Sunday, August 31, 2014

Cerita Praktek Masyarakat Desa Karangbaru




Pagi mengintai di balik kapas-kapas putih yang melayang. Hari itu aku dan kelompok PPM (Praktek Pengenalan Masyarakat) 15 sudah tiba di Desa Karangbaru. Sebuah desa terpencil di sudut kota, di tengah persawahan yang amat luas.

Sebenarnya sakti banget nih desa, mentang-mentang namanya Karangbaru, kami ditempatkan di sebuah rumah yang baru (belum dicat), dengan peralatan alat masuk yang juga baru. Kalau naik ke lantai dua, dengan leluasa temanku banyak yang membuka jilbab saking jarangnya penduduk di desa ini. Aku cuma elus-elus dada. Sayangnya, disini tidak ada sinyal. Kami pun sangat kesulitan menggunakan alat komunikasi.


Selama satu bulan, 14 orang santri putri Pondok Pesantren Husnul Khotimah ditempatkan di desa ini untuk mengabdi pada masyarakat. Kami menyebutnya PPM atau yang biasa dikenal PKL. Kami pun berlatih pidato bahasa Sunda, membentuk remaja masjid, mengadakan TPA (Taman Pendidikan Al-Quran), pesantren kilat selama empat hari, mengadakan bantuan sosial, dan mengadakan perlombaan antar pemuda atau anak-anak.

Karena di sini tidak ada sekolah dan tidak ada angkot, maka para pemuda banyak yang putus sekolah dan memilih bekerja di ibu kota. Jumlah pemuda di desa ini bisa dihitung jari. Kebanyakan penduduk adalah orang tua dan anak-anak. Karena jarang ada pemuda, tingkat kriminal dan kekerasan cukup tinggi. Pencurian, penculikan, bahkan pemerkosaan.

Dengan ilmu seadanya yang kami dapati dari pesantren selama lima tahun, kami pun menggiring anak-anak di desa itu untuk berani bermimpi. Meski sekolah sangat jauh, sebagian tetap berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Saat TPA pun kami sering menanyakan mimpi-mimpi mereka, Ada Daus yang ingin jadi da’i dan ada Iis yang belum tahu mimpinya. Diantara mereka ada Aldi dan Aisah (bukan nama sebenarnya). Dua kakak beradik ini sama-sama kelas 5 SD, hanya saja Aldi sedikit lebih tua beberapa bulan.



Keduanya sama-sama ingin menjadi guru, namun mereka mengatakannya sambil menundukkan kepala. Mereka menarik perhatianku dan sahabatku, Sani. Pasalnya, Aldi dan Aisah memiliki sifat yang sama-sama pendiam meski mereka anak yang rajin.

“Aldi sama Aisah tinggal bareng neneknya,” kata Daus ketika TPA telah dibubarkan.

“Emang ibu bapaknya dimana?” tanyaku.

“Bapak sudah meninggal dan Ibunya menikah lagi. Tapi, bapak tirinya kerja di Jakarta sementara ibunya gak tau kemana.”

Aku mangut-mangut mengerti. “Udah berapa lama?”

“Dari kelas 1 SD kayaknya, ya?” tanya Daus ke anak TPA yang lainnya.

“Neneknya sering nyuruh Aldi berhenti sekolah terus kerja, soalnya neneknya sering sakit-sakitan, teh.” kata salah satu anak TPA  tapi aku lupa namanya. Aku terdiam berpikir, anak kelas 5 SD emang mau kerja apa? Aku bahkan tak sanggup membayangkan selama ini Aldi dan Aisah tidak tinggal bersama bersama orang tua mereka selama 5 tahun. Ibunya menghilang entah kemana dan ayah tirinya bekerja di Jakarta tidak pernah pulang. Sementara mereka tinggal dengan nenek mereka yang sakit-sakitan?

"Ibunya masih hidup kan?" tanya Sani.

"Iya teh, tapi gak pernah muncul," jawab Daus.

Meskipun tidak paham benar, tapi aku tahu bahwa ada batas yang tidak mampu aku dan Sani lampaui. Kami sibuk mengurus anak-anak TPA yang lainnya. Kemampuan kami hanyalah mencoba menanamkan mimpi-mimpi yang tinggi untuk anak-anak di desa ini saat seluruh pemudanya banyak yang putus sekolah.

Meski sebagian dalam hatiku berkata “tidak mungkin”, tapi sebagian dari diriku yang lain menyuruhku untuk tetap mencoba menanam kebaikan sekecil apapun itu. Meski terkadang memaksa mereka untuk punya mimpi.

Masih teringat jelas di benakku saat memaksa anak-anak satu kelas di pesantren kilat (yang hampir seluruhnya tidak punya cita-cita) agar memiliki cita-cita saat itu juga. "Masa sih gak punya cita-cita atau mimpi? Apa aja kek... kamu mau jadi apa, ayo bilang!"

Akhirnya satu anak bilang ingin jadi dokter, semuanya pun ikutan pengen jadi dokter. "Dokter aja teh..." atau "Dokter juga teh..." atau mungkin "Iya teh, sama," dengan suara yang sangat pelan. Hfft... ya sudahlah tidak apa-apa.

Bersama anak-anak Pesantren Kilat yang semuanya ingin jadi Dokter

Berbeda dengan pesantren kilat yang hanya empat hari, TPA diadakan setiap sore hari. Saat itu, Aisah yang selalu menjadi perhatianku. Ketika anak-anak yang lain berebut mencari perhatian, dia hanya diam di tempatnya. Wajahnya manis sekali. Bahkan, untuk ukuran anak kelas 5 SD Aisah terbilang tinggi. Setiap pulang TPA, Aldi dan Aisah selalu pulang bersama dengan berboncengan sepeda. So sweetnya kakak adek :)

Hari demi hari bergulir. Setelah sebulan mengabdi, tibalah hari terakhir kami di desa ini. Yang kami lakukan memang hal-hal kecil, akan tetapi kami yakin peninggalan kami seperti DKM (Dewan Kemakmuran Masjid) dan Karang Taruna sedikit banyak adalah bentuk kontribusi nyata.

Hari demi hari terus bergulir. Matahari terbit di Timur, terbenam di barat…. Terbit di timur, terbenam di barat… Bayang-bayang memanjang dan memendek. Memanjang lagi dan memendek lagi. Begitu seterusnya hingga minggu dan minggu kian berganti. Hingga bulan demi bulan. Kami adalah siswa kelas 3 aliyah, disibukkan dengan ujian Quran 5 juz, try out UN dan persiapan masuk universitas.

Hingga akhirnya, kami sekelompok kembali ke desa Karangbaru setelah menempuh ujian SNMPTN 2012. Bisa dikatakan setelah setahun kemudian kami baru mengunjungi desa ini kembali. Kami juga mengunjungi kepala desa, sekolah, mushala, TPA, dan rumah-rumah penduduk.

Alhamdulillah, DKM dan Karang Taruna masih aktif. Hanya saja TPA sudah tidak lagi berjalan padahal kami sudah meminta pemuda DKM mengganti mengajar. Anak-anak TPA kembali kami temui dan banyak dari mereka yang menghabiskan waktu sore harinya bermain-main.

“Loh koq pada gak TPA lagi?” tanyaku pada Akmal.

“Soalnya yang lain gak berangkat juga, teh…” ujarnya.

“Tapi masih pada sekolah kan?!” tanyaku menginterogasi.

“Iya lah teh.., cuma Aldi sama Aisah aja yang gak sekolah lagi.”

“Loh.. kenapa?” tanyaku

Anak-anak itu tidak menjawab. Mereka hanya menggelengkan kepala. Meski aku tidak yakin mereka benar-benar tidak tahu ketika salah seorang menaruh telunjuk di bibir.

Aku masih tidak memiliki firasat apa-apa sampai kami sekelompok kembali menaiki angkot carteran bersama untuk pulang. Mobil angkot pun meluncur di jalanan kecil di tengah sawah. Sambil berdesakan di dalam mobil, teman-temanku yang lain mengobrol. Awalnya aku hanya menyimak obrolan mereka saja.

“Ingat itu gak? ...Aisah?”

 “Itu yang tinggi cantik, yang adiknya Aldi kan?”

“…diperkosa ya?”

Aku tertegun mendengarnya. Sontak aku langsung bertanya, “Sama siapa?!”

“Kamu gak tau? Sama bapak tirinya sendiri, katanya bapaknya datang dari Jakarta.”

“Kalian tahu darimana sih?!!” tanyaku masih gak percaya.

“Udah diomongin semua tetangga kali, Mar… dari tadi kamu kemana aja?”

Sumpah serapah keluar dari mulut teman-temanku menghujat pria yang akhirnya kabur sebelum diamuk masa itu. Aku terdiam melihat ke pemandangan di belakang mobil. Tinggal sawah sejauh mata memandang. Aku tak tahu kapan lagi aku bisa mengunjungi desa ini, Desa dimana kutemui kehidupan mereka, Aldi dan Aisah. Apakah mereka melanjutkan sekolah lagi atau tidak? Dimana mereka sekarang? Bagaimana mereka bertahan hidup? Atau bagaimana mimpi keduanya ingin menjadi seorang guru? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul dalam benakku bersamaan namun tak ada satupun yang terjawab hingga saat ini. 




Penerimaan yang Tulus

Hujan di Jakarta. 
(Gambar dipinjam dari: Detiknews.com)

Waktu terus berputar dalam dimensi kehidupan manusia. Mentari beringsut kembali dalam lingkup terbenamnya. Perlahan namun pasti, senja mulai temaram. Langit pun mulai menghitam dan hujan turun mengguyur persendian ibu kota. Aku duduk di depan sebuah toko dengan pandangan kosong. Bingung.., mungkin itu kata yang mewakili banyak rasa yang kualami.

Malam kian merangkak naik, sementara hujan tak kian surut. Tak selangkah pun aku keluar  dari toko untuk rapat di kampus. Sementara, masih banyak amanah lain terpikul di punggungku. Tentu saja ya, setiap orang memiliki impian dalam hidupnya, impian yang ingin diwujudkan. Sekarang aku sudah tidak peduli, aku bahkan takut menghadapi kenyataan bahwa hidup hanya berisi masalah yang tak kunjung selesai.

Malam itu, aku baru saja kehilangan salah satu persyaratan administrasi AIESEC UNJ pertukaran pelajar ke Taiwan. Setelah berhasil melewati 3 tahap seleksi ketat dan lolos, aku tetap tidak berangkat ke Taiwan. Belum lagi, ada banyak rapat harus kuhadiri, penelitian minat baca yang kulakukan sebelum mewawancarai rektor dan orang-orang sibuk lainnya, aku juga harus belajar untuk UAS yang menumpuk dan lagi menyelesaikan membaca buku setebal 500 halaman untuk didiskusikan besok pagi.

Aku harus ini… Aku harus itu…

Mungkin… bagiku sekolah hanya kendaraan menuju mimpi. Dengan berlandaskan teori Gayatri Chakravorty Spivak yaitu kaum penjajah dan kelas terjajah, ternyata kualitas hidupku tidak bermutu. Aku adalah kaum terjajah itu dan aku baru menyadarinya. Apalagi, mimpiku hanya sebatas melanjutkan kuliah di luar negeri dan menulis sebuah buku. Aku tidak pernah bermimpi besar untuk menghilangkan kebodohan negeri ini.

Mimpiku… apakah begitu penting?

Waktu telah menunjukkan pukul 8 malam. Teringat belum shalat isya, aku pun berlari di bawah hujan menuju musholla terdekat. Musholla At-Taubah, yang biasanya dipakai oleh anak-anak Rumah Belajar TEKO untuk belajar atau mengaji. Sudah pukul delapan malam seharusnya TPA sudah selesai. Namun, sayup-sayup kembali kudengar suara bocah-bocah itu. Aku pun berjalan mendekati sumber suara.

Foto Mushalla At-Taubah di siang hari
(Gambar dipinjam dari Facebook Rumbel Teko)

“Assalamu’alaikum…” sapaku di depan pintu. Ternyata masih ada Maman, Iyan dan Nur sedang membaca buku cerita anak-anak di pojok ruangan. Bocah-bocah bertubuh ringkih itu langsung terkesiap. Kulihat terkembang layar kepayahan di wajah-wajah mungil setelah bermain-main dan belajar seharian. Membuatku tersenyum kecil melihat mereka.

“Kak Maryam ngapain kesini?” tanya Nur. Mengingat hari ini memang bukan hari jadwal biasanya aku mengajar.

“Kak Maryam belum sholat isya, mau sholat dulu.”

“Kak Maryam belum sholat isya?” tanya Maman tidak percaya. “Kita mah udah dari tadi ya…,” ujarnya pada yang lain. Aku hanya diam dan menaruh tasku di dekat mereka.

“Kak Maryam naro tas disini dulu, ya,” ucapku lalu beranjak keluar untuk mengambil air wudhu. Saat melangkah masuk, entah perasaan seperti apa yang kurasakan saat itu. Aku menggelar sajadah dan shalat isya, berharap Dia menguatkan punggungku. Sementara Maman, Iyan dan Nur masih asyik membaca buku anak-anak di pojok ruangan.

Selesai shalat, aku kembali melihat mereka. Gurat-gurat keseriusan terpancar dari mata wajah-wajah lelah itu. Aku tak ingin mengganggu, karena kupikir mereka sedang serius membaca buku cerita anak-anak. Aku pun mengambil handphone dari tas untuk menelepon ummi. Namun sebelum aku menelepon ummi, anak-anak itu mengelilingiku memegang handphone.

“Kak Maryam bikin rekaman yuk..…” ajak mereka.

Sebenarnya aku sering mendengar teguran dari kakak pembimbing yang lain tidak boleh menunjukkan handphone di depan anak-anak Rumbel TEKO. Nanti mereka bisa rebutan bahkan membanting handphone tersebut. Selain itu, mereka akan membanding-bandingkan kakak mana yang baik hati dan tidak baik hati untuk meminjamkan handphone.

“Ayo kak…!!!” ajak Nur dengan suara nyaring. Rupanya, ia lebih galak dariku.

Aku ragu, mengingat baru kemarin anak rumbel TEKO melompat di atas tasku yang berisi laptop lalu melemparnya dari pojok ke pojok ruangan.

“Tapi kakak yang pegang hapenya, ya!” ujarku. Awalnya, aku membuat video mereka lompat-lompatan, dan berlari kesana kemari di depan kamera handphone. Mereka pun, melompat, berteriak ke arah kamera sambil berlari mengelilingi ruangan.

Sampai akhirnya, Iyan tidak sengaja mendorong Nur hingga menangis. Iyan enggan meminta maaf, Nur terus menyalahkan. Aku terdiam serba salah juga bingung dengan apa yang harus kulakukan. Jadi kubiarkan Nur terus menangis saja sambil membujuk Iyan untuk belajar meminta maaf.

Mereka pun baikan lagi tidak lama kemudian. Iyan menjulurkan tangannya dan Nur langsung berhenti menangis begitu saja? Seakan-akan kejadian tadi tidak pernah terjadi. Luar biasa, aku melihat kembali dunia anak-anak yang polos itu.. Tentang berani meminta maaf, tentang penghargaan pada orang lain, dan tentang penerimaan yang tulus.

“Sekarang foto-foto aja deh, satu-satu,” kataku untuk mencegah mereka lompat-lompatan dan saling mendorong lagi. “Hm… Nur dulu deh,” ujarku untuk menghibur hatinya.

“Bertiga aja, kak…” sambut Iyan.

“Iya, sambil megang piala… ayo Nur!” ajak Maman mengambil piala dari bupet. Piala-piala itu adalah hasil perlombaan adzan dan hafalan surat pendek yang dimenangi anak-anak Rumbel TEKO.

“Gak…, Satu-satu dulu. Nur dulu nanti ganti-gantian….” Sahutku.

“Barengan aja, Kak Maryam mah..!!” Nur galak memarahiku dengan suara yang tinggi. Aku terhenyak begitu mendapat omelannya lagi. Itu artinya, dia benar-benar sudah tidak bersedih.

“Tapi jangan berantem ya...!” kataku. Mereka pun langsung berjejer bertiga sambil memegang piala dengan wajah bangga. “Satu… dua… tiga!”


Dari kiri ke kanan: Maman, Iyan, dan Nur
(Doc. Pribadi)

Setelah itu aku bertanya mimpi mereka saat besar nanti. Aku benar-benar penasaran. Maman berkata ingin menjadi ustadz mengajar ngaji seperti bapaknya dan Nur ingin menjadi dokter. Sementara Iyan masih bingung mau jadi apa. Hm, mereka mungkin belum bisa membedakan mimpi dan cita-cita, tapi tidak apa-apa… aku belajar banyak hari itu, tentang ketulusan, keberanian, menghargai orang lain, mendengarkan, mendoakan, juga penerimaan yang tulus.

Ya, penerimaan yang tulus untuk memaafkan segala kejadian yang menimpa diri kita. Termasuk kejadian yang menimpaku pagi tadi.

Mereka memang anak-anak dari slum area di tengah hiruk pikuk ibu kota yang ditanami gedung-gedung angkuh. Tapi mereka adalah malaikat-malaikat kecil yang hebat dan tangguh. Ya, mimpi-mimpi mereka mungkin sama sederhananya denganku, melanjutkan sekolah tingkat lebih tinggi dan menggapai cita-cita. Sangat sederhana dibandingkan mimpi anak-anak Jakarta lain yang ingin mengelilingi dunia atau menjadi pahlawan super. Bahkan bisa dikatakan mimpi kami syarat keegoisan demi membuktikan bahwa kami adalah bagian yang tersembunyi dari kehidupan.

Bagiku menempuh pendidikan hingga ke luar negeri adalah sesuatu yang luar biasa. Sewaktu kecil, bisa dikatakan hal itu mustahil. Namun, sekarang aku bisa melihatnya tinggal selangkah di hadapanku. Meski pada akhirnya belum dapat kugapai. Setidaknya, mimpi memberikan harapan untuk mewujudkan apa yang selama ini kuanggap mustahil. Aku tidak butuh teori untuk mengerti dan menjelaskannya.

Aku melihat gerimis mulai surut di luar.

“Kak Maryam pulang dulu, ya.”

“Iya kak,” kata mereka setelah lelah bermain.

 “Assalamu’alaikum…” ujarku. Mereka bahkan tak sempat menjawab salamku karena sibuk dengan buku cerita mereka kembali. Aku mengambil tasku dan memakai sepatuku. Sejujurnya aku juga sudah sangat lelah menangis seharian karena rasa takut dan penyesalan. Bahkan tak ada apapun yang masuk perutku hari ini.

Malam kian purna. Waktu kulampui dengan terus berjalan ke kosan. Meski begitu, tak kupercepat langkah dibawah gerimis. Saat itu, kuperhatikan hingar bingar gedung-gedung kota yang mencekam, tetesan air bergelantungan di taman yang remang, kuperhatikan luapan air sungai yang kelam, kuperhatikan dengan pandangan menerawang yang kosong. Hanya wajah anak-anak itu yang menyesaki ruang kepalaku saat ini…

Saat ini, aku bahkan tak sanggup lagi untuk menangis. Bayanganku terus mengikuti tubuhku sepanjang malam bergulir. Yang kurasakan hanya liukan hawa dingin kian mencekam. Lampu-lampu temaram berjajar. Pendarnya seakan senja yang tumpah di mataku yang muram. Sementara gerimis masih turun.... sebelum semuanya gelap.


Tulisan ini disertakan dalam lomba blog, yuk berbagi mimpimu juga lewat ^_^ :  http://http//www.kontesmimpiproperti.com/event-blog-kontes/

Friday, August 29, 2014

Mimpi Sederhana Anak-Anak Kampung

Menyusuri sawah (Doc. pribadi)

Saat ini, aku berada di kampung dimana aku dibesarkan sejak 19 tahun lalu. Kampungku desa Maniskidul adalah sebuah desa kecil yang berada tepat di kaki gunung Ciremai. Jadi ingat, dulu di belakang rumah ada kebun labu yang tidak jelas siapa pemiliknya. Di sebelah selatan rumah ada hutan jati yang batangnya lurus menjulang tinggi ke langit. Jika berjalan menyusuri hutan jati tersebut, kumelihat sebuah kali yang di seberangnya adalah puluhan hektar sawah sebelum menuju ke pusat perkotaan. Di sana banyak sekali delman berkeliaran di jalan-jalan raya, pusat kota, ataupun pasar. Kotaku pun sering disebut “Kota Seribu Kuda” alias Kota Kuningan, Jawa Barat.

Delman di pusat kota
(Gambar dipinjam dari mediawargakuningan.wordpress.com)

Dalam kenangan masa kecil, seringkali aku menghabiskan waktu dengan teman-teman bermain ke tempat pembuatan batu-bata. Tempat pembuatan batu-bata itu berada di tengah hutan bambu dekat pembuangan sampah. Bersama Amel, Asmaa, dan Nafisah, aku biasa mengorek-ngorek sarang undur-undur di balik pasir. Jika beruntung, kami akan mendapatkan dua undur-undur sekaligus dari satu lubang. Setelah itu kami akan menggenggamnya dalam tangan dan tertawa-tertawa geli ketika undur-undur berjalan di permukaan tangan.

Kami anak-anak kampung, terbiasa mendapatkan kegembiraan sekaligus pembelajaran dengan bermain. Yang paling kami sukai adalah ketika kami bermain di tengah sawah. Pohon-pohon berjajar seperti barisan tentara yang sedang menjaga kami main ibu-ibuan dalam saung.
Desa Maniskidul Kab. Kuningan berlatar Gunung Ciremai
                 (Gambar dipinjam dari nusaena.blogspot.com)

Saat main ibu-ibuan, kami berpura-pura sudah menjadi dewasa dan memiliki profesi masing-masing. Pernah suatu kali kami serempak memakai baju dari plastik hitam yang bagian bawahnya digunting dan menjelma jadi orang lain dalam imajinasi kami masing-masing.

Ketika matahari sudah beringsut kembali ke tempat terbenamnya. Kemilau jingga pun terbiaskan di ceruk lingkaran langit. Indah.. itu satu kata yang cukup untuk melukiskannya.

Yang membuat kami takjub adalah banyaknya kehidupan yang tersembunyi di balik keindahan tersebut. Kami anak-anak adalah bagian kehidupan yang tersembunyi itu. Kami suka mendengar gemerisik pepohonan tertiup angin, menangkap kepiting kecil di kali, menangkap belalang untuk dimakan, dan mendengar suara burung-burung beterbangan.

Kaki-kaki ringkih dan kecil kami melangkah pulang membawa beberapa kehidupan yang berhasil kami tangkap dari luar sana. Kami dipertemukan lagi di surau setelah mandi sore untuk mengaji dan hafalan surat-surat pendek. Di sela-sela TPA, ustadzah menanyakan kami tentang mimpi kami saat ini. Banyak dari kami menjawab ingin menjadi guru, satu-satunya profesi yang menjadi cita-cita kami.

Ustadzah meminta kami untuk membedakan antara mimpi dan cita-cita. Dia lalu meminta kami untuk menuliskan mimpi-mimpi itu di atas kertas. Aku lupa apa yang aku tuliskan saat itu, tapi mimpi kami begitu sederhana.

Ketika anak-anak kota bermimpi untuk keliling dunia dan mengubah dunia, kami anak-anak kampung hanya ingin menambah hafalan surat-surat pendek dan bisa melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Satu persatu membacakan mimpi mereka masing-masing, sementara ustadzah turut mendengarkan dan mendoakan.

Hal yang tidak pernah kami lupakan, saat pulang TPA kami selalu salim pada ustadzah dan mencium tangannya lama-lama karena sangat wangi. Setiap ustadzah yang berbeda, wangi tangannya pun berbeda-beda. Namun, ada hal lain yang mungkin kami tidak sadari adalah hari itu bisa jadi awal mimpi-mimpi sederhana kami.

Sementara waktu kian berputar dalam dimensi kehidupan. Kami pun menjadi santri di Pondok Pesantren Husnul Khotimah karena di komplek pesantren inilah kami tinggal. Dunia anak-anak yang polos secara luar biasa mempengaruhi masa depan kami hingga saat ini.

Setiap debu beterbangan, setiap rumput kami injak bersama, setiap tetes embun yang menempel di dedaunan, menyiratkan begitu banyak ilmu Allah yang ternyata belum kami ketahui.

Ah ya, rupanya masa telah berganti. Hampir saja aku tidak menyadarinya... Kami mulai jarang bermain-main seperti dulu, sibuk dengan urusan masing-masing sebagai siswa aliyah. Waktunya untuk kami menghadapi masa-masa remaja yang labil. 


Uhibbuka fillah
(Gambar dipinjam dari rafiddahaddini.blogspot.com)

Bahkan, tiba saat yang kata orang bernama "cinta" mulai tumbuh kokoh di dalam hati, mengalir bersama desiran darah dan hadir dalam tiap embusan napas. Sesosok yang gagah itu seakan berdiri di ujung jalan pencarian, di antara kelopak sakura yang bermekaran. 

Aku mulai berpikir…, apakah ada bedanya menunggu satu hari, satu bulan atau satu tahun lagi? Jika harus memilih, semua itu tak ada bedanya dengan menunggu untuk selamanya. Namun jika itu yang kupilih, rindu yang menggunung hanya akan menghalangi mimpi-mimpiku ke depan.

Mimpi-mimpiku…

Ah yaa, musim masih terus berganti dan (lagi-lagi) aku hampir tidak menyadarinya. Namun aku mengerti, bahwa setiap musim adalah ruang untuk terus diisi. Aku berlari dengan sisa tenaga menyusuri jejak-jejak mimpi yang kutulis dalam ribuan kertas di dinding kamar. Mimpi kuliah informatika, mimpi menjadi penulis, mimpi membanggakan orang tua, dan membelikan mereka televisi baru di rumah..


Mimpi-mimpiku dalam ribuan kertas
(doc. pribadi)

Saat itu, masih dalam balutan jingga langit senja. Aku berusaha menapaki suara hati. Ternyata hati ini meyakini bahwa tidak setiap mimpi dapat menemukan muaranya. Ah yaa,, aku baru belajar bahwa tak selamanya syair-syair kehidupan dapat dieja dengan baik. Namun, harapan akan menjadi satu-satunya yang kumiliki untuk kembali menemukan muaranya.

Kami anak-anak kampung, sekarang masih menuntut lebih banyak ilmu Allah di luar kota bahkan luar negeri. Mungkin tujuan, cara, dan tempat yang berbeda, tapi kami merasa memiliki sebuah kesamaan. Ya, kami sama-sama ingin menjadi manusia hebat di usia muda. Menguraikan satu demi satu mimpi-mimpi sederhana saat kami masih kecil dulu.


Thursday, August 28, 2014

Stolen Childhood



Kabul, Afghanistan



India

Yaman

India

Filipina

Afghanistan

Nepal

Burma

Mali

Niger

Tibet

India



Kabul, Afghanistan

Nepal

India

Bangladesh

Kabul, Afghanistan

Kandahar, Afghanistan


View Original Source

[Resensi] Eksistensi Indonesia

Judul             : The Idea of Indonesia; Sejarah Pemikiran dan Gagasan
Penulis          : R.E. Elson
Penerjemah   : Zia Anshor
Penerbit        : Serambi 
Cetakan        : I, Januari 2009
Tebal            : xxxiii + 543 hlm. (termasuk indeks)

Sebelum abad kedua puluh, Indonesia dapat dikatakan belum ada. Di kepulauan yang membentang antara benua Asia dan Australia ini dulu terdapat negara-negara besar dan kecil yang disatukan dalam kekuasaan penjajahan Belanda. Negara-negara itu memiliki sikap kedaerahan yang melekat di masing-masing daerah juga dengan bendera yang berbeda-beda. Para pelancong dan pejabat non-Belanda hanya menyebutnya antara lain “Lautan Timur”, “Kepulauan Timur”, “Kepulauan Hindia” atau “Hindia Timur Belanda” dll.

Kesatuan pulau tersebut sama-sama dijajah selama 3,4 abad oleh kolonial Belanda. Penjajahan tersebut perlahan menguatkan perasaan sama-sama dijajah dan ditindas. Gagasan politis “Indonesia” yakni ada sebuah negara yang mencakup satu kepulauan di bawah terbentuk dengan sendirinya selama 340 tahun penjajahan Belanda tersebut. Soeriokoesomo dalam “Javaansch Nationalism” mengatakan “Ujung-Ujungnya, Belandalah yang menciptakan Hindia (Indonesia) dan Pribumi. Orang Jawa ada dengan sendirinya,”

Istilah “Indonesia” yang diusung Logan menjadi daya tarik tersendiri. Bagi kaum pribumi memiliki identitas baru secara nasional adalah perangkat meraih kemerdekaan. Padahal gagasan “Indonesia” awalnya tidak terlalu diterima secara antusias. Akhir abad 20, gagasan ini masih setengah-setengah diterima, masih lemah, kacau dan samar. Maka dari itu banyak upaya-upaya Belanda untukk memperkuat sentimen kedaerahan dan tidak menyukai istilah “Indonesia” tersebut.

Dalam buku Elson, The Idea of Indonesia dengan uraian yang kronologisnya yang sangat detail, Elson memulai bagian awal dengan banyak memfokuskan pada tiga serangkai: Suwardi Suryaningrat, Dr. Douwes Dekker dan dr. Tjipto Mangunkusumo. Douwess Dekker mendirikan Partai Hindia untuk menyusun konsep masyarakat kepulauan Hindia secara politis, bukan hanya secara geografis. Terminologi Indonesia kemudian baru diberi makna politis (dalam bentuk 'Hindia' yang harus merdeka) oleh Abdul Rivai, Kartini, Abdul Moeis, Soewardi Soeryaningrat, Douwes Dekker, Cipto Mangoenkoesoemo, Ratulangie dan lain-lain antara 1903-1913.

Selain itu, berbagai organisasi-organisasi didirikan sebagai awal kebangkitan rasa nasionalisme bangsa seperti Budi Utomo dan Sarikat Islam. Dalam “pengorganisasian masyarakat Indonesia” itu akhirnya timbullah persinggungan dengan pengalaman kesejarahan beragam suku (seperti Papua Barat yang hingga kini masih merupakan persoalan pelik), agama, dan juga ras yang berbeda.

Gagasan Indonesia mnggema menginjak awal 1920. Berbagai kongres disatukan untuk mengupayakan persatuan. Entah persatuan secara merdeka atau otonomi – mengingat masih banyak PR untuk mewujudkan negara yang merdeka –Seperti Tjokroaminoto mengadakan Kongres Nasional Hindia untuk menyatukan organisasi-organisasai regional dan local itu untuk mencapai kebebasan nasional.

Dalam kaitan mengembangkan gagasan ini, tertuang banyak pemikiran para intelektul dengan latar belakang social dan politik Barat. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia merupkan produk pemikiran modern yang bersumber dari filsafat dan pemikiran Barat. Termasuk orang-orang yang kelak akan menjadi tokoh seperti Mohammad Hatta, Soetomo, dll. Sebagaimana diuraikan Elson dengan mengutip pernyataan Ali Sastroamijoyo, “existed as a good political idea whose time had (just about) come, and through which they found a new and modern sense of identity…”

Upaya-upaya yang ditekankan lebih kepada pemahaman lebih canggih tentang “Indonesia” dan bagaiaman jalan mencapainya. Sehingga jelaslah “ruang politik” bernama Indonesia yang tadinya masih berupa gagasan lalu menjadi realitas politik.

Meskipun pun peran asing dalam memberikan identitas kebangsaan Indonesia cukup signifikan. Pribumi juga memberikan kontribusi dalam mengupayakan persatuan nasional. Setidaknya ini lahir dari dua golongan pribumi yang memiliki visi dan perasaan yang sama sebagai orang Indonesia di tempat yang berbeda:

1)      solidaritas di kalangan mahasiswa yg ada di Belanda
2)      solidaritas di kalangan mereka yg berangkat ke Mekah untuk naik haji

Dua golongan pribumi ini memberikan warna dalam proses membentuk kesamaan identitas bangsa. Seperti contoh: orang Jawa yang sedang melaksanakan ibdah Haji di Mekkah bertemu dengan orang Aceh, dan mereka saling berkomunikasi dan bertukar informasi mengenai asal daerahnya. Proses inilah yang lama kelamaan menimbulkan kesamaan identitas sebagai orang Indonesia.

Meskipun begitu, menariknya komentar Tan Malaka bahwa para pemikir ini menempel pada kata kemerdekaan yang tidak jelas artinya dan tidak pernah menyentuh analisis sosial ekonomi masyarakat. Dalam makna yang luas, kemerdekaan adalah akhir dari kekuasaan asing dan kedaulatan rakyat. Kemerdekaan juga dipandang sebagai perjuangan anti-feodal. Namun realitasnya, hal ini masih belum dicapai. Kegagalan demokrasi ditandai banyaknya ketegangan-ketegangan dan kekecewaan terhadap orde lama dan orde baru.

Berbagai pertimbangan-pertimbangan dalam menjalankan ruang politik seperti otonomi atau merdeka, kooperasi atau non-kooperasi menimbulkan pertentangan tersendiri d kalangan para pemikir. Hingga akhirnya , tindakan-tindakan represif yang telak menghentikan kubu-kubu yang bertentangan dengan kepentingan nasionalisme.

Selain pemakaian bahasa yang memiliki banyak cerita, budaya, sifat kedaerahan, nasionalisme juga menuntut cukup banyak perngorbanan yang belum pasti dan bisa jadi merugikan. Aliran pemikiran politik yang bertentangan harus dapat diakomodasi demi persatuan. Sebagai contoh, perseteruan antara kelompok muslim dan komunis mengenai Sarikat Islam, kasus Ambon, Persatuan Minahasa yang tidak mau bergabung dengan PPPKI,dll. Perpecahana ideologis terjadi karena setiap organisasi bekerja dengan paradigma yang juga berbeda-beda secara mendasar.

Meski Belanda menolak menerima atau mengakui istilah Indonesia dalam arti apapun.   Dalam sekejap mata, penjajahan Belanda berakhir di hadapi militerisme Jepang. Sejarah Indonesia pun dimulai dengan lembaran baru.

Jepang memiliki dampak tersendiri bagi Bangsa. Jepang memberikan kesempatan bagi kaum nasionalis untuk terlibat di pemerintahan dalam cara-cara yang belum pernah mereka kenal sebelumnya. Dengan jejaring komunikasi, kaum nasionalis mengembangkan pemahaman popular dan gagasan Indonesia hingga daerah-daerah.

Amir Syarifudin mengatakan bahwa gagasan yang disponsori jepang memberikan begitu banyak manfaat. Jepang banyak mendrikan milisi-milisi pribumi yang disponsori olehnya seperti Peta, Heiho, Giyugun, dll. Tindakan ini membuka jalan untuk cita-cita jelas dalam politik pribumi. Dalam menyiapkan kemerdekaan, Jepang pun mengumumkan bredirinya BPUPKI yang merupakan awal dari berdirinya dasar negara atau Pancasila.

Berdirinya “negara Indonesia Merdeka” seperti dinyatakan dalam teks proklamasi, merupakan keinginan seluruh lapisan masyarakat Indonesia dalam mencapai kebebasan. Jalan ini telah ditempuh begitu jauh. Namun PR bangsa tidak hanya sampai situ, mempertahankan negara dan merumuskan bangsa juga masih menjadi tantangan ke depannya. Muncullah kelompok-kelompok yang memiliki visi mereka sendiri mengenai Indonesia seperti apa yang ingin dibentuk.

Kemerdekaan ternyata menjadi awal dari sebuah babak baru di mana gagasan tentang Indonesia akan diuji dalam bentuk-bentuk yang tak pernah dibayangkan oleh para pendirinya dulu. Pencarian format kenegaraan, pembangunan struktur politik, dan penguatan pilar-pilar kebangsaan ternyata mengalami banyak tantangan, kelokan dan kegagalan: pemberontakan datang silih berganti, daerah bergolak, hingga pertumpahan darah tak terelakkan.

Warisan militer Jepang seperti bertahan dengan kekerasan dibentuk untuk menegakkan kepemimpinan pusat. Abdul Haris Nasution diangkat menjadi komandan divisi Siliwangi Mei 1946, Sudirman seorang veteran Peta dipilih jadi Panglima tahun 1945. Kekuasaan militer muncul didasarkan pada klaim otoritas dan kehendak rakyat banyak

 Serangkaian tantangan internal pun dilengkapi dengan dorongan federalism dari Belanda. Seperti telah dilihat, pemerintahan federal telah menjadi pemecahan politis yang paling disukai di Belanda. Meskipun begitu upaya-upaya Belanda untuk mematikan republic Indonesia gagal. Seperti aksi polisional untuk memecah belah persatuan Indonesia.

Meski pada akhirnya republik Indonesia secara sepihak membongkar susunan negara federal yang beberapa minggu menaunginya, tindakan itu dilakukan tanpa ada konsultasi dengan daerah-darerha. Upaya ini memancing banyak tanggapan hingga pemberontakan. Pemberontakan Andi Azis adalah tanda nyata dari keraguan terhadap niat sentralisasi bangsa. Ideologi Pancasila pun tak mampu menjalankan peran pemersatu yang dijanjikan.

Demokrasi liberal barat yang makin dirasa tidak cocok dengan jiwa Indonesia. Meskipun sistem ini juga memiliki positif yakni menarik dukungan bagi Indonesia di arena internasional.

Dalam praktiknya memang, masih banyak kegagalan cita-cita proklamasi dan kesatuan bangsa. Seperti maraknya pembangkangan daerah, agenda-agenda politik tentara, kelemahan ekonomi dalam manajemen dan infrastruktur, juga jalan buntu dalam pemilihan umum. Dengan demikian, kata Sudjatmoko, “Ketika tidak ada kemajuan tercapai setelah kemerdekaan, orang mulai kembali ke sikap dan pola pikir tradisional yang muncul ketika cita-cita revolusi memudar.” 

Klimaks paling fatal adalah pemberontakan PRRI yang merupakan tantangan daerah paling seriuss yang pernah dialami Republik Indonesia. PRRI permesta menuntut negosiasi ulang atas pembagian kekuasaan dalam negara Indonesia lewat penggantian pemerintah pusat. Meski demikian, PRRI dapat menarik sejumlah politikus terkemuka seperti Natsir dan Burhanudin Harahap.

Bagi Soekarno, kejayaan yang dijanjikan akan tercapai jika dia yang menentukan dan memimpin. Baginya, cukup dirinya yang menafsirkan aspirasi dan keinginan rakyat yang seringkali tidak rakyat sadari. Maka dari itu Soekarno akhirnya menggusur musuhnya seperti demokrasi liberal, Pengkhianat PRRI permesta dan sistem multipartai. Dalam perkembangannya, sejenis otoritarianisme mulai mapan di bentang politik. Sikap acuh demokrasi terpimpin inilah menandakan akhir politikus Islam dalam mendapat tempat penting di politik Indonesia. Demokrasi terpimpin dimaksudkan sebagai obat untuk ketidakmampuan demokrasi parlementer.

Ekonomi di demokrasi terpimpin memiliki banyak kemerosotan dan inflasi terus miningkat seiring dengan ekonomi yang hanya dijadikan alat politis. Dalam perencanaan ekonomi delapan tahun buatan BPN pun tidak terlalu banyak memuat cara untuk mencapai tujuan-tujuan ambisius Soekarno. Meski Soekarno begitu ambisius untuk memantik mimpinya, namun demokrasi terpimpin tidak pernah memiliki konsep yang jelas. Melainkan hanya gembar-gembor ideologi tidak berisi.

            Digulingkannya Soekarno dan kemunculan mendadak Soeharto juga mengejutkan. Apalagi posisi Soeharto relatif tidak dikenal tahun 1965 itu. Meski begitu Soeharto langsung melakukan pukulan maut kepada legitimasi Soekarno sebagai perwujudan kehendak rakyat Indonesia. Orde baru lahir pada saat krisis dan kekerasan. Soeharto menyadari bahwa tugas utamanya adalah membunuh PKI dan memberantas mereka. Pembantaian mengerikan terjadi dimana-mana. Rezim yang dibangun juga bersifat otoriter serperti Demokrasi terpimpin.

            Dalam pikiran Soeharto, Indonesia adalah proyek mulia yang sulit untuk ditangani, terancam ketidakpastian, nafsu rakyat tidak disiplin, dan tidak tahu apa-apa. Keperluan untuk menghilangkan masalah-masalah itu adalah dengan memberantas sumbernya. Baginya, politik bukanlah perang gagasan, tapi mengelola proses untuk mencapai tujuan yang sudah disepakati.

            Perlawanan terhadap sistem politik Soeharto terpencar-pencar, terbungkam dan lemah. Bentuk-bentuk aksi politik terbatas ruang gerak. Para pensiunan Jenderal seperti Dharsono menuduh orde baru mengkhianati janjinya dahulu dan berubah menjadi rezim represif, keras, dan anti-demokratik. . Orde baru juga memberikan kedudukan istimewa kepada angkatan bersenjata yang telah membantu soeharto naik ke tampuk kekuasaan.

            Segera sesudah kemunculan orde baru, banyak tokoh sipil seperti aktivis mahasiswa Soe Hok Gie dan tokoh intelektual Ismail Suny dan Yap Thiam Hien berbicara dengan antusias terkait pentingnya demokrasi. Meskipun begitu, ada pula gerakan-gerakan kontradiksi yang ingin mempertahankan orde baru. Corak keresahan yang lebih gamblang muncul pada Juli 1996 dalam upaya mendukung Megawati mempertahankan kantor PDI dan menimbulkan kerusuhan meluas di Jakarta. Contoh lain adalah 1300 insiden protes terjadi di Jawa tengah dalam 7 bulan pertama 1998.

            Melemahnya orde baru diawali dengan krisis mata uang Asia. Integralisme yang sudah compang-camping ini akhirnya berujung pada runtuhnya rezim orde baru pada Mei 1998 serta kekacauan politik dan social di Jakarta

            Indonesia yang muncul dari keruntuhan orde baru mengalami krisis parah di berbagai sektor. Maka muncul istilah “reformasi” untuk mereformasi kembali “Indonesia” dalam berbagai bidang. Sesudah itu, presiden-presiden berganti dengan sangat cepat. Bahkan B.J Habibie hanya bertahan 18 bulan setelah menjadi sasaran para demonstrasi yang memuncak pada siding istimewa MPR November 1998. Pergantian presiden pun terjadi dalam waktu kurun waktu sangat singkat. Tidak seperti Gus Dur dan Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono memimpin Indonesia lebih lama.

            Pergolakan identitas kedaerahan yang terus melekat di bangsa Indonesia pun bangkit kembali setelah lama ditindas orde baru. Seperti di Aceh munculnya gerakan Aceh merdeka (GAM), di Papua muncul sentiment anti pusat akibat adanya marginalisasi, Timor-Timur yang terus bergejolak, dll. Bangsa Indonesia mengalami tren demokrasi baru yang juga lebih kuat.

Dalam perkembangan demokrasi, serangkaian pemilu juga berhasil dilaksankan. Meskipun tantangan tetap ada. Seperti pendirian partai politik yang umumnya hanya mengutamakan kepentingan sendiri. Sementara, banyak dari partai politik mengalami kelemahan ideologi. Demokrasi pun telah dibajak oleh mereka yang berkuasa untuk menjaga keberlangsungan dominasi elite dan bukan saluran perwujudan kehendak rakyat. Maka, kemerdekaan Indonesia hanya akan menjadi makna yang kosong apabila rakyat saat itu terpisah dalam proses nation-building itu sendiri yang menjadi cita-cita reformasi.

Dalam buku The Idea of Indonesia ini, Elson berhasil membangun argumentasi-argumentasi penting melalui sejumlah data yang begitu kaya. Sayangnya, kata-kata di buku ini lebih sering tampil seperti angka-angka statistik atau tabel yang mendukung argumentasi daripada sebuah upaya mengajak para pembaca untuk memahami suasana zaman dari periode berbeda. Selain itu karya Elson terlalu berfokus pada gagasan tentang Indonesia yang berpusat di Jawa. Elson masih sangat sedikit menjabarkan bagaimana pemikiran tentang Indonesia itu lahir dari kalangan terdidik di luar Jawa seperti di Sumatera, dll.           

Meskipun begitu, ada hal yang menarik. Elson memahami bahwa Indonesia adalah sebuah keajaiban dengan tetap menjadi sebuah negara dan bangsa yang utuh. Segala macam dinamika yang terjadi dalam proses sejarah nyatanya membuat Indonesia lebih dewasa menyikapi dinamika pergerakan negara ke arah yang jauh lebih modern dalam berbagai pemikiran. [Maryam]

[Resensi] Perjalanan Perempuan Indonesia


Penulis: Cora Vreede de Stuers
Penerbit: Komunitas Bambu
Cetakan: April 2008, Cetakan I
Halaman: 227 halaman


Dari judul buku ini, kita dapat mengetahui bahwa buku ini berusaha menguak awal mula dari gerakan perempuan di Indonesia, terutama di abad ke-20. Gerakan itu sendiri bermakna sebagai alat yang digunakan untuk meraih emansipasi. Cora dengan jelas memaparkan masalah-masalah penting untuk dipahami bersama demi memfokuskan perempuan Indonesia meraih hal tersebut.

Jika bicara tentang gerakan perempuan, maka tidak lepas dari posisi perempuan saat itu yang ditentukan oleh sistem adat dan hukum islam. Adat merupakan satu entitas yang tidak dapat dipisahkan dari peraturan yang tidak tertulis dan berlaku turun temurun dalam suatu masyarakat. Sementara, hukum islam sendiri merupakan refleksi dari apa yang diajarkan dalam agama Islam yang dimana penduduk pribumi mayoritas beragama Islam.

Pernikahan dalam hukum adat merupakan sebuah alat untuk mempertahankan eksistensi kelompok, sementara itu, hukum Islam dapat lebih diterima karena dalam syariat pernikahan merupakan perjanjian antara dua individu. Seperti itu pula dalam pandangan barat, hukum Islam cenderung lebih diterima di masyarakat dibandingkan hukum adat yang cenderung kaku.

Di bab kedua, Cora mulai memaparkan pentingnya peran perempuan di berbagai sektor. Terutama saat terjadi revolusi Industri yang menuntut perempuan turut aktif di bidang perindustrian. Sampai akhirnya, gerakan feminis mulai muncul yang diawali dari program women studies di PBB. Para feminis berusaha untuk memajukan perempuan dalam bidang perkawinan dan pendidikan dimana banyak sekali perempuan buta huruf saat itu. Salah satu contoh adalah Kartini yang terus-terusan mengirim surat kepada Abendanon hingga akhirnya ia meninggal tahun 1904 karena melahirkan.

Pada bab ketiga, Cora memaparkan berbagai kemajuan diantaranya adalah pendidikan modern bagi kaum perempuan. Namun perempuan ternyata tidaklah berjuang sendirian, pria pun ikut mendukung emansipasi di Indonesia. Seperti Kartini yang didukung oleh ayahnya, Dewi Sartika oleh suaminya, dsb. Berbagai sekolah khusus perempuan didirikan, seperti sekolah kautamaan Istri.  Selain pendidikan khusus untuk perempuan, berdiri pula organisasi yang mencoba membebaskan manusia dari metode lama adat yakni Muhamadiyah yang didirkan oleh Ahmad Dahlan.

Pada bab selanjutkaya, banyak kemudian para penulis laki-laki yang mempublikasikan karyanya pada tahun 1920-1940. Muncul karya-karya sastra yang memberontak sistem adat karena dinilai mendiskrimansi perempuan. Contohnya adalah siti Nurbaya, Azab dan Sengsara, Salah Asuhan, dsb. Buku ini menceritakan secara garis besr alur setiap novel-novel tersebut.

Pada bab-bab selanjutnya, Cora membagi gerakan perempuan dalam tiga periode, yaitu periode kolonial, periode republik, dan periode kontemporer. Saat periode kolonial inilah muncul berbagai macam organisasi perempuan dan kongres-kongres perempuan yang setiap delegasinya membicarakan isu pendidikan dan perkawinan. Hasil penting kongres itu adalah berdirinya PPI. Namun, PPI tidak berurusan dengan politik sampai akhirnya organisasi ini berkembang menjadi PPII yang berurusan dengan politik. Diantaranya adalah mempermasalahkan undang-undang perkawinan.

Segera setelah kemerdekaan, organisasi-organisasi perempuan yang ada bersatu hingga akhirnya bergabung menjadi KOWANI. Kongres ini membicarakan tentang stabilitas politik Indonesia yang waktu itu masih dilawan Belanda. Kongres juga membentuk badan-badan khusus yang menangani bidang politik, sosial, ekonoi, dan budaya. Kowani dibubarkan tahun 1950 dan dibentuk organisasi baru bernama KWI yang garis besar kebijakannya mengikuti prinsip pancasila.

Periode kontemporer kementerian agama dibentuk untuk bertanggung jawab atas dasar pendaftaran perkawinan dan perceraian. Banyak perbaikan atas awal keberadaan biro ini, seperti masalah petugas resmi juga masalah UU No. 22 yang saat itu dianggap tidak memuaskan hati perempuan. Meskipun mengalami perbaikan Undang-undag, sampai sekarang pun poligami masih menuai pro kontra di masyarkat.

Kelebihan buku ini adalah deskripsi atas fakta yang terjadi di berbagai lapisan masyarakat dijelaskan dengan sangat detail. Selain itu, Cora juga merunut kejadian pergerakan perempuan ini dari tahun 1900 hingga 1960 sehingga saat membacanya tidak ada tumpang tindih. Kekurangan buku ini adalah terlalu memihak gerakan feminisme, sehingga seakan-akan Cora memandang bawa wanita berjilbab adalah tanda kemunduran dan merendahkan martabat bangsa. Selain itu, Cora tampak tidak begitu memahami hukum islam atau syariat atas dasar pengambilan istilah yang tidak pas maknanya.

Ketika Buku Seharga Emas

Ada satu masa ketika harga buku itu dinilai dengan emas. Wah, pasti mahal donk. Mana bisa rakyat menjangkaunya? Bisa tuh karena harga buku tersebut dibayarkan oleh negara dengan emas seberat buku yang ditulis. Buku tersebut kemudian dipasarkan dengan gratis atau harga minimal sekadar mengganti ongkos cetak. Sedangkan penulisnya tidak lagi menerima bayaran dari penerbit ataupun royalti. Hal ini terjadi di masa Khalifah Al-Makmun yang memberikan emas kepada Hunain bin Ishak seberat kitab-kitab yang ia salin ke bahasa Arab dengan ukuran yang sama beratnya.

Semua orang boleh dan berhak bahkan wajib menyebarkan buku-buku tersebut ketika isinya adalah ajakan pada kebaikan. Bukan hanya menyebarkan saja, tapi setiap orang berhak untuk menggandakan dengan cara apa pun. Tidak akan ada penulis atau penerbit yang merasa dirugikan karena konsumen menggandakan tanpa seizin mereka. Bahkan sebaliknya, mereka akan sangat mendorong setiap orang untuk sama-sama menyebarkan buku dan isinya tersebut.

Tidak ada orang yang berteriak-teriak menuntut ganti rugi karena bukunya disalin atau digandakan tanpa seizinnya. Alasannya adalah hak cipta, padahal intinya ia berteriak karena dirugikan secara materi. Hal ini sangat biasa di alam Kapitalisme karena memang segala sesuatu selalu dinilai secara materi. Meskipun hak cipta didengungkan di alam Kapitalisme, nasib pengarang tetap saja merana tanpa ada perlindungan sama sekali. Hanya segelintir pengarang yang karyanya best seller saja yang hidup layak. Itu pun juga tidak terlepas dari potongan pajak ini-itu.


Berbeda dengan sistem Islam yang sangat menghargai ilmu pengetahuan. Kaya tidaknya seorang ulama/ilmuwan tidak bergantung dari laku tidaknya karya tersebut di pasaran. Tapi pemimpin dalam hal ini Khalifah telah memberikan imbalan lebih dari cukup kepada pengarang, penterjemah dan ilmuwan demi agar mereka bisa hidup layak. Bila kehidupan terjamin maka konsentrasi dan dedikasi bisa lebih fokus untuk pengembangan ilmu pengetahuan demi kemajuan Islam. Tak heran bila saat itu, wilayah kekhilafahan Islam menjadi pusat ilmu pengetahuan dan teknologi mengalahkan peradaban lainnya di zaman itu.

Nasib penulis, penterjemah dan ilmuwan di zaman ini lebih menghargai kemolekan tubuh daripada ilmu pengetahuan. Profesi artis, selebritis, foto model dan sebangsanya jauh lebih dihargai mahal daripada mereka yang memeras keringat demi kemajuan bangsa.

Bandingkan dengan nasib penulis, penterjemah dan ilmuwan di zaman ini ketika sistem yang ada jauh lebih menghargai kemolekan tubuh daripada ilmu pengetahuan. Profesi artis, selebritis, foto model dan sebangsanya jauh lebih dihargai mahal daripada mereka yang memeras keringat demi kemajuan bangsa. Sudahlah dihargai murah, hasil keringat dari penulis dan penterjemah banyak yang masuk ke kantong penerbit dalam hal ini sebagai pemilik modal. Parahnya, pemerintah masih dengan teganya memotong hasil yang cuma sekitar 8 % dari harga jual itu dengan pajak. Sudah jatuh tertimpa tangga, mungkin peribahasa ini tepat untuk menggambarkan nasib penulis dan penterjemah di zaman ini. Bukan hanya di Indonesia, tapi praktis hampir di seluruh dunia hal ini berlaku.

Melihat hal demikian, hanya orang bebal saja yang bangga dengan kondisi memprihatinkan ini. Hanya orang yang rela hidup terhina saja yang mau dijajah. Orang beriman, tentu saja menolak hidup dalam kungkungan kapitalisme yang selalu mendewakan materi dan kenikmatan jasadi. Tak ada pilihan lain bagi orang beriman kecuali berjuang untuk perubahan. Dakwah tanpa kekerasan untuk merubah kondisi dari terhina menjadi mulia.

Yuk, kita kembalikan lagi kemuliaan manusia ketika isi kepala lebih dihargai daripada goyang ngebor. Kita dudukkan lagi posisi para ilmuwan ke tempatnya yang mulia dengan mendapat penghargaan semestinya, bukan malah yang pamer aurat dihormati di mana-mana. Kita rindu satu masa ketika buku adalah sesuatu yang dirindu karena ada ilmu pengetahuan di sana, dan bukan malah sinetron puluhan episode yang menjadi tuntunan. So, mari berjuang demi perubahan ini. Semangat! ^_^

Sabtu, 08 May 2010


Related Posts Plugin by ScratchTheWeb