Lebih dari satu tahun gak nyentuh blog ini sama sekali. Akhirnya bertekad lagi ingin nge-post. Kaget juga, meski udah banyak sarang laba-labanya, kunjungan ke blog ini bisa mencapai 800 pageviews sehari. Padahal dulu sehari rata-rata hanya 300-500 pageviews
Entah
kenapa pengen berkicau lagi, terutama setelah setahun merasakan jadi mahasiswa
di kampus hijau, Universitas Negeri Jakarta. Benar-benar butuh adaptasi luar
biasa, 18 tahun tinggal di bawah kaki gunung ciremai harus pindah ke ibu kota
dengan segudang permasalahannya. Mulai dari macet, banjir, panas, juga biaya hidup
yang mahalnya minta ampun. Kamar kosan seluas kamar mandi di rumah aja, harga
sewanya 600 ribu rupiah sebulan, belum sama uang listrik.
Meski
aku gak yakin bisa merangkum semua yang terjadi selama satu tahun, tapi aku
akan melakukannya sebaik mungkin.
Mahasiswa Baru Terbaik dan Ketua
Angkatan Fakultas
Bermula
sewaktu MPA (Masa Pengenalan Akademik), saking semangatnya jadi maba, aku seneng
banget bikin kesel kakak kelas dengan mengadukan semua pelanggaran yang kubuat.
Aku bilang, “Kak, aku minta hukuman.” Mungkin ini yang membedakan seseorang
yang sudah mendamba kuliah sejak satu tahun yang lalu. Aku ingin sebaik mungkin
memanfaatkan waktu mumpung jadi mahasiswa.
17
Agustus 2013, fakultas mengadakan uji nyali siapa yang berani berpidato di
depan 700 mahasiswa baru lainnya dengan tema dadakan yang nantinya mereka berikan.
Ada banyak yang maju, namun hanya tersisa 6 orang yang bisa memberikan
pidatonya, termasuk diriku. Dan terpilihlah, jengjengjeng… ketua angkatan
Mahasiswa Baru Fakultas Ilmu Pendidkan: Maryam Qonita dari hasil voting 700
maba.
Begitu
pula di jurusan, aku dinobatkan sebagai mahasiswa baru terbaik. Abis itu ngasih
pidato capcipcus gak jelas, selain itu juga di event-event lainnya seperti
kemping-kemping, aku selalu dipilih jadi “Peserta Teladan”. Aku merasa amanah
dipikul ke punggungku, tapi juga senang sekali pemikiran-pemikiranku bisa mudah
tersampaikan.
Aktif di Organisasi Juga IPK
Tertinggi
Didaktika
adalah nama Lembaga Pers Mahasiswa UNJ, dan bisa dibilang Didaktika ini yang
membentuk karakterku selama satu tahun. Karakter sotoy, ingin tahu, suka
menulis, dan suka berdiskusi. Sebelumnya, ummi adalah seorang Aktivis Pers
Mahasiswa 98, mungkin semangat ini yang turun kepadaku. Namun ummi pernah
dipenjara di zaman Soeharto bahkan di Drop Out dari sekolah, jadi dia sangat
menentang keras aku tergabung di Pers Mahasiswa.
Tapi
selama setahun penuh aku tetap di organisasi ini. Dari sini aku bertemu dengan
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), aku rela pulang kampus tiap jam 11 malam
meski diledekin “cewek gak bener”, rela begadang hingga jam 3 malam tiap
diskusi politik, rela nongkrongin gedung rektorat lima jam demi sebaris dua
baris kalimat narasumber, hingga rela menyelinap masuk ke Kemdikbud (padahal
gak diundang) demi merekam moment-moment penting.
Meski
aku sangat menyukai organisasi ini melebihi jurusanku sendiri, namun sayang aku
harus melepasnya. Selain karena aku ingin fokus menulis fiksi daripada nonfiksi,
aku juga gak ingin memberatkan orang tua. Ummi bahkan bicara langsung pada
anak-anak Didaktika yang lain masalah ekonomi keluarga sehingga aku tidak bisa
menghadiri pelantikan pada akhirnya.
Entahlah,
aku sempat mendengar abi mengatakan kalau dia tertipu dan kehilangan uang
kampanye hingga 100 juta rupiah. Sementara saat itu juga aku harus hadir di
acara pelantikan yang akan menghabiskan biaya Rp 700.000. Udah ah, mikirannya
aja bisa bikin aku nangis lagi.
Meski
tetap disibukkan dengan banyak organisasi, Alhamdulillah IPK ku tertinggi
se-angkatan yaitu 3,85. Aku juga menjuarai berbagai perlombaan seperti lomba
debat se-Jurusan, lomba cerpen se-Jakarta, lomba karya tulis ilmiah, dll.
Sebelumnya juga menjuarai perlombaan menulis esai bahasa Inggris se-wilayah
Provinsi Jawa Barat.
Kembali Menulis Fiksi
Aku
kembali menulis fiksi pertengahan masa-masa kuliah. Baru dua judul cerpen sih
yang diterbitkan secara nasional sebagai bagian antalogi, tapi aku sudah merasa
sebagai seorang penulis. Pamanku yang seorang sutradara kembali menawarkanku
untuk membuat skenario, aku pun menulis dengan judul “Asmara dalam Asrama”.
Tapi sayangnya, dua kali ditolak Production House karena terlalu relijius dan
tidak memenuhi keinginan pasar. Kecuali …. aku harus menulis dengan gaya FTV.
Untungnya
aku punya banyak kenalan dan tergabung dalam Forum Lingkar Pena se-Jakarta Raya
dan selalu bertemu dengan para penulis-penulis hebat lainnya. Sekarang aku juga sedang menggarap skenario
baru, yang mau tak mau harus bergaya cinta-cintaan ala FTV. Meski aku tidak tahu
akan lolos lagi apa tidak. Tapi setidaknya aku harus menghabiskan jatah gagalku
dulu, hingga sisanya adalah keberhasilan.
Pengalaman Mengajar di Rumbel TEKO
Setelah setahun menghafal Qur’an
tentunya aku ingin mengajarkan Al-Qur’an agar tidak sia-sia. Alhamdulillah,
Fakultas Ilmu Pendidikan UNJ memberiku kesempatan mengajar sukarela di kawasan
slum area di Sunan Giri. Jadi setiap hari Kamis meluangkan waktu bersama
anak-anak membaca IQRO, Quran dan menghafalkannya. Di antara mereka ada yang
ingin jadi dokter, guru, ustadz, bahkan pemain sepak bola.
Lolos Pertukaran Pelajar ke Taiwan
Di akhir tahun sebagai mahasiswa
tingkat 1, aku mendaftarkan diri ke AIESEC SU UNJ. Hanya beberapa mahasiswa
yang pada akhirnya berhasil lolos seleksi, termasuk aku salah satunya. Namun
tidak ada satupun mahasiswa UNJ yang berhasil lolos seleksi wawancara untuk ke
Taiwan. Akhirnya kebanyakan dari mereka mengikuti seleksi wawancara yang ke
China atau negara lainnya.
Mungkin orang Taiwan yang
mewawancaraiku itu tertarik ketika ku mengatakan bahwa aku sangat ingin menulis
buku berlatar belakang di Taiwan. Mungkin.. mungkin ya, ini jadi penyebab aku lolos
seleksi.
Dari semua mahasiswa se-Jakarta,
hanya aku dan seorang mahasiswi keturunan china dari BINUS yang lolos seleksi
pertukaran ke Taiwan. Segala persiapan sudah kulakukan, bahkan mendadak bikin
paspor. Meski uang pendaftaran 2 juta rupiah sempat kecopetan di busway, dan
bikin nangis seharian bahkan pingsan (sst…). Tapi akhirnya aku tetap signing
contract. Tapi sayangnya, uang naik pesawat tidak bisa ditoleransi. Sayangnya
waktu itu tiket PP ditanggung sendiri, sementara uang sponsor tidak segera
turun. Jadi terpaksa aku membatalkan keberangkatanku setelah signing contract.
Sekarang masih liburan kuliah. Aku
masih belum bisa membayangkan bagaimana teman-teman mencoba menghibur
perasaanku nanti. Aku akan mencoba tersenyum dan mengatakan, “Biasa aja kali…”
atau “Aku gak apa-apa”. Sejujurnya, rasanya ingin teriak karena rasa kecewa.
Aku ingin sekali menulis buku dengan latar belakang di luar negeri… seperti
Andrea Hirata, Ahmad Fuadi, dll. Inilah menjadi salah satu alasan kenapa ke
depannya aku masih akan terus mencoba.