


Summary

Apa itu kemiskinan? Dua atau tiga tahun yang lalu saya pasti akan mendeskripsikan kemiskinan seperti yang tertulis dalam buku-buku sekolah, kamus besar bahasa Indonesia, ataupun bagaimana kita mendefinisikannya selama ini. Setelah tahun demi tahun berlalu, saya belajar bahwa definisi kemiskinan memiliki cakupan yang lebih luas daripada sekadar masalah ekonomi.Yakni kemiskinan usaha dan sinergi untuk lepas dari sebuah lingkaran setan.

Tujuan saya dalam esai ini adalah menyampaikan sebuah cerita, petualangan dan mimpi yang jika saya sampaikansaya akan lakukan yang terbaiksaya harap Anda akan terkejut, antusias bahkan tergerak untuk segera peduli. Atau minimalnya, tertarik menjadi para pejuang-pejuang pendidikan dalam bidang Anda masing-masing.

Welcome to The Circle of Devil

Hanya setahun yang lalu, saat saya mengikuti sebuah kegiatan rutin tahunan dari Dinas Pendidikan bernama pelatihan pembimbing PPA-PKH (Pengurangan Pekerja Anak – Program Kelurga Harapan) di kota asal saya, Kuningan, Jawa Barat. Dalam kegiatan itu, nantinya, akan dicari 100 anak pekerja yang usianya dibawah 15 tahun namun sudah menjadi pemecah batu, kenek angkot, pembuat batu-bata, dan sebagainya untuk kembali ke dunia pendidikan. Kegiatan ini dijalani setiap tahun di setiap kabupaten kota.

Hal terburuk yang saya dapatkan dalam acara itu adalah saya mendapatkan pengalaman baru. Hal terbaik yang saya dapatkan adalah saya mendapat ide baru untuk ikut berkontribusi.

Namun kenyataannya, setelah setahun anak-anak ini dibimbing dalam shelter juga pemberian materi paket A atau paket B, mereka pun kembali ke habitatnyaMenjadi pekerja lagi. Faktanya, usaha apapun yang dilakukan pemerintah dan dinas pendidikan, pekerja anak bukannya berkurang tapi meningkat 15% tiap tahunnya (Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Kuningan 2012).

Hal yang sama terjadi di tempat saya mengabdi selama sebulan, sebuah desa terpencil bernama Karangbaru. Desa ini begitu indah dengan sawah yang mengelilinginya sepanjang mata memandang. Namun ironisnya, saya hampir tidak melihat pemuda di desa ini. Kebanyakan adalah orang tua dan anak-anak kecil berusia sekolah dasar. Sementara, SMP dan SMA tidak ada di desa ini. Jika mereka ingin mengenyam bangku SMP dan SMA mereka harus berjalan sangat jauh. Pada akhirnya, mayoritas pemuda pergi merantau ke Jakarta untuk mencari pekerjaan dengan below-standard-income yang mau menerima mereka yang notabene uncompetitive. Mereka tumbuh dalam poor-condition, dan mereka akan pada akhirnya akan mendidik anak-anak mereka untuk melakukan hal yang sama.

Dari pendekatan psikologi, tentu anak-anak ini ingin sekali melanjutkan sekolah. Ada Daus yang ingin menjadi ustadz, ada Iis yang ingin jadi dokter, ada Raka yang ingin jadi guru. Seperti Anda, mereka pun memiliki mimpi. 

Melalui dinas pendidikan, akhirnya anak-anak PPA-PKH bisa sekolah gratis dengan buku-buku gratis. Setelah mereka kembali ke sekolah juga setelah menempuh ujian paket A dan paket B, namun karena tidak punya biaya transportasi ke sekolah mereka pun memilih putus sekolah. Anda tahu, biaya transportasi pun kian meningkat seiring dengan meningkatnya harga BBM. Namun, jika harga BBM tidak dinaikkan maka akan menjadi masalah baru untuk pemerintah berupa defisit Negara dan hutang ke luar negeri.

Sebuah lingkaran setan menelan mimpi-mimpi anak bangsa--dan akhirnya menjadi masalah baru di banyak aspek yang lain. Kemiskinan, kurang gizi, pengangguran, kemacetan lalu-lintas, slum-area, kriminalitas, dan miskinnya sumber daya manusia. Akhirnya, selamat datang di lingkaran setan dimana pemerintah mencoba menyelesaikan satu tugas, namun banyak korban lain berjatuhan karena kekurangan kepedulian dari faktor sebelumnya.

Waiting for Superman: What We Know but N0 ACTION!

Saya setuju frasa waiting for superman menunjukkan sikap pasif dimana banyak dari kita tahu masalah pelik nasional namun tak ada aksi. Mungkinkah ada “pria super” muncul yang lalu tiba-tiba menolong bangsa dari keterpurukan dalam sekejap? It’s impossible karena sunatullah: Sebuah negara hanya akan berubah jika penduduknya berubah. Sebuah sinergi kita butuhkan bersama yang akan saya bahas di bagian solution.

Konteksnya besarnya, Ir. Ciputra merupakan seorang pengamat berkata jika jumlah penduduk Indonesia berjumlah sekitar 240 juta jiwa, maka dibutuhkan minimal 2% wirausahawan dari jumlah penduduk. Faktanya, Negara kita hanya memiliki 0,24% jumlah wirausahawan. Yaitu sekitar 400 ribu orang, maka dibutuhkan sekitar 4 juta orang lagi untuk menjadi wirausahawan. Menilik kasus ini, akankah kita sanggup menjadi wirausaha untuk ikut berkontribusi? Atau sekadar “waiting for superman”…?

It’s impossible for me not to compare with any other countries. Jumlah 0,24% itu jauh lebih rendah dari Negara lain. Sebut saja Negara dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat yakni Amerika yang mencapai 11%, Singapura 7%, dan Malaysia 5%. Bersamaan dengan implementasi teori ekonomi makro di kebanyakan peraturan ekonomi banyak negara di dunia, China dan beberapa negara ASEAN tidak akan mengalami kesenjangan ekonomi karena dikondisikan semua pelaku ekonomi kompetitif, yang berarti memiliki level baik dalam bidang pendidikan.
Sumber data:

What our country needs adalah kualitas pendidikan yang bagus untuk menjadi pejuang-pejuang pendidikan professional, namun sayangnya, hanya 5% pelajar yang akhirnya berhasil lulus dari universitas (Harian Analisa, 2006). Ditambah lagi banyaknya bangunan sekolah hancur karena gempa bumi dan bencana alam lainnya. Hal ini berimbas pada mental para pekerja. Maka dari itu, bukan hanya minimnya jumlah wirausahawan yang menyebabkan Indonesia menjadi underdeveloped country, tapi juga uncompetitive workers hingga lebih buruk lagi: unemployment yang didominasi oleh mereka yang berpendidikan rendah. Tabel di atas sebagai referensi. 

Kualitas pendidikan yang bagus bukan berarti kurikulum yang padat, standar ujian nasional yang tinggi, atau jam sekolah yang mem-bludak. Kualitas pendidikan yang bagus adalah sistem pendidikan yang mengutamakan kecerdasan dan potensi yang dimiliki.

Jika tadi saya bicara tentang konteks besarnya, sekarang saya bicara tentang konteks kecilnya saja. Sebut saja nilai-nilai hedonisme yang kini dianut oleh sinetron-sinetron Indonesia, tak berlebihan jika saya menyebutnya “brain washing”. Masalahnya bukanlah jeleknya mutu perfilman yang sering dibicarakan dimana-mana, tapi sudahkah kita usaha untuk memperbaikinya? Talk less do more!

Solution: An Awakening Alarm to RESPECT

Sebuah konsep sederhana namun bisa menjadi solusi yang cukup efektif. Saya menyebutnya RESPECT. Religious, Synergi, Prestative, Care,  Character.

Religious (Islamic Boarding School is the Solution)

Kurikulum pelajaran di Indonesia saya rasa perlu diperbaiki. Di sekolah umum, pelajaran agama hanya diberikan satu kali seminggu. Padahal seharusnya, ada perbaikan sehingga pendidikan agama sebagai landasan dari seluruh proses pendidikan yang ada. Tanpa hal itu, sekolah itu tidak akan mencetak peserta didik dengan kepribadian dan akhlak yang mulia sehari-hari. Bullying, tawuran, pemerkosaan, mencontek, mencuri, jual beli ijazah pun menjadi hal yang lumrah.

Sebuah solusi pun terpecahkan untuk biaya transportasi anak-anak PPA-PKH yakni dengan menyekolahkan mereka ke pesantren bersistem asrama. Selain tidak ada biaya transportasi, mereka juga bisa mengenyam pendidikan agama lebih mendalam. Dalam ilmu ekonomi, bukan hanya peningkatan normal yang didapatkan tapi juga peningkatan eksponensial

Synergy (1+1=3)

Seperti yang sudah dijanjikan sebelumnya, saya akan membahas tentang kekuatan sinergi dimana 1+1=3. Sebuah negara tidak akan berubah kecuali penduduk itu sendiri berubah, menuju perbaikan secara bersama-sama. Slogan ini pula yang dipakai oleh Korea Selatan 50 tahun yang lalu sehingga kini bisa menjadi negara maju dengan system pendidikan terbaik kedua di dunia setelah Finlandia.

Perlu ada kerja sama yang baik dengan pemerintah, lembaga swasta, juga seluruh penduduk Indonesia untuk membawa negara ke arah kemajuan.

Prestative (A Tolikara Approach)

Setiap individu pasti memiliki keahliannya masing-masing bahkan untuk hal-hal kecil. Namun, bagaimana kita memaksimalkan keahlian tersebut untuk menjadi prestasi? Dan bagaimana kita memanfaat keahlian tersebut menjadi kebaikan untuk banyak orang? Dalam sebuah hadits dikatakan, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya untuk orang lain.”

Seorang Pembina PPA-PKH bercerita saat pelatihan bahwa beberapa tahun yang lalu ada seorang anak SMP yang putus sekolah, namun setelah melalui ujian paket B dan melanjutkan ke SMA, anak itu berhasil menjadi juara umum di sekolahnya bahkan menjadi juara 2 Olimpiade Sains Nasional bidang Matematika. Akhirnya program PPA-PKH pun mendapat kucuran dana lebih banyak dari pemerintah yang pada akhirnya dapat dimanfaatkan mencari benih-benih juara baru.

Sekarang kita terbang ke Jayapura, dari pedalaman Tolikara dimana pemerintah daerah dipusingkan dengan miskinnya dana pembangunan dan administrasi, seorang ‘gila’ bernama John Tabo malah melatih edan-edanan 15 anak Papua selama 10 bulan sehingga mereka bisa menyelesaikan problem matematika tersulit tingkat SMA bahkan universitas.

Hasilnya apa? Pelajar-pelajar ini pun berhasil mengharumkan Indonesia di tingkat dunia dan meraih medali emas. Indonesia dikenal lewat Tolikara meskipun selama ini Indonesia tidak kenal Tolikara. Akhirnya Tolikara pun mendapat bantuan lebih dari Indonesia dan dunia. Segala pembangunan infrastruktur berjalan lebih cepat dari daerah lain.

carE (Finlandia Success Story)

Kesuksesan tidak terjadi sekejap mata, perlu ada toleransi, kesabaran dan kepedulian yang tinggi. Tanpa kepedulian, maka seperti lingkaran setan yang dibahas sebelumnya, akan banyak korban berjatuhan di faktor lain.

Menilik kesuksesan Finlandia menjadi negara dengan pendidikan terbaik di Indonesia berawal dari kepedulian sang guru. Meskipun kondisi Indonesia dan Finlandia berbeda, namun ada beberapa hal yang dapat kita bandingkan. Once more, it’s impossible for me not to compare with any other country.

Finlandia memang unik! Sistem pendidikan mereka menekankan proses, bukan hasil. Tidak ada ujian untuk murid yang menjadi penentu kelulusan. Ujian dibuat untuk guru dan klasifikasi guru di Finlandia jauh lebih sulit daripada masuk Fakultas Hukum ataupun Kedokteran. Kalaupun ada murid yang tidak naik kelas, maka sang guru akan membantu hingga semua anak naik kelas. Tak ada system ranking di sana, yang tahu hanya gurunya saja. Kata seorang guru di Finlandia, "Kalau saya gagal dalam mengajar seorang murid, maka itu berarti ada yang tidak beres dengan pengajaran saya!"

Sedangkan di Indonesia malah ada sejumlah guru dan kepala sekolah yang dengan bangga tidak menaikkelaskan anak didiknya. Gagal mendidik kok bangga.

Character  (The Cornerstone)

Apa tujuan dari dari pendidikan? Apakah hanya untuk penguasaan materi pelajaran saja tanpa nilai spiritual? Tentu saja tidak. Yang juga penting dalam sistem pendidikan adalah pendidikan karakter sebagai pilar kebangkitan bangsa, sehingga mencetak pribadi yang berakhlak mulia. Mengutip dari pengertian pendidikan dalam Undang-Undang nomor 20/2003, “…sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, banga dan negara”

Juga diungkapkan Muhammad Nuh. “Pendidikan karakter sangat penting untuk bangsa. Sekarang kita lihat banyak penegak hukum yang justru dihukum, pelayan publik yang justru minta dilayani. Semuanya itu berujung pada karakter," ungkapnya, Minggu (2/5/2010) di Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), Jakarta.

 

Some Final Thoughts


At last but not least, jika diungkapkan dalam kalimat sederhana, Indonesia membutuhkan peran-peran para agents of change yang bisa membawa bangsa menuju cita-cita besar pada sebuah perubahan yang sejak lama diimpikan. Maka dari itu, saya termotivasi menulis esai ini. Saya berharap ada generasi muda yang sepenuhnya menyadari bahwa di tangannyalah perubahan itu terwujud. Satu kalimat favorit saya: Maka daripada mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan lilin. let’s make it happen!

Sumber                :

  • Drucker, Peter F. 1996. The Leader of The Future. San Fransisco: Jossey-Bass. 
  • Jovenes, Todo. From a Near-Sighted Princess to a Change in Focus 
  • Mirzalina, Riska. 2010. Creative Business: The Art of Seeking Opportunity in Crisis 
  • Samosir, Partogi. Butuh Orang “gila” Untuk Membangun Indonesia 
  • The Colours of Our Education http://maryam-qonita.blogspot.com
  • http://www.leadershipnow.com/anthonysmith.htm
  •  World Competitiveness Year Book
  • Etc.

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

Jangan jadi silent reader, giliranmu bercuap-cuap ria.

Related Posts Plugin by ScratchTheWeb