Thursday, September 30, 2010

Soru Part 1



Eits… jangan baca cerita ini dulu sebelum kamu udah baca cerita sebelumnya dulu dari Serial Seiji ini.

I. Love in I.A.S High School

II. Airen

III. The Authority

SELAMAT MEMBACA!!!

Seorang anak laki-laki mengintip ketakutan lewat kaca mobilnya. Ia baru saja menyaksikan pemandangan yang tidak pantas dilihat anak seumurnya. Ayahnya baru saja membunuh seorang pria dikarenakan pria itu tidak juga bayar hutang.

“Kau tidak perlu takut. Karena nyawa orang itu tidaklah berarti.” Seorang pria yang tidak lain adalah paman anak tersebut bicara padanya di dalam mobil. Anak laki-laki berusia 10 tahun itu hanya diam menatap pamannya

“Kau harus ingat ucapan pamanmu ini, jika ada orang yang tidak mematuhi perintahmu, bunuh saja! Kau jangan ragu membunuh orang yang menghalangi jalanmu. Karena suatu hari nanti kau akan menjadi orang hebat yang ditakuti banyak orang, apa kau mengerti?”

Anak itu mengangguk kecil.

&&&

Di dalam sebuah ruangan bergaya khas Jepang, seorang pria sedang melihat foto keponakannya. Sudah satu jam dia melihat foto tersebut. “Aku harus menemukan Seiji,” gumamnya kecil.

&&&

Yi Jae sudah tiba di sebuah Bandara di Tokyo. Tapi dia langsung berlari keluar dari bandara. Tasnya tertukar dengan seseorang yang tadi sempat berdiri di dekatnya. Dia begitu panik karena di dalam tas tersebut ada uangnya. Sementara pemuda yang tasnya tertukar dengannya itu sudah pergi naik taksi.

“Kita cari nanti saja, kau kan harus tahu dimana tempat tinggalmu,” ujar Ruby. Teman-temannya dari Oxford yang mengikuti pertukaran pelajar ke Jepang pun menghampiri Yi Jae.

“Iya, kau tidak boleh terpisah dengan kami,” ujar pembimbing para mahasiswa pertukaran pelajar tersebut.

“Tenang saja, aku tidak akan tersesat. Dulu aku tinggal di Tokyo,” ujar Yi Jae. “Kalau aku ada apa-apa aku bisa menelepon Mahatir,” ujar Yi Jae lagi.

“Apa kau yakin?”

“Iya, aku sangat yakin. Sekarang yang terpenting, aku harus menemukan pemilik tas ini,” ujar Yi Jae mengangkat sebuah tas yang bentuknya dan warnanya sama dengan yang dia miliki. Tas punggung berwarna hitam bermerek Nike.

“Baiklah, ini alamat rumah kos-kosanmu. Kami tahu kau seorang muslim, makanya kami sengaja memilih kau agar tinggal di sana saja,” ujar si pembimbing memberikan secarik kertas yang bertuliskan alamat rumah dimana Yi Jae akan tinggal selama satu semester ini.

“Thanks,” ujar Yi Jae lalu memberhentikan sebuah taksi dan masuk ke dalamnya.

&&&

Di dalam taksi, Yi Jae tidak melepaskan pandangannya dari taksi depannya yang ditumpangi pemilik tas yang kini dia bawa.

“Lebih cepat, pak! Aku tidak boleh kehilangan taksi tersebut!” seru Yi Jae dengan bahasa Jepangnya yang fasih. Si supir taksi pun mempercepat lajunya untuk membalap taksi yang di depannya itu. Tapi taksi yang di depannya terlalu jauh untuk dibalap dalam waktu singkat.

“Bagaimana ini?! Pak, jika tidak dapat itu taksi, aku tidak bisa membayar taksi ini!” kata Yi Jae. Si supir taksi menginjak gasnya semakin dalam dan taksi pun meluncur lebih kencang. Mana mau si supir tidak dibayar? Ya kan? Hehe.

“Baik! Saya akan menunjukkan kehebatan saya, nona!” teriak si supir taksi semangat. Mobil taksi pun seakan berubah seperti di film The Fast and Furious. Hukum Newton I. Ketika si supir taksi belok, Yi Jae ikut miring. Ketika si supir taksi ngebut di jalanan, Yi Jae seakan terdorong ke belakang.

CKIIIT….. BRUK!!

Sebuah motor datang dari belokan secara tiba-tiba. Walau tidak tertabrak, motor itu terjatuh karena kehilangan keseimbangan ketika taksi itu hampir saja menabraknya. Yi Jae keluar dari dalam taksi tersebut untuk melihat keadaan si pengendara yang memakai helm tersebut.

“Apa Anda baik-baik saja?” tanya Yi Jae khawatir. Orang itu membuka helmnya. Dia seorang laki-laki yang masih muda, usianya mungkin sama dengan Yi Jae.

“Aku mungkin baik-baik saja, tapi kau lihat kan box ini?!” tanya pemuda itu ketika memberdirikan kembali motornya yang sudah butut. Ada box di bagian belakang motor bertuliskan Ramen Shibuya. Yi Jae mengangguk tidak mengerti.

“Semua ini adalah pesanan. Karena kau sudah menjatuhkannya, maka kau harus membayar sejumlah ramen pesanan ini!” ujar pemuda tersebut.

“Apa? Tapi aku tidak punya uang,”

“Lalu bagaimana Anda bisa naik taksi, nona?” tanya pemuda tersebut.

“Dengar, ya! Aku benar-benar tidak punya uang!” ujar Yi Jae.

“Lalu bagaimana dengan nasib pesanan saya?”

“Itu salahmu sendiri! Kenapa kau tidak melihat-lihat ketika sedang belok?” Yi Jae tidak kalah sengit.

“Taksimu yang terlalu kencang!” balas pemuda itu.

“Taksiku kencang karena aku sedang mengejar orang yang tasnya tertukar denganku! Karena kau belok tanpa lihat-lihat aku telah kehilangan taksi tersebut! Di dalam tas tersebut ada uangku, apa kau tahu? Jadi kaulah yang harus membayar semua kerugian yang aku alami hari ini!” balas Yi Jae yang terlanjur kesal.

“Itu salahmu sendiri yang telah ceroboh hingga tas kalian tertukar!” ujar pemuda itu. “Baiklah, aku bodoh jika memaksamu memberikan uang ganti rugi sekarang. Aku akan menagih lain kali jika kita bertemu lagi,” katanya lalu menaiki motornya, memakai helm, dan beberapa detik kemudian motor itu sudah meluncur di jalanan. Tidak mempedulikan Yi Jae yang terus mengumpat kesal.

&&&

Bel rumah Natsue Okino berdering. Ibunya Natsue berjalan membuka pintu depan. Dilihatnya seorang wanita memakai kerudung berdiri di teras rumahnya. Dia Heo Yi Jae.

“Natsuenya ada?” tanya Yi Jae.

“Natsue ada, silakan masuk!” kata ibunya Natsue mempersilakan Yi Jae masuk. Yi Jae masuk ke dalam rumah melewati pintu yang bergeser khas Jepang tersebut. Hh… sudah lama dia tidak merasakan suasana rumah seperti ini lagi.

“Saya akan memanggil Natsue dulu, ya,” ujarnya lalu berjalan menaiki tangga menuju kamar Natsue yang letaknya di lantai dua. Beberapa detik kemudian, seorang wanita berambut pendek muncul ke ruang tamu. Dia adalah Natsue, teman baik Yi Jae sewaktu di SMA.

“Lee!” sahutnya tidak percaya seraya memeluk teman lamanya itu.

“Natsue, boleh aku minta bantuanmu dulu?” tanya Yi Jae.

“Ada apa?”

“Tasku tertukar dengan orang lain, padahal di dalamnya ada dompetku. Aku belum membayar taksi tersebut,” ujar Yi Jae menunjuk ke halaman. Natsue berjalan menuju pintu dan melihat taksi yang masih menunggu untuk dibayar.

“Ya sudah, kau tenang saja,” ujar Natsue lalu berjalan menuju kamarnya dan sesaat kemudian dia keluar rumah dengan membawa dompetnya seraya membayarkan taksi Yi Jae. Taksi itu pun pergi.

“Terimakasih. Aku akan membayarnya lain kali,” ujar Yi Jae.

“Tidak perlu, kita kan teman,” ujar Natsue. “Bicara di kamarku yuk!” ajak Natsue sambil menarik tangan Yi Jae masuk ke dalam kamarnya.

Setibanya di kamar, Natsue menutup pintu dan Yi Jae duduk di pinggir kasur. Sementara Natsue berjalan menghampiri meja belajarnya dan duduk disitu.

“Aku sudah nonton di berita tentang kau masuk agama Islam,” ujar Natsue. “Bagaimana ceritanya sih?” tanya Natsue lagi sambil menopangkan lengannya di sandaran kursi.

“Awalnya, aku heran seorang pemuda yang kupeluk malah memaksa melepas pelukanku. Aku minta maaf kepadanya di Islamic Centre di London dan tidak sengaja mendengar seminar yang menarik. Aku jadi sering berkunjung kesana untuk mendengar seminar-seminar tentang Islam,” jawab Yi Jae. Natsue hanya mengangguk-angguk kecil.

“Aku juga sudah dengar tentang Seiji. Tapi aku tidak pernah melihatnya dan mendengar kabarnya lagi beberapa tahun ini,” ujar Natsue. Yi Jae hanya terdiam. Laki-laki itu nyaris saja dilupakannya semenjak dia pindah agama. “Apa kau tahu kabarnya?”

“Seharusnya aku yang bertanya padamu,” ujar Yi Jae. Ia pun segera mengalihkan pembicaraan, “Malam ini aku tinggal di rumahmu, ya? Soalnya aku tidak punya uang untuk pergi ke alamat rumah kos-kosanku.”

“Baiklah, jadi kau kuliah disini?”

“Iya, aku ikut pertukaran pelajar ke Jepang.”

“Boleh kulihat alamat rumah kos-kosanmu?” tanya Natsue. Yi Jae pun memberikan secarik kertas bertuliskan alamat tersebut. “Bukankah ini alamat toko mie ramen Shibuya?” tanya Natsue setelah membaca alamat yang ditulis di kertas tersebut.

“Apa?” tanya Yi Jae.

“Pantas saja. Pemiliknya kan orang muslim, maka mereka memilih tempat ini sebagai rumah kos-kosanmu. Kau beruntung sekali, mie ramen disana kan enak sekali,” ujar Natsue. Yi Jae tidak begitu memperhatikan ucapan temannya. Dalam benaknya terbayang anak muda yang tadi marah-marah karena box pesanannya jatuh. Di box tersebut ada tulisannya: Ramen Shibuya.

Natsue pun mengambil ponselnya. Dia menelepon seseorang, “Zoh, aku beli dua ramen, ya!” ujar Natsue lalu menutup ponselnya. Yi Jae langsung menyadari ucapan Natsue dan hendak mencegahnya menelepon orang itu, tapi dia terlambat.

“Ada apa?” tanya Natsue menyadari Yi Jae tadi hendak merebut ponselnya.

“Tadi itu ada kejadian menyebalkan,” ujar Yi Jae lalu menjelaskan peristiwa yang dia alami hari ini. Natsue terperangah kaget. Benar-benar, dunia ini selebar daun kelor. Orang yang bertengkar dengan Yi Jae tadi siang adalah orang yang akan tinggal bersamanya dalam satu rumah!

“Dia itu anaknya pemilik toko tersebut, tahu!” ujar Natsue.

“Aku kan tidak tahu aku akan tinggal disana!” ujar Yi Jae.

“Selamat menghabiskan hari-hari dengan bertengkar, Nona Heo Yi Jae,” ujar Natsue. Yi Jae merengut. Awal perkenalan yang buruk. Sebenarnya, hari ini dia tidak ingin bertengkar dengan Zoh. Tapi pemuda itu duluan yang memulai dengan marah-marah sehingga Yi Jae pun ikut tersulut emosinya.

Beberapa menit kemudian, suara bel rumah kembali berbunyi. Yi Jae tersentak kaget. Itu pasti Zoh, pemuda pengantar mie ramen yang tadi siang bertengkar dengannya. Terdengar suara orang melangkah dan suara pintu terbuka. Ada percakapan menyusul setelah itu.

“Tadi Natsue memesan mie ramen ini padaku,” ujar suara seorang pemuda. Suara Zoh.

“Natsue memesan ramen? Oh, baiklah, akan saya panggil dia,” ujar ibunya Natsue. Lalu terdengar suara orang menaiki tangga dan suara langkah kaki yang semakin dekat dan dekat. Natsue hanya menatap Yi Jae yang gugup hingga akhirnya ibunya Natsue membuka pintu kamar putrinya itu.

“Kau tadi memesan ramen?” tanya ibunya Natsue.

“Iya, ma.”

“Pesananmu sudah datang, Natsue. Jangan buat Zoh menunggu, dia pasti banyak pesanan lain yang harus diantar.”

“Iya, ma,” ujar Natsue. Ibunya Natsue pun pergi. Sementara Natsue menarik tangan Yi Jae untuk ikut turun ke bawah.

“Tolong lepaskan!” seru Yi Jae tidak mengerti. Tapi, Natsue terus memaksanya turun dan Yi Jae pun mengalah pada keadaan. Di depan pintu sudah ada seorang pemuda memakai helm yang membawa dua kotak mie ramen.

“Lepasin!” pinta Yi Jae kini benar-benar gugup. Natsue pun melepaskan tangan Yi Jae ketika sudah berdiri tepat di depan Zoh. Zoh menaikkan kaca helmnya dan menunjuk Yi Jae dengan mata terbelalak.

“Kau! Yang tadi itu kan? Mana uang ganti rugi yang kau harus berikan padaku?!” ujarnya tidak percaya. Yi Jae berdiri dengan gaya angkuhnya.

“Bukannya kau yang harus bayar ganti rugi?” tanya Yi Jae.

Natsue menyenggol Yi Jae dengan sikunya seraya berbisik. “Minta maaflah padanya, apa sulit?” tanya Natsue. Yi Jae sempat menggeleng kecil, tapi Natsue memelototinya.

“Baiklah, peristiwa siang tadi, aku minta maaf. Tapi aku benar-benar tidak punya uang untuk ganti rugi,” ujar Yi Jae.

“Minta maaf sih mudah, tapi itu tidak mengganti uang yang harus kau bayar,” kata Zoh.

“Dimaafkan tidak?!”

“Sampai kau membayar ganti rugi.”

“Aku tidak punya uang sekarang.”

“Ya sudah, sampai kau punya uang, baru kau kumaafkan.”

“Ya sudah, aku juga tidak peduli!” bentak Yi Jae lalu pergi meninggalkan tempat itu. Natsue melihat Yi Jae, tapi dia bingung untuk memanggilnya kembali. Dia pun melihat Zoh dengan tatapan sebal. Zoh juga memasang wajah tidak peduli, sehingga Natsue bingung harus berkata apa padanya. Dia hanya mengambil dua kotak mie ramen itu dan membayarnya, setelah itu segera ngacir ke kamarnya lagi.

“Menyebalkan! Bagaimana seorang muslim tidak memaafkan muslimnya yang lain sih?!” seru Yi Jae sebal. Natsue hanya diam dan memberikan ramen itu pada Yi Jae.

“Makanlah!” kata Natsue. Yi Jae pun mengambil mie ramen itu dan membuka tutup kotaknya yang ada label halalnya tersebut. Sudah sejak tadi siang dia memang belum makan.

“Aku benar-benar merepotkanmu, Natsue.”

“Tidak apa-apa, inilah yang dilakukan antar teman, bukan?”

“Terimakasih.”

&&&


Lanjutannya:


Soru Part 2

Soru Part 3

Soru Part 4

Soru Part 5

Soru Part 6

Introduce Airen

A Love In I.A.S High School

Comments
7 Comments

7 comments:

  1. Salam.., maaf ni belum bs komentar soal isi ceritanya. soalnya perlu beberapa kali membaca.
    secara keseluruhan ceritanya menarik. so terus berkarya n sukses yah.. ^__^

    ReplyDelete
  2. aku datang!!! hahaha
    ceritanya bagus dan kreatif, seperti cerita2 sebelumnya
    ngomong2, natsue juga beragama islam ya?

    emm..sedikit kritik

    Yi Jae sudah tiba sebuah di Bandara di Tokyo

    harusnya: Yi Jae sudah tiba di sebuah bandara di Tokyo.

    cuma itu deh kayaknya..soal penulisan kalimat langsungnya udah benar (malah penulisan kalimatku yang salah..heheu..harus belajar banyak nih)
    lanjuut!

    ReplyDelete
  3. Ceritanya sih sudah bagus... Cuma nuansa jepangnya kurang berasa. Karena aslinya di jepang mi ramen itu haram karena ada kaldu babinya. Terus juga, orang jepang tidak bernama lee. Karena di jepang tidak ada huruf L makasih

    ReplyDelete
  4. @Ami
    Makasih kritiknya, iya emang salah nulis..
    aku bakal benerin deh...

    ReplyDelete
  5. @Sweetie Garden
    Oh... aku baru tahu hehe
    Kalau Lee di cerita aku yang I.A.S High School (buku pertama) emang diceritain orang Korea.
    boleh nanya gak,mbak?
    Kalau mie ramen emang gak bisa gak pake kaldu babi ya?

    Makasih mbak kritiknya,sering-seringin ya...
    Soalnya masih amatiran... *garuk2 kepala*

    ReplyDelete
  6. SORU nya gak dilanjutin???? masa ending nya begitu???? maksud ku yang part 6 >...<

    ReplyDelete
  7. @Dira, makasih.. saya baru ingat memang belum dilanjutin :D

    ReplyDelete

Jangan jadi silent reader, giliranmu bercuap-cuap ria.

Related Posts Plugin by ScratchTheWeb