Sunday, September 8, 2024

Renungan Fangirling

 


Sudah lebih dari satu tahun sejak aku terakhir kali menulis blog. Terakhir kali aku menulis adalah pada 10 Juni 2023, dan aku mulai suka Xodiac pada 14 Juni 2023. Sejak itu, hidupku hampir seluruhnya dikelilingi oleh mereka selama aku menghilang.

Aku sedang mengambil jeda tiga bulan dari media sosial tempat biasanya aku fangirling, seperti Twitter dan TikTok. Kali ini, aku ingin menuliskan refleksiku.

Seperti biasa, hari-hariku terasa membosankan. Ketika merasa lelah, aku mencari hiburan di K-pop sebagai coping mechanism. Namun, pada suatu hari, aku benar-benar merasa kelelahan. Saat membuka Twitter untuk menikmati K-pop lagi, aku menyadari bahwa hiburan ini hanya memberikan kepuasan sementara dan tidak memenuhi kebutuhan psikologisku yang lebih mendalam.

Mengapa demikian? Aku bertanya-tanya. Mungkin, meskipun tampak membosankan, aku mulai menghadapi kenyataan dan memeluk kebosanan itu. Mungkin aku lebih baik daripada yang aku kira. Atau mungkin, aku tak perlu menemukan jawabannya.

Selama ini, aku juga sulit melepaskan diri dari Twitter karena merasa "spesial." Aku merasa dibutuhkan di fandom, dan kenyataannya Davin memang mengenaliku. Aku sudah melangkah sejauh ini dan telah mendapatkan banyak hal—cinta dari komunitas dan juga idolaku. Tapi, kapan itu cukup?

Mungkin aku ingin terus dianggap "spesial" oleh komunitas dan idolaku sendiri. Tapi aku tahu, itu tidak sehat. Maka, aku mencoba melakukan intervensi kognitif dengan mengingat fakta bahwa tugas seorang idola adalah membuat setiap penggemarnya merasa spesial.

Jika setiap penggemar spesial, apakah masih ada yang benar-benar spesial?

Kita mungkin mencintai idola sebagai individu, tapi dia hanya mencintai kita sebagai kelompok, bukan sebagai individu. Karena tahu cintaku sebagai individu hanya bertepuk sebelah tangan, aku mengaitkan identitasku sebagai bagian dari kelompok. Bahkan saat bertemu Davin, aku berkata "We love you," bukan "I love you." Meski cinta ini bersifat platonis, kata "I" terasa tertahan di ruang yang sesak, seolah tak seharusnya aku ucapkan.

Karena idola mencintai dalam konteks kelompok, aku merasa selalu mencari validasi dari penggemar lain dan sering kali membandingkan diriku dengan mereka, khawatir aku kurang. Aku donasi, aku punya photocard dan merchandise, aku beli album, dan sebagainya.

Tapi aku rindu masa-masa ketika K-pop tidak terasa seperti sebuah kompetisi.

Aku mulai menguji batas-batas diriku dan citra diri yang telah kubangun. Ketika ada photocard langka yang ditawarkan, aku dengan jujur berkata, "Aku bokek." Padahal sebelumnya, aku mungkin akan membelinya. Hal yang sama terjadi saat mendukung Davin di MySta; aku habiskan lebih dari 330k IDR untuk pre-vote pertama. Tapi ketika aplikasi bermasalah di pre-vote kedua, aku sengaja tidak terlalu berusaha.

Citra diri adalah "penjara" dan orang lain adalah "penjaganya." Untuk apa aku memenjarakan diriku sendiri dengan citra diri sebagai "sultan" padahal belum? Mungkin penghasilanku di atas rata-rata, tapi jalanku menuju kebebasan finansial masih panjang. Aku masih harus bekerja keras, menekan ego, menundukkan kepala selama 10 tahun, dan mengikis kebiasaan buruk.

Tidak ada citra diri yang perlu aku lindungi. Kenyataannya, aku tidak sespesial itu.

Banyak fansite yang hilang, dan seberapa sering aku memikirkan mereka? Tidak pernah. Aku perlu menyadari bahwa tidak ada seorang pun yang peduli padaku seperti aku peduli pada diriku sendiri.

Jika aku meninggal sekarang, dalam 30 menit orang-orang yang menyaksikan pemakamanku sudah akan membicarakan hal-hal sepele seperti makanan yang kurang asin atau memusingkan jaringan internet yang lambat. Mereka akan melanjutkan hidup, dan aku mati, sendirian.

Aku ingat seorang penggemar berkata ingin keluar dari fandom, dan penggemar lain menjawab, "Tidak apa-apa, mati satu tumbuh seribu." Kenyataannya memang begitu, dan hal itu akan berlaku bagi semua penggemar, termasuk aku.

Suatu hari, aku iseng membuat daftar fans Davin di Twitter dan menemukan lebih dari 70 orang. Aku tahu, sebagian besar nama ini akan kulupakan, kecuali mereka muncul di timeline atau menggunakan hashtag #Davin. Begitu juga sebaliknya, mereka akan melupakanku. Jadi, untuk apa merasa spesial?

Kesadaran ini seharusnya membebaskan.

Aku ingin menjadi penggemar yang low-key, yang memiliki duniaku sendiri, dengan aturan mainku sendiri. Aku harap aku bisa terus mawas diri dan tidak terjebak dalam pencarian validasi atau "kompetisi" di fandom. Meski aku sadar sebagai manusia, aku akan selalu mencari validasi, aku berharap bisa mencarinya dari pihak yang tepat untuk alasan yang baik.

Aku cinta banget sama grup ini. Xodiac adalah hiburan sederhana di tengah peliknya kehidupan. Di tengah ambisi yang begitu besar, kehadiran mereka adalah bukti bahwa aku dapat menemukan kebahagiaan di sesuatu yang sederhana.

Tapi pada akhirnya, ini hanya musik. Aku bisa terhubung dengan komunitas, feel the sense of belonging, dan membiarkan idol K-pop menginspirasiku, tapi aku tak boleh kehilangan perspektif tentang peran yang lebih besar yang bisa aku lakukan di dunia nyata.

Jika memang harus ada yang dikorbankan untuk tumbuh, bukankah selalu begitu? Tumbuh selalu melibatkan sisi duka dan kehilangan, seperti kulit telur yang retak sebelum anak ayam keluar dari dalamnya.

Saturday, June 10, 2023

15 Menit Meditasi

Hari ini, aku pertama kalinya meditasi kembali setelah mungkin hampir satu tahun tidak melakukannya. Aku hanya bermeditasi selama 15 menit, meskipun aku pikir aku perlu melakukannya selama satu jam.

Selama 15 menit itu, aku membiarkan isi pikiranku mengembara, berceloteh sendiri tiada henti, agar dapat kuamati apa yang dia katakan. Kemudian aku mendengar bahwa dia mengatakan, "Kamu harus beli buku ini untuk mengatasi ini" (tepatnya buku "The Untethered Soul"). Kamu harus membeli buku itu untuk mengatasi itu. Kamu harus menulis judul buku yang perlu kamu beli sebelum melupakannya. Ugh, kenapa aku harus meditasi. Tampaknya menulis judul buku yang harus kubeli saat ini jauh lebih penting."

Pikiranku mencoba membuatku untuk tidak memperhatikannya, agar dia dapat dengan bebas berjalan semaunya dan aku autopilot. Pikiranku tidak ingin aku keluar dari zona nyaman, itu untuk memproteksi dirinya sendiri dari luka dan rasa sakit. Dan pada akhirnya, ia ingin aku mengabaikan apa yang sebenarnya paling penting dan apa yang harus aku lakukan.

Aku bertahan untuk meditasi selama 15 menit dan betapa uniknya aku seperti menemukan ada dua orang di dalam diri. Satu yang menceloteh tiada henti, membuatku tidak memerhatikannya dan menjadikanku berjalan autopilot. Satu kesadaran bahwa aku harus tetap meditasi dan merasakan benar-benar apa yang aku takuti hadapi selama ini, apa hal yang aku hindari. Yaitu mendengarkan alam bawah sadarku sendiri dan apa yang dia butuhkan.

Sebenarnya aku tidak benar-benar yakin apa yang alam bawah sadarku butuhkan. Banyak hal yang bersifat paradoks. Seperti, aku harus lebih banyak mempromosikan online course di media sosial karena dengan begitu aku dapat memiliki pemasukan yang lebih banyak. Dengan pemasukan yang lebih banyak, aku bisa membangun bisnis yang lebih besar dan membeli buku apapun yang aku inginkan. Dan jika aku kaya raya, aku akhirnya bisa lebih tenang untuk tidak melakukan apapun dan bermeditasi.

Padahal saat itu sendiri, aku sedang bermeditasi dan tidak melakukan apapun. Kenapa aku tidak tenang saat itu saja?

Aku jadi ingat cerita seorang nelayan yang setiap hari hanya memancing secukupnya di pagi hari untuk menghidupi keluarganya, lalu ia pulang untuk menghabiskan waktu dengan anak-anaknya dan bermain musik dengan teman-temannya.

Kemudian, seorang pria kaya raya datang. Ia membujuknya untuk bekerja di pusat kota meninggalkan keluarganya, menjadi akuntan, lalu gajinya digunakan untuk berbisnis dan berinvestasi dan dengan begitu, si nelayan dapat menghasilkan uang banyak hingga jutaan dolar. Tetapi itu akan membutuhkan waktu 20 tahun untuk sang nelayan bisa sukses seperti itu.

Kemudian si nelayan bertanya, lalu apa yang akan terjadi jika dia telah 20 tahun bekerja meninggalkan keluarganya dan menghasilkan jutaan dolar?

Si pria kaya raya berkata, karena dengan kamu sukses, kamu bisa kembali ke keluargamu, menghabiskan waktu dengan anakmu dan di sore hari bermain musik dengan teman-temanmu.

Penjabaran sang pria kaya raya sama persis dengan apa yang si nelayan telah peroleh selama ini. Bahkan, dengan pemasukan yang kecil, si nelayan telah menjalani kehidupan kaya raya yang dia inginkan. Lalu untuk apa menghabiskan 20 tahun meninggalkan keluarga dan menjalani pekerjaan yang tidak dia cintai?

Kehidupan si nelayan sama persis dengan apa yang aku alami saat ini. Aku tinggal bersama keluargaku, tiap hari bermain dengan ponakan yang paling aku cintai, aku sudah bisa membaca banyak buku meskipun ebook, aku punya banyak waktu luang dan aku basically bekerja dengan pasif income yang cukup untuk membiayai satu keluarga. Tapi otakku terus mengatakan bahwa ini kurang dan kurang. Aku harus meraih lebih dan lebih.

Lalu untuk apa meraih lebih itu lagi? Padahal kamu sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan selama ini?"

Thursday, December 16, 2021

Berusaha Menjadi Egois


Hari ini, aku menonton video Garyvee di mana dia mengatakan, "Kamu ingin menjadi selfless (tidak mementingkan diri sendiri), menjadi orang baik dan memberi kembali ke pada orang lain? Jadilah egois terlebih dahulu untuk sampai ke tempat di mana kamu harus berada."

Setelah lulus dari NYU, akusempat mengirimkan CV dan transkrip nilai ke berbagai perguruan tinggi swasta. Ummi juga bantu mencarikan pekerjaan mengajar melalui teman-temannya yang dosen. Kemudian aku pun mendapatkan tawaran mengajar di dua perguran tinggi. Akan tetapi, karena tidak yakin, pada bulan Oktober 2021, aku bilang ke ummi, "Jika Ummi izinkan, deta sebenarnya ingin berbisnis terlebih dahulu sebelum mendaftar sebagai seorang dosen." Pada saat itu, aku juga sudah menolak dua tawaran interview pekerjaan yang terkirim ke email tanpa ummi ketahui.

Tidak disangka, Ummi yang saat itu sedang berebah di atas kasur membolehkan. Ummi mengakui bahwa jika aku memperoleh pekerjaan, itu belum tentu menyelesaikan masalah finansial. Belum lagi, jika aku memiliki pekerjaan, aku akan memfokuskan seluruh perhatianku di sana, ketika perhatian tersebut bisa aku gunakan untuk membangun bisnis dengan harapan bahwa itu akan sukses dan potensi income yang tidak terbatas.

Padahal awalnya, Ummi selalu menanyakan terus secara bertubi-tubi dan terus mendorongku untuk mendapatkan pekerjaan yang stabil. Tetapi akhirnya Ummi pun berubah pikiran dan memutuskan untuk mengembalikan keputusan kepadaku.

Terkadang, Ummi memang menanyakan kapan aku punya pemasukan yang cukup besar sampai bisa membelikan Ummi rumah baru di Jakarta atau menyelesaikan cicilan mobil. Tapi aku memilih cukup egois untuk tidak mewujudkan keinginan tersebut secara terburu-buru. Aku justru menggunakannya untuk menyuruh Ummi agar selalu sehat, panjang umur, jadi jika aku sukses di atas usia 35 tahun, Ummi masih bisa menikmatinya. Aku juga meminta doanya agar rezekiku dilimpahkan. Karena aku yakin, doa seorang ibu dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa.

Aku pikir, begitu pula alasan kenapa aku bisa S2 ke New York University. Awalnya, kedua orang tuaku melarangku S2 selain di dalam negeri, dengan alasan takut bahwa anaknya terbawa pergaulan bebas dan lain sebagainya. Apalagi di AS, BIG NO. Kakakku terus menertawakanku karena pilihan ini. Katanya dari semua negara, paling tidak boleh aku memilih Amerika. Kakakku juga akan terus meyakinkan ortu agar aku tidak diizinkan kuliah ke Amerika. Akhirnya aku pun mengiyakan mereka awalnya. Tapi bernegosiasi adalah sebuah proses dan aku tidak akan menyerah sampai mendapatkan kata "Iya." 

Kemudian, beberapa bulan kemudian, aku mencoba bernegosiasi kembali. Aku berkata kalau kuliah S2 ke Jerman sebenarnya mereka tidak perlu mengkhawatirkan pergaulan bebas karena sudah banyak kalangan Muslim Indonesia di sana. Setelah orang tua pikir-pikir, mereka pun mengiyakan. Aku boleh kuliah S2 di luar negeri asal di Jerman. 

Akan tetapi, mungkin karena aku sendiri memang tidak benar-benar berniat kuliah di negara lain selain Amerika Serikat, aku tidak memenuhi persyaratan administrasi. Saat itu, aku mendaftar kuliah Kesehatan Masyarakat di Charite Berlin. Staf administrasi pendaftaran meminta dokumen lengkap, aku tidak mengirimnya dan berkata aku tidak jadi mendaftar.

Setelah sekian lama, akhirnya, LPDP 2018 di buka. Pada tahun 2018, LPDP dibuka dengan rentang waktu yang cukup lama dan sempat hilang kabar selama hampir setahun. Para calon awardee bahkan sempat berpikir bahwa LPDP akan dihentikan karena Bu Sri Mulyani bukan menteri keungan. Namun aku bersyukur akhirnya LPDP dibuka, jadi aku bisa meyakinkan orang tuaku untuk bisa kuliah ke AS.

Akhirnya, orang tuaku pun membolehkan aku kuliah ke AS selama aku terikat dengan komunitas Muslim di sana dan dekat dengan keluarga Imam Shamsi Ali. Aku pun menyanggupi dan akhirnya aku pertama kalinya secara serius mendaftar kuliah S2 ke Amerika Serikat. Negara yang awalnya tampak begitu mustahil aku daftari. Bukan karena keterbatasan waktu belajar IELTS atau GRE saja, tapi juga restu orang tua. 

Karena menunjukkan keseriusanku, orang tua pun mengizinkanku untuk tidak bekerja terlebih dahulu. Bahkan aku dilarang bekerja dan aku wajib lulus S2 ke Amerika. Aku juga tidak ingin sense of entitlement membuatku menerima segala hal secara cuma-cuma. Jadi aku berusaha memberikan apapun yang terbaik semempuku kepada orang tua.

Begitu pula saat ini, aku rasa aku cukup egois dengan meminta kepada ortu agar mengizinkanku menikah setelah usia 33 tahun. Aku ingat, awalnya abi kaget saat aku bilang akan memikirkan menikah di usia 29, tapi sekarang, mereka mungkin tidak akan lagi terkejut jika suatu hari aku berkata memilih menikah di atas 35 atau mungkin tidak sama sekali. Meskipun angka-angka itu bukan patokan, aku hanya tidak ingin memenjarakan diri ketika aku belum sampai ke tempat di mana aku harus berada.

Lulus dari NYU, pemasukanku masih belum stabil. Orang tua kerap memintaku untuk mendapatkan pemasukan yang cukup. Tetapi aku memilih egois, kembali dengan terus bernegosiasi, bahwa aku ingin memulai bisnis. Aku menjelaskan dan aku bersyukur Ummi Abi tampaknya mengerti bahwa mendapatkan pekerjaan tidak serta merta memenuhi kebutuhan finansial. Jujur saja, aku juga tidak ingin melakukan hal yang tidak aku inginkan hanya untuk beberapa juta rupiah.

Saat ini, aku menerima banyak tawaran menjadi pemateri, membuat kursus online, memimpin startup studio games dengan 16 orang karywan, dan berpartisipasi dalam politik. Tampaknya setiap hari aku memiliki kesibukan, tapi aku tidak mendatangkan jumlah uang yang berarti. Jumlah penghasilan dari menjadi pemateri pun bervariasi dan aku tidak selamanya mendapatkan fee.

Orang sering overjudging themselves ketika menentukan mana pekerjaan yang bervalue tinggi dan hanya kesibukan belaka. Tapi aku memilih untuk tidak terlalu memusingkan itu, meski tampaknya tidak mendatangkan uang untuk saat ini. 

Begitu pula saat Garyvee mendapatkan jabatan di pabrik wine ayahnya, dia malah sibuk membuat konten untuk YouTube. Itu tahun 2009 dan YouTube tidak populer. Orang melihat dia malah sibuk dengan hal yang tidak penting, tidak mendapatkan uang, dan tidak memiliki dampak dalam waktu dekat. Tetapi, itu pada akhirnya menjadi salah satu keputusan terbaik yang dibuat oleh Garyvee, menjadikan perusahaan wine itu juga semakin dikenal, dan kekayaan Garyvee pun meroket.

Karena kita memang tidak tahu mana pekerjaan yang pada akhirnya akan bervalue tinggi di masa depan atau tidak. Maka jangan terlalu menilai tinggi waktu untuk tidak melakukan pekerjaan yang tampaknya tidak menghasilkan uang pada saat ini. Selama kamu melakukan hal yang kamu inginkan, kamu sudah menang.

Kembali lagi, setiap kita tentunya ingin bisa memberikan lebih pada orang lain. Tapi itu berarti kita juga harus egois untuk bisa sampai pada posisi tersebut. 
















Saturday, November 20, 2021

The Plateau of Latent Potential

 


Sejak kemarin, saya membaca sebuah buku yang sebenarnya menjadi daftar buku yang baru akan saya baca tahun 2022. Akan tetapi, karena satu dan lain hal (yang akan saya jelaskan di bagian akhir artikel ini), saya akhirnya memutuskan untuk membaca ‘Atomic Habits’ karya James Clear sekarang.

Sebenarnya, saya sudah membaca sebagian awal buku ini dalam versi Bahasa Indonesia di Gramedia Digital beberapa bulan lalu. Tetapi, saya merasa kesulitan memahami buku terjemahan. Justru saya lebih mudah memahami sebuah buku jika ditulis dalam Bahasa Inggris (jika itu bahasa aslinya) daripada bahasa Indonesia. Anyway, pada tulisan kali ini, saya ingin membahas tentang salah satu bagian buku ‘Atomic Habits’ yang diulas pada bab awal: The Plateau of Latent Potential.

Sering kali, kita meyakinkan diri bahwa sebuah kesuksesan besar membutuhkan sebuah aksi besar. Apakah itu kehilangan berat badan, membangun sebuah bisnis, menulis sebuah buku, memenangkan sebuah perlombaan atau meraih sebuah tujuan apapun. Kita menaruh tekanan pada diri sendiri untuk membuat sebuah peningkatan yang mengguncangkan dunia, yang mana akan dibicarakan oleh banyak orang.

Sementara itu, peningkatan kecil, 1% setiap harinya tidak terlalu menonjol, atau bahkan tidak terlihat sama sekali. Tapi itu bisa memberikan lebih banyak peningkatkan yang lebih bermakna untuk jangka panjang.

Kebisaan atau habits adalah compound interest dari pengembangan diri. Sama seperti ketika uang yang meningkat melalui compound interest dalam investasi, begitu pula kebiasaan akan berlipat jika kita terus melakukannya.

Jika kita pergi ke gym dalam tiga hari berturut-turut, tentu kita belum mendapatkan  bentuk tubuh yang kita inginkan. Jika kita belajar bahasa China selama satu jam dalam semalam, kita tentunya belum mendapatkan hasil yang ingin kita lihat. Kita sering mencoba melakukan berbagai macam perubahan, tapi hasil tidak langsung terlihat, sehingga akhirnya, kita kembali ke kebiasaan lama.

Dalam buku ini, James Clear membuat sebuah ilustrasi untuk kita membayangkan mengambil satu es batu dan menaruhnya di atas meja. Ruangan begitu dingin sampai kita bisa lihat napas kita sendiri. Kemudian secara bertahap, ruangan pun dihangatkan. 26 fahrenheit, 27 fahrenheit, 28 fahrenheit… es batu tersebut masih ada di atas meja dan tidak mencair. Suhu terus menghangat, 29 fahrenheit, 30 fahrenheit, 31 fahrenheit… dan masih belum ada yang terjadi.

Sampai akhirnya tiba di 32 fahrenheit (0 derajat celcius), es mulai mencair. Perubahan setiap satu derajat tampaknya tidak memberikan dampak apapun. Es juga baru mencair di suhu 32. Akan tetapi, sebenarnya perubahan telah berlangsung dari sebelum-sebelum itu.

Momen terobosan seringkali adalah hasil dari banyak tindakan-tindakan sebelumnya, yang membangun potensi yang dibutuhkan untuk unleash sebuah perubahan besar. Pola ini muncul di mana-mana, sebagaimana kanker menghabiskan 80% waktu hidupnya tidak terdeteksi, kemudian mengambil alih tubuh seseorang hanya dalam hitungan bulan. Begitu pula pohon bambu yang nyaris tidak terlihat pada lima tahun pertamanya, karena ia membangun sebuah sistem akar yang luas di bawah tanah sebelum akhirnya ia meroket, tumbuh tinggi menjulang hingga tiga meter dalam beberapa pekan.

Inilah alasan kenapa sangat sulit untuk membangun kebiasaan yang berlangsung lama. Orang sering kali membuat beberapa perubahan, gagal melihat hasil yang nyata, dan kemudian memutuskan untuk berhenti. Kita berpikir, “aku sudah berlari pagi setiap hari dalam sebulan, tapi kenapa tidak ada perubahan apapun pada tubuhku?” Saat pikiran ini mengambil alih, sangat mudah bagi kita untuk menghentikan kebiasaan baik.

Maka dari itu, untuk membuat sebuah perubahan yang berarti, sebuah kebiasaan baik perlu bertahan cukup lama sampai menghancurkan atau melewati dataran (plateau) ini, yang mana James Clear menyebutnya sebagai The Plateau of Latent Potential (dataran tinggi potensi laten).

Jika kita menemukan diri berjuang keras untuk membangun sebuah kebiasaan baik dan menghancurkan kebiasaan buruk, itu bukan karena kita tidak memiliki kemampuan untuk meningkatkan diri, tapi karena kita belum melewati the Plateau of Latent Potential. Usaha kita tidak sia-sia, mereka hanya tersimpan. Sebagaimana es mencair pada suhu 32 derajat Fahrenheit.


Saat kamu berhasil melewati The Plateau of Latent Potential, orang akan menyebutmu sukses dalam semalam. Dunia luar hanya melihat peristiwa-peristiwa dramatis daripada peristiwa yang mengawali itu semua. Tapi kita tahu, itu adalah hasil kerja keras kita selama ini, yang tampaknya tidak membuat kemajuan sama sekali, yang membuat sebuah lompatan itu mungkin.

Konsep ini begitu memotivasi saya, yang saat ini menghabiskan waktu 12 jam sehari di depan laptop untuk menyusun materi online course. Saya sudah melakukannya semenjak 1 November 2021, ini adalah bulan paling produktif saya seumur hidup di mana saya merasa membuat trajectory nyata. Akan tetapi, kemarin dan kemarin lusa (19 dan 18 November) saya sempat merasa, “I am nowhere near where I thought I would be.” Saya masih sangat jauh dari target yang saya harapkan. Saya merasa bahwa kemajuan-kemajuan saya tidak begitu terlihat dan berarti.

Ketika pikiran itu hadir, saya langsung sadar bahwa itu memudahkan masuknya kebiasaan-kebiasaan buruk, seperti lebih lama bermain di Instagram dan membaca berita-berita tidak penting. Saya pun mencoba mengalihkan rasa jenuh dan "sia-sia" membuat materi online course dengan berolahraga. Yang saya tahu, olahraga dapat memicu hormone tertentu di dalam otak yang membuat kita merasa “I can conquer the world!” atau “Aku dapat menaklukkan dunia!” Ternyata benar, mood saya memang membaik dan saya lebih produktif pada malam harinya. 

Tetapi, saya sadar, bisa saja, saya menjadi tidak rutin lagi  berolahraga. Akhirnya saya pun membaca buku “Atomic Habits” yang akan membantu saya membangun kebiasaan baik (olahraga). Awalnya, niat saya membaca buku ini adalah untuk mempertahankan kebiasaan rutin berolahraga yang saya mulai kemarin, tetapi justru isi buku ini juga sangat membantu dan memberikan jawaban akar permasalahan saya sesungguhnya. Ketika saya mulai merasa putus asa dengan berpikir bahwa tidak ada kemajuan nyata yang telah saya raih dengan membuat materi online course.

Beberapa hari yang lalu adalah hari-hari dengan mood yang buruk yang baik saya. Tapi saya tahu, hari-hari yang buruk adalah hari-hari yang lebih penting. Kita semua bisa produktif saat hari baik datang, tidak ada yang spesial. Akan tetapi, jika kita juga produktif di saat hari buruk datang, kita akhirnya membangun kebiasaan. Ketika kebiasaan telah terbangun, yang kita butuhkan hanyalah waktu.

Waktu yang pada akhirnya akan menampilkan sebuah perubahan besar.


#30DWCJilid33

#Day26

 

 

Thursday, November 18, 2021

Jangan Memusingkan Harga Diri!

 


Beberapa hari yang lalu, saya melihat postingan ini lewat di Instagram Explore. Tulisannya “Don’t feel sad if someone rejects you, people usually reject expensive things and go for the cheap one,” yang berarti “Jangan sedih jika seseorang menolakmu. Orang biasanya menolak hal-hal yang mahal dan memilih yang murah.”

Baiklah, tulisan ini mungkin uneg-uneg karena saya tidak bisa mencerna quote tersebut. Karena tidak tercerna dengan baik, jadi saya merasa benar-benar ingin “mengeluarkannya.”

Saya sungguh tidak mengerti kenapa seseorang harus merendahkan orang lain agar bisa meninggikan dirinya? Mereka yang mengiyakan post ini mungkin memiliki insekuritas yang sangat besar dan berusaha menutupnya dengan meninggikan diri mereka sendiri. Karena merasa bahwa diri mereka tidak “tinggi” mereka pun terpaksa merendahkan orang lain.

Kita sering punya standar ganda. Kita begitu yakin bahwa ucapan orang lain tidak menentukan siapa kita. Tetapi kita merasa ucapan kita menentukan siapa orang lain?

Padahal, ucapanmu tidak mendefinisikan orang lain. Ucapanmu mendefinisikan dirimu sendiri. Psikolog dari NYU, Guy Winch, berkata bahwa kualitas yang kita lihat pada orang lain menyampaikan banyak hal mengenai bagaimana kamu melihat dirimu sendiri!

Mengenai standar ganda. Kita sering meyakini standar tertentu jika itu menguntungkan kita, dan menaruh standar yang berbeda pada orang lain. Dalam Psikologi Kognitif dan Psikologi Perkembangan, orang yang hanya bisa berpikir dari sudut pandangnya sendiri disebut tidak memiliki theory of mind. Mereka juga sering memiliki false belief (kepercayaan palsu). Selama masa perkembangan, ini terjadi pada anak-anak di bawah usia enam tahun.

Jika seseorang menolakmu atau mencampakkanmu, wajar jika kamu merasa sedih. Mereka tidak memperjuangkanmu dan membuatmu menanyakan harga dirimu sendiri. Kamu boleh bersedih, tapi jangan berlarut-larut. Jika perlu, tidak usah lagi lah memikirkan sesuatu yang namanya harga diri!

Saya teringat salah satu nasihat dari Guy Winch.

“Harga diri kita tidak tetap atau stabil. Kita bisa merasa baik tentang diri kita sendiri suatu pagi, dan buruk tentang diri kita sendiri keesokan harinya. Tanpa alasan yang jelas sama sekali.

Harga diri kita bertentangan. Kita bisa merasa benar-benar tidak berharga dan tidak berguna. Namun kita masih percaya bahwa kita adalah berlian di tengah lumpur. Permata yang menunggu untuk ditemukan.

Harga diri kita tergantung pada bagaimana kita menyikapi sesuatu. Ketika seseorang memberi tahu bahwa kita melakukan pekerjaan dengan baik, kita ikut mengartikannya begitu. Atau sebaliknya.

Mengingat begitu sering harga diri berubah-ubah dan kontradiktif, mungkin kita seharusnya tidak terlalu memperhatikan harga diri.

Mungkin hari-hari dengan harga diri rendah sebenarnya hanyalah hari-hari dengan suasana hati atau energi yang rendah. Mungkin kita merasa buruk namun tetap mengakui bahwa kita layak.”

Sebagai seorang Muslim, saya sendiri merasa bahwa kisah Abu Bakar melamar Fatimah sangat inspiratif. Abu Bakar adalah sahabat terdekat Nabi. Beliau memiliki julukan Ash Shiddiq (orang yang terpercaya), tutur katanya lembut, kaya raya di dunia dan akhirat hingga Malaikat Jibril ditugaskan untuk menjaga surganya Abu Bakar yang begitu luas.

Tetapi saat Beliau melamar Fatimah, Allah menetapkan hati Nabi Muhammad untuk menolak tawaran tersebut. Sampai akhirnya Ali datang dan Allah membalikkan hati Nabi Muhammad untuk akhirnya menjodohkan putrinya dengan Ali bin Abi Thalib.

Ali juga seorang sahabat yang mulia. Hanya dua sahabat Nabi yang tidak pernah menyembah Berhala sebelum Islam datang, Abu Bakar dan Ali. Keduanya memiliki kemuliaan dan keutamaan masing-masing. Keduanya juga salah satu dari Khilafah yang memimpin Muslim setelah Nabi wafat. Tetapi Allah menetapkan segala sesuatu sesuai kadarnya masing-masing.

Bukan karena seseorang lebih tinggi atau lebih rendah, lebih kaya atau lebih miskin, yang akhirnya menentukan apakah kita diterima atau ditolak seseorang. Sebuah hubungan yang kandas, terlepas apapun kisah yang melatarbelakanginya, sebenarnya ada satu hal yang bisa dijejak sebagai penyebab: terdapat ketidakcocokan.

Sebagaimana kamu bisa menjadi satu paket utuh tapi terkirim ke alamat yang salah. You can be a whole package but delivered to a wrong address. Bukan karena kamu tidak berharga atau orang lain lebih berharga dan lain sebagainya, tapi simply, terdapat ketidakcocokan. 

Berandai-Andai, Hal Yang Paling Tidak Aku Mengerti


Sejujurnya, aku tidak mengerti, kenapa seseorang yang masih hidup berandai-andai? Seakan jika dia bisa mengembalikan masa lalu dan membuat keputusan yang berbeda, dia yakin bahwa kehidupan akan lebih baik. Bahkan jika itu sesuatu yang sebenar-benarnya menunjukkan sebuah kerugian atau kehilangan. 

Sebagai contoh, jika saja dia melewatkan sebuah investasi besar pada startup yang nantinya akan menjadikan dia triliuner, misal Facebook. Kemudian dia begitu menyesal dan berandai-andai jika saja dia berinvestasi di sana. Padahal, dalam skenario yang berbeda, misal dia menjadi investor Facebook dan akhirnya dia diundang menjadi pembicara ke sana ke mari, misal Jepang. Bisa saja saat dia naik pesawat ke Jepang tersebut, pesawat itu jatuh dan menewaskan seluruh penumpangnya.

Atau jika seorang pria memilih satu di antara dua perempuan untuk dia nikahi, kemudian di masa depan dia sering bertengkar dengan istrinya, dia pun menyesal dan berpikir, “Andai aku memilih perempuan yang lain.” Padahal dia juga tidak tahu, bisa jadi, ketika dia menikahi perempuan yang lain, perempuan tersebut terkena penyakit kronis untuk jangka panjang yang membuatnya hidup larut dalam depresi dan penderitaan.

Suatu hari, aku ditanya pada seminar yang diadakan Indonesia Mengglobal, “Kak Maryam, kenapa tahu bahwa saat itu adalah masa yang tepat untuk melanjutkan S2?” Jujur, aku melanjutkan S2 tanpa pengalaman bekerja dan aku mengambil jurusan psikologi yang pendekatannya integrative, alias fokusnya tidak terlalu sempit. Tidak seperti sebagian besar orang yang tujuan studinya lebih spesifik.

Kemudian aku menjawab, “Aku hanya mengikuti kata hatiku untuk menggali lebih banyak ilmu. Aku juga tidak tahu apakah itu waktu yang tepat atau tidak, tapi tidak ada mesin waktu dan kita tidak bisa kembali ke masa lalu untuk mengetahui mana keputusan yang tepat dan salah. Aku hanya merasa gak puas dengan ilmuku selama S1. Pun, ketika aku sudah lulus, aku sadar bahwa lowongan pekerjaan yang bisa aku daftar itu jadi lebih sempit. Akan tetapi, aku percaya bahwa aku bisa menciptakan jalan dan peluang-peluang itu sendiri. Aku mengambil keputusan dengan cepat, menuruti apa kata hatiku.”

Inilah kenapa aku sangat menyukai Garyvee. Dia mengikuti kata hatinya dan mengambil keputusan dengan cepat. Dia tidak menyesali apapun.

Tadi pagi aku jogging sambil mendengarkan podcast TED. Dalam podcast tersebut disebutkan salah satu rahasia orang resilien adalah dia melakukan selective attention. Dia memfokuskan pikirannya kepada hal-hal positif dibandingkan hal-hal negative. Sang pembicara sendiri merupakan pakar resiliensi dan dia trauma survivor. Dia kehilangan anak perempuannya yang berusia 10 tahun dalam sebuah kecelakaan maut. Awalnya dia berandai-andai jika saja terdapat berbagai skenario berbeda yang mencegah anaknya agar tidak meninggal. Namun akhirnya dia mulai berpikir, “Dalam psikologi ini disebut benefit finding. Cari hal-hal yang membuat bersyukur. Setidaknya anakku meninggal dalam sebuah kecelakaan yang cepat, bukan kesakitan dan sekarat bertahun-tahun karena penyakit kronis. Terlebih lagi, aku masih punya dua anak laki-laki yang aku cintai. Jangan kehilangan apa yang kita miliki untuk apa yang sudah hilang.”

Berandai-andai hanya akan membahayakan kita. Itu membahayakan kesehatan mental kita, membuat kita miskin bersyukur, dan akhirnya membuat kita terhambat dalam meraih tujuan yang ingin kita raih atau tugas yang harus dilaksanakan.

Aku sendiri tidak suka berandai-andai, dan jika aku mendapatkan otakku melakukan hal tersebut, aku langsung sadar bahwa itu mengarahkan pada jalan yang sesat. Alhamdulillah, hingga saat ini nalarku lebih kuat untuk menghalaunya karena aku tahu itu hal bodoh yang membahayakan.

Sejujurnya, saat aku membaca bahwa ini adalah tema dari 30-DWC, aku langsung bingung menyusun ide karena tidak ada satu pun hal di dunia ini yang aku andai-andaikan terjadi berbeda. Menurutku, satu-satunya tempat untuk berandai-andai adalah ketika kita sudah mati. Jika kita tidak cukup bertakwa kepada-Nya, tidak punya banyak bekal dan tidak sempat bertobat dari dosa-dosa.

#30DWCJilid3

#Day24

#Andai


Sunday, November 14, 2021

Komponen Personal Statement

 

1. Fokus

Kamu mungkin tergoda untuk menulis berbagai hal tentang dirimu. Akan tetapi, personal statement bukanlah otobiografi maupun pengulangan resume versi paragraph. Pilih satu key point yang menjadi kekuatanmu, pilih satu situasi yang menggambarkan kekuatan tersebut, dan gunakan anekdot yang relevan.

2. Naratif

Personal statement yang baik memiliki tujuan yang jelas dan mudah menarik perhatian pembaca. Kalian dapat menggunakan coming-of-age story untuk ini. Akan tetapi, pelamar perlu berhati-hati dalam mengubah personal statement mereka menjadi proyek menulis kreatif yang berisiko. Narasi pribadi yang disampaikan perlu kembali pada tujuan penulisan personal statement itu sendiri.

3. Pemahaman yang luas

Personal statement yang kuat dapat memahami gambaran besar dari profesi yang ingin digeluti, makna sesungguhnya, dan dampak yang akan diberikan kepada masyarakat.

4. Kerentanan dan ketulusan

Dalam mendefinisikan pengalaman, tidak selamanya harus berupa prestasi dan pencapaian. In fact, seorang Harvard MBA Admission officer mengatakan bahwa beberapa esai terkuat seringkali fokus pada kegagalan. Refleksi terhadap apa yang menjadi kekuranganmu dan gali lebih dalam apa pelajaran yang diperoleh.

5. Kesadaran diri

Pelamar perlu memikirkan esai mereka dari sudut pandang panitia penerimaan. Apa yang kamu inginkan dan tidak inginkan baca jika berada di posisi mereka? Panitia penerimaan membaca ribuan esai. Dengan menyadari bagaimana setiap kata dan cerita dipersepsikan oleh seseorang yang memiliki pengalaman berbeda, dapat menjadi sesuatu yang berharga bagi pelajar.

6. Individualisasi

Salah satu kunci dari menulis personal statement adalah dari namanya itu sendiri. Personal. Esai itu harus unik mengenai sang penulis.

7. Polish

Pelamar perlu meluangkan waktu untuk memastikan bahwa personal statement yang mereka tulis bebas dari kesalahan grammar atau typo. Personal statement adalah cerminan dari kualitas pekerjaan atau karya mereka nantinya sebagai mahasiswa.


#30DWCJilid33

#Day20

Saturday, November 13, 2021

Islam, Kesehatan Mental, dan Kesedihan Para Nabi

 


Islam memandang kesehatan mental sebagai sesuatu yang amat penting. Sebagaimana Nabi Muhammad sendiri berkata bahwa beliau diutus untuk pengembangan pribadi dan karakter. “Sesungguhnya saya diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.”  (HR Baihaqi dari Abu Hurairah RA)

Dalam Islam, kesehatan mental, mirip dengan kesehatan fisik, merupakan aspek yang sangat penting dalam kesejahteraan seseorang, karena merupakan bagian integral dari menjalani kehidupan yang sehat dan seimbang.  Kesehatan psiko-spiritual berhubungan langsung dengan kemampuan seorang Muslim untuk mengaktuliasikan tujuan spiritual primordial mereka. Semua manusia diciptakan untuk menapaki jalan yang menjamin keselamatan mereka di akhirat dan mampu memperoleh keridhaan Allah SWT.

Kesehatan dengan demikian, dianggap sebagai kemampuan individu untuk tetap berada di jalan ibadah. Sehingga, apapun yang dianggap merusak fungsi manusia patut diperhatikan.

Sayangnya, bahkan dengan berat dan seriusnya masalah ini, masalah penyakit mental itu sendiri adalah masalah yang tabu untuk dibicarakan baik di masyarakat kita yang lebih luas maupun di dalam komunitas Muslim. Setiap kali masalah ini diangkat, kesalahpahaman pasti akan mengikuti.  Orang awam sering kali melihat gangguan mental berdasarkan model yang berasal dari Pra Islam. Misalnya persepsi bahwa penyakit mental disebabkan oleh azab Allah, evil eye (penyakit ain), sihir, iri hati, atau roh gaib.

Ketika masalah ini dilihat dalam paradigma agama, seperti kerasukan jin, berarti individu tersebut kurang iman atau tidak rajin ibadah. Kemudian, perawatannya dianggap dengan membaca Al-Quran setiap hari, zikir, atau ruqyah.

Jika mengalami gangguan kesehatan mental, banyak orang awam Muslim meminta tolong pada ustadz atau imam mereka. Meskipun membaca quran, doa dan nasihat dapat menangkan hati, tetapi jika masalah yang dialami adalah klinis, intervensi itu mungkin tidak cukup. Selain itu, tentu saja akan ada gap antara seorang mental health profesional dan seorang ustadz dalam membantu pasien mengatasi masalah psikologis mereka yang bersifat klinis.

Wacana gangguan mental disebabkan oleh setan berasal dari orang Eropa abad Pertengahan. Pada akhirnya masih mendasari pemikiran orang awam di zaman modern, khususnya di kalangan komunitas Muslim. Secara historis, dunia Islam memiliki pendekatan yang sangat berbeda terhadap gangguan mental. Perspektif Islam terhadap kesehatan mental lebih holistik, dimana kesehatan mental dan kesehatan fisik yang positif itu saling berhubungan.

Para cendekiawan Muslim saat itu, seperti Ibnu Sina (pendiri Kedokteran Modern) menolak konsep tersebut dan memandang gangguan mental sebagai kondisi yang didasarkan pada masalah fisiologis. Begitu pula para filsuf, dokter, dan cendekiawan Muslim yang lain seperti Ar-Razi, Al-Bakhi, dan Ishaq Ibn Imran.

Bagaimanapun, Islam tidak menuntut kita untuk menjadi manusia super. Jika kita mengalami masalah kesahatan mental, kita dodorong untuk mengatasinya, melakukan Tindakan positif yang mungkin atau mencari bantuan profesional jika kasusnya klinis.

Kita sering berpikir bahwa emosi kita tidak valid atau menekan perasaan kita sendiri. Jika kita merasakan hal yang "tidak seharusnya," kita merasa diri kurang iman. Padahal jika kita merujuk dalam AL-Quran dan As Sunah, duka yang dihadapi oleh para Nabi Allah adalah contoh bagaimana kita dapat secara simultan memiliki kepercayaan pada-Nya dan masih merasakan kesedihan manusia yang sesungguhnya. 

Sebagai contoh, Nabi Muhammad, yang memiliki hubungan paling dekat dengan Allah, merasakan kesedihan yang mendalam setelah kepergian ibunya, istrinya Khadijah, putra-putranya yang meninggal saat masih bayi, dan pamannya Abu Thalib. Nabi Yaqub berduka selama beberapa dekade setelah kematian putranya, Yusuf. 

Membaca tentang pentingnya kesejahteraan psikologis dari perspektif Islam sangat mengharukan bagi saya, karena Islam menekankan pentingnya berhubungan dengan emosi kita. Kita telah menciptakan budaya penindasan kepada diri sendiri padahal sebenarnya, kita didorong untuk mengeksplorasi dan memperdalam hubungan ini dengan diri sendiri.

Apa yang saya temukan paling menarik melalui semua ini adalah pentingnya kesadaran diri dalam Islam. Jika niat kita adalah untuk membantu diri sendiri melalui terapi, perawatan diri, dukungan profesional - ini adalah tindakan ibadah, karena kitasecara inheren memperkuat kemanusiaan dan keimanan. 

Insya Allah kita dapat mengubah nilai-nilai budaya kita untuk memasukkan esensi sejati Islam: perdamaian eksternal dan internal.

 





#30DWCJilid33

#Day19

Related Posts Plugin by ScratchTheWeb