Esai untuk tugas MPA FIP UNJ 2013
oleh: Maryam Qonita
Summary
Apa itu kemiskinan? Dua atau tiga
tahun yang lalu saya pasti akan mendeskripsikan kemiskinan seperti yang
tertulis dalam buku-buku sekolah, kamus besar bahasa Indonesia, ataupun
bagaimana kita mendefinisikannya selama ini. Setelah tahun demi tahun berlalu,
saya belajar bahwa definisi kemiskinan memiliki cakupan yang lebih luas
daripada sekadar masalah ekonomi.Yakni kemiskinan usaha dan sinergi untuk lepas
dari sebuah lingkaran setan.
Tujuan saya dalam esai ini adalah
menyampaikan sebuah cerita, petualangan dan mimpi yang jika saya sampaikan—saya
akan lakukan yang terbaik—saya harap Anda akan terkejut,
antusias bahkan tergerak untuk segera peduli. Atau minimalnya, tertarik menjadi
para pejuang-pejuang pendidikan dalam bidang Anda masing-masing.
Welcome to The Circle of Devil
Hanya setahun yang lalu, saat
saya mengikuti sebuah kegiatan rutin tahunan dari Dinas Pendidikan bernama
pelatihan pembimbing PPA-PKH (Pengurangan Pekerja Anak – Program Kelurga
Harapan) di kota asal saya, Kuningan, Jawa Barat. Dalam kegiatan itu, nantinya,
akan dicari 100 anak pekerja yang usianya dibawah 15 tahun namun sudah menjadi
pemecah batu, kenek angkot, pembuat batu-bata, dan sebagainya untuk kembali ke
dunia pendidikan. Kegiatan ini dijalani setiap tahun di setiap kabupaten kota.
Hal terburuk yang saya dapatkan
dalam acara itu adalah saya mendapatkan pengalaman baru. Hal terbaik yang saya
dapatkan adalah saya mendapat ide baru untuk ikut berkontribusi.
Namun kenyataannya, setelah
setahun anak-anak ini dibimbing dalam shelter juga pemberian materi paket A
atau paket B, mereka pun kembali ke habitatnya—Menjadi pekerja lagi. Faktanya,
usaha apapun yang dilakukan pemerintah dan dinas pendidikan, pekerja anak
bukannya berkurang tapi meningkat 15% tiap tahunnya (Sumber: Dinas Pendidikan
Kabupaten Kuningan 2012).
Hal yang sama terjadi di tempat
saya mengabdi selama sebulan, sebuah desa terpencil bernama Karangbaru. Desa
ini begitu indah dengan sawah yang mengelilinginya sepanjang mata memandang.
Namun ironisnya, saya hampir tidak melihat pemuda di desa ini. Kebanyakan
adalah orang tua dan anak-anak kecil berusia sekolah dasar. Sementara, SMP dan
SMA tidak ada di desa ini. Jika mereka ingin mengenyam bangku SMP dan SMA
mereka harus berjalan sangat jauh. Pada akhirnya, mayoritas pemuda pergi
merantau ke Jakarta untuk mencari pekerjaan dengan below-standard-income yang mau menerima mereka yang notabene uncompetitive. Mereka tumbuh dalam poor-condition, dan mereka akan pada
akhirnya akan mendidik anak-anak mereka untuk melakukan hal yang sama.
Dari pendekatan psikologi, tentu
anak-anak ini ingin sekali melanjutkan sekolah. Ada Daus yang ingin menjadi
ustadz, ada Iis yang ingin jadi dokter, ada Raka yang ingin jadi guru. Seperti
Anda, mereka pun memiliki mimpi.
Melalui dinas pendidikan,
akhirnya anak-anak PPA-PKH bisa sekolah gratis dengan buku-buku gratis. Setelah
mereka kembali ke sekolah juga setelah menempuh ujian paket A dan paket B,
namun karena tidak punya biaya transportasi ke sekolah mereka pun memilih putus
sekolah. Anda tahu, biaya transportasi pun kian meningkat seiring dengan
meningkatnya harga BBM. Namun, jika harga BBM tidak dinaikkan maka akan menjadi
masalah baru untuk pemerintah berupa defisit Negara dan hutang ke luar negeri.
Sebuah lingkaran setan menelan
mimpi-mimpi anak bangsa--dan akhirnya menjadi masalah baru di banyak aspek yang
lain. Kemiskinan, kurang gizi, pengangguran, kemacetan lalu-lintas, slum-area,
kriminalitas, dan miskinnya sumber daya manusia. Akhirnya, selamat datang di
lingkaran setan dimana pemerintah mencoba menyelesaikan satu tugas, namun
banyak korban lain berjatuhan karena kekurangan kepedulian dari faktor
sebelumnya.
Waiting for Superman: What We Know but N0 ACTION!
Saya setuju frasa waiting for superman menunjukkan sikap
pasif dimana banyak dari kita tahu masalah pelik nasional namun tak ada aksi.
Mungkinkah ada “pria super” muncul yang lalu tiba-tiba menolong bangsa dari
keterpurukan dalam sekejap? It’s
impossible karena sunatullah: Sebuah
negara hanya akan berubah jika penduduknya berubah. Sebuah sinergi kita
butuhkan bersama yang akan saya bahas di bagian solution.
Konteksnya besarnya, Ir. Ciputra
merupakan seorang pengamat berkata jika jumlah penduduk Indonesia berjumlah
sekitar 240 juta jiwa, maka dibutuhkan minimal 2% wirausahawan dari jumlah
penduduk. Faktanya, Negara kita hanya memiliki 0,24% jumlah wirausahawan. Yaitu
sekitar 400 ribu orang, maka dibutuhkan sekitar 4 juta orang lagi untuk menjadi
wirausahawan. Menilik kasus ini, akankah kita sanggup menjadi wirausaha untuk
ikut berkontribusi? Atau sekadar “waiting
for superman”…?
It’s impossible for me not to compare with
any other countries. Jumlah 0,24% itu jauh lebih rendah dari Negara lain.
Sebut saja Negara dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat yakni Amerika yang
mencapai 11%, Singapura 7%, dan Malaysia 5%. Bersamaan dengan implementasi
teori ekonomi makro di kebanyakan peraturan ekonomi banyak negara di dunia,
China dan beberapa negara ASEAN tidak akan mengalami kesenjangan ekonomi karena
dikondisikan semua pelaku ekonomi kompetitif, yang berarti memiliki level baik
dalam bidang pendidikan.
Sumber data:
What our country needs
adalah kualitas pendidikan yang bagus untuk menjadi pejuang-pejuang pendidikan
professional, namun sayangnya, hanya 5% pelajar yang akhirnya berhasil lulus
dari universitas (Harian Analisa, 2006). Ditambah lagi banyaknya bangunan
sekolah hancur karena gempa bumi dan bencana alam lainnya. Hal ini berimbas
pada mental para pekerja. Maka dari itu, bukan hanya minimnya jumlah
wirausahawan yang menyebabkan Indonesia menjadi underdeveloped country, tapi juga uncompetitive workers hingga lebih buruk lagi: unemployment yang didominasi oleh mereka yang berpendidikan
rendah. Tabel di atas sebagai referensi.
Kualitas pendidikan yang bagus bukan berarti kurikulum yang padat, standar ujian nasional yang tinggi, atau jam sekolah yang mem-bludak. Kualitas pendidikan yang bagus adalah sistem pendidikan yang mengutamakan kecerdasan dan potensi yang dimiliki.
Jika tadi saya bicara tentang
konteks besarnya, sekarang saya bicara tentang konteks kecilnya saja. Sebut
saja nilai-nilai hedonisme yang kini dianut oleh sinetron-sinetron Indonesia,
tak berlebihan jika saya menyebutnya “brain
washing”. Masalahnya bukanlah jeleknya mutu perfilman yang sering
dibicarakan dimana-mana, tapi sudahkah kita usaha untuk memperbaikinya? Talk less do more!
Solution: An Awakening Alarm to RESPECT
Sebuah konsep sederhana namun
bisa menjadi solusi yang cukup efektif. Saya menyebutnya RESPECT. Religious,
Synergi, Prestative, Care, Character.
Religious (Islamic Boarding School is the Solution)
Kurikulum pelajaran di Indonesia saya
rasa perlu diperbaiki. Di sekolah umum, pelajaran agama hanya diberikan satu
kali seminggu. Padahal seharusnya, ada perbaikan sehingga pendidikan agama
sebagai landasan dari seluruh proses pendidikan yang ada. Tanpa hal itu,
sekolah itu tidak akan mencetak peserta didik dengan kepribadian dan akhlak
yang mulia sehari-hari. Bullying, tawuran, pemerkosaan, mencontek, mencuri,
jual beli ijazah pun menjadi hal yang lumrah.
Sebuah solusi pun terpecahkan untuk
biaya transportasi anak-anak PPA-PKH yakni dengan menyekolahkan mereka ke
pesantren bersistem asrama. Selain tidak ada biaya transportasi, mereka juga
bisa mengenyam pendidikan agama lebih mendalam. Dalam ilmu ekonomi, bukan hanya
peningkatan normal yang didapatkan tapi juga peningkatan eksponensial
Synergy (1+1=3)
Seperti yang sudah dijanjikan
sebelumnya, saya akan membahas tentang kekuatan sinergi dimana 1+1=3. Sebuah
negara tidak akan berubah kecuali penduduk itu sendiri berubah, menuju
perbaikan secara bersama-sama. Slogan ini pula yang dipakai oleh Korea Selatan
50 tahun yang lalu sehingga kini bisa menjadi negara maju dengan system
pendidikan terbaik kedua di dunia setelah Finlandia.
Perlu ada kerja sama yang baik
dengan pemerintah, lembaga swasta, juga seluruh penduduk Indonesia untuk
membawa negara ke arah kemajuan.
Prestative (A Tolikara Approach)
Setiap individu pasti memiliki
keahliannya masing-masing bahkan untuk hal-hal kecil. Namun, bagaimana kita
memaksimalkan keahlian tersebut untuk menjadi prestasi? Dan bagaimana kita
memanfaat keahlian tersebut menjadi kebaikan untuk banyak orang? Dalam sebuah
hadits dikatakan, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya
untuk orang lain.”
Seorang Pembina PPA-PKH bercerita
saat pelatihan bahwa beberapa tahun yang lalu ada seorang anak SMP yang putus
sekolah, namun setelah melalui ujian paket B dan melanjutkan ke SMA, anak itu
berhasil menjadi juara umum di sekolahnya bahkan menjadi juara 2 Olimpiade
Sains Nasional bidang Matematika. Akhirnya program PPA-PKH pun mendapat kucuran
dana lebih banyak dari pemerintah yang pada akhirnya dapat dimanfaatkan mencari
benih-benih juara baru.
Sekarang kita terbang ke
Jayapura, dari pedalaman Tolikara dimana pemerintah daerah dipusingkan dengan
miskinnya dana pembangunan dan administrasi, seorang ‘gila’ bernama John Tabo
malah melatih edan-edanan 15 anak Papua selama 10 bulan sehingga mereka bisa
menyelesaikan problem matematika tersulit tingkat SMA bahkan universitas.
Hasilnya apa? Pelajar-pelajar ini
pun berhasil mengharumkan Indonesia di tingkat dunia dan meraih medali emas.
Indonesia dikenal lewat Tolikara meskipun selama ini Indonesia tidak kenal
Tolikara. Akhirnya Tolikara pun mendapat bantuan lebih dari Indonesia dan
dunia. Segala pembangunan infrastruktur berjalan lebih cepat dari daerah lain.
carE (Finlandia Success Story)
Kesuksesan tidak terjadi sekejap
mata, perlu ada toleransi, kesabaran dan kepedulian yang tinggi. Tanpa
kepedulian, maka seperti lingkaran setan yang dibahas sebelumnya, akan banyak
korban berjatuhan di faktor lain.
Menilik kesuksesan Finlandia
menjadi negara dengan pendidikan terbaik di Indonesia berawal dari kepedulian
sang guru. Meskipun kondisi Indonesia dan Finlandia berbeda, namun ada beberapa
hal yang dapat kita bandingkan. Once
more, it’s impossible for me not to compare with any other country.
Finlandia memang unik! Sistem
pendidikan mereka menekankan proses, bukan hasil. Tidak ada ujian untuk murid
yang menjadi penentu kelulusan. Ujian dibuat untuk guru dan klasifikasi guru di
Finlandia jauh lebih sulit daripada masuk Fakultas Hukum ataupun Kedokteran.
Kalaupun ada murid yang tidak naik kelas, maka sang guru akan membantu hingga
semua anak naik kelas. Tak ada system ranking di sana, yang tahu hanya gurunya
saja. Kata seorang guru di Finlandia, "Kalau saya gagal dalam mengajar
seorang murid, maka itu berarti ada yang tidak beres dengan pengajaran
saya!"
Sedangkan di Indonesia malah ada
sejumlah guru dan kepala sekolah yang dengan bangga tidak menaikkelaskan anak
didiknya. Gagal mendidik kok bangga.
Character (The Cornerstone)
Apa tujuan dari dari pendidikan?
Apakah hanya untuk penguasaan materi pelajaran saja tanpa nilai spiritual?
Tentu saja tidak. Yang juga penting dalam sistem pendidikan adalah pendidikan
karakter sebagai pilar kebangkitan bangsa, sehingga mencetak pribadi yang
berakhlak mulia. Mengutip dari pengertian pendidikan dalam Undang-Undang nomor
20/2003, “…sehingga
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, banga
dan negara”
Juga diungkapkan Muhammad
Nuh. “Pendidikan
karakter sangat penting untuk bangsa. Sekarang kita lihat banyak penegak hukum
yang justru dihukum, pelayan publik yang justru minta dilayani. Semuanya itu
berujung pada karakter," ungkapnya, Minggu (2/5/2010) di Kementerian
Pendidikan Nasional (Kemdiknas), Jakarta.
Some Final Thoughts
At last but not least, jika diungkapkan dalam kalimat sederhana,
Indonesia membutuhkan peran-peran para agents of change yang bisa
membawa bangsa menuju cita-cita besar pada sebuah perubahan yang sejak lama
diimpikan. Maka dari itu, saya termotivasi menulis esai ini. Saya berharap ada
generasi muda yang sepenuhnya menyadari bahwa di tangannyalah perubahan itu
terwujud. Satu kalimat favorit saya: Maka daripada mengutuk kegelapan, lebih
baik menyalakan lilin. let’s make it
happen!
Esai saya yang lain : You Are What You Eat (Aku Untuk Pendidikan Indonesia)
Sumber :
- Drucker, Peter F. 1996. The Leader of The Future. San Fransisco: Jossey-Bass.
- Jovenes, Todo. From a Near-Sighted Princess to a Change in Focus
- Mirzalina, Riska. 2010. Creative Business: The Art of Seeking Opportunity in Crisis
- Samosir, Partogi. Butuh Orang “gila” Untuk Membangun Indonesia
- The Colours of Our Education http://maryam-qonita.blogspot.com
- http://www.leadershipnow.com/anthonysmith.htm
- World Competitiveness Year Book
- Etc.