Menjadi pembicara dalam seminar “Forgiveness”
24 November mendatang menjadi tantangan tersendiri buatku. Bukan hanya karena
18 orang anggota kelompok yg setiap hari danus demi pendanaan seminar, bukan cuma
karena mereka. Namun juga karena diriku sendiri. Awalnya aku sungguh percaya
diri bisa menjadi pembicara hari itu. Namun beberapa hari kemarin, aku
mengajukan undur diri. Hey, banyak hal di dunia ini, peristiwa, orang-orang,
bahkan diriku sendiri yang belum kumaafkan.
Hari itu seluruh isi kepalaku berantakan semuanya.
Tugas-tugas kuliah menumpuk, tugas-tugas organisasi… tugasku sebagai anak ummi
dan abi, belum lagi ditambah masalah perasaan. Well, jadi baper... Terbangun
dari tidur panjangku setelah 3 malam begadang, sore itu aku tidak masuk kuliah
dan aku langsung meng-VN sahabat lewat whatsapp. Menangis sejadi-jadinya kayak
Awkarin yang baru diputusin Gaga. Aku bilang, “Aku benci diriku sendiri.” Mengatakannya berkali-kali.
Apa yang salah? Kenapa jam biologis tubuhku mendadak
berubah? Temanku bilang katanya karena aku tidak siap hapus akun instagram,
namun malah kuhapus. Sejauh inikah dampak sosial media padaku? Tapi aku masih
bisa main path, facebook, twitter dsb. Dan sebagian diriku memang berkata aku ingin menghapusnya.
Aku pun mencoba menganalisis situasiku. Bahkan aku
tidak mengerti mengapa saat terbangun dari tidur panjangku itu, kalimat yang
kuucapkan adalah “Aku benci diriku
sendiri.”. Aku bahkan tidak terpikir kalimat lain saking otakku tidak bisa
berpikir saat itu.
Aku belajar bahwa dalam psikologi, memaafkan itu
bukan pembenaran, memaafkan bukan mendengarkan penjelasan, memaafkan juga bukan
hanya sekadar berkata “aku maafkan kamu.”. Melainkan dimulai dari menyalahkan
dan mendefinisikan rasa sakit. Itulah yang kulakukan sekarang. Aku menuliskan
apa saja yang membuatku terluka. Dan yang paling membuatku terluka sepanjang
tahun 2016 ini adalah diriku sendiri. Aku seringkali marah pada diriku sendiri
atas setiap keputusan yang kuambil, yang mana otak dan hati sering kali
bertentangan. Dan tulisanku tentang hati yang hancur bertanya pada otak kutulis
disini.
Aku berusaha dan beteriak minta tolong, lagi dan
lagi dan lagi. Untuk ditemukan jalan tengahnya, karena dari pengalamanku
keduanya (hati dan otak) seringkali berpisah jauh. Bahkan berpindah kutub dalam
hitungan detik. Dan berpindah kutub lagi di detik setelahnya. Habislah ratusan
halaman buku diari karena aku mencoba menganalisis situasiku.
Seseorang menertawakan perasaanku, berkata bahwa itu
kocak dan aneh. Seakan-akan orang yang mengatakan hal itu tidak mengerti bahwa
aku juga manusia. Aku mencoba mengubur kenyataan yang sampai saat ini masih
terus menyakitiku dan membayangi pikiranku. Aku pun semakin marah dan membenci
diriku sendiri selama berbulan-bulan. Tentu aku juga marah padanya, tapi
memaafkan orang lain sedikit lebih mudah bagiku.
Karena memang ucapannya benar dan aku juga telah
banyak berbuat salah dan menyakiti hati orang lain, sementara aku telah menerima banyak unconditional love dari orang-orang yang
paling kusayang, maka aku juga harus bisa memaafkan orang lain. Jika di jalan
tak sengaja aku menginjak kaki seseorang, aku akan membutuhkan sedikit unconditional love dari orang
itu untuk menerima unconditional forgive. Dalam masyarakat, lingkaran pemaafan ini harus terus berlangsung. Dalam
lingkaran pemaafan ini, tidak ada yang statusnya lebih tinggi atau lebih rendah,
semuanya sama. Jika lingkaran ini tidak ada, maka society akan collapse.
Tapi sungguh, memaafkan diri sendiri adalah hal
tersulit yang kulalui sejak memasuki tahun 2016 ini. Memaafkan diri sendiri
berarti yang menjadi pemberi maaf dan penerima maaf adalah diri sendiri. Maka
perasaan itu tidak lepas, melainkan berputar dalam diri antara perasaan harapan,
penyesalan, dan kekecewaan. Lingkaran pemaafan itu ada dalam diri sendiri. Maka
tak ada lagi yang bisa kulakukan, kecuali menerimanya dan mengikhlaskannya.
Berteman dengan penulis buku terkenal Pak Cahyadi
Takariawan di instagram, beliau menasihatiku bahwa dalam tafsiran Al-Quran,
hati itu ada 4 tingkatan. Shadr, berarti hati bagian luar, qalb berarti hati
bagian dalam, fuad berarti hati bagian lebih dalam, dan lubb berari sanubari
atau hati nurani. Dimana dalam lubb ini tidak ada lagi pertentangan antara otak
dan hati, maka segala sesuatunya perlu disandarkan kepada lubb. Tempatnya
Mahahalus.
Karena perasaan itu terus berputar, aku tak
menafikkan bahwa rasa pahit itu singgah kembali. Lagi dan lagi. Namun
aku takkan membiarkannya untuk mendefinisikan diriku. Karena maaf adalah sebuah
proses. Dan karena maaf adalah sebuah komitmen. Maka aku menjadikannya
kesempatan untuk kembali memaafkan diriku lagi, memaafkan lagi, memaafkan lagi.
Memang, memilih hidup seperti ini melelahkan dan
membutuhkan kerja keras. Memilih untuk menerima dan mengikhlaskan apa yang
terjadi. Tapi ada hal baik juga yang terjadi dengan memilih hidup seperti ini,
salah satu cerita yang menjadi favoritku adalah ketika Grinch mencuri pohon
natal lalu dia kembalikan. Setiap dia mengembalikannya, hatinya tumbuh tiga
kali lebih besar. Jadi aku berkata pada diri sendiri, aku takkan menyesali
apapun jika memang sudah disandarkan pada yang Mahahalus.