Thursday, September 30, 2010

Soru Part 1



Eits… jangan baca cerita ini dulu sebelum kamu udah baca cerita sebelumnya dulu dari Serial Seiji ini.

I. Love in I.A.S High School

II. Airen

III. The Authority

SELAMAT MEMBACA!!!

Seorang anak laki-laki mengintip ketakutan lewat kaca mobilnya. Ia baru saja menyaksikan pemandangan yang tidak pantas dilihat anak seumurnya. Ayahnya baru saja membunuh seorang pria dikarenakan pria itu tidak juga bayar hutang.

“Kau tidak perlu takut. Karena nyawa orang itu tidaklah berarti.” Seorang pria yang tidak lain adalah paman anak tersebut bicara padanya di dalam mobil. Anak laki-laki berusia 10 tahun itu hanya diam menatap pamannya

“Kau harus ingat ucapan pamanmu ini, jika ada orang yang tidak mematuhi perintahmu, bunuh saja! Kau jangan ragu membunuh orang yang menghalangi jalanmu. Karena suatu hari nanti kau akan menjadi orang hebat yang ditakuti banyak orang, apa kau mengerti?”

Anak itu mengangguk kecil.

&&&

Di dalam sebuah ruangan bergaya khas Jepang, seorang pria sedang melihat foto keponakannya. Sudah satu jam dia melihat foto tersebut. “Aku harus menemukan Seiji,” gumamnya kecil.

&&&

Yi Jae sudah tiba di sebuah Bandara di Tokyo. Tapi dia langsung berlari keluar dari bandara. Tasnya tertukar dengan seseorang yang tadi sempat berdiri di dekatnya. Dia begitu panik karena di dalam tas tersebut ada uangnya. Sementara pemuda yang tasnya tertukar dengannya itu sudah pergi naik taksi.

“Kita cari nanti saja, kau kan harus tahu dimana tempat tinggalmu,” ujar Ruby. Teman-temannya dari Oxford yang mengikuti pertukaran pelajar ke Jepang pun menghampiri Yi Jae.

“Iya, kau tidak boleh terpisah dengan kami,” ujar pembimbing para mahasiswa pertukaran pelajar tersebut.

“Tenang saja, aku tidak akan tersesat. Dulu aku tinggal di Tokyo,” ujar Yi Jae. “Kalau aku ada apa-apa aku bisa menelepon Mahatir,” ujar Yi Jae lagi.

“Apa kau yakin?”

“Iya, aku sangat yakin. Sekarang yang terpenting, aku harus menemukan pemilik tas ini,” ujar Yi Jae mengangkat sebuah tas yang bentuknya dan warnanya sama dengan yang dia miliki. Tas punggung berwarna hitam bermerek Nike.

“Baiklah, ini alamat rumah kos-kosanmu. Kami tahu kau seorang muslim, makanya kami sengaja memilih kau agar tinggal di sana saja,” ujar si pembimbing memberikan secarik kertas yang bertuliskan alamat rumah dimana Yi Jae akan tinggal selama satu semester ini.

“Thanks,” ujar Yi Jae lalu memberhentikan sebuah taksi dan masuk ke dalamnya.

&&&

Di dalam taksi, Yi Jae tidak melepaskan pandangannya dari taksi depannya yang ditumpangi pemilik tas yang kini dia bawa.

“Lebih cepat, pak! Aku tidak boleh kehilangan taksi tersebut!” seru Yi Jae dengan bahasa Jepangnya yang fasih. Si supir taksi pun mempercepat lajunya untuk membalap taksi yang di depannya itu. Tapi taksi yang di depannya terlalu jauh untuk dibalap dalam waktu singkat.

“Bagaimana ini?! Pak, jika tidak dapat itu taksi, aku tidak bisa membayar taksi ini!” kata Yi Jae. Si supir taksi menginjak gasnya semakin dalam dan taksi pun meluncur lebih kencang. Mana mau si supir tidak dibayar? Ya kan? Hehe.

“Baik! Saya akan menunjukkan kehebatan saya, nona!” teriak si supir taksi semangat. Mobil taksi pun seakan berubah seperti di film The Fast and Furious. Hukum Newton I. Ketika si supir taksi belok, Yi Jae ikut miring. Ketika si supir taksi ngebut di jalanan, Yi Jae seakan terdorong ke belakang.

CKIIIT….. BRUK!!

Sebuah motor datang dari belokan secara tiba-tiba. Walau tidak tertabrak, motor itu terjatuh karena kehilangan keseimbangan ketika taksi itu hampir saja menabraknya. Yi Jae keluar dari dalam taksi tersebut untuk melihat keadaan si pengendara yang memakai helm tersebut.

“Apa Anda baik-baik saja?” tanya Yi Jae khawatir. Orang itu membuka helmnya. Dia seorang laki-laki yang masih muda, usianya mungkin sama dengan Yi Jae.

“Aku mungkin baik-baik saja, tapi kau lihat kan box ini?!” tanya pemuda itu ketika memberdirikan kembali motornya yang sudah butut. Ada box di bagian belakang motor bertuliskan Ramen Shibuya. Yi Jae mengangguk tidak mengerti.

“Semua ini adalah pesanan. Karena kau sudah menjatuhkannya, maka kau harus membayar sejumlah ramen pesanan ini!” ujar pemuda tersebut.

“Apa? Tapi aku tidak punya uang,”

“Lalu bagaimana Anda bisa naik taksi, nona?” tanya pemuda tersebut.

“Dengar, ya! Aku benar-benar tidak punya uang!” ujar Yi Jae.

“Lalu bagaimana dengan nasib pesanan saya?”

“Itu salahmu sendiri! Kenapa kau tidak melihat-lihat ketika sedang belok?” Yi Jae tidak kalah sengit.

“Taksimu yang terlalu kencang!” balas pemuda itu.

“Taksiku kencang karena aku sedang mengejar orang yang tasnya tertukar denganku! Karena kau belok tanpa lihat-lihat aku telah kehilangan taksi tersebut! Di dalam tas tersebut ada uangku, apa kau tahu? Jadi kaulah yang harus membayar semua kerugian yang aku alami hari ini!” balas Yi Jae yang terlanjur kesal.

“Itu salahmu sendiri yang telah ceroboh hingga tas kalian tertukar!” ujar pemuda itu. “Baiklah, aku bodoh jika memaksamu memberikan uang ganti rugi sekarang. Aku akan menagih lain kali jika kita bertemu lagi,” katanya lalu menaiki motornya, memakai helm, dan beberapa detik kemudian motor itu sudah meluncur di jalanan. Tidak mempedulikan Yi Jae yang terus mengumpat kesal.

&&&

Bel rumah Natsue Okino berdering. Ibunya Natsue berjalan membuka pintu depan. Dilihatnya seorang wanita memakai kerudung berdiri di teras rumahnya. Dia Heo Yi Jae.

“Natsuenya ada?” tanya Yi Jae.

“Natsue ada, silakan masuk!” kata ibunya Natsue mempersilakan Yi Jae masuk. Yi Jae masuk ke dalam rumah melewati pintu yang bergeser khas Jepang tersebut. Hh… sudah lama dia tidak merasakan suasana rumah seperti ini lagi.

“Saya akan memanggil Natsue dulu, ya,” ujarnya lalu berjalan menaiki tangga menuju kamar Natsue yang letaknya di lantai dua. Beberapa detik kemudian, seorang wanita berambut pendek muncul ke ruang tamu. Dia adalah Natsue, teman baik Yi Jae sewaktu di SMA.

“Lee!” sahutnya tidak percaya seraya memeluk teman lamanya itu.

“Natsue, boleh aku minta bantuanmu dulu?” tanya Yi Jae.

“Ada apa?”

“Tasku tertukar dengan orang lain, padahal di dalamnya ada dompetku. Aku belum membayar taksi tersebut,” ujar Yi Jae menunjuk ke halaman. Natsue berjalan menuju pintu dan melihat taksi yang masih menunggu untuk dibayar.

“Ya sudah, kau tenang saja,” ujar Natsue lalu berjalan menuju kamarnya dan sesaat kemudian dia keluar rumah dengan membawa dompetnya seraya membayarkan taksi Yi Jae. Taksi itu pun pergi.

“Terimakasih. Aku akan membayarnya lain kali,” ujar Yi Jae.

“Tidak perlu, kita kan teman,” ujar Natsue. “Bicara di kamarku yuk!” ajak Natsue sambil menarik tangan Yi Jae masuk ke dalam kamarnya.

Setibanya di kamar, Natsue menutup pintu dan Yi Jae duduk di pinggir kasur. Sementara Natsue berjalan menghampiri meja belajarnya dan duduk disitu.

“Aku sudah nonton di berita tentang kau masuk agama Islam,” ujar Natsue. “Bagaimana ceritanya sih?” tanya Natsue lagi sambil menopangkan lengannya di sandaran kursi.

“Awalnya, aku heran seorang pemuda yang kupeluk malah memaksa melepas pelukanku. Aku minta maaf kepadanya di Islamic Centre di London dan tidak sengaja mendengar seminar yang menarik. Aku jadi sering berkunjung kesana untuk mendengar seminar-seminar tentang Islam,” jawab Yi Jae. Natsue hanya mengangguk-angguk kecil.

“Aku juga sudah dengar tentang Seiji. Tapi aku tidak pernah melihatnya dan mendengar kabarnya lagi beberapa tahun ini,” ujar Natsue. Yi Jae hanya terdiam. Laki-laki itu nyaris saja dilupakannya semenjak dia pindah agama. “Apa kau tahu kabarnya?”

“Seharusnya aku yang bertanya padamu,” ujar Yi Jae. Ia pun segera mengalihkan pembicaraan, “Malam ini aku tinggal di rumahmu, ya? Soalnya aku tidak punya uang untuk pergi ke alamat rumah kos-kosanku.”

“Baiklah, jadi kau kuliah disini?”

“Iya, aku ikut pertukaran pelajar ke Jepang.”

“Boleh kulihat alamat rumah kos-kosanmu?” tanya Natsue. Yi Jae pun memberikan secarik kertas bertuliskan alamat tersebut. “Bukankah ini alamat toko mie ramen Shibuya?” tanya Natsue setelah membaca alamat yang ditulis di kertas tersebut.

“Apa?” tanya Yi Jae.

“Pantas saja. Pemiliknya kan orang muslim, maka mereka memilih tempat ini sebagai rumah kos-kosanmu. Kau beruntung sekali, mie ramen disana kan enak sekali,” ujar Natsue. Yi Jae tidak begitu memperhatikan ucapan temannya. Dalam benaknya terbayang anak muda yang tadi marah-marah karena box pesanannya jatuh. Di box tersebut ada tulisannya: Ramen Shibuya.

Natsue pun mengambil ponselnya. Dia menelepon seseorang, “Zoh, aku beli dua ramen, ya!” ujar Natsue lalu menutup ponselnya. Yi Jae langsung menyadari ucapan Natsue dan hendak mencegahnya menelepon orang itu, tapi dia terlambat.

“Ada apa?” tanya Natsue menyadari Yi Jae tadi hendak merebut ponselnya.

“Tadi itu ada kejadian menyebalkan,” ujar Yi Jae lalu menjelaskan peristiwa yang dia alami hari ini. Natsue terperangah kaget. Benar-benar, dunia ini selebar daun kelor. Orang yang bertengkar dengan Yi Jae tadi siang adalah orang yang akan tinggal bersamanya dalam satu rumah!

“Dia itu anaknya pemilik toko tersebut, tahu!” ujar Natsue.

“Aku kan tidak tahu aku akan tinggal disana!” ujar Yi Jae.

“Selamat menghabiskan hari-hari dengan bertengkar, Nona Heo Yi Jae,” ujar Natsue. Yi Jae merengut. Awal perkenalan yang buruk. Sebenarnya, hari ini dia tidak ingin bertengkar dengan Zoh. Tapi pemuda itu duluan yang memulai dengan marah-marah sehingga Yi Jae pun ikut tersulut emosinya.

Beberapa menit kemudian, suara bel rumah kembali berbunyi. Yi Jae tersentak kaget. Itu pasti Zoh, pemuda pengantar mie ramen yang tadi siang bertengkar dengannya. Terdengar suara orang melangkah dan suara pintu terbuka. Ada percakapan menyusul setelah itu.

“Tadi Natsue memesan mie ramen ini padaku,” ujar suara seorang pemuda. Suara Zoh.

“Natsue memesan ramen? Oh, baiklah, akan saya panggil dia,” ujar ibunya Natsue. Lalu terdengar suara orang menaiki tangga dan suara langkah kaki yang semakin dekat dan dekat. Natsue hanya menatap Yi Jae yang gugup hingga akhirnya ibunya Natsue membuka pintu kamar putrinya itu.

“Kau tadi memesan ramen?” tanya ibunya Natsue.

“Iya, ma.”

“Pesananmu sudah datang, Natsue. Jangan buat Zoh menunggu, dia pasti banyak pesanan lain yang harus diantar.”

“Iya, ma,” ujar Natsue. Ibunya Natsue pun pergi. Sementara Natsue menarik tangan Yi Jae untuk ikut turun ke bawah.

“Tolong lepaskan!” seru Yi Jae tidak mengerti. Tapi, Natsue terus memaksanya turun dan Yi Jae pun mengalah pada keadaan. Di depan pintu sudah ada seorang pemuda memakai helm yang membawa dua kotak mie ramen.

“Lepasin!” pinta Yi Jae kini benar-benar gugup. Natsue pun melepaskan tangan Yi Jae ketika sudah berdiri tepat di depan Zoh. Zoh menaikkan kaca helmnya dan menunjuk Yi Jae dengan mata terbelalak.

“Kau! Yang tadi itu kan? Mana uang ganti rugi yang kau harus berikan padaku?!” ujarnya tidak percaya. Yi Jae berdiri dengan gaya angkuhnya.

“Bukannya kau yang harus bayar ganti rugi?” tanya Yi Jae.

Natsue menyenggol Yi Jae dengan sikunya seraya berbisik. “Minta maaflah padanya, apa sulit?” tanya Natsue. Yi Jae sempat menggeleng kecil, tapi Natsue memelototinya.

“Baiklah, peristiwa siang tadi, aku minta maaf. Tapi aku benar-benar tidak punya uang untuk ganti rugi,” ujar Yi Jae.

“Minta maaf sih mudah, tapi itu tidak mengganti uang yang harus kau bayar,” kata Zoh.

“Dimaafkan tidak?!”

“Sampai kau membayar ganti rugi.”

“Aku tidak punya uang sekarang.”

“Ya sudah, sampai kau punya uang, baru kau kumaafkan.”

“Ya sudah, aku juga tidak peduli!” bentak Yi Jae lalu pergi meninggalkan tempat itu. Natsue melihat Yi Jae, tapi dia bingung untuk memanggilnya kembali. Dia pun melihat Zoh dengan tatapan sebal. Zoh juga memasang wajah tidak peduli, sehingga Natsue bingung harus berkata apa padanya. Dia hanya mengambil dua kotak mie ramen itu dan membayarnya, setelah itu segera ngacir ke kamarnya lagi.

“Menyebalkan! Bagaimana seorang muslim tidak memaafkan muslimnya yang lain sih?!” seru Yi Jae sebal. Natsue hanya diam dan memberikan ramen itu pada Yi Jae.

“Makanlah!” kata Natsue. Yi Jae pun mengambil mie ramen itu dan membuka tutup kotaknya yang ada label halalnya tersebut. Sudah sejak tadi siang dia memang belum makan.

“Aku benar-benar merepotkanmu, Natsue.”

“Tidak apa-apa, inilah yang dilakukan antar teman, bukan?”

“Terimakasih.”

&&&


Lanjutannya:


Soru Part 2

Soru Part 3

Soru Part 4

Soru Part 5

Soru Part 6

Introduce Airen

A Love In I.A.S High School

Wednesday, September 22, 2010

Airen Part 3 (Final)



“Dia yang memelukku begitu saja!” bela Rifki di dalam mobil.

“Lalu, kau tahu kan hari ini ulang tahunmu?” tanya Devon yang duduk di bangku belakang.

“Aku seorang supir taksi, tidak mengenal hari ulang tahun,” ujar Rifki.

“Kau adalah anggota keluarga juga, Mahatir,” ujar Michael Murray yang duduk di samping Rifki.

“Ya, Sudah berjam-jam kita menunggumu,” ujar Devon.

“Kalian merayakannya?” tanya Rifki.

“Hm, Nida memasakkan makanan untukmu. Seharian ini dia sangat berusaha,” ujar Devon.

“Jadi ini tentang dia?”

“Memangnya kenapa?” tanya Devon.

“Apa kalian berharap agar aku menyukainya dan menikah dengan Nida? Huh?”

“Sebenarnya, apa kau punya masalah dengan pernikahan?” tanya Devon.

“Aku hanya tidak ingin menikah dalam waktu dekat ini.”

“Lalu apa masalah bagimu jika dia membuatkan sesuatu untukmu? Dia tidak memaksamu untuk menikah dengannya dalam waktu dekat ini, bukan?” tanya Devon.

“Yang bermasalah itu dirimu. Kenapa kau sangat ikut campur urusanku dengan Nida? Apa jangan-jangan kau yang menyukainya?” tanya Rifki. “Berhentilah bicara, suaramu mengganggu konsentrasi.” Devon menghempaskan tubuhnya ke jok mobil. Dia melipat tangannya kesal dan membuang muka ke luar jendela.

@@@

“Assalamu’alaikum,” Rifki, Devon, dan Michael masuk ke dalam rumah mereka. Di ruang tengah sudah dihias segala macam pernak-pernik, dan ada kue ulang tahunnya di atas meja. Rifki berdiri melihatnya. Dia bahkan tidak tersenyum sama sekali.

“Atir ku sayang, kau kemana saja tidak pulang?” tanya ibunya Rifki menghampiri putranya itu.

“Kakak…” gumam Nida melihat kedatangan Rifki.

“Bu, aku ini bukan anak kecil lagi. Dan ibu juga tahu kalau dalam agama Islam tidak ada namanya perayaan ulang tahun,” ujar Rifki, dia lalu melihat Nida yang berdiri beberapa meter di depannya. “Kau belajar apa saja di pesantren?” tanyanya sinis lalu masuk ke dalam kamar. Di dalam, Rifki menyandar ke pintu. Menghela nafas. “Kenapa dia melakukan hal itu? Membuatku merasa bersalah saja,” batinnya.

@@@

Hari terus bergulir dalam dimensi kehidupan. Tidak ada yang mampu memutar ulang kembali sang waktu kecuali Sang Pencipta waktu itu sendiri. Penyakit Seiji semakin parah seperti apa yang dikatakan dokter, ia pun mengalah kalau kini ia harus dioperasi.

“Percayalah kau akan sembuh, apa kau siap?” ujar Dr. Terry memegang jarum suntik anestesia. Seiji melotot melihat jarum suntik itu. Walaupun diam-diam dia adalah FBI sekaligus mahasiswa yang pintar, dia sebenarnya takut dengan jarum suntik.

“Ya,” ujar Seiji yang ketika itu tengah dikelilingi oleh beberapa dokter bedah dan para perawat dalam ruang operasi.

Sementara itu, Jessica terdiam di lorong sambil bersandar ke dinding. Bunyi jam membuat jantungnya semakin berdegup kencang. Bagaimana kalau Seiji akan mati atau lumpuh total?

@@@

Dua hari telah berlalu, operasi telah selesai dilaksanakan. Seiji masih berjalan pelan di lorong rumah sakit. Seharusnya, dia istirahat lebih lama seperti kata dokter. Tapi Seiji yang keras kepala, memilih untuk pulang.

“Seiji, kau yakin tidak ingin istirahat dulu?” tanya Jessica.

“Aku ingin pulang,” ujarnya. “Dampak operasi ini berhasil atau tidak akan muncul sebentar lagi, dan aku tidak mau menghadapi kematian di rumah sakit.”

“Jangan katakan itu!” bentak Jessica yang terus mengikuti Seiji hingga ke selasar rumah sakit. Jessica terkejut, dia melihat Seiji menaiki sepeda motornya yang sudah terparkir di dekat situ.

“Kau baru saja dioperasi, kau tidak boleh naik motor!”

“Kalau operasi ini berhasil, seharusnya aku akan baik-baik saja. Kalau operasi ini gagal, maka lebih dramatis mati kecelakaan daripada berbaring di rumah sakit.”

“Kau gila.”

“Ya, aku memang sudah gila.”

“Bagaimana motor ini bisa disini? Kau kesini kan dengan menggunakan taksi.”

“Aku meminta Kyousuke mengantarnya.” Kyousuke muncul dan Jessica langsung menatapnya marah.

“Apa yang kau lakukan? Apa kau tahu kalau Seiji ini sedang sakit?”

“Apa?” tanya Kyousuke.

“Sarafnya bisa lumpuh tiba-tiba. Dan kalau itu terjadi, dia akan mengalami kecelakaan!” bentak Jessica. Kyousuke mendadak kaget. Dia melihat Seiji dengan tatapan bukan main tidak percaya.

“Kenapa kau tidak bilang? Bagaimana aku mengatakannya di markas FBI?” tanya Kyousuke.

“Carikan saja penggantiku,” ujar Seiji lalu memakai helmnya dan menyalakan sepeda motornya yang berwarna hitam tersebut. Beberapa detik kemudian, motor itu sudah meluncur di jalan raya dengan sangat kencang.

@@@

Malam kian merangkak naik. Jalanan kota sudah sepi. Hanya Seiji dan sebuah mobil kijang di belakangnya. Sekarang, mungkin sudah pukul 12 malam, tapi Seiji tidak benar-benar pulang ke apartemen, dia seperti menunggu penyakitnya itu kambuh lagi di atas motor yang melaju pesat.

Dampak itu muncul! Tangannya kaku, kakinya mati rasa, bahkan seluruh tubuhnya mulai terasa lumpuh. BRUK! Seiji terjatuh dari motornya yang sangat ngebut itu. Wajah tampannya terseret di aspal. Belum lagi, mobil kijang dibelakangnya itu menabraknya dan membuatnya terlempar ke tiang pinggir jalan. Motornya terbelah dua. Dan darah segar mengalir dari dalam kepala Seiji banyak sekali. Ia mati???

@@@

Keesokan harinya, Siang hari…

“Aku minta maaf karena kemarin memelukmu begitu saja, aku tidak tahu kau memiliki keyakinan dimana kau harus menjaga jarak dengan seorang wanita,” ujar Yi Jae menghampiri Rifki yang waktu itu baru pulang dari Islamic Cultural Centre of London. Michael Murray kemarin menjelaskan pada Yi Jae bahwa Rifki adalah seorang muslim yang taat.

“Hm, aku memaafkanmu,” ujar Rifki mengangguk kecil.

“Sejujurnya aku sangat kaget, karena seharusnya kau senang bisa dipeluk olehku yang seorang artis. Tapi ternyata kau malah berusaha melepas pelukan itu. Pantas selama ini kau begitu dingin,” ujar Yi Jae lagi.

“Memang aku orang yang seperti itu.”

“Aku menyimak perkataan orang itu, sepertinya aku mulai tertarik.”

“Ada beberapa non-muslim juga disini yang ingin tahu lebih tentang Islam.”

“Kalau begitu setiap hari Kamis, aku bisa datang kemari untuk mendengarnya. Aku ingin tahu kenapa di dalam agamamu kau tidak boleh menyentuh wanita.”

“Ya, itu bagus. Datanglah dengan kemauanmu sendiri, jangan ada paksaan.”

@@@

Beberapa bulan kemudian…

Sudah lama tidak ada lagi kabar tentang Seiji. Yi Jae sendiri perlahan mulai melupakannya. Mereka tidak ada yang tahu kalau Seiji kecelakaan malam itu. Termasuk Jessica dan Kyousuke. Sebenarnya, Seiji itu kemana?

Kyousuke sendiri sudah kembali ke Jepang. Kembali bertugas setelah cuti di Inggris cukup lama. Jessica meneruskan kuliahnya. Sementara, Yi Jae memiliki sesuatu yang kini dia geluti. Dia senang sekali menghadiri komunitas non-muslim yang ingin tahu lebih tentang islam di Islamic Centre di London. Seiring tentang itu, Yi Jae juga suka mencari referensi tentang Islam tanpa diketahui Go Min Sung, manajernya. Tidak jarang muncul banyak pertanyaan dalam benaknya yang sulit diselesaikan. Membuatnya rela duduk berjam-jam untuk mendiskusikan masalah ini.

Yi Jae juga sering berpastisipasi dalam acara seminar dan aktifitas keislaman seperti puasa. Namun, dia belum tergerak untuk bersyahadat. Semua ini dilakukan untuk mendapatkan pengalaman spiritual di tengah kehidupannya yang melelahkan.

Hingga suatu hari, Ustadz Ahmad mengajak hadirin yang mau bersyahadat berdiri setelah beliau membahas tentang hari akhir. Walau sedikit ragu, Yi Jae pun bersama-sama beberapa non-muslim lainnya membulatkan tekad untuk berdiri sebelum akhirnya mereka berikrar: “Asyhadu an laa ilaaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan Rasul Allah", disambut dengan pekikan takbir berkali-kali oleh para hadirin dan do’a oleh Ustadz Ahmad.

@@@

Pagi mengawali denyut nadi kehidupan, menggerakkan jiwa dan raga untuk menganyam helai demi helai berjuta harapan. Bekerja dan berusaha demi masa depan masing-masing. Rifki menyambar meja makan, di atas meja ada makanan kesukaannya yaitu martabak telur dan telur balado. Di meja makan sudah ada seluruh keluarga, termasuk Devon dan Nida. Mahatir langsung duduk di samping sepupunya itu.

“Apa kau sudah mendengarnya? Kalau sekarang Heo Yi Jae sudah masuk Islam?” tanya Mahatir pada Devon.

“Benarkah?” tanya Devon. Seluruh keluarga pun terlihat kaget.

“Iya, beberapa bulan yang lalu dia meminta maaf padaku karena memelukku begitu saja. Aku melepas pelukannya. Dan mungkin karena itu dia mulai penasaran dengan agama Islam,” ujar Rifki.

“Kalau begitu Ibu setuju kau menikah dengannya,” ujar ibunya Rifki.

“Aku tidak tertarik. Kecantikannya sudah dinikmati banyak orang,” ujar Rifki.

“Oh ya, Ibu, Ibu Ani, dan Ayahmu seminggu lagi akan pulang ke Indonesia,” ujar ibunya Rifki lagi. Rifki, Devon, dan Michael terlihat kaget.

“Apa? Seminggu lagi?” tanya Rifki. “Sayang sekali, padahal aku sangat senang ibu tinggal disini. Masakan Ibu sangat enak.”

“Kau tidak tahu, ya? Ibu kan diajarkan oleh Nida. Dia juga yang mengajarkan Ibu memasak makanan kesukaanmu itu, martabak telur dan telur balado.”

Rifki tertegun. Dia melihat Nida yang hanya menunduk sambil tersenyum. “Oh, buatan Nida…” ucapnya pelan. Setelah memakan satu martabak telur, Rifki ingin mengambil lagi tapi sudah habis. Devon yang tahu kalau Rifki paling doyan martabak memberikan satu dari dua martabak miliknya.

“Ini untukmu,” katanya.

Rifki melihat tangan Devon yang menaruh martabak di atas piringnya itu.

“Aku baru tahu kau memakai cincin, seperti wanita saja,” ucap Rifki menarik tangan Devon ke atas meja. Devon terdiam.

“Rifki, Devon sudah mengkhitbah Nida. Dan cincin itu adalah salah satu hantaran pernikahan,” ujar ibunya Rifki.

Rifki terperangah kaget bukan main. Devon sudah melamar Nida?? Entah kenapa, dia tidak suka mendengarnya. Ia bahkan tidak bisa menelan makanannya sendiri. Bukan karena dia kaget karena selama ini tidak tahu, tapi karena Rifki sadar kalau dia mulai mencintai gadis yang dijodohkan oleh Ibunya itu. Apalagi setelah mengetahui kalau Nida lah yang telah memasakkan sarapan pagi untuk keluarganya beberapa bulan ini.

“Selama ini kan kau tidak suka dengan Nida, sementara Devon berkata kalau dia bersedia menggantikanmu,” ujar Ibunya Devon.

“Kalau kau sudah siap menikah, Ibu akan segera datang lagi ke sini dengan membawa calon istri yang Insya Allah sholehah, cantik, dan pintar masak seperti Nida. Namanya… Maryam Qonita!” ujar ibunya Rifki. “Dia itu anaknya sholeha, cantik, penurut, hafidzoh pula! Dia pasti suka kamu yang bekerja sendiri demi biaya pendaftaran masuk Oxford. Padahal Ibu dan Ayahmu bisa membiayakannya. Kalian berdua memang cocok!”

“Aku sudah kenyang,” ujar Rifki bangkit berdiri meninggalkan meja makan.

@@@

Kota London, Malam Hari…

Besok adalah ujian masuk Oxford. Nida dan Rifki harus sudah belajar cukup banyak. Tapi ketika malam sebelum ujian, Nida dan Rifki tidak sempat belajar. Mereka mengantarkan Yi Jae ke konferensi pers. Tapi hanya mengantarkan, dan setelah itu pulang untuk belajar. Devon mengaku tidak bisa menjemput istrinya karena ada urusan penting dan harus menginap di rumah teman mahasiswanya.

“Devon tidak menjemputmu?” tanya Rifki.

“Tidak,” jawab Nida.

“Kau mau pulang?” tanya Rifki.

“Iya, aku mau belajar buat besok. Kakak sendiri?”

“Aku ingin membeli makan malam dulu. Tapi mungkin aku bisa mengantarmu sebentar pulang ke rumah dengan taksi.”

“Tidak usah, makasih. Aku tidak ingin mengacaukan acara makan malammu. Lagipula, aku sudah menikah. Tidak baik jalan dengan pria yang bukan suamiku.”

“Ya, kau benar.”

“Aku duluan.” Nida akhirnya berjalan kembali ke rumah tempat tinggalnya tersebut. Berjalan kaki sendirian pada malam hari. Seorang perempuan pula. Ia pun mempercepat jalannya karena mulai merasa takut. Punggungnya serasa disiram air dingin dan tangannya merinding ketika melewati jalanan sepi yang gelap di antara dua gedung di London.

“Mau kemana, manis?” seorang pria datang menggodanya. Nida jelas makin ketakutan. Ia mencoba lari tapi datang tiga orang pria lagi.

“Cantik-cantik koq pakai karung di kepala sih? Sini kami benerin pakaiannya!”

“Jangan macam-macam!” gertak Nida.

“Atau?”

“Atau aku akan melaporkan polisi!”

“Woo, lapor polisi? Takut...” kata salah seorang dari mereka.Mereka pun mulai mendekati Nida dan tiba-tiba...

BUG! Rifki Mahatir, yang merupakan sepupu dari suaminya datang. Ia langsung menghajar keempat pria tersebut. Ternyata ada gunanya juga belajar tifan dan karate sewaktu di pesantren. Dalam hitungan menit, keempat pria itu telah KO.

“Rifki, terimakasih telah menolongku...”

“Kebetulan saja aku sedang lewat. Lain kali jangan pergi ke tempat sepi ini sendi..”

DOR! Peluru merajam. Salah seorang dari pria itu menembak Rifki. Rifki langsung terjatuh. Pria itu kembali menembaknya. Nida menjerit ketakutan, dan detik berikutnya Rifki telah tergelatak di aspal. Dia mati. Para pria itu mulai mendekati Nida dan Nida terpaksa berlari sambil menangis membiarkan mayat Rifki dibawa oleh keempat pria itu.

@@@

Lagi-lagi aku buat cerita hasil ngerangkum dari serial Seiji. Kenapa dirangkum? Karena aku lebih suka yang alurnya cepat dan karena banyak kejadian yang gak penting. Aku baru nyadar banyak banget yang bisa aku hilangkan dari cerita yang kubuat pas aku masih ingusan ini. Hehehe. Maklumin ya kalau ceritanya rada gaje dan aneh. Soalnya, aku buat cerita ini cuma buat iseng aja. Ini adalah buku kedua serial seiji, dan The Authority yang sudah kuposting sebelumnya adalah buku ketiga. Buku keempatnya menunggu ya…

Sebelumnya

Introduce Airen

Airen Part 1

Airen Part 2

Airen Part 2



Rumah Devon dan Rifki…

Devon sedang kuliah, Rifki dan Paman Michael sedang syuting film, sementara ibunya Devon, ibunya Rifki dan ayahnya Rifki sedang jalan-jalan mengelilingi London. Di rumah hanya ada Nida yang disuruh memasak kue ulang tahun untuk Rifki. Tapi sebenarnya, walaupun dia hebat memasak masakan khas Indonesia, Nida tidak bisa memasak kue!

“Aah… kuenya gosong!” seru Nida mengeluarkan kue bolu dari dalam oven. Seisi dapur bahkan penuh asap semua yang timbul dari dalam oven yang kepanasan. Nida begitu lelah sekarang. Sudah berkali-kali dia berusaha membuat kue ulang tahun, tapi kuenya tetap saja bantet dan bahkan gosong. Bentuknya tidak lagi seperti kue. Dia hanya menghabiskan bahan saja.

“Ini kenapa?” tanya Devon yang tampaknya baru pulang kuliah. Sontak, karena malu Nida melempar sendok ke arah Devon. Sendok itu pun mengenai kepalanya.

“Jangan kesini!” teriak Nida.

Devon berjalan menuju kompor dan mematikan apinya. “Apa yang sedang kau lakukan? Kau mau membakar rumah ini?”

“Aku hanya sedang membuat kue, tapi aku gagal.”

“Bukannya kata bibi Rina kau pintar memasak?”

“Kecuali kue.”

“Kenapa kau tidak bilang sewaktu makan malam kemarin?”

“Aku pikir aku bisa membuat kue seperti di buku resep ini.”

Devon menghela nafas. Dia melihat buku resep yang dimaksud Nida. “Jadi kau ingin memasak kue bolu ini untuk ulang tahun Rifki?” tanya Devon. Nida mengangguk.

Devon lalu melihat 2 kue bolu yang bantet dan gosong buatan Nida. “Seharusnya apinya jangan terlalu besar. Jika apinya besar, maka kuenya akan gosong, tapi dalamnya belum matang. Dan seharusnya kau memakai baking soda agar kuenya tidak bantet. Sewaktu dikocok dengan mixer pun harus dikocok dengan satu arah. Kau mengerti?”

“I.. iya..” ujar Nida bengong. Ternyata dia belum banyak mengerti. Dan pada akhirnya, Devonlah yang memasak kue bolu itu. Nida hanya disuruh mencuci peralatan bekasnya memasak saja.

“Pertama kali kau kesini, aku pikir kau bisu,” ledek Devon sambil mengocok adonan.

“Apa kau bilang?” tanya Nida yang sedang mencuci.

“Aku pikir kau bisu. Apa kau mau disebut boneka?”

“Apa?”

“Ibu Rifki bicara banyak padamu. Dia menjodohkanmu dengan Rifki dan kau hanya menurut saja tanpa mengemukakan pendapatmu sendiri. Apa itu namanya bukan seperti boneka?”

“Sebenarnya aku hanya tidak ingin memaksa Kak Rifki menyukaiku.”

“Bukan itu maksudku, apa kau benar menyukai Rifki? Jika kau tidak suka, seharusnya kau bilang saja kalau kau tidak suka.”

“Aku menyukainya.”

Devon terperangah. Tapi dia tetap bertahan stay cool. “Kenapa kau menyukainya?” tanyanya dingin.

“Itu karena sewaktu dia di pesantren, dia pernah berdiri di depan seluruh santri sebagai juara umum. Dia juga pernah memberikan pidatonya sebagai ketua MPS di depan seluruh santri dan guru-guru. Kalau aku benar menjadi istrinya, aku sangat beruntung.”

“Apa kau benar menyukainya hanya karena dia pernah berdiri di depan seluruh santri? Apa itu membuatmu bahagia?” tanya Devon dingin.

“Entahlah, aku juga tidak tahu.”
@@@

Sore itu, di apartemen Seiji…

Kyousuke sedang tidak ada. Pria itu mengaku harus pergi ke kantor FBI karena ada suatu urusan dan malam ini tidak pulang. Seiji memanfaatkan hal ini untuk bicara pada Jessica tentang penyakitnya.

“Hari ini aku ulang tahun, dan aku berencana untuk merayakannya,” ujar Seiji.

“Lalu? Apa yang bisa kubantu?”

“Dia akan datang. Dan kau berpura-puralah menjadi pacarku.”

“Apa? Itu tidak mungkin!” ujar Jessica.

“Kumohon! Aku bisa benar-benar hancur jika melihatnya menangisi kepergianku!” ujar Seiji. Jessica hanya diam. “Aku sudah putus asa sekarang. Dokter bilang kalau kemungkinan operasi ini gagal lebih besar daripada operasi ini berhasil. Apa kau merasakan apa yang kurasakan?”

Jessica terdiam sejenak. Matanya dan mata Seiji saling terpaku untuk sementara. “Aku hanya membantumu sekali saja, aku pulang,” ujar Jessica sembari mengambil jaketnya yang ditaruh di sofa. Dia lalu melangkah pergi.

“Berdandanlah yang cantik,” pinta Seiji.
@@@

Di pinggir danau…

Syuting video klip baru saja berakhir hari ini. Yi Jae menghampiri Rifki yang sebenarnya baru saja selesai sholat maghrib dan ingin memulai tilawah. Tapi Yi Jae datang dan membuat Rifki kembali menutup Al-Qur’an.

“Apa kau sibuk?” tanya Yi Jae.

“Tidak.”

“Boleh aku minta tolong lagi antarkan aku ke suatu tempat?” tanya Yi Jae.

“Aku bukan supirmu.”

“Tapi kau supir taksi.”

“Dimana manajermu?”

“Dia berkata kalau mobilku belum sepenuhnya betul.”

“Baiklah, ke tempat apa?” tanya Rifki.

“Malam ini pacarku ulang tahun, aku ingin kau mengantarkanku kesana.”

Rifki bangkit berdiri dan berjalan diikuti Yi Jae. Sebenarnya, Rifki sadar kalau hari ini juga adalah ulang tahunnya. Tapi toh dia tidak peduli. Sebelumnya juga, ulang tahunnya tidak pernah dirayakan.

Michael Murray melihat Rifki pergi bersama Yi Jae. Tapi dia tidak curiga apapun, dan berpikir kalau Yi Jae hanya minta diantar saja seperti kemarin. Rifki pasti pulang malam ini, pikirnya.
@@@

Malam hari, Apartemen Seiji…

Seiji membuka pintu setelah mendengar seseorang menekan bel. Dia Jessica yang malam ini cantik sekali dengan pakaian hitamnya. Dia juga melepaskan kacamatanya demi menuruti permintaan Seiji agar berdandan dengan cantik.

“Terimakasih kau telah menuruti permintaanku.” Seiji lalu berjalan menuju cermin. Dia sendiri memakai jas berwarna hitam. Ia menghadap ke cermin dan melihat wajahnya yang tampan. “Aku takut ini terakhir kalinya aku melihat cermin,” ujar Seiji narsis. Ia lalu mengambil botol obatnya dan menelan satu tablet. Lalu memasukkan botol itu ke dalam saku jas.

“Obat apa itu?” tanya Jessica.

“Untuk menghambatnya berkembang,” ujar Seiji. Ia lalu mengeluarkan sebuah kotak cincin dari dalam saku celananya. Dua buah cincin emas putih menunggu disana untuk dipakaikan ke jari sepasang kekasih. Seiji hanya menatapnya sambil bergumam, “Maafkan aku, Lee…”
@@@

Rumah Devon dan Rifki…

Rumah sudah dihias sedemikian rupa untuk menyambut ulang tahun Rifki. Sekeluarga berkumpul di ruang tengah dengan kue bolu berada di atas meja. Sudah lebih dari satu jam mereka menunggu Rifki pulang, tapi Rifki tidak juga pulang.

“Assalamu’alaikum,” ujar Michael Murray masuk ke dalam rumahnya. Dia melihat ekspressi sekeluarga yang rata-rata sama. Bosan dan pasrah menunggu.

“Walaikum salam,” jawab mereka lesu.

“Kau tidak bersama Rifki?” tanya ayahnya Rifki.

“Tidak. Apa dia belum pulang?”

Semuanya geleng-geleng kepala.

“Tadi aku melihatnya sedang mengantar Heo Yi Jae. Mungkin dia hendak mengantarnya pulang ke apartemen artis Korea itu. Mungkin dia akan datang sebentar lagi.”
@@@

Kolam renang apartemen Seiji…

“Disini pacarmu ulang tahun?” tanya Rifki.

“Iya. Terimakasih sudah mengantarku,” ujar Yi Jae.

“Sama-sama.” Rifki hendak pulang sekarang. Dia belum sholat isya.

“Tunggu, aku ingin memperkenalkanmu dengan teman-temanku. Setelah itu kau boleh pulang.”

“Lee!!” seseorang memanggil Yi Jae diantara puluhan orang yang datang ke ulang tahun Seiji tersebut. Dia adalah Da Dong yang sedang bersama Ryuzaki dan Cecilia. Siapa lagi kalau bukan mereka? Mereka bertiga pun langsung menghampiri Yi Jae.

“Hai Lee! Sudah lama kita tidak bertemu lagi,” ujar Da dong.

“Aku benar-benar tidak menyangka kau adalah Heo Yi Jae,” ujar Ryuzaki.

“Iya, pantas saja kau tidak pernah hadir di konser Heo Yi Jae di Jepang,” kata Cecilia.

Yi Jae hanya tersenyum melihat teman-teman SMU nya yang sudah dua tahun ini tidak bertemu. “Oh ya, kenalkan! Dia Rifki Mahatir, temanku.” Yi Jae memperkenalkan Rifki kepada teman-temannya. “Rifki, ini Da Dong, Ryuzaki, dan Cecilia,” ujar Yi Jae lagi. Rifki melihat Yi Jae sesaat. Jadi walau selama ini Rifki bersifat dingin, Yi Jae menganggapnya seorang teman.

“Kalian tiba disini kapan?” tanya Yi Jae.

“Baru tadi sore. Kita dengar Seiji hari ini ulang tahun,” ujar Cecilia menggunakan bahasa Inggris mengingat bahasa Jepangnya tidak lancar.

“Seiji? Apa yang kau maksud adalah Seiji Amano?” tanya Rifki.

“Iya. Ada apa?” tanya Cecilia.

“Kau mengenalnya?” tanya Yi Jae.

“Tidak. Aku hanya merasa pernah mendengar namanya,” ujar Rifki berbohong. Dia tidak mungkin berkata Seiji Amano adalah atasannya di FBI. Rifki mulai curiga Seiji yang dimaksud adalah Seiji Amano atasannya karena dia dengar dari teman-temannya di kepolisian, kalau Seiji atasannya itu ulang tahunnya sama dengannya.

Hey, tunggu. Rifki adalah seorang FBI???
@@@

Di rumah Devon dan Rifki…

“Nomornya tidak aktif,” ujar Devon yang sejak tadi hendak menelepon sepupunya itu.

“Saya juga tidak memiliki nomor Heo Yi Jae. Jika saya punya, saya bisa bertanya Rifki dan dia pergi kemana,” kata Michael Murray.

“Mungkin kita bisa pergi ke apartemen Heo Yi Jae dan bertanya padanya, paman,” kata Nida.

“Iya, kau benar. Aku akan kesana,” ujar Michael Murray.

“Aku ikut, ayah,” ujar Devon bangkit berdiri.
@@@

Pesta sudah dimulai. Alunan lagu pun sudah berputar. Sebagian orang berdansa di tepi kolam, dan sebagiannya yang lain mengobrol sambil menikmati hidangan. Hanya Rifki yang duduk menjauh dari pesta sambil membaca buku. Dia sengaja menunda pulang karena ada yang ingin dia tanyakan dengan Seiji. Tapi tidak mungkin bertanya sekarang, karena tampaknya Seiji sedang hanyut mengobrol dengan kekasihnya itu.

“Selamat ulang tahun, Seiji,” ujar Yi Jae.

“Yi Jae, ada sesuatu yang harus kau dengar.”

“Ada apa?”

“Maafkan aku. Tapi aku tidak pernah benar-benar mencintaimu,” ujarnya. “Aku mau menjadi pacarmu, karena kau adalah Heo Yi Jae yang terkenal itu,” ucapnya. “Aku sudah tunangan dengan gadis lain, dan aku mencintainya.”

“A..apa?” tanya Yi Jae dengan nada tercekat.

“Sekali lagi maafkan aku.” Seiji menarik tangan Jessica dan memperlihatkan cincin yang mereka kenakan di jari manis tangan kiri mereka.

“Aku harap kau mau mengerti,” ujar Jessica.

“Bohong, kau tidak pernah mengatakannya padaku selama ini kau sudah tunangan!” ujar Yi Jae masih tidak percaya.

“Aku tidak bohong.” Seiji langsung menyambar bibir Jessica di depan banyak orang. Mereka berciuman di depan Yi Jae! Yi Jae tidak menangis. Sama sekali tidak menangis. Dia hanya langsung pergi berlari dari tempat itu.

“Rifki, antarkan aku pulang,” pinta Yi Jae. Rifki hanya menurut. Ia menunda bertanya pada Seiji karena keadaan sudah menjadi sangat tidak enak.

“Yi Jae!” panggil Cecilia, tapi Yi Jae hanya terus berlari. Hatinya sakit… tidak pernah sesakit ini sebelumnya…

Da Dong dan Ryuzaki melotot tidak percaya ke arah Seiji. Saking kesalnya, Da Dong meninju pipi Seiji hingga orang itu jatuh ke kolam renang. Sumpah serapah menyembur dari mulutnya.

“Kau sangat beruntung bisa menjadi pacar Heo Yi Jae, kau benar-benar tidak tahu diri!”

“Dia sangat mencintaimu, apa kau tahu?” tambah Ryuzaki.

“Anggap saja kami tidak mengenalmu lagi!” bentak Da Dong lalu berjalan pergi. Seiji naik dari kolam renang dibantu oleh Jessica. Seluruh pakaiannya basah kuyup tapi ia tidak peduli. Sorotan mata undangan yang menatapnya jijik tidak lebih dia pedulikan daripada perasaan Yi Jae sekarang. Gadis itu pasti sedang sedih walau tidak ada air mata yang menetes di pipinya.

“Pesta ulang tahun bubar, kalian boleh pergi,” ujar Jessica. Orang-orang pun pergi sambil berceletukkan.

“Pengkhianat.”

“Benar-benar tidak tahu diuntung.”

“Aku tidak mau punya pacar seperti dia.”

Jessica mendekati Seiji dan menutup telinga Seiji dengan kedua telapak tangannya. “Jangan dengarkan kata mereka.”

“Ini adalah hal terbodoh yang pernah kulakukan,” ujar Seiji lalu menangis.
@@@

Devon dan Michael baru saja mendengar dari manajer Heo Yi Jae kalau Yi Jae belum pulang karena menghadiri ulang tahun pacarnya. Kemungkinan besar, Rifki bersamanya karena Go Min Sung, si manajer juga tidak bisa mengantar pulang mengingat mobil mereka sedang di bengkel. Kini, Devon dan Michael pun memutuskan untuk menunggu Rifki di selasar apartemen. Dia pasti datang mengantarkan Heo Yi Jae dengan taksinya itu.
@@@

Sebuah mobil taksi berhenti di depan bangunan apartemen mewah tempat Yi Jae tinggal. Yi Jae yang dari tadi menahan tangisnya akhirnya menangis juga. Air matanya tumpah.

“Seharusnya kau menangis dari tadi,” ujar Rifki.

“Terimakasih telah mengantarku, ini!” ujar Yi Jae memberikan beberapa pound pada Rifki.

“Kali ini gratis,” ujar Rifki tanpa melihat Yi Jae. Bukannya apa-apa, kan bukan mahram.

“Terimakasih.”

“Menangis itu seperti minum air setelah menahan pedasnya cabe rawit,” ujar Rifki. “Jadi kau harusnya menangis dari tadi.”

Deg! Rifki membelalak kaget. Yi Jae memeluknya!!! Erat banget lagi, sehingga Rifki kesulitan untuk melepas pelukan itu. “Astaghfirullah, bagaimana ini?” batinnya. Dia pun berusaha melepas pelukan itu. Pipinya merah dan pandangannya menunduk. Shocked.

“Kau boleh keluar sekarang,” ujar Rifki.

“Kau sangat dingin selama ini,” ujar Yi Jae lalu keluar dari taksinya Rifki. Gadis itupun berjalan memasuki apartemennya.

Sementara itu, Rifki membenamkan wajahnya ke kemudi mobil. Barusan tadi…, dia dipeluk oleh seorang wanita kafir yang bukan mahramnya! Dia pun memukul-mukul kepalanya sendiri sambil beristighfar. Jantungnya berdegup kencang.

Seseorang mengetuk kaca pintu mobilnya. Rifki menoleh, dan dia kaget melihat Devon dan ayahnya disana!!!
@@@


Terkait

Introduce Airen

Airen Part 1

Airen Part 3

Airen Part 1


Kyousuke menghampiri Jessica Scaffer yang sedang menangis di sebuah bangku taman. Gadis cupu ini selalu lari ke taman atau ke gereja kalau sedang sedih. Menurutnya, taman dan gereja adalah dimana dia bisa menangis tanpa ada yang berani bertanya kenapa.

“Berhentilah menangis!” kata lelaki berusia 25 tahun yang merupakan sahabat Jessica tersebut. Dia memberikan sebuah tisu pada Jessica. Jessica menyeka air matanya dengan tisu tersebut.

“Sangat bodoh, bukan?” ujar Jessica.

“Aku sudah mengatakannya sedari dulu. Zack tidak menyukaimu dengan tulus,” kata Kyousuke yang sudah kenal Jessica lewat chatting di Internet. Jessica memang banyak bercerita tentang cowoknya yang bernama Zack. Dan Kyousuke sendiri sering berkata agar hati-hati pada Zack karena Jessica itu tidak cantik-cantik amat. Tapi dia kaya. Bisa saja Zack hanya menginginkan hartanya saja.

“Iya, dia hanya menginginkan hartaku saja, tapi kenapa aku sangat menyukainya? Dan kenapa dia tidak menyukaiku? Apa karena wajahku jelek?” tanya Jessica sambil terus menangis. Kyousuke hanya diam.

@@@

Seiji dan Yi Jae hanyut dalam kemeriahan mall sore itu. Mereka bergandengan tangan layaknya sepasang kekasih. Setelah menonton film dan belanja berbagai macam barang, Yi Jae menunjuk sebuah tempat di mall yang penuh dengan boneka-boneka anak perempuan.

“Kesana, ya?” pinta Yi Jae.

“Hm!” kata Seiji menuruti permintaan kekasihnya itu. Mereka pun masuk ke dalam tempat jualan boneka itu. Seiji hanya berdiri sambil memasukkan tangan ke dalam saku celana jeansnya, sementara Yi Jae sibuk memilih-milih boneka.

“Ini lucu, kan?” tanya Yi Jae memperlihatkan sebuah boneka teddy bear memakai pakaian pengantin wanita. “Mereka adalah sepasang kekasih seperti kita,” ujar Yi Jae sembari menunjukkan boneka teddy bear yang lain yang memakai pakaian pengantin pria. Seiji hanya tersenyum.

“Terimakasih telah membelikannya untukku,” ujar Yi Jae setelah pergi dari tempat jualan boneka tersebut. Mereka berdua kini sedang duduk di tempat es krim.

“Kau menyimpan yang ini!” kata Yi Jae memberikan boneka teddy bear yang memakai pakaian pengantin wanita ke Seiji. Seiji heran.

“Aku yang wanita?”

“Itu agar kau mengingatku ketika melihatnya.”

Setelah menikmati es krim, Seiji dan Yi Jae berdiri. Keduanya membawa boneka teddy bear masing-masing. Seiji membawa boneka teddy bear wanita dan Yi Jae membawa boneka teddy bear pria.

PLUK! Boneka yang dibawa Seiji jatuh. Seiji pun memungutnya.

“Tanganku licin.”

“Mm…” kata Yi Jae tidak curiga apapun. Dia berjalan duluan sementar Seiji sempat terpaku di tempatnya seperti patung.

Tadi itu… apa? Ada yang aneh dalam tubuhku, batinnya.

@@@

Yi Jae heran. Di mall, Seiji tidak juga kehabisan uang untuk membelikannya banyak barang. Mulai dari perhiasan, pakaian, boneka teddy bear, makan es krim, dan segala macam asesoris lain. Setahu Yi Jae, cowok yang dia sukai sejak SMA ini tidak pernah menunjukkan kalau dia adalah orang kaya. Malah, Seiji pernah berkata kalau sudah lama dia berpisah dengan orang tuanya. Darimana dia mendapatkan uang sebanyak itu, sementara dia tidak bekerja sambilan apapun?

Tapi, Yi Jae tidak mau berpikir yang bukan-bukan. Bisa saja orang tua Seiji sering mentransfer uang pada anak laki-lakinya tersebut.

@@@

Seiji pulang ke apartemennya. Dia melihat koleganya di kepolisian, Kyousuke Nakamura sedang menonton televisi. Seorang laki-laki berusia 25. Usia mereka terpaut 5 tahun. Tapi jabatan mereka sama. Sama-sama di bagian penyelidikan dan investigasi.

“Hai, Seiji!” sapa Kyousuke tanpa melirik Seiji sedikit pun. Dia tahu kehadiran Seiji dari langkah pria itu memasuki apartemen.

“Aku lelah, ingin gosok gigi,” kata Seiji.

“Di kamar mandi ada temanku,” kata Kyousuke.

Seiji menghentikan langkahnya menuju kamar mandi. Beberapa detik kemudian, seorang wanita yang tidak lain adalah Jessica Scaffer muncul dari pelosok ruangan.

“Hai!” sapa Jessica pada Seiji.

“Dia temanmu?” tanya Seiji.

“Iya, dia temanku. Sebelum kita ke Inggris, aku sudah mengenalnya dari internet,” kata Kyousuke. “Jessica, ini Seiji. Partnerku di kepolisian. Seiji, ini Jessica.”

“Senang berkenalan denganmu,” ujar Jessica.

“Sama-sama,” jawab Seiji lalu berjalan menuju kamar mandi.

@@@

Ketika menaruh odol di sikat gigi….

PLUK! Hal yang tadi terjadi lagi. Sikat gigi itu jatuh ke westafel. Bahkan lebih parah, tangan Seiji gemetar ketika mencoba untuk mengambilnya. Entah kenapa, seakan sulit sekali.

BRUK! Seiji terjatuh. Rasanya tadi itu saraf-saraf dalam tubuhnya lumpuh sebentar. Mati rasa. Ia mencoba untuk segera bangun lagi sebelum Kyousuke masuk. Firasat buruknya terasa lebih kuat sekarang.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Kyousuke membuka pintu kamar mandi.

“Tidak, lantainya licin,” ujar Seiji.

“Berhati-hatilah!” suruh Kyousuke lalu kembali menutup pintu kamar mandi. Seiji kaget. Benar, ada yang aneh di dalam tubuhnya. Sesuatu. Apa itu penyakit?

@@@

Beberapa hari kemudian, di dalam sebuah rumah sakit.

Yi Jae sedang syuting video klip. Michael Murray, seorang sutradara Inggris memang sengaja meliriknya untuk menjadi bintang di video klip tersebut mengingat Yi Jae cukup terkenal di Asia. Syuting berjalan dengan sukses. Yi Jae pun menghampiri pria berusia 55 tahun tersebut.

“Boleh aku langsung pulang?” tanya Yi Jae.

“Tentu saja. Tapi, saya dengar dari manajermu, mobilmu sedang di bengkel?” tanya Michael.

“Iya, saya akan naik taksi.”

“Kebetulan sekali, keponakan saya adalah seorang supir taksi. Dan dia ada disini,” ujar Michael. “Mahatir, kesini sebentar!” panggil Michael pada seorang laki-laki berambut hitam. Lelaki itu datang menghampiri pamannya. Tampangnya benar-benar tidak seperti orang Inggris yang bekerja sebagai seorang supir. Dia masih sangat muda seperti Yi Jae.

“Ada apa, paman?” tanya Rifki.

“Antarkan dia pulang ke apartemennya, mobilnya sedang di bengkel.”

Rifki hanya melihat Yi Jae sekilas dan dia pun memulai langkahnya. “Mari, nona saya antar,” katanya sambil jalan. Yi Jae berjalan membuntuti Rifki menuju mobil taksi yang diparkir di halaman rumah sakit.

@@@

Di rumah sakit yang sama…

“Ada tumor di otakmu yang tepat mengenai otak bagian saraf. Sehingga, bisa jadi kau akan kesulitan mengendalikannya,” ujar Dr. Terry di ruang periksanya pada Seiji. “Penyakit ini akan berkembang perlahan tapi pasti. Sehingga mungkin kau akan sering menjatuhkan sesuatu dan sering terjatuh. Pandanganmu buyar. Dan saraf tubuhmu akan sulit dikendalikan, lebih tepatnya melemah.”

“Apa aku bisa sembuh?” tanya Seiji.

“Bisa. Yaitu dengan cara operasi. Tapi peluang operasi ini gagal lebih besar daripada berhasil. Dan resikonya adalah kau lumpuh total atau mungkin… kau bisa mati.”

“Mati?” tanya Seiji dengan nada tercekat.

“Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan resiko dari operasi ini. Kau hanya tinggal memilih, lebih baik dioperasi atau tidak. Ini gambar tumor itu,” kata dokter itu memberikan Seiji hasil rontgen.

“Untuk sementara, aku ada obat untuk yang bisa menunda penyakit itu berkembang. Tapi kau tidak bisa mengandalkannya terus menerus. Kau harus punya keberanian untuk dioperasi. Good luck!”

@@@

Mobil taksi itu berhenti di depan sebuah bangunan apartemen mewah.

“Terimakasih telah mengantarkanku,” kata Yi Jae sebelum keluar dari taksi.

“Tidak perlu berterimakasih kalau ada uang,” ujar Rifki.

“Ck. Tentu saja,” ujar Yi Jae lalu memberikan beberapa pound kepada Rifki. Rifki melihat uang itu dan mengambilnya.

“Kau boleh keluar, nona,” ujar Rifki tanpa menoleh ke arah Yi Jae yang duduk di sampingnya.

“Kau dingin sekali,” komentar Yi Jae lalu keluar dari taksi tersebut dan berjalan masuk ke dalam apartemennya. Sementara, mobil itu langsung meninggalkan selasar apartemen dan meluncur di jalan raya.

Wanita kafir itu cantik sekali, batin Rifki yang beberapa detik kemudian dia menyadari apa yang dia katakan walau dalam hati. Rifki pun banyak-banyak beristighfar.

@@@

Lalu lintas kota bersahut-sahutan antara deru sepeda, motor, dan mobil. Seiji memilih untuk pulang dengan berjalan kaki menuju apartemennya. Dalam pikirannya masih terpeta jelas ucapan dokter tadi, kalau persentase operasi ini gagal lebih besar daripada operasi ini berhasil.

BRUK! Penyakitnya kambuh lagi. Ia terjatuh. Saraf kakinya tadi lumpuh lagi sebentar. Seiji mencoba untuk segera bangun karena ini adalah tempat umum. Dia tidak mau orang-orang memandanginya. Tapi, masalahnya adalah sangat sulit untuk bangun.

“Butuh bantuan?” tanya Jessica Scaffer sembari mengulurkan tangannya. Seiji pun mengambil tangan Jessica dan berdiri.

“Thanks.”

“Hanya kebetulan kita bertemu disini,” ujar Jessica. Ia lalu melihat sebuah amplop coklat besar yang dibawa Seiji. “Itu apa?” tanya Jessica.

“Bukan apa-apa.”

“Aku sudah tahu kalau itu hasil rontgen,” ujar Jessica.

“Bagaimana kau tahu?”

“Di amplop itu ada tulisannya kalau itu dari rumah sakit,” tunjuk Jessica. Seiji melihat amplop itu dan ia membaca nama rumah sakit yang tertera di pojok amplop.

“Tolong jangan katakan pada siapapun tentang masalah ini, ya?” ujar Seiji.

“Ada apa?”

“Ada tumor dalam otakku.”

Jessica terperangah kaget. Dia tidak percaya Seiji mengalami penyakit mematikan itu. “Lalu?”

“Hanya bisa sembuh dengan operasi, tapi aku tidak yakin operasi ini akan berhasil,” ujar Seiji. “Boleh aku minta tolong padamu?”

“Tentu saja.”

“Ada seorang wanita yang aku cintai, dia belum tahu aku menderita tumor otak. Aku tidak mau dia merasa sedih kalau aku nanti gagal operasi. Jadi aku harus minta bantuanmu untuk membuatnya membenciku.”

“Seiji, kau tidak boleh menyerah begitu saja. Bagaimana kalau operasi itu berhasil? Aku dengar bahwa sugesti akan sangat berpengaruh pada kesehatan kita.”

@@@

Rumah Rifki…

Rifki sedang menonton bola bersama dengan sepupunya, Devon. Dia tinggal dalam rumah besar itu bersama sepupunya dan pamannya yang merupakan ayah Devon, Michael Murray. Istri dari Michael Murray adalah orang Indonesia yang juga adalah adik dari ayahnya Rifki. Tapi, bibinya itu mengaku lebih suka tinggal di Indonesia. Sementara, Michael Murray memilih tinggal di Inggris karena memang bekerja di Inggris.

Suara telepon rumah berdering. Devon lalu pun mengangkatnya.

“Halo,” ujar Devon.

“Assalamu’alaikum…” Itu suara ibunya Rifki.

“Walaikum salam,” balasnya. “Bibi mencari Rifki?” tanya Devon dengan bahasa Indonesia.

“Koq pintunya tidak dibuka sih?”

“Pintu?” Devon menyadari sesuatu. Apa jangan-jangan… Dia pun berjalan menuju pintu depan setelah menutup telepon tersebut. Ketika pintu itu dibuka, dia langsung melihat di depan pintu ada ibunya dan kedua orang tua Rifki yang memakai kacamata. Sudah melekat di ingatan. Tapi… siapa gadis berkerudung panjang yang satunya lagi? Manis, cantik, kulitnya putih. Devon sampai cengo melihatnya. Subhanallah!

“Siapa yang datang?” tanya Rifki melihat ke ruang depan. “Hah? Ibu!”

@@@

Makan malam keluarga diadakan. Seluruh keluarga berkumpul di ruang makan. Dan makanan yang tersaji di atas meja itu semuanya adalah makanan khas Indonesia. Ibunya Rifki dan gadis berjilbab itu yang membuatnya.

“Kenapa tidak bilang kalau mau datang?” tanya Michael Murray.

“Aku memang berencana untuk membuat kejutan,” ujar ibunya Rifki.

Devon tidak berhenti melihat gadis berkerudung panjang yang makan malam bersama mereka saat itu. Ketika gadis itu melihat Devon, Devon hampir saja tersedak.

“Oh ya, kenalkan… ini anak teman ibu yang baru saja lulus pesantren sama sepertimu, Rifki,” ujar ibunya Rifki yang memang sedari tadi dia yang mendominasi pembicaraan.

“Hm…” ujar Rifki dingin.

“Namanya Annida Ulfah! Panggil saja Nida,” kata ibunya Rifki lagi.

“Apa ini tentang perjodohan?” tanya Rifki tanpa basa-basi. Ibunya Rifki memang sedari dulu menginginkan Rifki segera menikah agar dia cepat punya cucu. Ketika mendengar pertanyaan anaknya, ibunya Rifki langsung terlonjak kaget. Tapi akhirnya mengaku juga.

“Lalu kenapa? Bukankah Nida ini akhwat yang cantik? Dia juga bisa masak,” ujar ibunya Rifki.

“Jadi benar tentang itu? Bu, biar aku selesaikan kuliahku dulu dan punya rumah sendiri. Setelah itu ibu bisa menjodohkanku dengan siapapun yang ibu suka,” ujar Rifki. “Aku sudah kenyang,” ujar Rifki lalu melangkah pergi masuk ke dalam kamarnya. Suasana makan malam itu mendadak menjadi tidak enak. Nida hanya menunduk.

“Maaf,” ujar Nida pelan.

“Tidak, Nida. Ini bukan salahmu,” ujar ibunya Devon.

“Iya, Rifki memang sedari dulu adalah orang yang keras kepala,” tambah ibunya Rifki. “Besok Rifki ulang tahun, kau bisa membuatkan untuknya sesuatu.” Nida hanya mengangguk.

@@@

Keesokan harinya, Gereja.

Siang itu Jessica sedang menangis di gereja. Hari ini dia melihat Zack sudah memiliki pacar lagi yang jauh lebih cantik daripada dirinya. Seorang lelaki menghampiri Jessica dan duduk di sampingnya.

“Ini,” kata laki-laki itu memberikan sehelai tisu.

“Thanks,” ujar Jessica menyeka air matanya. Dia melihat lelaki itu yang ternyata adalah Seiji.

“Kau menangis seperti dikhianati seseorang.”

“Kau benar.”

“Aku pinjamkan pundakku,” ujar Seiji.

Jessica akhirnya menaruh kepalanya di pundak Seiji. Perasaannya mulai meluap. Apa jangan-jangan dia mulai suka dengan orang Jepang bernama Seiji ini? Jessica sampai lupa kalau Seiji menderita penyakit mematikan.

“Terimakasih telah meminjamkan pundakmu,” ujar Jessica buru-buru melepaskan dirinya. Dia tidak ingin perasaannya tumbuh dan dia jadi jatuh cinta beneran dengan Seiji.

“Apa kau sudah lebih baik sekarang?” tanya Seiji.

Jessica mengangguk.

“Pundakku tidak gratis. Kau harus membantuku.”

@@@

Terkait

Introduce Airen


Airen Part 2

Airen Part 3

Related Posts Plugin by ScratchTheWeb