Wednesday, August 27, 2014

Multitafsir Pancasila dalam Politik Provokasi


Sejak pertama kali dibincangkan menjelang kemerdekaan 1945, multitafsir pancasila telah mengundang perdebatan dari banyak kalangan dan tak jarang tafsir-tafsir pancasila itu saling bertentangan. Berbagai elite dari gerakan Islam berpendapat bahwa Pancasila merupakan rumusan Islam versi kebangsaan Indonesia. Namun tidak sedikit pula yang menganggap bahwa pancasila adalah simbol paganisme yang memasung Islam.

Sejak 1985 dengan terpaksa atau karena sikap pragmatis hampir seluruh gerakan Islam menjadikan pancasila sebagai satu-satunya asas. Dua dekade kemudian asas itu ditinjau ulang, bahkan sebagian di antara gerakan Islam telah menanggalkannya. Dalam suasana reformasi sejak 21 Mei 1998, respons lain yang berbeda  atas pancasila yang muncul di awal 80-an ini menjadi penting ditelusuri.

Salah satu contoh kasus tahun 2013, Hizbut Tahrir Indonesia menolak dengan keras bahwa Pancasila menjadi satu-satunya asas dalam penyelesaian masalah multidimensi. Selain itu, Fraksi PKS di DPR yang menolak adanya asas tunggal untuk ormas adalah Pancasila seperti tercantum dalam RUU Ormas. Hal ini dinilai tidak mengedepankan aspirasi publik, melainkan mengedepankan pasal-pasal yang bersifat represif dan pengekangan. Bukan hanya PKS, semua fraksi dan juga pemerintah sepakat untuk menunda RUU Ormas tersebut karena Pancasila dinilai masih multitafsir.

Dengan maksud memberikan sebuah nuansa kritis atas multitafsir pancasila secara keagamaan, khususnya Islam, dalam pengantar ini akan dibahas beberapa topik. Melalui sikap kritis atas keyakinan keagamaan yang kita peluk dan atas pancasila sebagai dasar negara, pembebasan pemberhalaan sebuah doktrin “ideologis” bisa diharapkan tidak memuat kita “memberhalakan” doktrin yang lain. Dari sini, saya harap kita baca dengan nalar dan hati yang jernih.

Indonesia memiliki pancasila, tetapi karena pengamalan yang masih sangat kurang bahkan dikhawatirkan akan dapat dipengaruhi oeh asimilasi kultural asing. Di samping itu kita khawatir adanya tafsiran parsial dan kesukuan yang dapat saja memaksakan  dan melumpuhkan persatuan dan kesatuan bangsa. Contohnya, kita memiliki tradisi musyawarah untuk mufakat tetapi semakin langka penerapannya. Kita memiliki iklim dekmoratis dalam kehidupan nasional, tetapi tuntutan demi tuntutan untuk menciptakan iklim demokratis telah mengundang pertanyaan yaitu kemurnian dari sikap demokratisnya tersebut.

Belum lagi pengembangan tafsiran pancasila sendiri di Indonesia. Karena tidak memiliki metode penafsiran yang baku, setiap rezim di Indonesia memiliki penafsiran berbeda terhadap Pancasila. Pada masa Soekarno, Pancasila ditafsirkan sebagai gotong royong dan sosialisme. Pada masa Soeharto, pancasila ditafsirkan sebagai kapitalisme sekuler. Pada masa sekarang, pancasila ditafsirkan sebagai neoliberalisme. Belum lagi penafsiran Pancasila yang berbeda-beda secara parsial maupun dimensi masyarakat. Padahal kita tahu Roeslan Abdulgani dalam bukunya “Pengembangan Pancasila di Indonesia” menyatakan bahwa Pancasila bukanlah sekadar hafal rumusan Pancasila serta urutan-urtuannya, melainkan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dengan segala sikap yang menyentuh hati nurani. Jika penafsirannya sudah berbeda-beda, apakah pengamalannya pun akan berbeda pula?

Saya pribadi setuju bahwa mengamalkan pancasila berarti mengamalkan buah pikiran dengan mempergunakan pendekatan multidisiplin ilmu. Mengamalkan ilmu harus seimbang dengan pelaksanaan pembangunan. Tujuh sistem nilai yang dikembangkan Aristoteles tentunya sangat berguna untuk mengukur pertumbuhan pembangunan. Karena ukuran pancasila bukan lagi terbatas pada ekonomi, melainkan meliputi keseluruhan persoalan seperti politik, sosial, budaya, dan sebagainya. Namun, dari kondisi tersebut membawa arti bahwa Pancasila tidak mungkin dapat dilakukan secara bersama-sama!

Misalnya, mungkinkah kita dapat menggunakan manajemen ilmiah ketika ekologi administrasi kita tetap tradisional? Kita gagal dalam melakukan pengawasan intern organisasi sehingga penyalahgunaan wewenang sering kali terjadi dan kian melebar. Sementara, orang yang melakukan pengawasan dengan kritis sering digeser dan dianggap menentang atasan. Mereka yang kritis pun digeser dan dikotak-kotakkan dalam lembaga-lembaga penelitian dan bukan lembaga pemerintahan!

Dari segi hukum, kita bangga kalau pelaksanaan pekerjaan formalnya tidak melanggar hukum, walaupun hakikatnya tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peradaban. Semboyan hukum dan keadilan yang bersumber pada kepribadian nasional ternyata menghasilkan buah yang teramat pahit dan getir bagaikan empedu. Keadilan hukum merupakan barang yang mustahil dapat diperoleh, kecuali bagi mereka yang mampu mempermainkan dan memanipulasikannya.

Pertanyaan-pertanyaan lain tentang multitafsir pancasila dan aspek multidimensional yang tidak dapat dilakukan akan saya tuliskan dalam bahasan selanjutnya. Hanya saja, problem-problem yang dihadapi masyarakat dalam menegakkan demokrasi Pancasila tak hanya sampai disni. Tetapi sampai pada anak cucu, dan meningkat laksana deret ukur sementara usaha untuk melaksanakannya laksana deret hitung. Walhasil, yang berkembang bukanlah usaha merealisasikan pancasila, melainkan tafsir Pancasila yang berkembang sesuai dengan kepentingan sosial politik.

Pergeseran Tafsir Pancasila dari Orde Lama hingga Kini

Masa demokrasi terpimpin Soekarno menafsirkan Pancasila sebagai satu-satunya alat pemersatu bangsa. Pancasila dinilai sebagai weltanschauung bangsa yang dapat menjadi resep ampuh untuk mengatasi beragama masalah kebangsaan dan kenegaraan. Hal itu jelas menunjukkan keinginan Soekarno untuk meletakkan Pancasila sebagai sebuah ideologi yang konklusif. Sosialisasi seperti itu menjadi pembuka penting bagi upaya selanjutnya; Pancasila sebagai sebuah ideologi negara yang tampil hegemonik.

Upaya Soekarno dalam meletakkan Pancasila sebagai sebuah ideologi yang konklusif juga saat Soekarno meringkas kembali Pancasila menjadi Trisila bahkan Ekasila yang berarti sosialisme atau gotong royong.

Kecenderungan untuk menampilkan Pancasila sebagai ideologi negara kembali terulang pada masa orde baru. Cikal bakalnya sudah tertanam sejak demokrasi terpimpin. Tokoh-tokoh antikomunis saat itu tidak dapat mempersatukan seluruh kekuatan antikomunis kecuali Pancasila. Masalahnya, wacana Pancasila masa demokrasi terpimpin didominasi tafsir Soekarno, sedangkan mereka tidak menyetujuiya. Maka, satu-satunya jalan yang paling mungkin dilakukan adalah mendelegitimasi seluruh tafsir Pancasila versi Soekarno dan PKI.

Belakangan, orde baru menjawab tafsir Pancasila dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang diindoktrinasi kepada seluruh lapisan masyarakat. Orde baru kemudian bergerak lebih jauh dengan mewajibkan seluruh elemen masyarakat menggunakan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan sosial politik kemasyarakatan. Di sini Pancasila telah berubah menjadi ideologi negara yang komprehensif tidak lagi memberi tempat bagi ideologi lainnya.

Dan kini, Indonesia dihadapkan pada era liberal dimana Pancasila dan UUD 1945 kembali dipertanyakan sesuai dengan perkembangan zaman. Meskipun Pancasila dianggap sebagai pemersatu bangsa, ideologi negara, sumber dasar hukum, dan sebagainya, namun apakah Pancasila itu benar-benar sakti hingga saat ini? Jika dahulu Pancasila dianggap sakti karena perannya untuk memberantas PKI, maka tumpukan persoalan saat ini benar-benar jauh berbeda. Kemiskinan, bencana alam, korupsi, tindak kriminal, pengangguran, dan jaminan kesehatan serta sederet lainnya menuntut penyelesaian dengan cepat dan tepat. Pertanyaannya, apakah sekarang pendidikan Pancasila yang ramai dibicarakan, disosialisasikan bersama tiga pilar lainnya (UUD 1945, NKRI, serta Bhineka Tunggal Ika) benar-benar jawaban yang dibutuhkan bagi era liberal seperti saat ini?

Akhirnya banyak penafsiran Pancasila yang kembali muncul dalam setiap aspek kehidupan masyarakat. Sebagai upaya untuk mengubah dirinya menjadi ideologi ilmiah, dalam rentang sejarah tampaknya Pancasila belum mampu. Korupsi yang merajalela dan elite-elite pemerintah dilakukan secara masal maupun individual merupakan bukti bahwa Pancasila tidak lagi sakti. Faktanya, penjaga moral bangsa hingga saat ini bukanlah Pancasila melainkan ajaran agama dan budaya ketimuran Nusantara yang sudah ada sejak dahulu.

Lalu bagaimanakah dengan nasib Pancasila? Perlukah metode penafsiran lain agar Pancasila berubah menjadi ideologi modern tanpa menghilangkan legitimasi kultural yang telah melekat? Sehingga bangsa Indonesia yang sedari dulu dipenuhi dengan mitos-mitos seperti mitos Pancasila sakti penjamin kesejahteraan, Pancasila sakti penjamin kesentosaan, Pancasila sakti pemersatu bangsa, dan sebagainya berubah bukan lagi memberhalakan sebuah doktrin, melainkan mengamalkan nilai-nilai dengan segala sikap, contoh, dan menyentuh nurani juga dengan menerima ideologi-ideologi kebenaran yang lain.

Kritik Untuk Gerakan Pemantapan Pancasila (GPP)

 Upaya untuk kembali mensosialisasikan Pancasila salah satunya adalah dibentuknya Gerakan Pemantapan Pancasila (GPP) pada 5 Juli 2012. GPP dengan jelas menyalahkan pemerintah yang hingga saat ini tidak menetapkan hari lahir Pancasila. Belum lagi GPP menuding ada upaya menyejajarkan Pancasila dengan empat pilar bangsa yang sesungguhnya secara tidak langsung dianggap melemahkan Pancasila

Pertanyaannya, manakah yang lebih penting? “Pancasila” atau nilai-nilai Pancasila? Surat hukum atau jiwa hukum itu sendiri? Padahal nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila, terkandung pula pada empat pilar bangsa yang diusung MPR. Seperti itu pula, nilai-nilai Pancasila juga terkandung dalam ajaran agama dan adab ketimuran Nusantara. Maka pertanyaan ini menjadi penting dalam setiap upaya pemantapan Pancasila yang lebih mirip pemberhalaan sebuah doktrin lama dibanding mengamalkan nilai sesuai dengan perkembangan zaman.

Saran penulis, dibandingkan sibuk mensosialisasikan Pancasila melalui Gerakan Pemantapan Pancasila (GPP) lebih baik sibuk membuat “Gerakan Pengamalan Nilai-Nilai Pancasila”. Toh, nilai-nilai yang ada di Pancasila sudah sangat mantap mencakup berbagai multidisiplin ilmu. Juga posisinya sudah jelas sangat strategis dimana Pancasila sudah mencapai gelombang akademik; diajarkan pada anak-anak SD hingga mata kuliah di perguruan tinggi. Namun permasalahannya, pengamalan nilai-nilainya yang justru masih sangat kurang.

Contoh Multitafsir Pancasila

1.      Syafruddin Prawiranegara dalam suratnya tanggal 7 Juli 1983 dia menyatakan: “Pergantian asas Islam oleh asas Pancasila bertentangan dengan UUD 1945 yang berlandaskan pancasila. Jadi Pancasila yang ada sekarang berlawanan dengan Pancasila yang asli itu sendiri. Dimana pergantian asas itu berlawanan dengan kemerdekaan beragama dan beribadah yang dijamin oleh pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Sebab, menurut ajaran Islam, mendirikan perkumpulan Islam yang anggota-anggotanya terdiri dari orang Muslim, itu namanya perkumpulan berasaskan Islam; Al-Quran dan As-Sunnah. Bukan perkumpulan berasaskan Pancasila yang diinginkan oleh segelintir orang menjadikan Pancasila sebagai asas dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat.

2.      Dalam menafsirkan sila demi sila Pancasila pun menjadi memiliki banyak makna dan lebih berfungsi seperti pasal karet. Pasal karet berarti pasal ini ditafsirkan sesuai dengan kepentingan tertentu, bukan dengan metode baku yang ditetapkan. Seperti misalnya sila: “Ketuhanan yang Maha Esa”. Keganjilan itu antara lain:
a.       Islam bukan satu-satunya agama di Indonesia. Sementara frase “Maha Esa” menunjukkan Tuhan yang tunggal. Padahal dalam Kristen dan Katholik dikenal trinitas, dalam Hindu dikenal dewa-dewa, dsb.
b.      Sementara itu, istilah “Ketuhanan” yang merujuk pada kata jamak atau banyak. Seperti penggunaan kata “Kepulauan”. Maka Ketuhanan bisa diartikan sebagai “Tuhan-Tuhan” tetapi Maha Esa? Maka sebenarnya sila ini tidak merujuk pada agama Islam juga tidak merujuk pada agama lain.
c.       Dalam sila pertama yang menjunjung tinggi agama ini tidak dijelaskan lebih lanjut. Kalimat “Ketuhanan yang Maha Esa” tidak memberi keterangan bahwa agama yang dimaksud untuk Tuhan atau untuk masyarakatnya?
Perdebatan masalah tafsir Pancasila memang terjadi hingga kini. Namun, penafsiran-penafsiran oleh berbagai multidimensi masyarakat perlu disikapi dengan bijaksana. Alangkah baiknya, jika selain menghayatinya juga mengamalkan nilai-nilainya tanpa ada doktrin bahwa Pancasila adalah satu-satunya ideologi pemersatu bangsa dan pembawa kemakmuran.

Menghadapi persoalan di atas, tanggung jawab paling besar terletak di tangan elite pemerintah, elite politik dan keagamaan. Namun, bukan berarti mereka secara sepihak bisa bersikap arogan, merasa paling benar, paling baik, dan paling mengerti apa yang paling benar dan paling baik bagi rakyat dan negeri ini.

Karena itu, betapa amat sulit meyakinkan elite penguasa bahwa rakyat memiliki kecerdasan dan kearifan dalam menyelesaikan banyak persoalan yang dihadapi. Namun, persoalan ini mudah dipecahkan bila saja para penguasa dan aparat meletakkan dirinya sebagai “pelayan” kebangsaan, kenegaraan, dan keagamaan. Dengan cara pandang kearifan dan kekuasaan itulah kita bisa berharap bahwa perbedaan pendapata dalam politik dalam kasus pemaknaan Pancasila atau dalam beragama tidak mengurangi peluang tumbuhnya kesatuan yang kokoh bagi kehidupan sosial.


Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

Jangan jadi silent reader, giliranmu bercuap-cuap ria.

Related Posts Plugin by ScratchTheWeb