Friday, March 13, 2020

Beradaptasi Kuliah S2 di New York University


Sebenarnya, ada sebagian dari diriku masih gak percaya kalau aku lagi kuliah pascasarjana S2. Rasanya kayak baru kemarin aku lulus pesantren (setingkat SMA) dan rasanya baru kemarin aku bulak-balik naik KRL jaman kuliah S1. Sementara dalam ingatanku, orang-orang yang bergelar S2 adalah guru-guruku dan dosen-dosenku. Orang-orang pintar, bijak, berwibawa, dan berpendidikan tinggi. Dan aku ngerasa beruntung banget punya privilege yang sama dengan mereka, untuk menempuh pendidikan tinggi juga.

Kenapa sebagian diriku ini masih gak percaya? Soalnya dalam ingatan masa kecilku itu, kuliah pascasarjana itu artinya aku sudah jauh lebih dewasa, lebih cerdas, lebih anggun, dan lebih bijak. Sangat produktif dan tidak lagi sibuk memikirkan hal-hal percuma. Entah aku berkutat di laboratorium, jago ngomong Inggris kesana kemari, selalu berpakaian super modis dengan sepatu bot hak tinggi, atau hadir di berbagai konferensi internasional sebagai pembicara keren.

Nyatanya? Beda jauh.

Saat bicara di PBB ketawa-ketawa padahal gugup :D
Ya, aku masih suka nonton drama Korea, suka nyari video lucu di Youtube, menghabiskan waktu di media sosial, rebahan di kasur sambil merenungkan nasib hidup, kesulitan menemukan laboratorium, masih kagok ngomong bahasa Inggris (hanya modal berani aja terkadang), juga menjadi pembicara konferensi pun masih terbata-bata dan gugup. Tampil anggun? Bahkan setelah mikir sepuluh kali untuk beli baju baru tetap tidak aku beli demi hemat. Padahal, I can afford the clothes namun tetap saja, selalu banyak prioritas lain yang lebih penting. Penampilanku pun sama dengan sepuluh tahun lalu, Maryam yang terkadang pakai jilbab miring di tempat umum.

Well ada satu sih yang beda. Sekarang mandi setiap hari dan cuma pakai baju yang udah dicuci :D

But generally, this is me, still the same Maryam.

Maryam Qonita yang sama namun menghadapi tantangan yang berbeda. Di sini aku mau breakdown beberapa tipe adaptasi yang aku lalui selama masa-masa aku kuliah S2 di New York University. Aku berharap mungkin pengalamanku ini bisa bermanfaat untuk teman-teman semua.

Adaptasi Pertama: Bahasa.


Tantangan utamanya adalah kendala bahasa sih. Soalnya ini pertama kalinya bagiku untuk kuliah di luar negeri.

Misalnya saat di semester pertama, aku seringkali kesulitan untuk menangkap maksud dosenku jika beliau bicara hal-hal yang spesifik dengan tempo yang cepat. Begitu pula ketika temanku dengan logat yang berbeda-beda, ada bahkan yang suaranya pelan, pronounciation-nya tidak jelas, dan cara bicaranya cepat. Ya, aku sering lost kalau beberapa orang udah ngomong. Terus cuma angguk-angguk atau ketawa pura-pura ngerti.

Atau misalnya saat aku ingin menyampaikan pendapatku. But I keep translating in my head. Jadi sebelum aku ingin menyampaikan pendapatku, aku susun dulu kata-katanya, kutranslasi ke bahasa Inggris, lalu aku tanyakan. Dan ketika akhirnya dosenku mulai melakukan tanya jawab dan diskusi denganku (mengelaborasi maksudku atau bertanya kenapa aku berpikir seperti itu). Jadi, aku translasi maksud beliau ke bahasa Indonesia, aku jawab dulu dalam pikiranku ke bahasa Indonesia, aku susun kata-katanya dalam bahasa Inggris dan baru aku sampaikan. That’s a big deal you know. Karena gak ada yang mau terjebak dalam situasi canggung dan ditonton seluruh kelas kayak gitu.

Pernah sih sekali dua kali ngerasa canggung karena terjebak dalam situasi seperti itu. Tapi kalau dipikir-pikir, sebenarnya lebih banyak suasana tidak canggungnya. Dan lebih banyak kondisi dimana aku berhasil menyampaikan pemikiranku dengan baik atau teman-temanku pernah memujiku atas pemahaman materi yang mendalam (setelah dua hari begadang baca sembilan penelitian). Jadi aku positive thinking aja. Bahwa dibalik keberanian ada kecerdasan dan keajaiban yang bersembunyi di dalamnya.

Aku juga ingat nasihat dosenku, kalau ada yang ingin ditanyakan, jangan ragu untuk tanyakan. Jika ingin berbagi opini, diskusikan. Karena nasihat itu, pada akhirnya aku memposisikan diriku sebagai orang bermodalkan keberanian dan keinginan untuk lebih baik aja dalam memahami materi. Karena hanya orang-orang berani dan bertekad untuk meningkatkan skill mereka, pada akhirnya yang akan menjadi tampil lebih baik.

Kalau kalian melihat orang-orang yang tumbuh besar di Indonesia tapi jago ngomong bahasa Inggris di konferensi-konferensi internasional, percayalah, mereka gak nunggu diam saja atau cuma mengeluh sampai akhirnya fasih berbahasa Inggris. Mereka memang praktik bahasa Inggris setiap hari.

Adaptasi Kedua: Teknis, Resources dan Bahan Bacaan.


Pada awal aku masuk kuliah, aku mungkin menganggap remeh silabus dan beberapa bahan bacaan artikel jurnal yang dibagikan oleh dosenku. Aku cuma baca sekilas-sekilas dan melewatkan beberapa bagian.

Ternyata, karena aku tidak membaca silabus Psikologi Kognitif dengan baik, aku melewatkan tugas yang harus diberikan setiap pekan. Aku juga sering lost ketika kelas melakukan diskusi artikel jurnal, karena diskusi kelas juga berdasarkan tugas yang tersebut.

Salah satu seniorku, Luke, dari Vietnam menasihatiku, kalau mau bertahan di NYU sebenarnya mudah. Tinggal baca silabus, ikuti semua instruksi di website NYU Classes, dan baca readings dengan baik (artikel jurnal yang akan menjadi bahan diskusi kelas). Jika kamu mengikuti instruksi tersebut, bisa dengan cepat beradaptasi dan bertahan.

By the way. saat mendapat nasihat itu dari senior, aku aja belum tahu cara mengakses website NYU classes. Padahal readings dan silabus ada di sana semua. Pokoknya parah banget, udah kayak baby step. Kalau anak NYU dengar bahwa aku sempat tidak tahu bagaimana mengakses website pusat pembelajaran itu, mereka juga mungkin kaget. Karena setiap aktivitas di kelas bergantung ke sana. Atau kita tidak bisa mengikuti kelas sama sekali.

Akhirnya, aku ikuti nasihat seniorku tersebut. Karena meminta nasihat senior juga merupakan salah satu cara beradaptasi kan? Alhamdulillah ada kemajuan pada beberapa pekan selanjutnya. Dan pertama kalinya aku berhasil mengakses website tersebut, rasanya langsung seperti jalan terbuka lebar dan di ujungnya adalah cahaya terang benderang.

Jadi kalau kalian kuliah di negara yang berbeda sistemnya dengan system Pendidikan di Indonesia, pastikan diri kalian selalu up-to-date dengan informasi-informasi dasar atau permasalah teknis yang diperlukan sebagai mahasiswa. Juga jangan malu meminta nasihat dari senior atau teman kalian.

Adaptasi Ketiga: Penelitian dan Tesis.


Nah ini adalah bentuk tantangan terbaru yang aku hadapi saat memasuki semester kedua. Lalu aku sesalkan, karena seharusnya aku menyiapkannya semenjak aku semester satu. Karena banyak sekali persyaratan kampus agar seorang mahasiswanya boleh mengikuti tesis. Sementara pendafataran tesis dimulai dari semester dua. Bagaimana jika di semester satu tidak siap?

Kalau di NYU, persyaratan untuk pengajuan tesis adalah: Keaktifan di laboratorium, IPK tidak kurang dari 3.5 dan juga nilai mata kuliah statistika minimal B+. Sementara saat semester satu, aku belum mengambil mata kuliah statistika, aku tidak aktif di laboratorium, dan nilai IPK-ku tidak sampai 3.5. Intinya semuanya tidak terpenuhi dan aku kejar-kejaran agar itu terpenuhi pada semester dua ketika pendaftaran tesis sudah dimulai. Aku mencari laboratorium dan belajar sungguh-sungguh agar seluruh mata kuliahku mendapat nilai A atau A- biar aku bisa mendapat minimal IPK 3.5. Jadi rasanya setiap hari seperti berada di ujung jurang.

Belum lagi, aku perlu menempuh training khusus agar mendapat sertifikat yang membolehkanku untuk mengambil data dari human subject. Selain itu, terdapat proses birokrarsi dan administrasi yang cukup panjang sebelum akhirnya aku bisa boleh mengambil tesis.

Untuk saat ini, I’m still doing my best untuk bisa mengambil tesis. Meskipun penentunya di akhir sih, apakah aku terkualifikasi atau tidak. Jika pada akhirnya tidak terkualifikasi sebenarnya tidak masalah. Karena mahasiswa tetap bisa lulus dengan mengambil comprehensive exam. Dan memang aku tidak urgen untuk mengambil tesis karena aku belum berencana untuk mengambil S3 dalam waktu dekat.

Nasihatku buat kalian yang mau memanfaatkan kuliah di luar negeri sebagai sarana untuk meningkatkan skill akademik, aku sarankan siapkan dengan baik semua rencana kalian hingga lulus  dari semester pertama. Pilih mata kuliah yang benar-benar kalian minati dan dapatkan nilai terbaik untuk itu. Cari kegiatan akademik lain, seperti keaktifan di laboratorium jauh-jauh hari, gali semua informasi yang diperlukan untuk kualifikasi tesi, dan jalin kedekatan dengan dosen pembimbing maupun senior.

Mungkin itu sekian dariku, jika ada yang ingin ditanyakan, silakan hubungi Instagram @maryam.qonita.

#30DWC #30DWCJilid22 #Squad1 #Day27

Comments
6 Comments

6 comments:

  1. Kak hebat banget, i really adore your hardwork. Semoga saya bisa nyusul kakak kuliah di USA 👍👍

    ReplyDelete
  2. Stay strong kak, kalau aku dalam masa sulit, hanya satu kalimat dalam kepala *ini pasti berlalu*

    ReplyDelete
  3. Kaa, keren banget! Dari dulu aku hanya bisa denger cerita tentang kaka pas di pondok. Sekarang bisa baca blognya langsung pas kaka lagi struggle di luar negeri yg amazing banget. Salam satu almamater pondok, ka :)

    ReplyDelete
  4. Lebih seru lagi nih kalo ada channel youtubenya hehe saran aja ka jangan dibawa serius

    ReplyDelete
  5. Kerenn banget kak, suka banget dengan tulisan ka Maryam dulu yang judulnya 'perempuan berkarya lah, jangan ikut-ikutan menikah muda'.

    ReplyDelete

Jangan jadi silent reader, giliranmu bercuap-cuap ria.

Related Posts Plugin by ScratchTheWeb