Wednesday, September 22, 2010

Airen Part 1


Kyousuke menghampiri Jessica Scaffer yang sedang menangis di sebuah bangku taman. Gadis cupu ini selalu lari ke taman atau ke gereja kalau sedang sedih. Menurutnya, taman dan gereja adalah dimana dia bisa menangis tanpa ada yang berani bertanya kenapa.

“Berhentilah menangis!” kata lelaki berusia 25 tahun yang merupakan sahabat Jessica tersebut. Dia memberikan sebuah tisu pada Jessica. Jessica menyeka air matanya dengan tisu tersebut.

“Sangat bodoh, bukan?” ujar Jessica.

“Aku sudah mengatakannya sedari dulu. Zack tidak menyukaimu dengan tulus,” kata Kyousuke yang sudah kenal Jessica lewat chatting di Internet. Jessica memang banyak bercerita tentang cowoknya yang bernama Zack. Dan Kyousuke sendiri sering berkata agar hati-hati pada Zack karena Jessica itu tidak cantik-cantik amat. Tapi dia kaya. Bisa saja Zack hanya menginginkan hartanya saja.

“Iya, dia hanya menginginkan hartaku saja, tapi kenapa aku sangat menyukainya? Dan kenapa dia tidak menyukaiku? Apa karena wajahku jelek?” tanya Jessica sambil terus menangis. Kyousuke hanya diam.

@@@

Seiji dan Yi Jae hanyut dalam kemeriahan mall sore itu. Mereka bergandengan tangan layaknya sepasang kekasih. Setelah menonton film dan belanja berbagai macam barang, Yi Jae menunjuk sebuah tempat di mall yang penuh dengan boneka-boneka anak perempuan.

“Kesana, ya?” pinta Yi Jae.

“Hm!” kata Seiji menuruti permintaan kekasihnya itu. Mereka pun masuk ke dalam tempat jualan boneka itu. Seiji hanya berdiri sambil memasukkan tangan ke dalam saku celana jeansnya, sementara Yi Jae sibuk memilih-milih boneka.

“Ini lucu, kan?” tanya Yi Jae memperlihatkan sebuah boneka teddy bear memakai pakaian pengantin wanita. “Mereka adalah sepasang kekasih seperti kita,” ujar Yi Jae sembari menunjukkan boneka teddy bear yang lain yang memakai pakaian pengantin pria. Seiji hanya tersenyum.

“Terimakasih telah membelikannya untukku,” ujar Yi Jae setelah pergi dari tempat jualan boneka tersebut. Mereka berdua kini sedang duduk di tempat es krim.

“Kau menyimpan yang ini!” kata Yi Jae memberikan boneka teddy bear yang memakai pakaian pengantin wanita ke Seiji. Seiji heran.

“Aku yang wanita?”

“Itu agar kau mengingatku ketika melihatnya.”

Setelah menikmati es krim, Seiji dan Yi Jae berdiri. Keduanya membawa boneka teddy bear masing-masing. Seiji membawa boneka teddy bear wanita dan Yi Jae membawa boneka teddy bear pria.

PLUK! Boneka yang dibawa Seiji jatuh. Seiji pun memungutnya.

“Tanganku licin.”

“Mm…” kata Yi Jae tidak curiga apapun. Dia berjalan duluan sementar Seiji sempat terpaku di tempatnya seperti patung.

Tadi itu… apa? Ada yang aneh dalam tubuhku, batinnya.

@@@

Yi Jae heran. Di mall, Seiji tidak juga kehabisan uang untuk membelikannya banyak barang. Mulai dari perhiasan, pakaian, boneka teddy bear, makan es krim, dan segala macam asesoris lain. Setahu Yi Jae, cowok yang dia sukai sejak SMA ini tidak pernah menunjukkan kalau dia adalah orang kaya. Malah, Seiji pernah berkata kalau sudah lama dia berpisah dengan orang tuanya. Darimana dia mendapatkan uang sebanyak itu, sementara dia tidak bekerja sambilan apapun?

Tapi, Yi Jae tidak mau berpikir yang bukan-bukan. Bisa saja orang tua Seiji sering mentransfer uang pada anak laki-lakinya tersebut.

@@@

Seiji pulang ke apartemennya. Dia melihat koleganya di kepolisian, Kyousuke Nakamura sedang menonton televisi. Seorang laki-laki berusia 25. Usia mereka terpaut 5 tahun. Tapi jabatan mereka sama. Sama-sama di bagian penyelidikan dan investigasi.

“Hai, Seiji!” sapa Kyousuke tanpa melirik Seiji sedikit pun. Dia tahu kehadiran Seiji dari langkah pria itu memasuki apartemen.

“Aku lelah, ingin gosok gigi,” kata Seiji.

“Di kamar mandi ada temanku,” kata Kyousuke.

Seiji menghentikan langkahnya menuju kamar mandi. Beberapa detik kemudian, seorang wanita yang tidak lain adalah Jessica Scaffer muncul dari pelosok ruangan.

“Hai!” sapa Jessica pada Seiji.

“Dia temanmu?” tanya Seiji.

“Iya, dia temanku. Sebelum kita ke Inggris, aku sudah mengenalnya dari internet,” kata Kyousuke. “Jessica, ini Seiji. Partnerku di kepolisian. Seiji, ini Jessica.”

“Senang berkenalan denganmu,” ujar Jessica.

“Sama-sama,” jawab Seiji lalu berjalan menuju kamar mandi.

@@@

Ketika menaruh odol di sikat gigi….

PLUK! Hal yang tadi terjadi lagi. Sikat gigi itu jatuh ke westafel. Bahkan lebih parah, tangan Seiji gemetar ketika mencoba untuk mengambilnya. Entah kenapa, seakan sulit sekali.

BRUK! Seiji terjatuh. Rasanya tadi itu saraf-saraf dalam tubuhnya lumpuh sebentar. Mati rasa. Ia mencoba untuk segera bangun lagi sebelum Kyousuke masuk. Firasat buruknya terasa lebih kuat sekarang.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Kyousuke membuka pintu kamar mandi.

“Tidak, lantainya licin,” ujar Seiji.

“Berhati-hatilah!” suruh Kyousuke lalu kembali menutup pintu kamar mandi. Seiji kaget. Benar, ada yang aneh di dalam tubuhnya. Sesuatu. Apa itu penyakit?

@@@

Beberapa hari kemudian, di dalam sebuah rumah sakit.

Yi Jae sedang syuting video klip. Michael Murray, seorang sutradara Inggris memang sengaja meliriknya untuk menjadi bintang di video klip tersebut mengingat Yi Jae cukup terkenal di Asia. Syuting berjalan dengan sukses. Yi Jae pun menghampiri pria berusia 55 tahun tersebut.

“Boleh aku langsung pulang?” tanya Yi Jae.

“Tentu saja. Tapi, saya dengar dari manajermu, mobilmu sedang di bengkel?” tanya Michael.

“Iya, saya akan naik taksi.”

“Kebetulan sekali, keponakan saya adalah seorang supir taksi. Dan dia ada disini,” ujar Michael. “Mahatir, kesini sebentar!” panggil Michael pada seorang laki-laki berambut hitam. Lelaki itu datang menghampiri pamannya. Tampangnya benar-benar tidak seperti orang Inggris yang bekerja sebagai seorang supir. Dia masih sangat muda seperti Yi Jae.

“Ada apa, paman?” tanya Rifki.

“Antarkan dia pulang ke apartemennya, mobilnya sedang di bengkel.”

Rifki hanya melihat Yi Jae sekilas dan dia pun memulai langkahnya. “Mari, nona saya antar,” katanya sambil jalan. Yi Jae berjalan membuntuti Rifki menuju mobil taksi yang diparkir di halaman rumah sakit.

@@@

Di rumah sakit yang sama…

“Ada tumor di otakmu yang tepat mengenai otak bagian saraf. Sehingga, bisa jadi kau akan kesulitan mengendalikannya,” ujar Dr. Terry di ruang periksanya pada Seiji. “Penyakit ini akan berkembang perlahan tapi pasti. Sehingga mungkin kau akan sering menjatuhkan sesuatu dan sering terjatuh. Pandanganmu buyar. Dan saraf tubuhmu akan sulit dikendalikan, lebih tepatnya melemah.”

“Apa aku bisa sembuh?” tanya Seiji.

“Bisa. Yaitu dengan cara operasi. Tapi peluang operasi ini gagal lebih besar daripada berhasil. Dan resikonya adalah kau lumpuh total atau mungkin… kau bisa mati.”

“Mati?” tanya Seiji dengan nada tercekat.

“Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan resiko dari operasi ini. Kau hanya tinggal memilih, lebih baik dioperasi atau tidak. Ini gambar tumor itu,” kata dokter itu memberikan Seiji hasil rontgen.

“Untuk sementara, aku ada obat untuk yang bisa menunda penyakit itu berkembang. Tapi kau tidak bisa mengandalkannya terus menerus. Kau harus punya keberanian untuk dioperasi. Good luck!”

@@@

Mobil taksi itu berhenti di depan sebuah bangunan apartemen mewah.

“Terimakasih telah mengantarkanku,” kata Yi Jae sebelum keluar dari taksi.

“Tidak perlu berterimakasih kalau ada uang,” ujar Rifki.

“Ck. Tentu saja,” ujar Yi Jae lalu memberikan beberapa pound kepada Rifki. Rifki melihat uang itu dan mengambilnya.

“Kau boleh keluar, nona,” ujar Rifki tanpa menoleh ke arah Yi Jae yang duduk di sampingnya.

“Kau dingin sekali,” komentar Yi Jae lalu keluar dari taksi tersebut dan berjalan masuk ke dalam apartemennya. Sementara, mobil itu langsung meninggalkan selasar apartemen dan meluncur di jalan raya.

Wanita kafir itu cantik sekali, batin Rifki yang beberapa detik kemudian dia menyadari apa yang dia katakan walau dalam hati. Rifki pun banyak-banyak beristighfar.

@@@

Lalu lintas kota bersahut-sahutan antara deru sepeda, motor, dan mobil. Seiji memilih untuk pulang dengan berjalan kaki menuju apartemennya. Dalam pikirannya masih terpeta jelas ucapan dokter tadi, kalau persentase operasi ini gagal lebih besar daripada operasi ini berhasil.

BRUK! Penyakitnya kambuh lagi. Ia terjatuh. Saraf kakinya tadi lumpuh lagi sebentar. Seiji mencoba untuk segera bangun karena ini adalah tempat umum. Dia tidak mau orang-orang memandanginya. Tapi, masalahnya adalah sangat sulit untuk bangun.

“Butuh bantuan?” tanya Jessica Scaffer sembari mengulurkan tangannya. Seiji pun mengambil tangan Jessica dan berdiri.

“Thanks.”

“Hanya kebetulan kita bertemu disini,” ujar Jessica. Ia lalu melihat sebuah amplop coklat besar yang dibawa Seiji. “Itu apa?” tanya Jessica.

“Bukan apa-apa.”

“Aku sudah tahu kalau itu hasil rontgen,” ujar Jessica.

“Bagaimana kau tahu?”

“Di amplop itu ada tulisannya kalau itu dari rumah sakit,” tunjuk Jessica. Seiji melihat amplop itu dan ia membaca nama rumah sakit yang tertera di pojok amplop.

“Tolong jangan katakan pada siapapun tentang masalah ini, ya?” ujar Seiji.

“Ada apa?”

“Ada tumor dalam otakku.”

Jessica terperangah kaget. Dia tidak percaya Seiji mengalami penyakit mematikan itu. “Lalu?”

“Hanya bisa sembuh dengan operasi, tapi aku tidak yakin operasi ini akan berhasil,” ujar Seiji. “Boleh aku minta tolong padamu?”

“Tentu saja.”

“Ada seorang wanita yang aku cintai, dia belum tahu aku menderita tumor otak. Aku tidak mau dia merasa sedih kalau aku nanti gagal operasi. Jadi aku harus minta bantuanmu untuk membuatnya membenciku.”

“Seiji, kau tidak boleh menyerah begitu saja. Bagaimana kalau operasi itu berhasil? Aku dengar bahwa sugesti akan sangat berpengaruh pada kesehatan kita.”

@@@

Rumah Rifki…

Rifki sedang menonton bola bersama dengan sepupunya, Devon. Dia tinggal dalam rumah besar itu bersama sepupunya dan pamannya yang merupakan ayah Devon, Michael Murray. Istri dari Michael Murray adalah orang Indonesia yang juga adalah adik dari ayahnya Rifki. Tapi, bibinya itu mengaku lebih suka tinggal di Indonesia. Sementara, Michael Murray memilih tinggal di Inggris karena memang bekerja di Inggris.

Suara telepon rumah berdering. Devon lalu pun mengangkatnya.

“Halo,” ujar Devon.

“Assalamu’alaikum…” Itu suara ibunya Rifki.

“Walaikum salam,” balasnya. “Bibi mencari Rifki?” tanya Devon dengan bahasa Indonesia.

“Koq pintunya tidak dibuka sih?”

“Pintu?” Devon menyadari sesuatu. Apa jangan-jangan… Dia pun berjalan menuju pintu depan setelah menutup telepon tersebut. Ketika pintu itu dibuka, dia langsung melihat di depan pintu ada ibunya dan kedua orang tua Rifki yang memakai kacamata. Sudah melekat di ingatan. Tapi… siapa gadis berkerudung panjang yang satunya lagi? Manis, cantik, kulitnya putih. Devon sampai cengo melihatnya. Subhanallah!

“Siapa yang datang?” tanya Rifki melihat ke ruang depan. “Hah? Ibu!”

@@@

Makan malam keluarga diadakan. Seluruh keluarga berkumpul di ruang makan. Dan makanan yang tersaji di atas meja itu semuanya adalah makanan khas Indonesia. Ibunya Rifki dan gadis berjilbab itu yang membuatnya.

“Kenapa tidak bilang kalau mau datang?” tanya Michael Murray.

“Aku memang berencana untuk membuat kejutan,” ujar ibunya Rifki.

Devon tidak berhenti melihat gadis berkerudung panjang yang makan malam bersama mereka saat itu. Ketika gadis itu melihat Devon, Devon hampir saja tersedak.

“Oh ya, kenalkan… ini anak teman ibu yang baru saja lulus pesantren sama sepertimu, Rifki,” ujar ibunya Rifki yang memang sedari tadi dia yang mendominasi pembicaraan.

“Hm…” ujar Rifki dingin.

“Namanya Annida Ulfah! Panggil saja Nida,” kata ibunya Rifki lagi.

“Apa ini tentang perjodohan?” tanya Rifki tanpa basa-basi. Ibunya Rifki memang sedari dulu menginginkan Rifki segera menikah agar dia cepat punya cucu. Ketika mendengar pertanyaan anaknya, ibunya Rifki langsung terlonjak kaget. Tapi akhirnya mengaku juga.

“Lalu kenapa? Bukankah Nida ini akhwat yang cantik? Dia juga bisa masak,” ujar ibunya Rifki.

“Jadi benar tentang itu? Bu, biar aku selesaikan kuliahku dulu dan punya rumah sendiri. Setelah itu ibu bisa menjodohkanku dengan siapapun yang ibu suka,” ujar Rifki. “Aku sudah kenyang,” ujar Rifki lalu melangkah pergi masuk ke dalam kamarnya. Suasana makan malam itu mendadak menjadi tidak enak. Nida hanya menunduk.

“Maaf,” ujar Nida pelan.

“Tidak, Nida. Ini bukan salahmu,” ujar ibunya Devon.

“Iya, Rifki memang sedari dulu adalah orang yang keras kepala,” tambah ibunya Rifki. “Besok Rifki ulang tahun, kau bisa membuatkan untuknya sesuatu.” Nida hanya mengangguk.

@@@

Keesokan harinya, Gereja.

Siang itu Jessica sedang menangis di gereja. Hari ini dia melihat Zack sudah memiliki pacar lagi yang jauh lebih cantik daripada dirinya. Seorang lelaki menghampiri Jessica dan duduk di sampingnya.

“Ini,” kata laki-laki itu memberikan sehelai tisu.

“Thanks,” ujar Jessica menyeka air matanya. Dia melihat lelaki itu yang ternyata adalah Seiji.

“Kau menangis seperti dikhianati seseorang.”

“Kau benar.”

“Aku pinjamkan pundakku,” ujar Seiji.

Jessica akhirnya menaruh kepalanya di pundak Seiji. Perasaannya mulai meluap. Apa jangan-jangan dia mulai suka dengan orang Jepang bernama Seiji ini? Jessica sampai lupa kalau Seiji menderita penyakit mematikan.

“Terimakasih telah meminjamkan pundakmu,” ujar Jessica buru-buru melepaskan dirinya. Dia tidak ingin perasaannya tumbuh dan dia jadi jatuh cinta beneran dengan Seiji.

“Apa kau sudah lebih baik sekarang?” tanya Seiji.

Jessica mengangguk.

“Pundakku tidak gratis. Kau harus membantuku.”

@@@

Terkait

Introduce Airen


Airen Part 2

Airen Part 3

Comments
1 Comments

1 comment:

  1. eh? seiji mengidap tumor otak??
    apa seiji bener2 mau bikin yi jae benci sama dia ya?
    *baca lanjutannya ah...*

    ReplyDelete

Jangan jadi silent reader, giliranmu bercuap-cuap ria.

Related Posts Plugin by ScratchTheWeb