Thursday, August 28, 2014

[Resensi] Eksistensi Indonesia

Judul             : The Idea of Indonesia; Sejarah Pemikiran dan Gagasan
Penulis          : R.E. Elson
Penerjemah   : Zia Anshor
Penerbit        : Serambi 
Cetakan        : I, Januari 2009
Tebal            : xxxiii + 543 hlm. (termasuk indeks)

Sebelum abad kedua puluh, Indonesia dapat dikatakan belum ada. Di kepulauan yang membentang antara benua Asia dan Australia ini dulu terdapat negara-negara besar dan kecil yang disatukan dalam kekuasaan penjajahan Belanda. Negara-negara itu memiliki sikap kedaerahan yang melekat di masing-masing daerah juga dengan bendera yang berbeda-beda. Para pelancong dan pejabat non-Belanda hanya menyebutnya antara lain “Lautan Timur”, “Kepulauan Timur”, “Kepulauan Hindia” atau “Hindia Timur Belanda” dll.

Kesatuan pulau tersebut sama-sama dijajah selama 3,4 abad oleh kolonial Belanda. Penjajahan tersebut perlahan menguatkan perasaan sama-sama dijajah dan ditindas. Gagasan politis “Indonesia” yakni ada sebuah negara yang mencakup satu kepulauan di bawah terbentuk dengan sendirinya selama 340 tahun penjajahan Belanda tersebut. Soeriokoesomo dalam “Javaansch Nationalism” mengatakan “Ujung-Ujungnya, Belandalah yang menciptakan Hindia (Indonesia) dan Pribumi. Orang Jawa ada dengan sendirinya,”

Istilah “Indonesia” yang diusung Logan menjadi daya tarik tersendiri. Bagi kaum pribumi memiliki identitas baru secara nasional adalah perangkat meraih kemerdekaan. Padahal gagasan “Indonesia” awalnya tidak terlalu diterima secara antusias. Akhir abad 20, gagasan ini masih setengah-setengah diterima, masih lemah, kacau dan samar. Maka dari itu banyak upaya-upaya Belanda untukk memperkuat sentimen kedaerahan dan tidak menyukai istilah “Indonesia” tersebut.

Dalam buku Elson, The Idea of Indonesia dengan uraian yang kronologisnya yang sangat detail, Elson memulai bagian awal dengan banyak memfokuskan pada tiga serangkai: Suwardi Suryaningrat, Dr. Douwes Dekker dan dr. Tjipto Mangunkusumo. Douwess Dekker mendirikan Partai Hindia untuk menyusun konsep masyarakat kepulauan Hindia secara politis, bukan hanya secara geografis. Terminologi Indonesia kemudian baru diberi makna politis (dalam bentuk 'Hindia' yang harus merdeka) oleh Abdul Rivai, Kartini, Abdul Moeis, Soewardi Soeryaningrat, Douwes Dekker, Cipto Mangoenkoesoemo, Ratulangie dan lain-lain antara 1903-1913.

Selain itu, berbagai organisasi-organisasi didirikan sebagai awal kebangkitan rasa nasionalisme bangsa seperti Budi Utomo dan Sarikat Islam. Dalam “pengorganisasian masyarakat Indonesia” itu akhirnya timbullah persinggungan dengan pengalaman kesejarahan beragam suku (seperti Papua Barat yang hingga kini masih merupakan persoalan pelik), agama, dan juga ras yang berbeda.

Gagasan Indonesia mnggema menginjak awal 1920. Berbagai kongres disatukan untuk mengupayakan persatuan. Entah persatuan secara merdeka atau otonomi – mengingat masih banyak PR untuk mewujudkan negara yang merdeka –Seperti Tjokroaminoto mengadakan Kongres Nasional Hindia untuk menyatukan organisasi-organisasai regional dan local itu untuk mencapai kebebasan nasional.

Dalam kaitan mengembangkan gagasan ini, tertuang banyak pemikiran para intelektul dengan latar belakang social dan politik Barat. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia merupkan produk pemikiran modern yang bersumber dari filsafat dan pemikiran Barat. Termasuk orang-orang yang kelak akan menjadi tokoh seperti Mohammad Hatta, Soetomo, dll. Sebagaimana diuraikan Elson dengan mengutip pernyataan Ali Sastroamijoyo, “existed as a good political idea whose time had (just about) come, and through which they found a new and modern sense of identity…”

Upaya-upaya yang ditekankan lebih kepada pemahaman lebih canggih tentang “Indonesia” dan bagaiaman jalan mencapainya. Sehingga jelaslah “ruang politik” bernama Indonesia yang tadinya masih berupa gagasan lalu menjadi realitas politik.

Meskipun pun peran asing dalam memberikan identitas kebangsaan Indonesia cukup signifikan. Pribumi juga memberikan kontribusi dalam mengupayakan persatuan nasional. Setidaknya ini lahir dari dua golongan pribumi yang memiliki visi dan perasaan yang sama sebagai orang Indonesia di tempat yang berbeda:

1)      solidaritas di kalangan mahasiswa yg ada di Belanda
2)      solidaritas di kalangan mereka yg berangkat ke Mekah untuk naik haji

Dua golongan pribumi ini memberikan warna dalam proses membentuk kesamaan identitas bangsa. Seperti contoh: orang Jawa yang sedang melaksanakan ibdah Haji di Mekkah bertemu dengan orang Aceh, dan mereka saling berkomunikasi dan bertukar informasi mengenai asal daerahnya. Proses inilah yang lama kelamaan menimbulkan kesamaan identitas sebagai orang Indonesia.

Meskipun begitu, menariknya komentar Tan Malaka bahwa para pemikir ini menempel pada kata kemerdekaan yang tidak jelas artinya dan tidak pernah menyentuh analisis sosial ekonomi masyarakat. Dalam makna yang luas, kemerdekaan adalah akhir dari kekuasaan asing dan kedaulatan rakyat. Kemerdekaan juga dipandang sebagai perjuangan anti-feodal. Namun realitasnya, hal ini masih belum dicapai. Kegagalan demokrasi ditandai banyaknya ketegangan-ketegangan dan kekecewaan terhadap orde lama dan orde baru.

Berbagai pertimbangan-pertimbangan dalam menjalankan ruang politik seperti otonomi atau merdeka, kooperasi atau non-kooperasi menimbulkan pertentangan tersendiri d kalangan para pemikir. Hingga akhirnya , tindakan-tindakan represif yang telak menghentikan kubu-kubu yang bertentangan dengan kepentingan nasionalisme.

Selain pemakaian bahasa yang memiliki banyak cerita, budaya, sifat kedaerahan, nasionalisme juga menuntut cukup banyak perngorbanan yang belum pasti dan bisa jadi merugikan. Aliran pemikiran politik yang bertentangan harus dapat diakomodasi demi persatuan. Sebagai contoh, perseteruan antara kelompok muslim dan komunis mengenai Sarikat Islam, kasus Ambon, Persatuan Minahasa yang tidak mau bergabung dengan PPPKI,dll. Perpecahana ideologis terjadi karena setiap organisasi bekerja dengan paradigma yang juga berbeda-beda secara mendasar.

Meski Belanda menolak menerima atau mengakui istilah Indonesia dalam arti apapun.   Dalam sekejap mata, penjajahan Belanda berakhir di hadapi militerisme Jepang. Sejarah Indonesia pun dimulai dengan lembaran baru.

Jepang memiliki dampak tersendiri bagi Bangsa. Jepang memberikan kesempatan bagi kaum nasionalis untuk terlibat di pemerintahan dalam cara-cara yang belum pernah mereka kenal sebelumnya. Dengan jejaring komunikasi, kaum nasionalis mengembangkan pemahaman popular dan gagasan Indonesia hingga daerah-daerah.

Amir Syarifudin mengatakan bahwa gagasan yang disponsori jepang memberikan begitu banyak manfaat. Jepang banyak mendrikan milisi-milisi pribumi yang disponsori olehnya seperti Peta, Heiho, Giyugun, dll. Tindakan ini membuka jalan untuk cita-cita jelas dalam politik pribumi. Dalam menyiapkan kemerdekaan, Jepang pun mengumumkan bredirinya BPUPKI yang merupakan awal dari berdirinya dasar negara atau Pancasila.

Berdirinya “negara Indonesia Merdeka” seperti dinyatakan dalam teks proklamasi, merupakan keinginan seluruh lapisan masyarakat Indonesia dalam mencapai kebebasan. Jalan ini telah ditempuh begitu jauh. Namun PR bangsa tidak hanya sampai situ, mempertahankan negara dan merumuskan bangsa juga masih menjadi tantangan ke depannya. Muncullah kelompok-kelompok yang memiliki visi mereka sendiri mengenai Indonesia seperti apa yang ingin dibentuk.

Kemerdekaan ternyata menjadi awal dari sebuah babak baru di mana gagasan tentang Indonesia akan diuji dalam bentuk-bentuk yang tak pernah dibayangkan oleh para pendirinya dulu. Pencarian format kenegaraan, pembangunan struktur politik, dan penguatan pilar-pilar kebangsaan ternyata mengalami banyak tantangan, kelokan dan kegagalan: pemberontakan datang silih berganti, daerah bergolak, hingga pertumpahan darah tak terelakkan.

Warisan militer Jepang seperti bertahan dengan kekerasan dibentuk untuk menegakkan kepemimpinan pusat. Abdul Haris Nasution diangkat menjadi komandan divisi Siliwangi Mei 1946, Sudirman seorang veteran Peta dipilih jadi Panglima tahun 1945. Kekuasaan militer muncul didasarkan pada klaim otoritas dan kehendak rakyat banyak

 Serangkaian tantangan internal pun dilengkapi dengan dorongan federalism dari Belanda. Seperti telah dilihat, pemerintahan federal telah menjadi pemecahan politis yang paling disukai di Belanda. Meskipun begitu upaya-upaya Belanda untuk mematikan republic Indonesia gagal. Seperti aksi polisional untuk memecah belah persatuan Indonesia.

Meski pada akhirnya republik Indonesia secara sepihak membongkar susunan negara federal yang beberapa minggu menaunginya, tindakan itu dilakukan tanpa ada konsultasi dengan daerah-darerha. Upaya ini memancing banyak tanggapan hingga pemberontakan. Pemberontakan Andi Azis adalah tanda nyata dari keraguan terhadap niat sentralisasi bangsa. Ideologi Pancasila pun tak mampu menjalankan peran pemersatu yang dijanjikan.

Demokrasi liberal barat yang makin dirasa tidak cocok dengan jiwa Indonesia. Meskipun sistem ini juga memiliki positif yakni menarik dukungan bagi Indonesia di arena internasional.

Dalam praktiknya memang, masih banyak kegagalan cita-cita proklamasi dan kesatuan bangsa. Seperti maraknya pembangkangan daerah, agenda-agenda politik tentara, kelemahan ekonomi dalam manajemen dan infrastruktur, juga jalan buntu dalam pemilihan umum. Dengan demikian, kata Sudjatmoko, “Ketika tidak ada kemajuan tercapai setelah kemerdekaan, orang mulai kembali ke sikap dan pola pikir tradisional yang muncul ketika cita-cita revolusi memudar.” 

Klimaks paling fatal adalah pemberontakan PRRI yang merupakan tantangan daerah paling seriuss yang pernah dialami Republik Indonesia. PRRI permesta menuntut negosiasi ulang atas pembagian kekuasaan dalam negara Indonesia lewat penggantian pemerintah pusat. Meski demikian, PRRI dapat menarik sejumlah politikus terkemuka seperti Natsir dan Burhanudin Harahap.

Bagi Soekarno, kejayaan yang dijanjikan akan tercapai jika dia yang menentukan dan memimpin. Baginya, cukup dirinya yang menafsirkan aspirasi dan keinginan rakyat yang seringkali tidak rakyat sadari. Maka dari itu Soekarno akhirnya menggusur musuhnya seperti demokrasi liberal, Pengkhianat PRRI permesta dan sistem multipartai. Dalam perkembangannya, sejenis otoritarianisme mulai mapan di bentang politik. Sikap acuh demokrasi terpimpin inilah menandakan akhir politikus Islam dalam mendapat tempat penting di politik Indonesia. Demokrasi terpimpin dimaksudkan sebagai obat untuk ketidakmampuan demokrasi parlementer.

Ekonomi di demokrasi terpimpin memiliki banyak kemerosotan dan inflasi terus miningkat seiring dengan ekonomi yang hanya dijadikan alat politis. Dalam perencanaan ekonomi delapan tahun buatan BPN pun tidak terlalu banyak memuat cara untuk mencapai tujuan-tujuan ambisius Soekarno. Meski Soekarno begitu ambisius untuk memantik mimpinya, namun demokrasi terpimpin tidak pernah memiliki konsep yang jelas. Melainkan hanya gembar-gembor ideologi tidak berisi.

            Digulingkannya Soekarno dan kemunculan mendadak Soeharto juga mengejutkan. Apalagi posisi Soeharto relatif tidak dikenal tahun 1965 itu. Meski begitu Soeharto langsung melakukan pukulan maut kepada legitimasi Soekarno sebagai perwujudan kehendak rakyat Indonesia. Orde baru lahir pada saat krisis dan kekerasan. Soeharto menyadari bahwa tugas utamanya adalah membunuh PKI dan memberantas mereka. Pembantaian mengerikan terjadi dimana-mana. Rezim yang dibangun juga bersifat otoriter serperti Demokrasi terpimpin.

            Dalam pikiran Soeharto, Indonesia adalah proyek mulia yang sulit untuk ditangani, terancam ketidakpastian, nafsu rakyat tidak disiplin, dan tidak tahu apa-apa. Keperluan untuk menghilangkan masalah-masalah itu adalah dengan memberantas sumbernya. Baginya, politik bukanlah perang gagasan, tapi mengelola proses untuk mencapai tujuan yang sudah disepakati.

            Perlawanan terhadap sistem politik Soeharto terpencar-pencar, terbungkam dan lemah. Bentuk-bentuk aksi politik terbatas ruang gerak. Para pensiunan Jenderal seperti Dharsono menuduh orde baru mengkhianati janjinya dahulu dan berubah menjadi rezim represif, keras, dan anti-demokratik. . Orde baru juga memberikan kedudukan istimewa kepada angkatan bersenjata yang telah membantu soeharto naik ke tampuk kekuasaan.

            Segera sesudah kemunculan orde baru, banyak tokoh sipil seperti aktivis mahasiswa Soe Hok Gie dan tokoh intelektual Ismail Suny dan Yap Thiam Hien berbicara dengan antusias terkait pentingnya demokrasi. Meskipun begitu, ada pula gerakan-gerakan kontradiksi yang ingin mempertahankan orde baru. Corak keresahan yang lebih gamblang muncul pada Juli 1996 dalam upaya mendukung Megawati mempertahankan kantor PDI dan menimbulkan kerusuhan meluas di Jakarta. Contoh lain adalah 1300 insiden protes terjadi di Jawa tengah dalam 7 bulan pertama 1998.

            Melemahnya orde baru diawali dengan krisis mata uang Asia. Integralisme yang sudah compang-camping ini akhirnya berujung pada runtuhnya rezim orde baru pada Mei 1998 serta kekacauan politik dan social di Jakarta

            Indonesia yang muncul dari keruntuhan orde baru mengalami krisis parah di berbagai sektor. Maka muncul istilah “reformasi” untuk mereformasi kembali “Indonesia” dalam berbagai bidang. Sesudah itu, presiden-presiden berganti dengan sangat cepat. Bahkan B.J Habibie hanya bertahan 18 bulan setelah menjadi sasaran para demonstrasi yang memuncak pada siding istimewa MPR November 1998. Pergantian presiden pun terjadi dalam waktu kurun waktu sangat singkat. Tidak seperti Gus Dur dan Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono memimpin Indonesia lebih lama.

            Pergolakan identitas kedaerahan yang terus melekat di bangsa Indonesia pun bangkit kembali setelah lama ditindas orde baru. Seperti di Aceh munculnya gerakan Aceh merdeka (GAM), di Papua muncul sentiment anti pusat akibat adanya marginalisasi, Timor-Timur yang terus bergejolak, dll. Bangsa Indonesia mengalami tren demokrasi baru yang juga lebih kuat.

Dalam perkembangan demokrasi, serangkaian pemilu juga berhasil dilaksankan. Meskipun tantangan tetap ada. Seperti pendirian partai politik yang umumnya hanya mengutamakan kepentingan sendiri. Sementara, banyak dari partai politik mengalami kelemahan ideologi. Demokrasi pun telah dibajak oleh mereka yang berkuasa untuk menjaga keberlangsungan dominasi elite dan bukan saluran perwujudan kehendak rakyat. Maka, kemerdekaan Indonesia hanya akan menjadi makna yang kosong apabila rakyat saat itu terpisah dalam proses nation-building itu sendiri yang menjadi cita-cita reformasi.

Dalam buku The Idea of Indonesia ini, Elson berhasil membangun argumentasi-argumentasi penting melalui sejumlah data yang begitu kaya. Sayangnya, kata-kata di buku ini lebih sering tampil seperti angka-angka statistik atau tabel yang mendukung argumentasi daripada sebuah upaya mengajak para pembaca untuk memahami suasana zaman dari periode berbeda. Selain itu karya Elson terlalu berfokus pada gagasan tentang Indonesia yang berpusat di Jawa. Elson masih sangat sedikit menjabarkan bagaimana pemikiran tentang Indonesia itu lahir dari kalangan terdidik di luar Jawa seperti di Sumatera, dll.           

Meskipun begitu, ada hal yang menarik. Elson memahami bahwa Indonesia adalah sebuah keajaiban dengan tetap menjadi sebuah negara dan bangsa yang utuh. Segala macam dinamika yang terjadi dalam proses sejarah nyatanya membuat Indonesia lebih dewasa menyikapi dinamika pergerakan negara ke arah yang jauh lebih modern dalam berbagai pemikiran. [Maryam]

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

Jangan jadi silent reader, giliranmu bercuap-cuap ria.

Related Posts Plugin by ScratchTheWeb