Kesehatan Reproduksi. Beberapa minggu yang lalu saya diminta oleh Persaudaraan Muslimah Salimah Kabupaten Kuningan menjadi salah satu pembicara Sosialisasi Perundang-undangan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di depan ratusan ibu-ibu se-Kecamatan Jalaksana. Selain masalah pemberdayaan perempuan, saya juga mengaitkannya dengan kesehatan reproduksi.
Dalam diskusi saya dengan kepala unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kepolisian Resor Kabupaten Kuningan, Bapak Dahroji, sebagian besar kasus yang dilaporkan hingga naik perkara adalah kasus kekerasan seksual. Sehingga dalam penyampaian materi saya hari itu, saya banyak bicara mengenai definisi kekerasan seksual dalam KUHP dan jeratan hukum bagi pelaku dewasa atau pelaku anak-anak menurut perundang-undangan.
Dari pengamatan saya pada beberapa kasus yang terjadi di Kab. Kuningan Jawa Barat, sebagian besar korban cenderung bersikap ‘pasrah’ saat menjadi sasaran pencabulan atau pemerkosaan. Ada juga korban yang suka sama suka dengan pelaku dan telah melakukan hubungan intim beberapa kali hingga akhirnya terjadi kehamilan meski usia korban masih sangat belia. Saya percaya bahwa permasalahan ini adalah ‘wabah diam’ yang menjamur di tiap lapisan masyarakat, bukan hanya di Indonesia bahkan di seluruh dunia.
Selama ini pendidikan seksual atau perbincangan mengenai kesehatan reproduksi disikapi secara ambigu. Di satu sisi, ia dipandang sebagai hal yang tabu, pamali, saru hingga dianggap tak layak diobrolkan secara terbuka. Namun di sisi lain, ia juga diminati, dicari, dipercakapkan secara malu-malu.
Sikap ambigu inilah yang menjadi persoalan karena sering kali dipenuhi oleh mitos dan pengetahuan yang salah. Apakah korban tahu bahwa dirinya bisa hamil bahkan jika belum terjadi menstruasi? Atau korban dan pelaku beranggapan sekali atau dua kali berhubungan intim tidak akan terjadi kehamilan? Dampaknya pada masyarakat, muncul pelbagai problem sosial akibat ketidaktahuan akan informasi yang benar mengenai hal ini.
Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SKDI) tahun 2012 menunjukkan bahwa jumlah remaja (dengan rentang usia 15-19 tahun) yang melahirkan cukup tinggi yaitu 48 dari 1000 remaja perempuan dan meningkat 37% dalam rentang 5 tahun. Sementara, menurut sumber yang sama 85% remaja perempuan (15-17 tahun) telah berpacaran. Dengan berpacaran itu akan meningkatkan risiko terjadinya kehamilan di luar pernikahan.
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 33)
Padahal, melahirkan pada usia remaja akan berdampak pada risiko kesehatan baik fisik maupun psikologis. Selain remaja belum siap untuk menjadi ibu, organ reproduksinya pun belum siap untuk hamil dan melahirkan. Hal ini meningkatkan risiko kematian saat melahirkan.
Lalu apa yang harus orang tua lakukan agar tidak gagap dalam memberikan jawaban kepada anak-anak mereka seputar fungsi alat-alat reproduksi? Sebagaimana seringkali dilontarkan putra-putri balita ketika bertanya mereka berasal dari mana? Seperti apakah orang tua harus membicarakannya?
Sebagian orang menganggap masalah ini tabu dan tidak pantas untuk dibicarakan, termasuk bahkan orang tua kepada anaknya. Padahal diskursus keagamaan sebenarnya sangat terbuka dalam membahas tema ini, khususnya dalam ilmu Fiqh terkait dengan alat reproduksi dan seksualitas. Bahkan, di dalam al-Quran, kata farji atau furuj (alat kelamin) tak kurang dari tujuh kali disebut. Dalam hal ini, pendekatan melalui koridor ilmu Fiqih perlu dipelajari dan diamalkan oleh para remaja dan diajarkan oleh orang tuanya. Seperti tata cara bersuci ‘istinja atau bagaimana menyikapi keputihan, tentu dengan bahasa yang sopan dan memperhatikan etikanya.
Orang tua juga perlu menanamkan karakter bertanggung jawab pada anak-anak mereka. Sebagaimana dalam Al-Quran disebutkan “Dan orang-orang yang selalu menjaga faraj (kelamin) mereka.” (QS. AL-Mu’minun:5). Hal ini menunjukkan bahwa menggunakan alat reproduksi secara bertanggung jawab merupakan hal yang sangat penting dalam Islam. Sehingga diperlukan karakter tanggung jawab bagi seorang muslim dan menghormati alat reproduksi sendiri.
Selain itu pula, telah disebutkan dalam Al-Quran bahwa memperlakukan perempuan saat sedang menstruasi pun ada akhlaknya!
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqoroh : 222)
Permasalahan mengenai kesehatan reproduksi pada remaja perempuan khususnya sering kali berkaitan dengan: gatal-gatal sekitar kemaluan, keputihan, haid tidak teratur. Akan tetapi bila dikaji lebih luas, permasalahan kesehatan reproduksi bukan hanya bicara masalah tersebut, melainkan juga menyangkut banyak aspek lainnya seperti: masalah asupan gizi, anemia, khususnya pada remaja. Perlu diketahui bahwa masih banyak mitos/larangan/pantangan di kalangan remaja terkait kesehatan reproduksi yang justru malah merugikan kesehatan reproduksi mereka. Seperti misalnya adalah mitos mengenai jangan mencukur bulu kemaluan saat sedang menstruasi.
Selain itu, menikah pun termasuk dalam pembahasan kesehatan reproduksi. Maka perlu integrasi pendidikan kepada para remaja melalui berbagai lembaga pendidikan maupun orang tua untuk dapat menyampaikan mengenai adab-adab suami istri, etika berhubungan, serta dianjurkan untuk menjaga kebersihan. Di dalam ilmu fiqh, pembahasan ini masuk ke dalam bab nikah.
Dalam diskusi saya dengan kepala unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kepolisian Resor Kabupaten Kuningan, Bapak Dahroji, sebagian besar kasus yang dilaporkan hingga naik perkara adalah kasus kekerasan seksual. Sehingga dalam penyampaian materi saya hari itu, saya banyak bicara mengenai definisi kekerasan seksual dalam KUHP dan jeratan hukum bagi pelaku dewasa atau pelaku anak-anak menurut perundang-undangan.
Dari pengamatan saya pada beberapa kasus yang terjadi di Kab. Kuningan Jawa Barat, sebagian besar korban cenderung bersikap ‘pasrah’ saat menjadi sasaran pencabulan atau pemerkosaan. Ada juga korban yang suka sama suka dengan pelaku dan telah melakukan hubungan intim beberapa kali hingga akhirnya terjadi kehamilan meski usia korban masih sangat belia. Saya percaya bahwa permasalahan ini adalah ‘wabah diam’ yang menjamur di tiap lapisan masyarakat, bukan hanya di Indonesia bahkan di seluruh dunia.
Selama ini pendidikan seksual atau perbincangan mengenai kesehatan reproduksi disikapi secara ambigu. Di satu sisi, ia dipandang sebagai hal yang tabu, pamali, saru hingga dianggap tak layak diobrolkan secara terbuka. Namun di sisi lain, ia juga diminati, dicari, dipercakapkan secara malu-malu.
Sikap ambigu inilah yang menjadi persoalan karena sering kali dipenuhi oleh mitos dan pengetahuan yang salah. Apakah korban tahu bahwa dirinya bisa hamil bahkan jika belum terjadi menstruasi? Atau korban dan pelaku beranggapan sekali atau dua kali berhubungan intim tidak akan terjadi kehamilan? Dampaknya pada masyarakat, muncul pelbagai problem sosial akibat ketidaktahuan akan informasi yang benar mengenai hal ini.
Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SKDI) tahun 2012 menunjukkan bahwa jumlah remaja (dengan rentang usia 15-19 tahun) yang melahirkan cukup tinggi yaitu 48 dari 1000 remaja perempuan dan meningkat 37% dalam rentang 5 tahun. Sementara, menurut sumber yang sama 85% remaja perempuan (15-17 tahun) telah berpacaran. Dengan berpacaran itu akan meningkatkan risiko terjadinya kehamilan di luar pernikahan.
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 33)
Padahal, melahirkan pada usia remaja akan berdampak pada risiko kesehatan baik fisik maupun psikologis. Selain remaja belum siap untuk menjadi ibu, organ reproduksinya pun belum siap untuk hamil dan melahirkan. Hal ini meningkatkan risiko kematian saat melahirkan.
Lalu apa yang harus orang tua lakukan agar tidak gagap dalam memberikan jawaban kepada anak-anak mereka seputar fungsi alat-alat reproduksi? Sebagaimana seringkali dilontarkan putra-putri balita ketika bertanya mereka berasal dari mana? Seperti apakah orang tua harus membicarakannya?
Sebagian orang menganggap masalah ini tabu dan tidak pantas untuk dibicarakan, termasuk bahkan orang tua kepada anaknya. Padahal diskursus keagamaan sebenarnya sangat terbuka dalam membahas tema ini, khususnya dalam ilmu Fiqh terkait dengan alat reproduksi dan seksualitas. Bahkan, di dalam al-Quran, kata farji atau furuj (alat kelamin) tak kurang dari tujuh kali disebut. Dalam hal ini, pendekatan melalui koridor ilmu Fiqih perlu dipelajari dan diamalkan oleh para remaja dan diajarkan oleh orang tuanya. Seperti tata cara bersuci ‘istinja atau bagaimana menyikapi keputihan, tentu dengan bahasa yang sopan dan memperhatikan etikanya.
Orang tua juga perlu menanamkan karakter bertanggung jawab pada anak-anak mereka. Sebagaimana dalam Al-Quran disebutkan “Dan orang-orang yang selalu menjaga faraj (kelamin) mereka.” (QS. AL-Mu’minun:5). Hal ini menunjukkan bahwa menggunakan alat reproduksi secara bertanggung jawab merupakan hal yang sangat penting dalam Islam. Sehingga diperlukan karakter tanggung jawab bagi seorang muslim dan menghormati alat reproduksi sendiri.
Selain itu pula, telah disebutkan dalam Al-Quran bahwa memperlakukan perempuan saat sedang menstruasi pun ada akhlaknya!
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqoroh : 222)
Permasalahan mengenai kesehatan reproduksi pada remaja perempuan khususnya sering kali berkaitan dengan: gatal-gatal sekitar kemaluan, keputihan, haid tidak teratur. Akan tetapi bila dikaji lebih luas, permasalahan kesehatan reproduksi bukan hanya bicara masalah tersebut, melainkan juga menyangkut banyak aspek lainnya seperti: masalah asupan gizi, anemia, khususnya pada remaja. Perlu diketahui bahwa masih banyak mitos/larangan/pantangan di kalangan remaja terkait kesehatan reproduksi yang justru malah merugikan kesehatan reproduksi mereka. Seperti misalnya adalah mitos mengenai jangan mencukur bulu kemaluan saat sedang menstruasi.
Selain itu, menikah pun termasuk dalam pembahasan kesehatan reproduksi. Maka perlu integrasi pendidikan kepada para remaja melalui berbagai lembaga pendidikan maupun orang tua untuk dapat menyampaikan mengenai adab-adab suami istri, etika berhubungan, serta dianjurkan untuk menjaga kebersihan. Di dalam ilmu fiqh, pembahasan ini masuk ke dalam bab nikah.
You might also like:
- Dilema Menolak Pernikahan Dini
- 15 Mitos dan Fakta Kesehatan Reproduksi Wanita
- Pembatasan Kelahiran dan Keluarga Berencana
- Indonesia Lebih Menghargai Peran Perempuan
- 24 Pelajaran Hidup di Usia 24 Tahun
Pencarian:
- materi kesehatan reproduksi
- pendidikan seksual
- pemberdayaan perempuan
- keluarga berencana
- masalah kesehatan reproduksi
- tujuan kesehatan reproduksi
- kesehatan reproduksi wanita
- materi kesehatan reproduksi remaja
- kesehatan reproduksi remaja ppt
- kesehatan reproduksi pdf
- makalah kesehatan reproduksi
This is the precise weblog for anybody who needs to seek out out about this topic. You notice so much its almost arduous to argue with you. You positively put a brand new spin on a subject that's been written about for years. Nice stuff, simply nice!
ReplyDelete