Perempuan mana yang gak mau nikah sih? Kalau disuruh jujur ya saya juga mau. Apalagi perempuan nih, kalau udah capek sama kerjaan, kuliah atau belajar, kerjaannya galau sambil guling-guling gak jelas, “Ya Allah capek..! pengen cepet nikah aja rasanya!”.
Itu yang saya rasakan dua bulan yang lalu sampai-sampai saya curhat di whatsapp story dan curhat ke kakak saya. Soalnya temen-temen seangkatan di whatsapp, instagram, facebook, updatenya tentang nikah melulu..., punya anak, hidup bahagia dan konco-koncone. Sementara saya? Pengacara (pengangguran banyak acara) yang disibukkan dengan belajar TOEFL, GRE, daftar kuliah sana-sini, penelitian, dan menulis study objective demi lanjut S2. Padahal berhasil lanjut S2 dengan beasiswa aja belum tentu.
Udah mana nikah gak, kuliah gak, kerja gak... capeknya iya.
Terus saya ngomong sama kakak saya yang notabene udah nikah dan udah punya anak. Terus dia ketawa... “Det, kamu tuh lari dari pekerjaan sementara ke pekerjaan seumur hidup! Capeknya itu berkali-kali lipat, lihat nih aku gak tidur jagain Fatih kalau melek malem.”
Sebenarnya saya tahu, saya adalah orang yang sedikit banyak menguasai teori feminisme di kepala sampai ngeloktok. Buku tentang sejarah feminisme masuk Indonesia saya bedah saat diskusi antar jurnalis kampus. (Buku ini juga saya sedikit ulas di blog saya: [Resensi] Perjalanan Perempuan Indonesia.) Temen-temen deket di kampus bilang, pemikiran saya ini agak feminis saat diskusi di kelas.
Padahal sebenarnya bisa diibaratkan: “otak saya ini binatang buas yang saya kasih makan teori-teori kontemporer sementara hati saya berada di tengah ombak dan sedang berlari agar tidak tenggelam di kedalaman samudera”. #apasih.
Sebelumnya, buat orang-orang yang bilang saya feminis, feminis itu ada 4 gelombang dan kalian bilang saya gelombang yang mana? Bagaimanapun, gerakan-gerakan di gelombang pertama yang akhirnya mengakhiri buta huruf kalangan perempuan di Eropa saat abad pertengahan. Lagipula saya gak pernah literally bilang diri saya ini feminis. Saya hanya meyakini bahwa perempuan punya hak yang sama dengan laki-laki dalam hal kebijakan strategis di politik, pengambil keputusan penting di dunia bisnis dan juga peraih pendidikan tinggi seperti master atau PhD. Kedudukan mereka di mata Allah pun sama dalam beribadah, bukankah begitu?
Lagipula ada jembatan antara nilai barat dengan nilai Islam yang bisa dipertemukan dan tidak melulu harus dipertentangkan. Sehingga jembatan itu dapat menolehkan barat yang anti islam agar dapat melihat bahwa islam adalah agama yang damai. Baca juga tulisan saya saat diskusi bersama jurnalis Amerika Serikat.
Balik lagi dengan hati dan otak saya yang masih bertentangan. Pada dasarnya setiap orang ingin menikah, kan? Tinggal masalah waktu. Kita tahu bahwa otak cenderung memiliki keputusan yang lebih stabil dan tegas. Sementara hati seringkali terombang-ambing terbawa ombak. Karena saya tahu, kalau sampai hati dan otak saya selaras ngikutin otak saya, saya bisa-bisa gak nikah-nikah untuk waktu yang lama. Terus saya takut ngebayangin saya di usia 30-40 tahunan sendirian gitu padahal sebenarnya saya punya naluri keibuan dan hopeless romantic gitu. Berharap pangeran berkuda putih datang menawarkan pernikahan pada sang Rupenzel ea.
Ummi saya mak comblang paling terkenal satu pesantren dan abi saya seorang kiai. Abi sering negur saya, “Kapan kamu mau nikah??! kamu mau nikah usia 40??!”. Padahal dalam hati, kalau saya bilang “mi bi deta sebenarnya pengen nikah aja,” pasti langsung dicariin hari itu juga dan saya langsung berada di pasar bebas penuh promosi. Tapi dengan sekuat tenaga, saya tahan itu berbulan-bulan sampai hati saya berhasil lolos dari ombak di kedalaman samudera ini.
Berikut alasan-alasan ketika hati dan otak saya sudah mulai selaras:
Pertama. Ada satu buku islami gitu yang saya baca, dan dalam hati entah kenapa saya marah sama penulisnya karena si penulisnya meletakkan standar bahwa tidak menikah di usia 30 tahun itu adalah standar yang buruk di masyarakat. Sampai-sampai si perempuan 30 tahun itu dibawa ke psikiater oleh ibu dan adiknya yang “islami” agar perempuan itu mau menikah. Tapi perempuan itu belum juga ingin menikah dan sampai akhir cerita digambarkan bernasib buruk. Kenapa dengan perempuan yang memilih fokus berkarir dan berpendidikan dianggap bernasib buruk dan memiliki gangguan mental? Seriously???
Kedua. Salah satu adegan film Ayat-Ayat Cinta 2, Keira memohon kepada Fahri untuk dinikahi. Juga Aisah yang sampai membakar jarinya sendiri, melakukan pengorbanan-pengorbanan bodoh, dan terpuruk melihat suaminya menikah lagi. Juga Hulya sepupu Aisha yang menjadi istri Fahri dan meninggal demi kebaikan Fahri dan Aisha. Fahri sendiri digambarkan sosok sempurna tanpa cacat, ganteng, dan sholeh. Sementara perempuan-perempuan itu mengejarnya berharap dinikahi. Kenapa perempuan digambarkan seterpuruk itu dan yang bisa mereka lakukan adalah meminta dinikahi?
Ketiga. Para istri-istri di Facebook banyak yang menjelek-jelekkan pelakor seakan-akan pelakor bukan manusia. Padahal yang salah suaminya juga, tapi yang diperlukakan layaknya binatang adalah sesama kaumnya sendiri perempuan, sampai dikirim preman, disawer uang, dihajar habis-habisan. Padahal pelakor itu bukan seonggok daging tanpa perasaan, dia wanita juga dengan rasa takut, rasa malu, rasa sedih, rasa kecewa dan juga harapan.
Keempat. Finally, saya menonton film berjudul “The Last Woman Standing”. Saya tonton lagi dan lagi tengah malam yang akhirnya hati saya benar-benar tenggelam di kedalaman samudera dan binatang buas di otak saya semakin diberi makan pemikiran kontemporer. Saya adalah seorang perempuan normal, with fears, with hope, with dreams. Akhirnya saya menerima dan mewajari perasaan takut saya jika tidak menikah dalam waktu dekat akan menjadi perawan tua. Akhirnya hati saya yg tadi berusaha kabur dari derasnya ombak samudera kini benar-benar tenggelam~
Film The Last Women Standing berkisah tentang seorang wanita yang di usia 30 tahun Sheng Ruxi belum juga menikah dan dipaksa oleh ibunya dan masyarakat disekelilingnya untuk menikah sama siapapun juga meski dengan pria 15 tahun lebih tua darinya. Ibunya lalu jatuh sakit alzheimer lalu perempuan itu bertekad untuk segera menikah. Di endingnya, Ruxi tidak menikah juga karena dia merasa tidak bahagia dengan pria 45 tahun itu. Bagian akhir, ayahnya menangis membela Ruxi di depan si calon suaminya dan itu adalah kalimat-kalimat terbaik seorang ayah yang dikatakan demi kebahagiaan putrinya sendiri. Setahun berlalu, Ruxi belum menikah dan tetap merasa bahagia.
Selain itu juga, sahabat perempuan tersebut, Zhang Yu belum menikah di usia 30 tahun dia. Dia masih mencintai mantan pacarnya yang sudah berkeluarga. Tidak harus bersama dengan orang yang membuat dia bahagia, Zhang Yu memilih menjadi seseorang yang membuat dirinya bahagia. Dia melakukan apa yang ingin dia lakukan meski orang lain tidak mengetahuinya. Termasuk ketika mantan pacarnya itu gagal ginjal, Zhang Yu menyumbangkan satu ginjalnya pada mantan pacarnya secara anonim. Seperti baterai yang tidak pernah habis, dia berdiri kuat menyokong orang-orang di hadapannya. Dan dia merasa tidak apa-apa berada di belakang dan kehilangan muka. Meski orang-orang tidak tahu dan dia tidak memenuhi standar kepantasan sosial, tapi hatinya lapang. Kayak cerita temen saya.
Beberapa teman saya salah paham mengira saya menargetkan menikah di usia 27-28 tahun. Well, sebenarnya saya tidak menargetkan usia tertentu pernikahan karena itu artinya saya mendahului ketetapan Allah. Kalau orang dan waktunya tepat, kenapa gak juga sih? Hanya saja, aktualisasi diri itu penting. Bukan untuk menjadi istri pembangkang, saya hanya ingin menjadi ibu cerdas bagi anak-anak saya kelak. Saya juga paham, sebagai perempuan saya akan bekerja 2 kali lipat lebih berat daripada suami saya kelak. Sungguh usaha tak terperi yang telah dilalui wanita-wanita tangguh sebelum saya, mengurus anak, menjadi istri sekaligus berusaha jadi perempuan yang bisa bermanfaat di masyarakat. Wallahu'alam.
Michelle Obama talking about Women Empowerment |
Manikah.... yuk beli mahar di saya...hehe
ReplyDeletehttps://peluangusaha1st.blogspot.co.id/p/blog-page.html
dan akhirnya ada kejadian beneran XD
ReplyDeleteMbaaa.. Jangan menyerah.. Ayoo semangat cari beasiswa S2 nya...
ReplyDeleteAlhamdulillah sudah lulus LPDP LN koq. Insyaa Allah ke New York University. Terimakasiiih...
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete