Tulisan ini dibuat untuk pemenuhan tugas harian Bikin Buku Club, melanjutkan cerpen. Tanggal 6 April 2016.
Entah
bagaimana caranya menolak hujan. Katanya, hujan adalah rezeki. Bukannya mau
menolak berkah dari langit tapi hujan di rumahku sungguh memilukan. Kami tidak
mengerti di mana rezekinya. Yang kami tahu adalah atap rumah yang menangis, tak
kuasa menghalau air. Hujan seperti menertawakan rumah kami yang ringkih dan
ompong bolong sana-sini.
Di
dapur, di kamar dan di mana saja, hujan menyusur semua celah tanpa ampun.
Ember, loyang bahkan cangkir sekepal balita kami sebar di mana-mana. Bayangkan
riuhnya kami memanen air. Bayangkan paniknya kami menyelamatkan baju, buku dan
kasur kumal. Bayangkan kami gigil lembap semalam suntuk. Masih sibuk dengan
tingkah hujan di atap, ia kemudian menyamar jadi sungai kecil di lantai.
Menggiring sendal-sendal kami ke pojok, menghanyutkan tilam dari ruang tengah
ke pintu dapur.
Jika
langit masih terus memeras airnya, sungai kecil berubah bandang. Ranjang, kursi
dan lemari seperti menyesal tak bisa berenang. Tenggelam. Rumahku seperti
akuarium dan kami seperti monyet yang melarikan diri ke atap menunggu
berjam-jam sebagai manusia loteng sambil menunggu perahu karet dari kelurahan.
Masih jam 9 pagi. Suasana masihlah
gaduh dan penuh hiruk-pikuk, anak-anak berlarian hilir mudik, diiringi sahut-sahutan
klakson kendaraan bermotor yang berparade menuju tempat yang lebih tinggi,
ramai nian…! Dari loteng rumah aku melihat beberapa wartawan tampak sibuk meliput
kondisi kampung yang sudah bertahun-tahun terkenal rawan banjir ini. Di depan kamera
para wartawan tersebut, belasan anak-anak melompat-lompat sambil seringai lebar
menghiasi wajah mereka. Hore, masuk tivi!
Aku dan bapak masih duduk di loteng
rumah. Tengah menunggu perahu karet dari kelurahan untuk mengungsikan beberapa
barang yang berharga ke tempat yang tinggi. Tapi sepertinya ini masih akan
memakan waktu lebih lama, karena setiap warga ingin mengungsikan barang-barang
mereka. Sementara beberapa titik tempat pengungsian sudah penuh dan ramai oleh
ibu-ibu dan anak-anak.
“Bos!!” teriak Bang Mamat di depan
pintu rumah kami menyahut bapak. Bapak tersentak dan melihat Bang Mamat yang
sedang menaiki perahu karet yang diatasnya ada sebuah buntelan sarung. Ternyata perahu karet datang lebih cepat dari
yang kuduga.
“Ada barang yang mau dibawa gak, bos?
Jangan dibawa semua, yang penting-penting aje!” teriak Bang Mamat yang
kepalanya mendongak melihat kami di atas loteng.
“Ada, lu tunggu bentar!” Bapak turun
dari loteng untuk masuk ke rumah. Dalam beberapa menit, bapak membuka pintu
rumah dan banjir telah membasahi celananya. Kami tak memiliki tivi maupun barang
elektronik berharga lainnya, jadi yang diungsikan oleh bapak hanyalah beberapa
buku sekolahku dan beberapa kaset-kaset tua film Rhoma Irama tahun 80-an.
“Di pengungsian ada bini gue, nanti
titip aja ke dia ye,” ujar bapak.
“Siaap..,” timpal Bang Mamat seraya membuka
buntelan sarung di atas perahu karetnya. Bang Mamat pun mengeluarkan dua buah
kaos dari buntelan sarung tersebut dan memberikannya pada bapak. “Ini kalau
bukan karena nomor urut dua, lu bakal nungguin perahu karet sampe malem bos.
Lumayanlah, di kelurahan juga ada beras merek Foke dan sembako merek Foke…”
Bapak pun manggut-manggut melihat kaos tersebut, dan seorang
pria berkumis tebal tampak tersenyum lebar semanis mungkin.