Wednesday, November 3, 2010

Soru Part 5


“Seiji? Seiji siapa?” tanya Bibi Akane heran.

“Pemuda yang tinggal di rumahmu, Nona. Yang kau anggap anakmu itu! Kami hanya ingin mengatakan jika Seiji ingin kekasihnya ini selamat, maka datanglah ke rumah pamannya sendirian dan jangan telepon polisi!”

“Siapa kalian? Apa yang kalian lakukan pada Yi Jae?!” bentak Bibi Akane.

“Kami yakuza.”

Bibi Akane terperangah kaget. Orang yang bicara dengannya ini adalah seorang yakuza yang banyak dibicarakan di televisi sebagai mafia Jepang yang sulit diberantas. Tangannya gemetar memegang gagang telepon tersebut.

“Kami tidak meminta uang sepeserpun pada Anda, Nona. Kami hanya meminta Seiji. Suruh dia kemari atau nyawa Heo Yi Jae, kekasihnya ini melayang. Huahaha!!!” Orang itupun memutuskan sambungan telepon. Sementara kepala Bibi Akane kosong, tubuhnya lemas. Dia pun menjatuhkan gagang telepon itu bukan di tempatnya.

“Ada apa, bu?” tanya Mao penasaran.

“Katanya jangan menelepon polisi, bagaimana aku bisa menghubungi Zoh?” gumamnya pelan.

“Ada apa? Apa sesuatu telah terjadi?”

“Yi Jae ditangkap oleh yakuza. Dan mereka minta agar kakakmu pergi kesana atau Yi Jae akan mati. Ini semua salahku…!! Seharusnya aku tidak membiarkan Yi Jae mengantarkan pesanan itu…!!”

Mao tersentak kaget. Mulutnya terbuka lebar. Dia cuma tahu yakuza di film-film atau di berita, dan sekarang keluarganya sendiri terlibat urusan dengan organisasi jahat itu.

“Ada apa, Akane?” tanya Paman Tatsuoki menghampiri istrinya. Bibi Akane hanya bisa menangis, sementara Mao lah yang menjelaskan pada ayahnya. Paman Tatsuoki kaget bukan main. Pria itu tidak menduga kalau pemuda yang ditabraknya malam itu punya hubungan dengan yakuza. Paman Tatsuoki pun menduga kalau itulah yang menyebabkan Seiji ditangkap kepolisian. Polisi zaman sekarang sangat hebat, mereka bisa tahu walaupun Seiji telah lupa ingatan dan wajahnya dioperasi plastik.

“Apa yang harus kita lakukan? Dia bilang tidak boleh telepon polisi jika ingin Yi Jae selamat. Sementara, Zoh sedang dikepung di kepolisian. Ini semua salahku… Seharusnya tadi sore aku tidak membiarkan Yi Jae mengantarkan mie ramen itu…” Bibi Akane menangis tersedu-sedu. Paman Tatsuoki memeluknya sementara Mao hanya diam. Tidak tahu apa yang bisa dia lakukan.

“Kita sebaiknya tetap menghubungi polisi,” ujar Paman Tatsuoki sembari melepas pelukannya. Bibi Akane membelalakkan matanya tidak percaya.

“Yakuza bilang jangan menghubungi polisi!”

“Apa yang mereka inginkan? Bukankah Zoh? Lalu, dengan cara apa kita bisa menghubungi Zoh kalau tidak menghubungi polisi. Mereka juga pasti akan menyadap pembicaraan kita. Itu semua sia-sia. Kita perlu menghubungi polisi demi menyelamatkan Yi Jae.”

“Aku takut ada sesuatu yang tidak aku tahu. Bagaimana kalau aku ke kantor polisi dan meminta bicara dengan Zoh secara pribadi?” tanya Bibi Akane.

“Lalu? Bukankah yakuza ingin Zoh pergi? Jika polisi tidak mengetahui masalah ini, mereka tidak akan membiarkan Zoh pergi begitu saja.”

Bibi Akane semakin merunduk. Suaminya benar, mereka memang harus menghubungi polisi apapun yang terjadi. Dia pun terduduk lemas di lantai.

“Tidak perlu menundanya lagi, kita pergi ke kantor polisi sekarang,” kata Paman Tatsuoki. Bibi Akane hanya mengangguk pelan.

&&&

Rifki dan Zoh baru saja selesai shalat isya. Mereka berjamaah. Sementara, Kyousuke berada di ruang tengah menonton televisi. Rifki melihat Zoh yang berada di sebelah kanannya. Dia sedang berdo’a.

“Berdo’a apa?” tanya Rifki setelah Zoh mengusapkan tangan di wajahnya.

“Aku ingin ingatanku cepat kembali,” kata Zoh.

“Aku harap juga begitu,” ujar Rifki. “Apa kau ingin mendengar sesuatu?”

“Tentang apa?”

“Keislaman Yi Jae.”

“Ya. Mengapa?”

“Waktu itu sepulang dari ulang tahun Seiji, dia menangis. Dia pun menjadikan aku pelampiasan dan memelukku. Tapi, aku langsung melepas pelukannya. Semenjak itu, dia mulai menjadi penasaran dengan keyakinan yang aku anut. Ia juga mengikuti komunitas non-muslim yang penasaran dengan Islam. Alhamdulillah, Allah memberikan hidayah kepadanya dan dia pun memeluk agama Islam.”

Zoh manggut-manggut. “Sudah lama aku merasakan kalau aku mungkin bukan anak mereka. Ibu tidak pernah membuka jilbabnya kecuali di kamar bersama ayah. Aku merasa, aku belum beragama Islam. Aku beragama Islam karena mereka beragama Islam dan aku lupa ingatan. Ya, hanya karena aku lupa ingatan.”

“Kalau begitu, ada baiknya jika kau mengulang syahadatmu dengan niat yang benar-benar tulus. Aku sebagai saksi. Lalu, apa kau sudah disunat?” Rifki bertanya pertanyaan sensitif. Tapi, itu cukup ampuh untuk mengetahui dulu Zoh memang beragama Islam atau tidak.

“Disunat? Apa itu?” tanya Zoh tidak mengerti. Dia lupa ingatan dan dia tidak tahu apapun. Ilmu agama pun jarang sekali dia pelajari. Rifki tersenyum.

&&&

Kantor Polisi.

“Aku benar-benar yakin ada seorang pemuda bernama Ryuji Sojiro yang ditangkap kepolisan!” ujar Bibi Akane ngotot. Sudah 20 menit dia bicara pada polisi berusia 30 tahunan itu tapi polisi itu hanya menggeleng-geleng tidak tahu.

“Berapa kali harus saya katakan kepada Anda, Nona? Datanya tidak ada! Kami tidak menahan seorang pemuda bernama Ryuji Sojiro!”

“Kalau yang namanya Seiji?” tanya Bibi Akane.

“Tunggu sebentar.” Pria itu kembali menatap layar komputernya dan mencari seorang pemuda yang ditangkap polisi bernama Seiji. “Tidak ada yang bernama Seiji yang ditangkap beberapa hari belakangan ini. Ada beberapa nama Seiji, tapi mereka ditangkap beberapa bulan yang lalu.”

“Tidak mungkin. Itu tidak mungkin. Jelas-jelas dua orang polisi datang menunjukkan lencananya kepada kami dan membawa putraku pergi.”

“Kami sekali lagi minta maaf, belakangan ini memang sering terjadi kasus pemalsuan lencana,” ujar polisi itu.

Bibi Akane jatuh tersungkur. Paman Tatsuoki mencoba membantunya berdiri tapi Bibi Akane sudah berdiri terlebih dulu dan pergi dengan langkah gontai.

&&&

Ruangan itu sangat besar untuk disebut gudang. Tapi bagaimanapun, itu adalah gudang. Berdebu. Alih-alih hanya ada lampu neon yang mulai redup sebagai penerangan dan banyak sekali barang-barang bekas dan kardus. Yi Jae duduk di kursi kayu dan tangannya diikat tali tambang erat sekali oleh pria berpakaian hitam-hitam di depannya. Yi Jae hanya melihat mereka dengan tatapannya yang mulai sayu.

“Aku lapar…,” kata Yi Jae lirih. Sebenarnya sudah sejak tadi dia menahan mengatakan frasa itu, khawatir orang-orang itu akan memberinya makanan yang haram. Tapi, kini dia benar-benar lapar dan berharap mereka akan memberinya sepotong roti yang isinya bukan daging.

“Berikan aku sepotong roti. Perutku sakit sekali…,” rintih Yi Jae lagi. Kini, para yakuza itu melihatnya. Tapi mereka tidak tahu harus berbuat apa jika tidak ada perintah dari sang bos.

&&&

Pagi mengawali denyut nadi kehidupan. Sisa embun masih menempel di dedaunan tidak mengizinkan debu untuk pergi. Setelah menunaikan shalat subuh, Bibi Akane malas sekali membuka rumah makan karena masih memikirkan Zoh dan Yi Jae. Zoh ditahan kepolisian, sementara Yi Jae ditahan yakuza. Anehnya, tadi malam dia mendatangi kantor polisi, tidak ada data kalau Zoh ditangkap.

Paman Tatsuoki melihat istrinya yang mondar-mandir di halaman depan rumah. Cemas berkecamuk di hatinya. Sudah empat jam Bibi Akane begitu, tepatnya empat jam setelah shalat subuh. Sebuah mobil taksi menepi di depan rumah Bibi Akane. Dari dalamnya keluar Ibunya Rifki dan Rifki.

“Apa disini menjual mie ramen halal?” tanya Bibi Ani, ibunya Rifki pada Bibi Akane.

“Maaf, tapi hari ini tidak buka,” kata Bibi Akane.

“Sayang sekali, padahal setelah kemarin Yi Jae mengantarkan mie ramen kepadamu, Ibu juga sangat ingin mencobanya,” ujar Bibi Ani pada Rifki. Bibi Akane tersentak mendengar wanita berjilbab di depannya bicara tentang Yi Jae. Wanita itu pasti tahu sesuatu.

“Yi Jae? Kemarin Yi Jae mengantarkan mie ramen kepadamu?” tanya Bibi Akane.

“Bukan, tapi kepada anakku.” Bibi Ani menunjuk Rifki putranya. Seorang pemuda yang terlihat jenius dari kacamatanya. “Dia adalah temannya Yi Jae di Universitas Oxford. Kebetulan sekali, kemarin Yi Jae mengirimkan ramen ke tempat kami.”

“Kebetulan sekali,” kata Bibi Akane pelan, tidak terpendar wajah terkejut sedikitpun. “Maaf,” ujarnya lirih.

“Ada apa?” tanya Rifki menyadari ada yang aneh di wajah Bibi Akane.

“Yi Jae diculik. Itu semua gara-gara aku. Sekarang aku tidak tahu apa yang bisa aku lakukan.”

Rifki terperangah. Yi Jae diculik?

“Bagaimana detailnya?” tanya Rifki, naluri polisinya untuk menginvestigasi muncul.

“Aku tidak bisa membocorkan masalah ini. Aku minta maaf.”

“Iya, lagipula kami belum mengenalmu.” Paman Tatsuoki menambahkan.

“Aku FBI, kau bisa mempercayakan ini padaku,” Rifki mengeluarkan lencana FBI-nya kepada Bibi Akane.

“FBI?” Bibi Akane merasa asing dengan singkatan itu.

“Federal Bureau of Investigation. Salah satu bagian dari kepolisian tapi kami hanya menangani kriminal khusus.”

“Polisi? Aku sudah tidak percaya lagi pada polisi. Mereka menangkap anakku, tapi mereka tidak mengaku kalau mereka menangkapnya.”

“Maksud Bibi apakah Ryuji Sojiro?” tanya Rifki.

“Ya. Bagaimana kau bisa tahu?”

“Karena aku bertemu dengannya kemarin. Ryuji Sojiro adalah tugas khusus yang memang dirahasiakan oleh kepolisian. Hanya beberapa orang yang tahu tentang dirinya, termasuk aku.” Rifki perlu membuat Bibi Akane percaya padanya agar Bibi Akane mau memberikan detail tentang penculikan Yi Jae. Diapun terpaksa membongkar tentang Zoh.

“Bisakah kita bicara di dalam rumah Bibi saja?” tanya Rifki. Bibi Akane mengangguk dan membawa Rifki dan ibunya masuk ke dalam rumah. Sementara Bibi Akane makan mie ramen di bawah, Paman Tatsuoki dan Bibi Akane duduk di ruang makan keluarga di lantai dua.

“Kami menduga kalau Ryuji Sojiro adalah Seiji Amano, mantan FBI yang menghilang beberapa tahun yang lalu,” ujar Rifki.

“Dia bukan yakuza?” tanya Paman Tatsuoki.

“Hanya keturunan, tapi bukan.”

“Orang di telepon itu juga menyebut nama Seiji,” kata Bibi Akane.

“Orang di telepon? Kumohon, Bibi harus memberitahuku masalah ini,” pinta Rifki. Bibi Akane menghela nafas. Rasanya, dia bisa mempercayai pemuda di hadapannya ini.

“Baiklah. Tadi malam, ada seseorang menelepon dan berkata agar Seiji ke rumah pamannya atau Yi Jae akan mati. Aku tidak mengerti maksud Seiji siapa, tapi dia berkata kalau Seiji adalah Zoh.”

“Apakah Zoh memang bukan anak Bibi?” tanya Rifki.

“Ya, dia memang bukan anakku.”

“Bisakah Bibi memberikan detailnya?”

“Malam itu…,” Bibi Akane menoleh ke arah suaminya, pria itu mengangguk. Isyarat agar Bibi Akane jujur tentang kejadian di London. Bibi Akane terlanjur tidak peduli, ia tidak peduli apakah Rifki akan menangkapnya atau tidak karena kejadian ini. Dia sudah terlalu khawatir dengan Zoh dan Yi Jae.

“Sewaktu kami liburan ke Inggris. Malam itu… seorang anak muda jatuh dari motornya. Dia tiba-tiba saja jatuh. Mobil kami pun menabraknya dan membuatnya terbentur tiang di pinggir jalan. Kami beruntung karena orang yang kami tabrak adalah orang Jepang yang lupa ingatan. Kami pun berkata kepadanya kalau kamilah orang tua baginya. Dan berkata namanya adalah Ryuji Sojiro.”

“Apakah Bibi melihat KTP nya?”

“Tidak. Tidak ada dompet atau apapun. Hanya ada foto Heo Yi Jae.”

“Menurut Bibi apakah Ryuji adalah Seiji?”

“Yakuza itu bilang kalau Zoh memang adalah Seiji. Kumohon, secepatnya kau harus bilang pada Zoh tentang Yi Jae. Zoh harus segera kesana atau Yi Jae akan mati.”

“Baik. Terimakasih Bibi telah mengatakannya padaku,” kata Rifki lalu pergi menuruni tangga. Ibu Ani belum selesai makan mie ramennya.

“Ibu, aku harus pergi ke suatu tempat. Ibu telepon taksi yang lain saja.”

“Ya sudah, kapan kau akan pulang?”

“Aku tidak tahu. Ibu jangan menungguku.”

&&&

Rifki mencari Zoh ke pelosok ruangan rumah itu, tapi dia tidak juga menemukannya. Biasanya Zoh berada di depan televisi, tapi tidak ada siapa-siapa disana. Bahkan, ruangannya tampak lebih rapi. Rifki membuka pintu kamar mandi dan melihat Nobu tergeletak. Berlumuran darah. Ada peluru bersarang di dadanya, membuat lubang cukup dalam.

“Bertahanlah. Aku akan membawamu ke rumah sakit,” ujar Rifki berlari menghampiri Nobu.

“Tidak usah. Sekarang kau cukup mendengar sesuatu.”

“Ada apa?”

“Pengkhianat…,” katanya lirih.

“Siapa maksudmu?”

“Kimura. Dia membawa Seiji pergi.”

“Apakah dia yakuza?” tanya Rifki mencoba tetap bersikap tenang walau sebenarnya dia kaget bukan main. Dia tahu kalau tidak tenang itu hanya akan membuatnya gugup dan tidak bisa berpikir sehat.

“Bukan. Dia adalah…” Belum selesai Nobu bicara, rasa sakit itu kini mencapai puncaknya. Dia mati. Rifki membelalakkan matanya. Membeku seperti patung, hingga akhirnya, beberapa saat kemudian terdengar langkah kaki di belakangnya. Rifki menoleh dan melihat banyak polisi memakukan pistol mereka kepadanya. Ada apa ini?

&&&

Terkait:

Soru Part 6


Soru Part 1

Soru Part 2

Soru Part 3

Soru Part 4

Introduce Airen

Sekilas A Love In I.A.S High School

Comments
2 Comments

2 comments:

  1. dateng2 berkunjung, eh ada soru part 5..
    tambah seru n menegangkan, tp aku mau kritik dikit nih

    sementara Bibi Akane makan mie ramen di bawah

    maksudnya Bibi Ani ya?

    hhe..lanjutannya ditunggu^^

    ReplyDelete
  2. Assalamu'alaikum kak...

    kapan lanjutan ceritanya?? ana udah penasaran gimana akhirnya...

    di post secepatnya y

    ReplyDelete

Jangan jadi silent reader, giliranmu bercuap-cuap ria.

Related Posts Plugin by ScratchTheWeb